"Mas!" Lagi aku memanggil Mas Bram, tetapi yang dipanggil masih belum menyahut dan sibuk dengan ponsel pintar miliknya.
"Lagi chatan sama siapa sih? kayaknya asik banget." Aku sengaja mendekatkan wajahku ke depan wajahnya agar kali ini ia menyadari kedatanganku.
"Astagfirullahaladzim, Naya!" geram Mas Bram karena kaget, ponselnya hampir saja terjatuh. "Ngagetin aja, bisa gak sih yang sopan manggilnya." Mas Bram masih terlihat kesal, mungkin juga jantungnya kini tengah memompa lebih cepat dari biasanya.
Aku menghela nafas lalu membuanganya dengan masygul. "Aku dari tadi udah manggil-manggil, Mas. Masnya aja yang gak dengar dan malah senyam-senyum. Memang chat sama siapa sih?" tanyaku penasaran.
Mas Bram langsung kelihatan gelagapan, namun ia segera bisa menguasai dirinya. "Em, bukan siapa-siapa cuma teman." ia memaksakan senyumnya.
"Ya udah itu tehnya aku mau mandi dulu!"
"Em, ya mandi sana!" balasnya lalu kembali memainkan ponselnya lagi.
Aku melangkah ke arah kamar mandi, lalu berbalik lagi, karena rasa penasaran akan penemuanku tadi siang membuatku tidak bisa lagi menunda untuk segera menanyakannya pada Mas Bram, semakin ditunda membuat pikiranku merasa terbeban. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, toh Mas Bram suamiku harusnya tidak ada yang ditutup-tutupinya, kecuali kalau sudah mulai berbelok, harus segera diluruskan
"Mas, apa ini punya, Mas?" Aku menunjukkan sebuah nota Hp yang kuambil di bawah bantal.
Mas Bram nampak terkejut "Dari mana kamu dapat itu?"
"Di saku celanamu, Mas waktu aku mau cuci pakaian kerja, Mas," jawabku.
Terlihat wajah Mas Bram nampak panik. "Em itu, itu punya Agung temannya, Mas." jawab Mas Bram dengan ekpresi yang terlihat aneh. Aku menautkan alis. "Ya kemarin, dia minta tolong, Mas untuk dibeliin Hp karena dianya sibuk, dan Mas lupa ngasih notanya." Menurutku alasan Mas Bram terdengar aneh ya sudahlah lebih baik aku percaya saja, orang kaya memang suka sibuk.
"Kalau ini?" tanyaku lagi dengan menunjukkan kotak alat kontrasepsi yang masih ada isinya.
Seketika wajah Mas Bram nampak pias, entah alasan apa kali ini yang akan dibuatnya. Sebab saat berhubungan Mas Bram tidak pernah menggunakan itu, lalu untuk apa ia membeli itu? Aku ingin mendengar jawabannya.
"Em itu, kalau itu punya Agung juga," Mas Bram terkekeh nampak sekali ia menutupi kegugupannya, dan tertawa yang dipaksakan. "Ya udahlah ngapain juga kamu sibuk ngurus hal kayak begituan, tadi katanya mau mandi. Cepat mandi sana!" ucap Mas Bram, lalu mengambil benda tersebut dari tanganku.
Entah kenapa perasaanku tidak enak, aku merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Mas Bram dariku. Baiklah, Mas aku percaya. Namun, jika terbukti kamu bermain di belakangku bersiaplah untuk hukumannya.
Aku pun segera masuk ke kamar mandi membersihkan diri yang sudah begitu terasa lengket campuran debu dan keringat, ditambah bau anyir bekas darah saat tubuh ini memeluk tubuh Oma waktu di pasar tadi.
Saat sedang mandi aku kepikiran Oma, besok bagaimana caranya aku harus kembali ke rumah sakit untuk melunasi sisa pembayarannya, aku belum memeriksa uang hasil tabunganku apakah cukup? Setidaknya aku punya perhiasan yang nantinya bisa kujual kalau kurang.
Usai mandi kulihat Mas Bram sudah tertidur dengan dengkuran halus sembari memegangi Hp, teh yang tadi kubuat juga tinggal sedikit lagi. Aku tersenyum, lamat-lamat aku memandangi wajahnya, gurat lelah begitu kentara di wajah sawo matangnya. Aku segera menarik selimut diujung kaki hingga menutupi dadanya.
Tiba-tiba ponselnya berdering, sebuah notif dari aplikasi hijau masuk, dengan nomor baru. Karena penasaran aku pun mengambil ponsel Mas Bram dan mengeceknya.
Mataku terbelalak, saat membaca sebuah pesan dari nomor baru yang mungkin sengaja tidak di simpan Mas Bram.
[Mas makasih ya untuk hadiah hp barunya] yang diakhiri dengan emotion love.
Apa? jadi Mas Bram bohong soal nota hp itu? Aku kembali menelurusi pesan-pesan lainnya, rasanya jantungku mau copot melihat chat-chat mesra Mas Bram dan perempuan yang belum kuketahui siapa namanya.
Tanpa menunggu, aku segera mengambil ponsel milikku dan menyimpan nomor tersebut ke dalamnya, tidak lupa untuk menyadap pesan WA Mas Bram, tidak sia-sia selama ini aku sering nonton drama indos*ar aku menangis, dan juga cerita emak-emak di grup-grup KBM yang juga katanya mirip cerita ik*n terbang, setidaknya aku bisa belajar cara menghadapi suami tipe begini, dengan elegan.
Dengan nafas yang masih terengah-ngeah aku mengembalikan ponsel milik Mas Bram ke dalam pelukannya agar tidak ada kecurigaan. Dadaku begitu terasa sesak. Mengetahui kebenaran ini.
Aku segera berbaring, di antara kami ada Rania yang sudah tertidur pulas. hati dan pikiranku begitu gelisah hingga membuatku sulit untuk tidur, memikirkan rencana apa yang harus kulakukan jika sampai terbukti kalau Mas Bram bermain gila di belakangku.
Malam semakin larut, namun mataku tetap enggan terpejam, kulirik jam di atas nakas pukul 12 lebih lima sembilan. Akhirnya aku memutuskan untuk salat tahajud memohon petunjuk dari semua masalah ini, tanpa sadar akhirnya aku tertidur di atas sejadah.
***
Pagi-pagi sekali usai salat subuh aku sudah sibuk di dapur. Menyiapakan sarapan untuk kami semua, sebagai menantu aku cukup tau diri untuk mengerjakan ini semua, mengingat Mama tidak lagi muda, dan Mita masih sekolah.
Aku tidak keberatan mengerjakan ini semua andai Mama dan Mita bisa sedikit saja menghargai keberadaanku mungkin aku malah akan merasa senang mengerjakannya, ditambah lagi sikap Mas Bram yang cuek, membuatku merasa tertekan. Tetapi, bukankah menggerutu akan membuat beban semakin berat, lebih baik berusaha untuk menerima dan sabar selagi masih di batas wajar.
"Dek, tadi malam kamu buka ponsel, Mas?" tanya Mas Bram saat aku kembali ke kamar.
"Tidak, memangnya kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura.
"Em, gak apa-apa." jawabnya terlihat kikuk, dan menggaruk kepalanya. Mungkin Mas Bram merasa aneh mendaati pesan baru yang telah berubah centang biru.
Aku ingin melihat seberapa pintar kamu menyimpan bangkai, Mas?
Bersambung ...
"Memangnya kenapa sih, Mas? Kok kayak panik gitu?" Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan."Em, eh nggak apa-apa kok," kilahnya. Aku tau kalau Mas Bram tengah berbohong.Ternyata sedingin-dinginnya sikap seseorang kalau dalam keadaan salah tetap akan terlihat aura ketakutannya."Ya udah, Mas mau sarapan dulu!" ujar Mas Bram. Terlihat sekali Mas Bram menghindari percakapan.Aku melipatkan tangan di dada melihat kepergian Mas Bram menuju meja makan, dan tersenyum miring."Lihatlah, Mas sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepintar-pintar manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan bangakai yang kamu simpan saat ini mulai tercium." desisku.Aku pun segera membangunkan Rania, dan menyusul ke meja makan."Em, aku berangkat dulu!" ujar Mas Bram memecah keheningan."Kok buru-buru, Mas? Gak dihabisin dulu makanannya?" cercaku melihat gelagat Mas Bram yang terlihat aneh. Sementara
"Apa VIP?" tanyaku kaget, siapa yang melakukannya, apa keluarganya Oma? Siapa sebenarnya Oma Lastri?"Iya, Bu. Bu Lastri sudah dipindahkan ke VIP semalam," ucapnya ramah.Berarti setelah aku pulang, ada yang datang menjenguk Oma dan mengurus semuanya. Aku menghela nafas, syukurlah itu artinya keluarga Oma sudah ada di sini."Ayo, Ma kita temui Oma!" celetuk Rania tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i-iya, Sayang." Aku membalas ucapannya "Oh iya Kalau boleh tau, Bu Lastri di ruangan nomor berapa ya, Mbak?" tanyaku.Nisa kembali melihat ke layar komputer setelahnya menyebutkan nomor ruangan yang di tempati Oma."Bu Lastri di ruangan 203, Ibu lurus aja dari sini nanti ada belokan ke kanan, nah di situ ada tangga ibu langsung naik aja," jelasnya panjang lebar."Baik, Mbak terima kasih," balasku tersenyum dan kemudian langsung pergi sembari menggandeng tangan Rania.Untung sebelum ke sini sudah membel
"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya."Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea."I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku."Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani me
"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil."Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa."Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang."Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian."Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman."Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu."Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya."Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar."Alhamdulil
"Udah gak apa-apa, Mbak. Pake ini aja!" Di luar dugaan, Mas Bram malah berucap demikian sembari mengeluarkan kartu ATMnya dan memberikannya padaku. Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki masih tinggi, tentunya ia tidak ingin terlihat pelit di depan Abang dan Kakak iparnya. Dalam hati aku tersenyum, iyes.Tanpa menunggu lama aku segera mengambil kartu ATM dari tangan Mas Bram, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."Ya udah kalau gitu," balas Mbak Risa.Dengan kartu ATM ini, aku berencana membeli segala keperluan yang kemarin sempat tertunda gegara, Mas Bram membelikan ponsel untuk wanita si*lan itu. Kali ini aku akan membeli semua yang ku mau. Lihat saja Mas akan kukuras tabunganmu."Aku pamit dulu ya!" ucapku, Lalu bersiap melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket."Nay, Mbak ikut ya!" ujar Mbak Risa.Aku menoleh, lalu mengangguk dan tersenyum. Usai mengambil jaket aku kembali ke ruang tamu."Ayo, Mbak
Mendengar handle pintu kamar ditekan, buru-buru aku kembali menyembunyikan kartu ATMnya ke bawah bantal dan berpura-pura merapikan rambut yang sedikit memang berantakan. Ternyata Mas Bram yang masuk, ia mengernyitkan dahi melihat tingkahku, wajahnya masih nampak kesal, sementara aku masih dengan pura-pura menunjukkan wajah bersalah. Dengan cepat ia mengambil handuk yang menggantung dan berlalu masuk ke kamar mandi. Aku bernafas lega, untung saja tidak ketahuan, dan membuatnya curiga. Ah, Mas Bram andai saja sikapmu tidak seperti itu aku juga tidak akan menjadi seperti ini, tetapi kau yang dulu memulai permainan. Baiklah, Mas akan kuikuti permainan kalian. Sembari menunggu salat Asar aku merebahkan diri di samping Rania, sembari memikirkan rencana kedepannya. Harus siap dengan hal besar yang akan terjadi dalam rumah tanggaku, antara bertahan atau pergi, kelak akan menjadi sebuah pilihan yang harus kujalani. Kepala terasa begitu pening memikirkan semua
Mas Bram pun keluar dari kamar mandi, dengan rambut yang basah. Tergesa aku kembali menaruh ATMnya ke bawah bantal, lalu berpura-pura kembali bersikap seperti biasa, sambil merapikan tempat tidur."Dek, jadi gimana kartu ATM, Mas udah ketemu?" tanya Mas Bram sembari menyisir rambutnya kebelakang.Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap ke arah Mas Bram. "Belum, Mas." ucapku pura-pura sedih, dan menyesal karena telah menghilangkan kartu ATM milik Mas Bram. Dalam hati aku tengah merencanakan sesuatu.Terdengar Mas Bram menghela nafas. "Coba kamu ingat-ingat dimana kamu naruhnya, kartu ATM itu sangat penting buat, Mas," tegas Mas Bram, jelas sekali wajahnya sangat mengkhawatirkan kartu ATMnya entah karena isinya atau takut perempuan su*dal itu ngambek karena tidak dapat transferan.Tentu saja penting, karena perempuan itu, bukan? Tentu saja itu kukatan dalam hati."Iya, Mas ini juga dari kemarin kucari-cari," balasku berpura-pura sibuk mengangakat-
"Hallo, Ibu Naya ini saya Bayu asistennya Bu Lastri," sapanya dari ujung ponsel."Iya, Pak Bayu ada apa?" tanyaku balik."Bisakah, Anda ke rumah sakit sekarang? Bu Lastri ingin bertemu!""Baik, Pak saya akan kesana. Tapi, saya mau izin suami dulu, dan siap-siap," jawabku."Baik, Bu. Terima kasih."Sambungan telpon pun terputus, aku segera mencari nama Mas Bram dalam daftar kontak 'My Husband' untuk meminta izin.[Assalamualaikum, Mas saya minta izin keluar] pesan pun terkirim dengan centang dua. Selama menunggu balasan dari Mas Bram sebaiknya aku mandi saja dulu.Aku kembali meletakkan ponsel dan berlalu menuju kamar mandi. Usai mandi aku segera keluar untuk bertukar pakaian yang sengaja tidak kubawa ke kamar mandi.Sembari mengeringkan rambut, aku mengecek ponsel melihat pesan balasan dari, Mas Bram.[Iya] hanya itu balasannya, tidak ada kata tanya kemana dan sama siapa. Apa karena Mas Bram begitu sibu
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi