"Bram, kamu jangan lupa nanti malam kita mau pergi kondangan, anaknya teman Mama?" ucap Mama sembari menyuapkan makananannya.
"Iya, Ma." jawab Mas Bram santai, kedua tangannya sibuk menyendok makanan dalam piringnya.
"Mas, aku ikut ya!" pintaku tiba-tiba. Entah keberanian dari mana, aku bisa berucap demikian.
"Ih ngapain, Mbak Nay ikut segala, yang ada nanti hanya bikin malu," sinis Mita adik iparku yang baru duduk di kelas dua SMA itu berucap.
"Tapi, Mbak juga pengen pergi kondangan," ujarku.
Mita terbahak. "Jangan-jangan, Mbak Naya belum pernah kondangan ya?"
Aku hanya mengangguk pelan, aku memang belum pernah pergi kondangan dengan kelas mewah, dulu pernah waktu masih dikampung dengan musik dangdutan. Selama menikah Mas Bram tidak pernah mengajakku, entah memang tidak pernah ada undangan atau apa, yang jelas ia tidak pernah membahas itu.
"Omaigat! Jadi benar, Mbak Naya belum pernah pergi kondangan kelas mahal? Hati-hati lho Mbak kondangan orang kaya, tempatnya luas nanti Mbak nyasar," ucapnya mengejek, lalu terkekeh. Aku hanya bisa mencebik mendengar ucapan adik ipar yang kurang sopan itu.
"Udah ah, Mita mau berangkat sekolah dulu nanti telat." Lalu ia mengadahkan tangannya ke Mas Bram untuk minta uang jajan.
Mas Bram pun segera mengeluarkan dompet dari saku celananya, dan mengangsurkan uang lima puluh ribuan satu lembar.
"Kok cuma segini sih, Mas? Kuranglah!" protesnya, dan kembali mengadahkan tangan. Mas Bram pun kembali mengambil selembar uang berwarna merah dan memberikannya.
"Nah gitu dong, Mas itu baru Mas Bram yang baik! Makasih!" puji Mita dengan gaya khasnya. Lalu, segera menyalami, Mama dan Mas Bram. Saat akan menyalamiku ia hanya menyentuh ujung jariku. Lalu menatapku dengan penuh ejekan.
Meski sikap Mita begitu ke padaku, Mama tidak pernah menegurnya begitupun Mas Bram hanya cuek saja. Sementara aku hanya bisa mengelus dada, sabar Naya.
Setelahnya kami pun melanjutkan sarapan dalam keheningan. Kemudian Mas Bram pun pamit untuk pergi kerja. Aku segera menyalami tangannya seperti biasa, setelah ia menyalami, Mama.
"Gimana, Mas aku boleh ikut tidak?" tanyaku lagi memastikan jawaban dari, Mas Bram saat aku mengantarnya di ambang pintu.
"Terserah," balas Mas Bram lalu berlalu pergi.
"Heh! Ngapain sih, Nay pake mau ikut segala?" ketus, Mama bertanya saat aku kembali ke meja makan. "Udah gak usah sok-sokan mau ikut pergi kondangan segala, tugasmu itu di rumah berbakti sama suami. Lagian memangnya kamu punya baju buat kondangan?"
Aku menggeleng, aku tidak ingat pasti kapan terakhir beli baju, yang kuingat saat aku dan Mas Bram masih pengantin baru, sekarang usia pernikahan kami sudah hampir tiga tahun dan sudah dikarunia seorang putri berusia 2 tahun.
"Udah gak usah kebanyakan gaya cepat beresin meja makannya, sebelum Rania bangun nanti dia rewel bikin, Mama pusing!" Mama bangkit dari kursinya, dan berlalu meninggalkanku.
Ah, memangnya apa salahku ingin ikut pergi kondangan bersama suami dan juga mertua, aku juga ingin seperti orang-orang yang bahagia pergi bersama.
Aku menghela nafas, dan membuangnya perlahan. Setelah kerja seharian rasanya ku juga ingin pergi keluar merefres otak yang terasa keram dengan segala pekerjaan rumah yang tidak pernah habis.
Aku pernah meminta untuk punya pembantu khusus beres-beres rumah, biar masak tidak apa aku saja. Rasanya begitu lelah dengan segudang pekerjaan rumah, ditambah cucian Mama dan juga Mita harus aku yang mengerjakan belum lagi aku juga harus mengurus Rania yang jauh lebih penting dari pekerjaan rumah.
"Alah sok gaya, pake minta pembantu segala," ucap Mama kala itu.
Apalah dayaku yang statusnya hanya menantu dan numpang tinggal di rumah mertua.
***
Setelah beberapa jam pulang kerja Mas Bram sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja warna maroon serta celana kain hitam yang sudah kusetrika sore tadi.
Aku pun begitu antusias bersiap untuk ikut pergi, setelah membuka lemari pakaian kutermangu, baju mana yang harus kupakai, rasanya tidak ada yang cocok untuk pergi kondangan.
"Dek, cepatan Mama sama Mita sudah nunggu!" ucap Mas Bram.
"I-iya, Mas. Aku cocoknya pake baju mana, Mas?" tanyaku lesu, berharap ada solusi.
Mas Bram melihat ke dalam lemari ia melihat beberapa pakaianku, lalu menghela nafas.
"Terserah, cepatan! Nanti Mama marah karena kelamaan nunggu, Mas tunggu di depan sama Rania."
Aku hanya mengangguk bercampur bingung akhirnya aku memilih sebuah gamis hitam polos dengan kerudung senada, kupikir tidak apa kalau pun sudah ketinggalan zaman yang penting sopan.
"Astaga, Mbak mau ikut kondangan apa ngelayat?" tawa Mita pecah saat melihatku keluar dari kamar, kulihat Mama pun terkikik entah apa yang lucu. Sementara Mas Bram hanya menghela nafas.
"Ma-maaf aku cuma punya ini," jawabku. Penampilan Mita sama Mama memang sangat cantik dan elegan seperti artis yang sering kulihat di tivi, sangat berbeda jauh denganku.
"Bram, Bram, Mama gak habis pikir di pelet apa kamu sama Naya sampai punya istri kayak gini, udah miskin kampungan lagi," ketus Mama. "Coba lihat Abangmu, Fatir sudah punya istri cantik, kaya, royal lagi sama Mama juga adikmu. Gak salah memang Abangmu pilih istri."
Aku hanya terdiam, apa yang dikatakan Mama memang benar, istrinya Bang Fatir memang berbeda jauh kelasnya denganku, sekarang mereka tinggal di Jakarta sementara kami tinggal di Bandung.
"Ya mau gimana lagi, Ma sudah jodoh," balas Mas Bram sekenannya, "Udahlah, ayo kita berangkat nanti telat!"
"Nanti di tempat acara kamu sama anakmu jangan dekat-dekat, nanti malah bikin malu!" ucap Mama lagi sebelum naik ke dalam mobil. Aku hanya diam tidak menanggapi karena menahan sesak juga air yang rasanya ingin keluar dari kedua netraku. Tetapi, aku tidak boleh menangis nanti Mama tambah marah dan tidak jadi mengajakku.
"Heh! Kamu dengar tidak?" lagi Mama berucap dengan nada tinggi, ucapannya sungguh tidak seanggun penampilannya saat ini.
"I-iya, Ma!" Aku dan Rania pun naik dibagian depan, di samping Mas Bram.
"Eh, eh ngapain kamu?"
"Mau duduk di depan, Dek."
"Gak cocok tau, udah duduk di belakang sono noh!" Mita menunjuk ke bagasi belakang mobil lalu tertawa, sebagai adik ipar sikapnya tidak ada sama sekali hormat-hormatnya.
"Jadi pergi tidak?" Mas Bram akhirnya berucap. Namun, ia sama sekali tidak menegur perlakuan Mama dan juga Mita ke padaku.
Kami sudah sampai di sebuah pesta mewah, aku berdecak kagum melihat dekorasi yang menghiasi seluruh ruangan tempat acara resepsi pernikahan anaknya teman Mama.
"Please ya, Mbak noraknya gosah kelihatan banget, udah jauh-jauh sana!" ucap Mita sembari mengibaskan tangannya.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan di tempat ini, akhirnya aku dan Rania menjauh dari Mama dan Mita sementara Mas Bram sejak datang ia sudah pergi duluan ke dalam entah ke mana.
Dalam kebingungan, tubuhku tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang kutaksir umurnya 67 tahun, tetapi tubuhnya masih terlihat bugar.
"Ma-maaf," ucapku terbata sembari membungkukkan badan. Sejenak ia menatapku mungkin aneh dengan penampilanku. Lalu, tersenyum.
"Tidak apa, itu adeknya lucu sekali," ia beralih melihat puteri kecilku. "Siapa namanya, perempuan itu berjongkok mensejajari tubuh Rania.
"Lania, Oma." jawab Rania dengan cadelnya.
"Ih gemesnya, dan pintarnya cucu Oma." Perempuan itu tersenyum semabari mengelus pipi Rania.
"Maaf, Bu kami permisi," ucapku sopan, di sini semua orang terasa asing bagiku, meski miskin, dan dari kampung aku tidak boleh terlena dengan kebaikan orang yang baru kukenal, setidaknya aku harus hati-hati.
Aku dan Rania pun pergi menjauh dari perempuan tadi, entah apa yang harus kulakukan sementara Mita dan Mama tidak terlihat batang hidungnya.
"Minumlah!" tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah minuman ke arahku.
Bersambung ...
"Minumlah!" tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah minuman ke arahku.Ragu-ragu aku mengambil gelas yang berisi minuman tersebut."Te-terima kasih, Bu!""Jangan sungkan. Panggil saja Oma Lastri." Ia meneguk air yang berada dalam gelasnya. Lalu menatapku dengan tersenyum."Oma lihat kamu nampak bingung? Kenapa? Maaf kalau pertanyaan Oma lancang."Aku terdiam sejenak, apa mungkin aku kelihatan bingung, mungkin iya lantaran aku tidak terbiasa di tempat seperti ini, semua orang terlihat begitu cantik dan elegan, sementara aku ... Tentunya berbeda jauh."Nak, kenapa diam?" tanya Oma Lastri mebuyarkan lamunan."Em, eh gak kok, Oma. Aku cuma merasa asing saja berada di sini." ucapku dengan perasaan canggung."Oh iya siapa namamu?""Naya Putri, Oma.""Oh, jadi Nak Naya pergi ke sini sama siapa?""Em, sama suami, Ibu mertua juga adik ipar.""Lalu kemana mereka?"Aku hanya menggeleng pelan
"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.Astaga!"Mas, aku cuma ...." Belum sempat aku menyuarakan protes lagi, tiba-tiba Mama mertua datang dari arah kamarnya."Ada apa sih ribut-ribut?" tukasnya tajam, seketika membuat nyaliku terasa ciut. Sudah tentu masalah akan tambah runyam dan panjang."Ini lho, Ma Mbak Naya pengen cantik dandan kayak Mita," jawab Mita, sembari tangan sebelah kirinya berkecak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke arahku."Hah? Apa Mama gak salah dengar?" Terlihat wajah mengejek, dan Mita hanya mengendikkan bahu sementra Mas Bram, berlalu meninggalkan kami. Ia memang tidak suka berdebat hal semacam ini, baginya tidak ada gunanya. Padahal aku juga ingin pergi meninggalkan perdebatan, kupingku sudah terasa tidak enak hampir tiap hari memdengar ocehan Mama atau pun Mita. Tetapi, itu bukan pilihan yang baik."Udah gak usah dandan segala, tugas kamu itu di rumah, dan di kasur. Jan
Tiba di rumah sakit petugas dengan seragam serba putih dengan sigap segera menaikkan tubuh Oma Lastri ke atas brankar dan mendorongnya menuju ICU.Selama Oma di ICU aku menunggu dengan cemas, sembari memeluk tubuh Rania."Ma, Oma kenapa? Oma gak matikan?" tanya Rania tiba-tiba memecah keheningan.Aku tersenyum getir sambil mengelus rambut sepundaknya. "Kita doain ya semoga, Oma Lastri baik-baik saja." Aku kembali memeluk tubuh putriku."Maaf apa Ibu keluarga pasien?" Tiba-tiba seorang suster datang menghampiri kami."I-iya saya, Sus," jawabku gugup."Silahkan untuk mengurus administrasinya dibagian depan, biar korban bisa segera di tindak lanjuti untuk dilakukan operasi," jelas Suster Mila yang kuketahui namanya dari bed namenya."Tapi, Sus ....""Mari, Bu silahkan!" Suster Mila tersenyum ramah sembari mempersilahkan.Dengan perasaan berdebar aku pun mengikuti suster Mila menuju resepsionis. Tib
"Mas!" Lagi aku memanggil Mas Bram, tetapi yang dipanggil masih belum menyahut dan sibuk dengan ponsel pintar miliknya."Lagi chatan sama siapa sih? kayaknya asik banget." Aku sengaja mendekatkan wajahku ke depan wajahnya agar kali ini ia menyadari kedatanganku."Astagfirullahaladzim, Naya!" geram Mas Bram karena kaget, ponselnya hampir saja terjatuh. "Ngagetin aja, bisa gak sih yang sopan manggilnya." Mas Bram masih terlihat kesal, mungkin juga jantungnya kini tengah memompa lebih cepat dari biasanya.Aku menghela nafas lalu membuanganya dengan masygul. "Aku dari tadi udah manggil-manggil, Mas. Masnya aja yang gak dengar dan malah senyam-senyum. Memang chat sama siapa sih?" tanyaku penasaran.Mas Bram langsung kelihatan gelagapan, namun ia segera bisa menguasai dirinya. "Em, bukan siapa-siapa cuma teman." ia memaksakan senyumnya."Ya udah itu tehnya aku mau mandi dulu!""Em, ya mandi sana!" balasnya lalu kembali memainkan pons
"Memangnya kenapa sih, Mas? Kok kayak panik gitu?" Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan."Em, eh nggak apa-apa kok," kilahnya. Aku tau kalau Mas Bram tengah berbohong.Ternyata sedingin-dinginnya sikap seseorang kalau dalam keadaan salah tetap akan terlihat aura ketakutannya."Ya udah, Mas mau sarapan dulu!" ujar Mas Bram. Terlihat sekali Mas Bram menghindari percakapan.Aku melipatkan tangan di dada melihat kepergian Mas Bram menuju meja makan, dan tersenyum miring."Lihatlah, Mas sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepintar-pintar manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan bangakai yang kamu simpan saat ini mulai tercium." desisku.Aku pun segera membangunkan Rania, dan menyusul ke meja makan."Em, aku berangkat dulu!" ujar Mas Bram memecah keheningan."Kok buru-buru, Mas? Gak dihabisin dulu makanannya?" cercaku melihat gelagat Mas Bram yang terlihat aneh. Sementara
"Apa VIP?" tanyaku kaget, siapa yang melakukannya, apa keluarganya Oma? Siapa sebenarnya Oma Lastri?"Iya, Bu. Bu Lastri sudah dipindahkan ke VIP semalam," ucapnya ramah.Berarti setelah aku pulang, ada yang datang menjenguk Oma dan mengurus semuanya. Aku menghela nafas, syukurlah itu artinya keluarga Oma sudah ada di sini."Ayo, Ma kita temui Oma!" celetuk Rania tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i-iya, Sayang." Aku membalas ucapannya "Oh iya Kalau boleh tau, Bu Lastri di ruangan nomor berapa ya, Mbak?" tanyaku.Nisa kembali melihat ke layar komputer setelahnya menyebutkan nomor ruangan yang di tempati Oma."Bu Lastri di ruangan 203, Ibu lurus aja dari sini nanti ada belokan ke kanan, nah di situ ada tangga ibu langsung naik aja," jelasnya panjang lebar."Baik, Mbak terima kasih," balasku tersenyum dan kemudian langsung pergi sembari menggandeng tangan Rania.Untung sebelum ke sini sudah membel
"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya."Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea."I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku."Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani me
"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil."Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa."Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang."Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian."Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman."Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu."Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya."Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar."Alhamdulil
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi