Mendengar handle pintu kamar ditekan, buru-buru aku kembali menyembunyikan kartu ATMnya ke bawah bantal dan berpura-pura merapikan rambut yang sedikit memang berantakan. Ternyata Mas Bram yang masuk, ia mengernyitkan dahi melihat tingkahku, wajahnya masih nampak kesal, sementara aku masih dengan pura-pura menunjukkan wajah bersalah.
Dengan cepat ia mengambil handuk yang menggantung dan berlalu masuk ke kamar mandi. Aku bernafas lega, untung saja tidak ketahuan, dan membuatnya curiga.
Ah, Mas Bram andai saja sikapmu tidak seperti itu aku juga tidak akan menjadi seperti ini, tetapi kau yang dulu memulai permainan. Baiklah, Mas akan kuikuti permainan kalian.
Sembari menunggu salat Asar aku merebahkan diri di samping Rania, sembari memikirkan rencana kedepannya. Harus siap dengan hal besar yang akan terjadi dalam rumah tanggaku, antara bertahan atau pergi, kelak akan menjadi sebuah pilihan yang harus kujalani.
Kepala terasa begitu pening memikirkan semua
Mas Bram pun keluar dari kamar mandi, dengan rambut yang basah. Tergesa aku kembali menaruh ATMnya ke bawah bantal, lalu berpura-pura kembali bersikap seperti biasa, sambil merapikan tempat tidur."Dek, jadi gimana kartu ATM, Mas udah ketemu?" tanya Mas Bram sembari menyisir rambutnya kebelakang.Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap ke arah Mas Bram. "Belum, Mas." ucapku pura-pura sedih, dan menyesal karena telah menghilangkan kartu ATM milik Mas Bram. Dalam hati aku tengah merencanakan sesuatu.Terdengar Mas Bram menghela nafas. "Coba kamu ingat-ingat dimana kamu naruhnya, kartu ATM itu sangat penting buat, Mas," tegas Mas Bram, jelas sekali wajahnya sangat mengkhawatirkan kartu ATMnya entah karena isinya atau takut perempuan su*dal itu ngambek karena tidak dapat transferan.Tentu saja penting, karena perempuan itu, bukan? Tentu saja itu kukatan dalam hati."Iya, Mas ini juga dari kemarin kucari-cari," balasku berpura-pura sibuk mengangakat-
"Hallo, Ibu Naya ini saya Bayu asistennya Bu Lastri," sapanya dari ujung ponsel."Iya, Pak Bayu ada apa?" tanyaku balik."Bisakah, Anda ke rumah sakit sekarang? Bu Lastri ingin bertemu!""Baik, Pak saya akan kesana. Tapi, saya mau izin suami dulu, dan siap-siap," jawabku."Baik, Bu. Terima kasih."Sambungan telpon pun terputus, aku segera mencari nama Mas Bram dalam daftar kontak 'My Husband' untuk meminta izin.[Assalamualaikum, Mas saya minta izin keluar] pesan pun terkirim dengan centang dua. Selama menunggu balasan dari Mas Bram sebaiknya aku mandi saja dulu.Aku kembali meletakkan ponsel dan berlalu menuju kamar mandi. Usai mandi aku segera keluar untuk bertukar pakaian yang sengaja tidak kubawa ke kamar mandi.Sembari mengeringkan rambut, aku mengecek ponsel melihat pesan balasan dari, Mas Bram.[Iya] hanya itu balasannya, tidak ada kata tanya kemana dan sama siapa. Apa karena Mas Bram begitu sibu
"Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Bram dengan sinis sembari melipatkan tangan di depan dada, saat jarak kami sudah berdekatan."Dari rumah sakit, Mas jengukin Oma yang kemarin aku ceritain," jawabku apa adanya. Lalu menyuruh Rania masuk terlebih dahulu, Rania pun menurut."Siapa laki-laki tadi, kenapa kalian begitu terlihat akrab?" Mas Bram bertanya penuh intimidasi."Bukan siapa-siapa, Mas!" jawabku jujur."Jangan bohong, kamu. Itu pasti selingkuhan kamu, 'kan?" Suara Mas Bram naik beberapa oktaf."Mas ...," teriakku tak terima karena tuduhannya. Bagaimana bisa Mas Bram berkata demikian, sementara di belakangku dialah yang sebenarnya telah berselingkuh, dan sekarang malah menuduhku."Udah jangan ngelak kamu, itu buktinya apa?" Mas Bram menunjuk paper bag yang kupegang.Aku semakin tergeragap dengan perkataan Mas Bram, antara marah dan bingung mau jawab apa. "Hem, gak bisa jawabkan kamu, ternyata d
"Mbak, Mbak gak apa-apa?" tanya seorang laki-laki sambil menepuk pundakku pelan. Aku masih menutup wajahku dengan kedua tangan. Gara-gara menyeberang sambil melamun aku hampir saja ketabrak, dan sekarang terduduk lemas di tengah jalan beraspal. Rasanya begitu syok."Mbak!" Laki-laki itu kembali memanggil.Aku pun perlahan menurunkan tangan yang menutupi wajah, nafasku rasanya masih tersengal."Lho, Ibu Naya?" Lelaki itu begitu terdengar kaget aku menurunkan tanganku, sementara aku masih berusaha menetralisirkan perasaan yang masih berdebar gara-gara terkejut. Namun, seketika aku pun mendongak saat namaku disebut."P-pak, Bayu," ucapku tak kalah kaget, saat menyadari laki-laki yang hampir saja menabrakku ternyata adalah Pak Bayu. Aku pun segera bangkit."Ibu mau kemana malam-malam begini?" tanyanya penasaran. Aku masih bergeming bingung mau jawab apa."Itu, Ibu bawa-bawa tas segala, apa Ibu mau pergi ke rumah saudara?" Pak Bayu kembali
Sudah dua hari aku pergi dari rumah, tepatnya terpaksa pergi, dan menemani Oma di rumah sakit. Sementara Oma baru diperbolehkan pulang besok."Kondisi, Ibu sudah lebih baik. Sepertinya besok sudah bisa pulang. Sekarang lebih baik banyak istirahat!" ucap seorang Dokter yang menangani Oma.Oma tersenyum ke arahku mendengar penjelasan dokter Irfan, yang mengatakan kalau besok Oma sudah bisa pulang."Alhamdulillah," ucapku sambil menggengam tangan Oma, rasanya bahagia akhirnya Oma bisa pulang."Terima kasih, Dok," ucap Oma pada Dokter Irfan.Dokter Irfan pun tersenyum, "Sama-sama, Bu kalau begitu saya permisi dulu,"Setelah Dokter Irfan keluar, aku segera menyuruh Oma istirahat."Sebaiknya Oma istirahat saja dulu, jangan banyak gerak, Naya mau pamit keluar sebentar." Biasanya pagi-pagi aku mendorong Oma duduk di kursi roda keluar menghirup udara segar di taman belakang rumah sakit."Mau kemana?" tanya Oma dengan wajah penasaran.
Kenapa ada Ibu sama Bapak di sini? Apa Oma sudah menceritakan semuanya? Bagaimana ini padahal aku selalu saja menutupi semuanya, agar Ibu dan Bapak tidak tau masalahku hingga membuat mereka sedih. Apa Oma sengaja merencanakan ini semua? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Perasaan sedih, kesal dan lainnya seketika bercampur menjadi satu."Naya, sini, Nak!" ucap Oma sembari tersenyum lebar.Pelan aku melangkah mendekat ke arah Ibu dan Bapak, tanpa mempedulikan Oma. Rasa penasaran sungguh tidak bisa kusembunyikan."Ibu, Bapak kok bisa ada di sini?" tanyaku sembari menyambut tangan keduanya lalu menciumnya dengan takzim.Mata Ibu langsung berkaca-kaca, Bapak pun terlihat menyeka sudut matanya. Ada apa ini? Apa mereka sudah tau tentang permasalahanku dengan Mas Bram?"Ibu, Bapak maafin, Naya kalau buat Ibu sama Bapak sedih," ucapku seraya menggenggam tangan keduanya."Ibu, sama Bapak yang harusnya minta maaf karena ...." Ibu sema
"Nay, kamu dengar, Ibu gak?" tanya Ibu sembari menepuk pelan tanganku, membuyarkanku dari lamunan."Eh, iya de-dengar kok, Bu. Em itu, anu Mas Bramnya sibuk kerja," kilahku.Terlihat Ibu menghela nafas lega. "Oh gitu. Syukurlah Ibu pikir ada apa," ucap Ibu, lalu tersenyum.Aku pun ikut memaksa untuk tersenyum. "Oh iya, gimana caranya Ibu dan Bapak bisa sampai ke sini?" tanyaku penasaran menatap Ibu dan Bapak secara bergantian."Ibu sama Bapak dijemput, Pak Bayu," jawab Ibu singkat."Iya, Oma yang suruh mencari keberadaan orang tuamu, karena waktu pertama kali kita bertemu di pesta itu Oma merasa tidak asing denganmu, dan merasa ada ikatan batin, makanya Oma menyuruh orang suruhan Oma untuk menyelidiki tentangmu, dan orang tuamu," jawab Oma panjang lebar.Aku tidak tau kalau selama ini ternyata Oma mencari tau tentang latar belakang kehidupanku.***Hari ini Ibu dan Bapak akan pulang ke kampung halaman Ibu. Dengan berat hati aku
Aku yakin itu pasti selingkuhannya, Mas Bram. Hem, kuakui modis dan cantik memang, sangat berbeda jauh denganku. Apa cuma karena make up? Ah entahlah, yang jelas aku harus jaga jarak jangan sampai Mas Bram melihatku.Aku sudah tidak konsen mencari tas yang kumau, dan hanya berpura-pura memilih-memilah karena terus mengawasi pergerakan Mas Bram dan perempuan itu, tanganku tak sengaja meremas tas yang kupegang karena geram melihat kemesraan mereka, hingga membuat Mas Bram melihat kearahku. Namun, aku segera berpaling agar tidak ketahuan.Kulihat mereka melangkah menuju kasir, Sepertinya mereka sudah menemukan barangnya. Lalu, kemudian pergi lagi sepertinya ada yang ketinggalan.Aku tidak boleh diam, dan harus melakukan sesuatu. Aku segera memanggil Nisa, menyuruhnya untuk membeli tas yang sama seperti perempuan itu, jika perlu bayar dua kali lipat."Maaf, Mbak model tas seperti ini stoknya terbatas dan hanya tinggal ini, dan Mbak itu sudah lebih dulua
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi