Sudah dua hari aku pergi dari rumah, tepatnya terpaksa pergi, dan menemani Oma di rumah sakit. Sementara Oma baru diperbolehkan pulang besok.
"Kondisi, Ibu sudah lebih baik. Sepertinya besok sudah bisa pulang. Sekarang lebih baik banyak istirahat!" ucap seorang Dokter yang menangani Oma.
Oma tersenyum ke arahku mendengar penjelasan dokter Irfan, yang mengatakan kalau besok Oma sudah bisa pulang.
"Alhamdulillah," ucapku sambil menggengam tangan Oma, rasanya bahagia akhirnya Oma bisa pulang.
"Terima kasih, Dok," ucap Oma pada Dokter Irfan.
Dokter Irfan pun tersenyum, "Sama-sama, Bu kalau begitu saya permisi dulu,"
Setelah Dokter Irfan keluar, aku segera menyuruh Oma istirahat.
"Sebaiknya Oma istirahat saja dulu, jangan banyak gerak, Naya mau pamit keluar sebentar." Biasanya pagi-pagi aku mendorong Oma duduk di kursi roda keluar menghirup udara segar di taman belakang rumah sakit.
"Mau kemana?" tanya Oma dengan wajah penasaran.
Kenapa ada Ibu sama Bapak di sini? Apa Oma sudah menceritakan semuanya? Bagaimana ini padahal aku selalu saja menutupi semuanya, agar Ibu dan Bapak tidak tau masalahku hingga membuat mereka sedih. Apa Oma sengaja merencanakan ini semua? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Perasaan sedih, kesal dan lainnya seketika bercampur menjadi satu."Naya, sini, Nak!" ucap Oma sembari tersenyum lebar.Pelan aku melangkah mendekat ke arah Ibu dan Bapak, tanpa mempedulikan Oma. Rasa penasaran sungguh tidak bisa kusembunyikan."Ibu, Bapak kok bisa ada di sini?" tanyaku sembari menyambut tangan keduanya lalu menciumnya dengan takzim.Mata Ibu langsung berkaca-kaca, Bapak pun terlihat menyeka sudut matanya. Ada apa ini? Apa mereka sudah tau tentang permasalahanku dengan Mas Bram?"Ibu, Bapak maafin, Naya kalau buat Ibu sama Bapak sedih," ucapku seraya menggenggam tangan keduanya."Ibu, sama Bapak yang harusnya minta maaf karena ...." Ibu sema
"Nay, kamu dengar, Ibu gak?" tanya Ibu sembari menepuk pelan tanganku, membuyarkanku dari lamunan."Eh, iya de-dengar kok, Bu. Em itu, anu Mas Bramnya sibuk kerja," kilahku.Terlihat Ibu menghela nafas lega. "Oh gitu. Syukurlah Ibu pikir ada apa," ucap Ibu, lalu tersenyum.Aku pun ikut memaksa untuk tersenyum. "Oh iya, gimana caranya Ibu dan Bapak bisa sampai ke sini?" tanyaku penasaran menatap Ibu dan Bapak secara bergantian."Ibu sama Bapak dijemput, Pak Bayu," jawab Ibu singkat."Iya, Oma yang suruh mencari keberadaan orang tuamu, karena waktu pertama kali kita bertemu di pesta itu Oma merasa tidak asing denganmu, dan merasa ada ikatan batin, makanya Oma menyuruh orang suruhan Oma untuk menyelidiki tentangmu, dan orang tuamu," jawab Oma panjang lebar.Aku tidak tau kalau selama ini ternyata Oma mencari tau tentang latar belakang kehidupanku.***Hari ini Ibu dan Bapak akan pulang ke kampung halaman Ibu. Dengan berat hati aku
Aku yakin itu pasti selingkuhannya, Mas Bram. Hem, kuakui modis dan cantik memang, sangat berbeda jauh denganku. Apa cuma karena make up? Ah entahlah, yang jelas aku harus jaga jarak jangan sampai Mas Bram melihatku.Aku sudah tidak konsen mencari tas yang kumau, dan hanya berpura-pura memilih-memilah karena terus mengawasi pergerakan Mas Bram dan perempuan itu, tanganku tak sengaja meremas tas yang kupegang karena geram melihat kemesraan mereka, hingga membuat Mas Bram melihat kearahku. Namun, aku segera berpaling agar tidak ketahuan.Kulihat mereka melangkah menuju kasir, Sepertinya mereka sudah menemukan barangnya. Lalu, kemudian pergi lagi sepertinya ada yang ketinggalan.Aku tidak boleh diam, dan harus melakukan sesuatu. Aku segera memanggil Nisa, menyuruhnya untuk membeli tas yang sama seperti perempuan itu, jika perlu bayar dua kali lipat."Maaf, Mbak model tas seperti ini stoknya terbatas dan hanya tinggal ini, dan Mbak itu sudah lebih dulua
Hari ini aku akan datang ke kantor bersama Oma. Tetapi, tentunya sebelum itu aku harus ke salon terlebih dahulu, Oma ingin aku terlihat cantik sebagai cucu satu-satunya, sekaligus penerus Hanggara grup.Kata Oma Hanggara adalah nama Papa, sementara Mami bernama Dewi. Nama yang bagus menerutku.Sebelum berangkat kami sarapan terlebih dahulu, kalau biasanya di rumah Mas Bram aku harus bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan, berbeda saat berada di rumah Oma. Saat bangun, semua sudah terhidang dengan rapi, dan tinggal makan.Pagi-pagi sekali Nisa sudah datang saat kami tengah sarapan."Selamat pagi, Bu. Mbak Naya!" sapanya sembari mengulas senyum hingga menampakkan lesung pipinya."Pagi, Nis," balasku. "Ayo sarapan dulu!""Saya sudah sarapan, Mbak," tolaknya.Usai sarapan aku bersiap-siap untuk pergi ke salon bersama Oma juga Nisa."Sayang, Mama pergi dulu ya! Rania jangan nakal sama Bi Sari," pamitku pada Rania."Iya
"Mau apa lagi kamu datang ke sini?" tanya Mama ketus, sembari berkecak pinggang melihat ke arahku dan Rania. Tidakkah Mama ada perasaan iba terhadap cucunya ini? Sehingga dengan ketusnya bertanya demikian.Aku hanya tertunduk tidak menjawab, dan pura-pura sedih. Karena tidak ada tempat untuk pulang, dan menyuruh Rania untuk masuk, tidak baik anak kecil mendengar orang tua teriak-teriak."Heh! Mama tanya malah diam aja bukannya dijawab! Kamu budeg?""Ada apa sih, Ma?" Mita muncul dari dalam mendengar Mama teriak-teriak."Itu lihat Kakak, iparmu yang tak tau diri datang lagi!"Mata mita terbelalak menatap ke arahku, seketika aku menyadari kalau ternyata aku lupa mengganti pakaian dan menghapus riasan di wajahku, gawat. Namun, secepat mungkin Mita bisa menguasai dirinya dari rasa takjub melihat penampilanku, lalu terkekeh."Itu ngapain pake dandan segala, mau bermimpi jadi orang kaya? Atau mau berpura-pura kayak di cerita-cerita KBM itu,
"Ng-ngapain juga, Mbak bohong," ucapku berusaha tenang. "Kalau kamu mau kamu bisa jadi pembantu kayak, Mbak!" sambungku lagi. "Apa Mbak? Jadi pembantu kayak, Mbak?" tanya Mita, mungkin tidak percaya akan tawaranku. Aku mengangguk, "Iya, kalau kamu mau, Mbak bisa ngomong sama majikan, Mbak." "Apa, Mbak gak salah ngomong nawarin aku jadi pembantu? Sorry ya, Mbak tampang kayak aku ini lebih cocoknya jadi bintang iklan," jawab Mita percaya diri. "Ya itu terserah kamu. Bagi, Mbak sih mau kerja apa aja yang penting gajinya besar," ucapku pura-pura cuek, aku yakin setelah ini mereka akan bertanya tentang gajiku. "Halah, mana ada pembantu gajinya gede!" "Memang berapa gajimu, berani nawarin Mita jadi pembantu?" tanya Mama dengan nada sombong. "Gak terlalu besar sih, Ma. Cuma 12 juta perbulan," jawabku asal, karena saat ini uang segitu bukan masalah bagiku. Kompak Mita dan Mama pun terbahak mendengar jawabanku yang terdeng
"M-mas, Bram," ucapku tergagap melihat kedatangannya tiba-tiba."Udahlah, Nay ngapain kamu bohongin Mama sama Mita, sok-sokan jadi pembantu dengan gaji 12 juta?" tegas Mas Bram.Seketika Mama dan Mita menatap tajam kearahku."Kemarin kamu bilang ATM Mas hilang, tapi ternyata kamu sengaja menyembunyikannya dan memindahkan sebagian saldonya kerekeningmu, untungnya aku segera mengurusnya," ucap Mas Bram sambil melipatkan tangan di depan dada."Apa benar, Nay?" tanya Mama.Aku hanya menunduk diam tak menyahuti."Mas gak nyangka kalau, istri Mas pencuri uang suami sendiri.""A-aku, cu-cuma ...." Mas Bram segera memotong kalimatku."Kalau, Mas mau, Mas bisa saja melaporkan tindakkanmu ke polisi," ancamnya.Seketika membuatku mendongak, dan menatap kearahnya."Ja-jangan! Mas," ucapku pura-pura mengiba."Jadi uang yang kamu kasih sama aku dan Mama uang, Mas Bram?" tanya Mita geram.Aku hanya diam, tidak menj
"Naya, apa yang kamu lakukan sama, Meira?" tanya Mas Bram dengan suara meninggi.Seketika Meira bangkit dan memegang pergelangan tangan Mas Bram."Mas, aku takut, Mas. Naya bilang aku tidak boleh nginap di sini, dan dekat-dekat sama Mas Bram," ucapnya sambil terisak. Waw pintar sekali aktingnya padahal aku sama sekali tidak berucap demikian."Naya, keterlaluan kamu!" ucap Mas Bram geram. "Meira ini tamu kita, harusnya kamu bersikap baik padanya!""Mas, a-aku cuma ....""Sudahlah, Nay! Alasan apa lagi yang akan kamu katakan semuanya sudah jelas. Mas lihat sendiri kamu yang membuat, Meira terjatuh.""Tapi, Mas, Meira yang duluan," jawabku tak mau kalah."Mas aku takut, Mas," Meira semangkin mencengkaram tangan Mas Bram, berpura-pura ketakutan."Hentikan, Meira! Apa yang kamu lakukan tidak perlu bersandiwara!" Bentakku geram melihat tingkahnya yang membuatku naik darah, aku pun menarik tangannya agar melepaskan Mas Bram."N
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."
"Bentar ya, Nis! Saya angkat telpon dulu!""Cie yang ditelpon my sweet," goda Nisa saat aku permisi akan mengangkat telpon, namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum."Assalamualaikum, iya ada apa, Wa?" tanyaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, sibuk gak?""Gak, nih baru habis meeting, dan mau makan sama, Nisa," jawabku sambil menoleh ke arah Nisa yang tidak jauh dariku."Ok, aku jemput kalian!""Em, kita ketemuan aja di tempat makan biasa," usulku."Ya udah kalau gitu, Assalamualaikum," ucap Dewa mengakhiri percakapan. Aku pun membalas salamnya dan mematikan ponsel.Aku dan Nisa pun langsung pergi menuju parkiran, lalu meluncur menuju tempat yang telah di janjikan bersama, Dewa."Mbak, emangnya gak apa-apa aku ikut? Gak ganggu?" tanya Nisa saat di dalam mobil."Apaan sih, Nis kamu itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, jadi santai aja."Mendengar jawabanku, Nisa pun tersenyum. "
"Apa yang sedang kalian rencanakan?" tegasku, dengan menahan emosi, membuat wajah gadis itu semakin terlihat ciut."Bu-bu, Na-naya." Mita tergugup memyebutkan namaku. Sementara lelaki itu diam membisu, ia tertunduk. Langkahku semakin mendekat ke arah mereka."Ki-kita gak merencanakan apa-apa kok, Bu. Mungkin, Ibu salah dengar," ucap lelaki bernama Ammar itu membela."Diam kamu!" Bentakku dengan keras, membuat tubuhnya sedikit terlonjak."Aku sudah mendengar semuanya, dan kau! saya tidak menyangka kamu melakukan semua ini, aku pikir kamu sudah berubah," ucapku menunding wajah gadis yang masih berdiri tidak jauh dari Ammar."Saya bisa jelaskan semuanya, Bu. Semua ini salah paham," ucap Mita. Namun, aku tidak mempedulikannya."Aku bisa saja melaporkan kalian ke polisi dengan kasus tidak menyenangkan," ancamku penuh penekanan.Seketika Mita langsung memegang pergelangan tanganku memohon dan mengiba agar aku memaafkan kesalahannya.
Hari ini aku kembali bekerja seperti biasanya. Namun, pikiran tidak bisa konsentrasi, karena mengingat sikap mamanya, Dewa yang begitu terasa dingin terhadapku. Sejak tadi pagi sampai menjelang siang beberapa kali berkas yang kubuat salah, hingga terpaksa mengulang lagi.Setelah merasa terus-terusan salah, sejenak aku menenangkan diri bersandar di kepala kursi, dengan segelas air putih. Nampaknya butuh minuman coklat biar sedikit lebih rileks. Dengan segera aku mengambil gagang telpon dan menelpon bagian OB untuk minta di buatkan minuman coklat hangat.Tidak lama kemudian pesananku datang. "Ini coklat hangatnya, Bu," ucap salah satu OB kantor, Rina namanya."Oh iya, taruh saja di situ!" Aku menunjuk bagian ujung meja yang masih kosong.Dengan telaten Rina pun menaruh minumannya. "Terima kasih," ucapku sembari mengulas senyum.Rina pun mengangguk, lalu pamit keluar. Aku pun membalasnya dengan anggukan.Begitu minum coklat hangat, pikiran sedi