"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.
Astaga!
"Mas, aku cuma ...." Belum sempat aku menyuarakan protes lagi, tiba-tiba Mama mertua datang dari arah kamarnya.
"Ada apa sih ribut-ribut?" tukasnya tajam, seketika membuat nyaliku terasa ciut. Sudah tentu masalah akan tambah runyam dan panjang.
"Ini lho, Ma Mbak Naya pengen cantik dandan kayak Mita," jawab Mita, sembari tangan sebelah kirinya berkecak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke arahku.
"Hah? Apa Mama gak salah dengar?" Terlihat wajah mengejek, dan Mita hanya mengendikkan bahu sementra Mas Bram, berlalu meninggalkan kami. Ia memang tidak suka berdebat hal semacam ini, baginya tidak ada gunanya. Padahal aku juga ingin pergi meninggalkan perdebatan, kupingku sudah terasa tidak enak hampir tiap hari memdengar ocehan Mama atau pun Mita. Tetapi, itu bukan pilihan yang baik.
"Udah gak usah dandan segala, tugas kamu itu di rumah, dan di kasur. Jangan kebanyakan gaya. Sok kecakepan pake mau niru gaya orang kota segala, kamu tu gak bakalan bisa kayak Mita, kelasnya beda. Gak selevel." Aku mencebik.
"Udahlah, Ma kasian Mbak Naynya jangan dimarahin terus, nanti tambah setres dan keriput." Mita terkekeh usai melontarkan ucapan yang sama sekali tidak ada bagus-bagusnya.
"Mama gak habis pikir sama kelakakuan kakak iparmu ini, sudah untung jadi istri Bram dan menantu Mama, malah minta yang gak penting."
"Ya namanya juga, orang kampung lihat orang cantik dikit ya pasti iri."
"Tapi, kan kalau aku cantik Mas Bram juga yang senang, juga gak malu-maluin Mama sama Mita," protesku.
"Udahlah gak usah diperpanjang, kamu juga ngapain pake ikut-ikutan pengen gaya kayak gitu. Udah siapin tas kerja, Mas!" Bentak Mas Bram, yang datang dari arah dapur membuat tubuhku terlonjak karena kaget.
Mama dan Mita pun tertawa melihat, Mas Bram marah padaku. Entah kapan akan seperti ini.
Aku pun segera masuk ke dalam kamar dan mengambil tas kerja Mas Bram, lalu memberikan padanya. Aku tidak ingin dia marah lagi dan masalah ini tambah panjang. Kasian Ibu sama Bapak di kampung kalau mereka sampai tau nasib anaknya di sini, mereka sudah tua aku tidak boleh membebani mereka lagi, terutama beban pikiran.
Setelah Mas Bram berangkat kerja, dan Mita pergi ke sekolah, kini di rumah hanya ada aku dan Mama juga Rania. Seperti biasa mengerjakan semua pekerjaan rumah termasuk mencuci semua pakaian kotor di rumah ini tugas yang tidak boleh kulupakan. Untungnya ada mesin cuci, kalau tidak entah apa yang akan terjadi padaku saat harus mencuci semua pakaian kotor milik kami bertiga juga Mama dan Mita.
Sebelum mencuci pakaian, aku terlebih dahulu memeriksa semua saku pakaian, takut ada uang receh yang ikut masuk ke dalam mesin cuci, saat memeriksa saku celana Mas Bram aku menemukan sebuah nota pembelian handpone baru. Di sana tertera dengan harga lima juta rupiah.
Handpone buat siapa, perasaan aku tidak melihat Mas Bram pake HP baru? Apa untuk Mita? Atau Mama? Hatiku bertanya-tanya, sementara kulihat dirumah ini tidak ada yang menggunakan HP baru. Lalu untuk siapa Mas Bram membeli ini?
Biar saja kusimpan siapa tau suatu saat nanti diperlukan. Mataku kembali membulat saat melihat sebuah alat kontrasepsi yang masih ada isinya, benda seperti ini aku pernah melihatnya iklan di tivi, aslinya baru kali ini. Untuk apa Mas Bram menggunakan ini perasaan kami tidak pernah menggunakan ini saat berhubungan.
Pikiranku semakin berkecamuk dan pertanyaan demi pertanyaan menari-nari di kepalaku. Namun, aku segera menepis praduga yang tidak-tidak. Barangkali ini bukan kepunyaan Mas Bram. Tetapi kenapa ada dalam saku celana Mas Bram? Bukankah ini aneh?
"Naya ... Itu cuciannya kenapa masih numpuk kayak gitu, belum kamu cuci?" teriak Mama dari arah dapur dekat tempat menyuci.
Aku yang tengah perang dengan pikiranku, terlonjak kaget mendengar teriakan Mama dan segera menyimpan benda-benda yang kutemukan di saku Mas Bram ke bawah bantal, dan buru-buru mendekati Mama.
"Kamu ngapain aja? Kamu tidur ya?" tanya Mama ketus.
Aku menggeleng, "Gak kok, Ma. Aku cuma ngambil cucian Mas Bram."
"Lama amat sih, ngambil gitu aja. Udah cepat beresin!"
"I-iya, Ma."
Sembari mencuci pikiranku kembali teringat tentang penemuan benda asing dan mencurigakan di saku celana Mas Bram tadi. 'Mas sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, dan apa yang sudah kamu lakukan di luar sana tanpa sepengetahuanku?'
Usai mencuci aku segera menjemurnya, rasanya pinggangku terasa mau patah. Lebih baik aku merehatkan diri sejenak di kursi taman belakang sembari menatap jemuran yang begitu banyak. Dari ujung pakaian yang menjuntai airnya pun mulai menetes, membasahi tanah.
Belum juga lima menit aku beristirahat Mama sudah berteriak lagi.
"Enak ya, malas-malasan, Mama heran dipelet apa Bram sama kamu hingga bisa nikah sama perempuan lelet kayak kamu," ucap Mama sembari berkecak pinggang. Entah yang keberapa kali hinaan demi hinaan yang terlontar dari mulut Mama. Seolah aku ini benda yang memang cocok untuk dihina.
"Ma-maaf, Ma. Aku cuma istirahat sebentar." Aku mencoba membela diri.
"Udah istirahatnya bisa nanti, itu di meja belum ada sayur yang matang satu pun sebentar lagi Mita pulang, Mama juga udah lapar!"
Aku memang belum masak, karena mencuci pakaian terlebih dulu, lagian nasi goreng pagi tadi masih ada. Ya sudahlah dari pada berdebat lebih baik aku mengalah saja, mungkin memang sudah nasibku.
Aku segera mengambil tas yang biasa kubawa ke pasar untuk membeli sayur. Biasanya aku membeli sayur untuk jatah beberapa hari. Kadang juga beli sayur yang keliling. Aku sengaja mengajak Rania takut mengagu Mama kalau ia bangun nanti.
Tiba di pasar aku segera membeli segala kebutuhan dapur untuk beberapa hari kedepan, saat tengah sibuk memilih kentang tiba-tiba orang-orang berlarian dengan wajah panik dan cemas ada juga yang beristighfar.
"Mbak ada apa, Mbak?" tanyaku ikut cemas, pada seorang perempuan yang juga ikut berlari ke arah jalan.
"Ada kecelakan, Mbak."
"Astagfirullahhaladzim," Kentang yang kupegang pun hampir terjatuh, aku segera mengakat tas belanjaan dan tubuh Rania dan mendekat ke sumber kecelakaan.
Semua orang sudah berkerumun, aku pun berusaha menerobos masuk diantara kerumunan melihat siapa yang kecelakaan, terdengar bisik-bisik bahwa kecelakaan korban tabrak lari. Saat melihat tubuh yang terkulai lemah, dan berlumur darah rasanya aku mau pingsan, namun setelah memperhatikan dengan seksama ternyata korban adalah seseorang yang kukenal, jantungku semakin berdegub kencang. Aku pun segera memeluk tubuh korban dan berteriak minta tolong.
Bersambung ..
Tiba di rumah sakit petugas dengan seragam serba putih dengan sigap segera menaikkan tubuh Oma Lastri ke atas brankar dan mendorongnya menuju ICU.Selama Oma di ICU aku menunggu dengan cemas, sembari memeluk tubuh Rania."Ma, Oma kenapa? Oma gak matikan?" tanya Rania tiba-tiba memecah keheningan.Aku tersenyum getir sambil mengelus rambut sepundaknya. "Kita doain ya semoga, Oma Lastri baik-baik saja." Aku kembali memeluk tubuh putriku."Maaf apa Ibu keluarga pasien?" Tiba-tiba seorang suster datang menghampiri kami."I-iya saya, Sus," jawabku gugup."Silahkan untuk mengurus administrasinya dibagian depan, biar korban bisa segera di tindak lanjuti untuk dilakukan operasi," jelas Suster Mila yang kuketahui namanya dari bed namenya."Tapi, Sus ....""Mari, Bu silahkan!" Suster Mila tersenyum ramah sembari mempersilahkan.Dengan perasaan berdebar aku pun mengikuti suster Mila menuju resepsionis. Tib
"Mas!" Lagi aku memanggil Mas Bram, tetapi yang dipanggil masih belum menyahut dan sibuk dengan ponsel pintar miliknya."Lagi chatan sama siapa sih? kayaknya asik banget." Aku sengaja mendekatkan wajahku ke depan wajahnya agar kali ini ia menyadari kedatanganku."Astagfirullahaladzim, Naya!" geram Mas Bram karena kaget, ponselnya hampir saja terjatuh. "Ngagetin aja, bisa gak sih yang sopan manggilnya." Mas Bram masih terlihat kesal, mungkin juga jantungnya kini tengah memompa lebih cepat dari biasanya.Aku menghela nafas lalu membuanganya dengan masygul. "Aku dari tadi udah manggil-manggil, Mas. Masnya aja yang gak dengar dan malah senyam-senyum. Memang chat sama siapa sih?" tanyaku penasaran.Mas Bram langsung kelihatan gelagapan, namun ia segera bisa menguasai dirinya. "Em, bukan siapa-siapa cuma teman." ia memaksakan senyumnya."Ya udah itu tehnya aku mau mandi dulu!""Em, ya mandi sana!" balasnya lalu kembali memainkan pons
"Memangnya kenapa sih, Mas? Kok kayak panik gitu?" Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan."Em, eh nggak apa-apa kok," kilahnya. Aku tau kalau Mas Bram tengah berbohong.Ternyata sedingin-dinginnya sikap seseorang kalau dalam keadaan salah tetap akan terlihat aura ketakutannya."Ya udah, Mas mau sarapan dulu!" ujar Mas Bram. Terlihat sekali Mas Bram menghindari percakapan.Aku melipatkan tangan di dada melihat kepergian Mas Bram menuju meja makan, dan tersenyum miring."Lihatlah, Mas sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepintar-pintar manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan bangakai yang kamu simpan saat ini mulai tercium." desisku.Aku pun segera membangunkan Rania, dan menyusul ke meja makan."Em, aku berangkat dulu!" ujar Mas Bram memecah keheningan."Kok buru-buru, Mas? Gak dihabisin dulu makanannya?" cercaku melihat gelagat Mas Bram yang terlihat aneh. Sementara
"Apa VIP?" tanyaku kaget, siapa yang melakukannya, apa keluarganya Oma? Siapa sebenarnya Oma Lastri?"Iya, Bu. Bu Lastri sudah dipindahkan ke VIP semalam," ucapnya ramah.Berarti setelah aku pulang, ada yang datang menjenguk Oma dan mengurus semuanya. Aku menghela nafas, syukurlah itu artinya keluarga Oma sudah ada di sini."Ayo, Ma kita temui Oma!" celetuk Rania tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i-iya, Sayang." Aku membalas ucapannya "Oh iya Kalau boleh tau, Bu Lastri di ruangan nomor berapa ya, Mbak?" tanyaku.Nisa kembali melihat ke layar komputer setelahnya menyebutkan nomor ruangan yang di tempati Oma."Bu Lastri di ruangan 203, Ibu lurus aja dari sini nanti ada belokan ke kanan, nah di situ ada tangga ibu langsung naik aja," jelasnya panjang lebar."Baik, Mbak terima kasih," balasku tersenyum dan kemudian langsung pergi sembari menggandeng tangan Rania.Untung sebelum ke sini sudah membel
"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya."Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea."I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku."Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani me
"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil."Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa."Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang."Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian."Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman."Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu."Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya."Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar."Alhamdulil
"Udah gak apa-apa, Mbak. Pake ini aja!" Di luar dugaan, Mas Bram malah berucap demikian sembari mengeluarkan kartu ATMnya dan memberikannya padaku. Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki masih tinggi, tentunya ia tidak ingin terlihat pelit di depan Abang dan Kakak iparnya. Dalam hati aku tersenyum, iyes.Tanpa menunggu lama aku segera mengambil kartu ATM dari tangan Mas Bram, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."Ya udah kalau gitu," balas Mbak Risa.Dengan kartu ATM ini, aku berencana membeli segala keperluan yang kemarin sempat tertunda gegara, Mas Bram membelikan ponsel untuk wanita si*lan itu. Kali ini aku akan membeli semua yang ku mau. Lihat saja Mas akan kukuras tabunganmu."Aku pamit dulu ya!" ucapku, Lalu bersiap melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket."Nay, Mbak ikut ya!" ujar Mbak Risa.Aku menoleh, lalu mengangguk dan tersenyum. Usai mengambil jaket aku kembali ke ruang tamu."Ayo, Mbak
Mendengar handle pintu kamar ditekan, buru-buru aku kembali menyembunyikan kartu ATMnya ke bawah bantal dan berpura-pura merapikan rambut yang sedikit memang berantakan. Ternyata Mas Bram yang masuk, ia mengernyitkan dahi melihat tingkahku, wajahnya masih nampak kesal, sementara aku masih dengan pura-pura menunjukkan wajah bersalah. Dengan cepat ia mengambil handuk yang menggantung dan berlalu masuk ke kamar mandi. Aku bernafas lega, untung saja tidak ketahuan, dan membuatnya curiga. Ah, Mas Bram andai saja sikapmu tidak seperti itu aku juga tidak akan menjadi seperti ini, tetapi kau yang dulu memulai permainan. Baiklah, Mas akan kuikuti permainan kalian. Sembari menunggu salat Asar aku merebahkan diri di samping Rania, sembari memikirkan rencana kedepannya. Harus siap dengan hal besar yang akan terjadi dalam rumah tanggaku, antara bertahan atau pergi, kelak akan menjadi sebuah pilihan yang harus kujalani. Kepala terasa begitu pening memikirkan semua
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi