"Minumlah!" tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah minuman ke arahku.
Ragu-ragu aku mengambil gelas yang berisi minuman tersebut.
"Te-terima kasih, Bu!"
"Jangan sungkan. Panggil saja Oma Lastri." Ia meneguk air yang berada dalam gelasnya. Lalu menatapku dengan tersenyum.
"Oma lihat kamu nampak bingung? Kenapa? Maaf kalau pertanyaan Oma lancang."
Aku terdiam sejenak, apa mungkin aku kelihatan bingung, mungkin iya lantaran aku tidak terbiasa di tempat seperti ini, semua orang terlihat begitu cantik dan elegan, sementara aku ... Tentunya berbeda jauh.
"Nak, kenapa diam?" tanya Oma Lastri mebuyarkan lamunan.
"Em, eh gak kok, Oma. Aku cuma merasa asing saja berada di sini." ucapku dengan perasaan canggung.
"Oh iya siapa namamu?"
"Naya Putri, Oma."
"Oh, jadi Nak Naya pergi ke sini sama siapa?"
"Em, sama suami, Ibu mertua juga adik ipar."
"Lalu kemana mereka?"
Aku hanya menggeleng pelan bingung mau jawab apa, bagaiamana pun mereka adalah suami dan keluarga bagiku, jadi tidak mungkin aku mengatakan kalau sebenarnya mereka tidak mau aku dekat-dekat mereka.
"Jangan canggung, nikmati pestanya anggap saja pesta kamu sendiri!"
"I-iya, Oma." Aku tersenyum canggung, entah bagaimana caranya aku harus menikmati pesta ini, sementara menatap diriku sendiri, seketika rasa percaya diri hilang karena penampilan yang, kurasa paling berbeda.
Pesta ini sungguh sangat meriah, setelah siang tadi akad, malamnya resepsi. Sepertinya benar-benar pesta kelas orang elit. Dari tadi aku dibuat berdecak kagum, sementara Oma yang sejak tadi bersamaku hanya tersenyum melihat tingkahku. Mungkin aku benar-benar kelihatan seperti orang norak.
Hampir dua jam berada di sini aku tidak melihat Mas Bram, sejak kami datang bersama tadi, kemana dia? Sementara Mama dan Mita dari jauh aku melihat mereka sibuk bersenda gurau dengan tamu yang lainnya entah teman mereka atau bukan.
"Itu, Rania sampai tidur gitu kasian," ujar Oma Lastri melihatku menggendong Rania yang tengah tidur.
"Iya, Oma."
Tanganku sudah mulai terasa kram, karena menggendong Rania terlalu lama. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu di dalam mobil saja. Mudah-mudahan mobilnya tidak dikunci Mas Bram karena kelupaan. Aku dan Oma Lastri pun berpisah di parkiran.
"Kamu yakin tidak mau, Oma antar kasian anakmu!" tanya Oma Lastri, perempuan yang baru saja kukenal dipesta ini beberapa jam yang lalu, namun ia terlihat begitu baik.
"Terima kasih atas tawarannya, Oma. Aku nungguin suami sama mertua saja!" tolakku santun.
"Baiklah kalau begitu, Oma duluan!"
"Iya, Oma hati-hati!"
Oma Lastri hanya tersenyum lalu mengangguk dan segera pergi, entah apa hubungannya Oma Lastri dengan yang punya hajatan aku tidak banyak cerita karena masih merasa canggung. Namun, nampaknya Oma bukan orang sembarangan terlihat dari tampilannya, dan orang-orang pun nampak hormat saat bertemu dengannya.
Aku merasa lega, seperti harapanku Mas Bram lupa mengunci mobilnya dan akhirnya aku dan Rania bisa menunggu dalam mobil sembari tiduran.
Entah sudah berapa lama aku tertidur bersama Rania, tubuhku terasa ada yang mengguncang, pelan aku mengucek mata. Ternyata Mama sama Mita.
"Mana, Bram?" tanya Mama.
"Gak tau, Ma," balasku dengan masih ngantuk.
"Gak tau gimana? Itu kamu bisa masuk ke dalam mobil gimana?"
"Tadi mobilnya gak dikunci, sepertinya Mas Bram lupa nguncinya. Jadilah aku dan Rania bisa masuk."
Mama nampak kesal dengan jawabanku, ia segera merogoh ponsel dalam tas kecilnya, lalu terdengar setelahnya ia tengah berbicara dengan seseorang entah siapa. Tidak lama kemudian Mas Bram datang. Mungkin Tadi Mama menelpon Mas Bram.
"Kamu kemana aja sih, Bram pergi sampai lupa ngunci mobil," cerca Mama setelah Mas Bram datang.
"Em, gitu ya? Maaf tadi buru-buru kebelet pipis," jawab Mas Bram nampak salah tingkah.
"Ya udah ayo pulang!" tegas Mama.
Dan akhirnya kami pun pulang dalam keheningan. Sepertinya Mama dan Mita lelah, dan ngantuk. Syukurlah jadi aku dan Rania bisa melanjutkan tidur sampai rumah tanpa ada yang ngomel-ngomel.
***
"Mas, kok transfer uang bulananya cuma satu juta setengah?" Aku bertanya pada Mas Bram yang sedang santai di bibir ranjang sembari bersenda gurau bersama Rania. Setelah mengecek mutasai rekening dengan M-banking pada ponselku.
"Iya, maaf Mas lupa bilang kalau bulan ini, Mas ada kebutuhan lebih," jawab Mas Bram santai, padahal uang dua juta yang ia berikan buat jatah kebutuhan dapur selama sebulan saja kurang, tidak jarang Mama sama Mita protes saat aku memasak menu tempe atau tahu goreng.
"Padahal aku ingin sekali, Mas bulan ini beli bedak sama lipstik cuma 35 ribu." Aku menyuarakan keinginanku. Karena cantik butuh modal.
"Udah gak usah pake yang begituan kamu sudah cantik."
"Tapi, Mas aku juga mau cantik kayak Mita." Kalau aku benar cantik menurut versinya kenapa waktu di pesta ia malah meninggalkanku bersama Rania?
"Udah syukurin aja yang ada, Mas lagi butuh uang, bukannya membantu malah protes." Wajah Mas Bram mulai terlihat kesal. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berlalu keluar.
Aku jadi merasa bersalah karena telah membebaninya, baiknya aku menyusulnya dan minta maaf.
"Kok cuma segini, Mas? Kuranglah ke salon 150 ribu mana cukup?" protes Mita. Mas Arya pun kembali memberikan dua lembar uang berwarna merah.
"Nah gitu dong, Mas Bram tersayang sama adik sendiri jangan pelit-pelit," ujar Mita, seraya tersenyum lebar.
Aku yang tadinya berniat minta maaf, seketika merasa dibohongi.
"Mas, bukannya tadi, Mas bilang bulan ini Mas lagi butuh uang saat aku minta beli bedak sama lipstik cuma 35 ribu?" protesku, karena merasa tidak dihargai.
"Apa? Mbak Nay juga mau minta jatah buat beli bedak sama lipstik biar bisa cantik kayak aku?" Mita tertawa. "Nyadar, Mbak. Mbak itu gak bakalan bisa cantik kayak aku," sambungnya lagi sembari tertawa dan mengibas-ngibaskan uang yang baru saja diberi Mas Bram.
Aku tidak pernah melarang Mas Bram memberikan uangnya pada Mama juga Mita, bahkan biasanya Mas Bram akan memberikan uang padaku setelah sisa dari memberi Mama, aku tidak marah bagaimana pun Mas Bram bertanggung jawab terhadap keduanya apalagi Papa sudah tiada.
Tetapi, salahkah aku hanya minta jatah untuk beli bedak dan lipstik yang harganya tidak seberapa?
"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.
Astaga!
Bersambung ...
"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.Astaga!"Mas, aku cuma ...." Belum sempat aku menyuarakan protes lagi, tiba-tiba Mama mertua datang dari arah kamarnya."Ada apa sih ribut-ribut?" tukasnya tajam, seketika membuat nyaliku terasa ciut. Sudah tentu masalah akan tambah runyam dan panjang."Ini lho, Ma Mbak Naya pengen cantik dandan kayak Mita," jawab Mita, sembari tangan sebelah kirinya berkecak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke arahku."Hah? Apa Mama gak salah dengar?" Terlihat wajah mengejek, dan Mita hanya mengendikkan bahu sementra Mas Bram, berlalu meninggalkan kami. Ia memang tidak suka berdebat hal semacam ini, baginya tidak ada gunanya. Padahal aku juga ingin pergi meninggalkan perdebatan, kupingku sudah terasa tidak enak hampir tiap hari memdengar ocehan Mama atau pun Mita. Tetapi, itu bukan pilihan yang baik."Udah gak usah dandan segala, tugas kamu itu di rumah, dan di kasur. Jan
Tiba di rumah sakit petugas dengan seragam serba putih dengan sigap segera menaikkan tubuh Oma Lastri ke atas brankar dan mendorongnya menuju ICU.Selama Oma di ICU aku menunggu dengan cemas, sembari memeluk tubuh Rania."Ma, Oma kenapa? Oma gak matikan?" tanya Rania tiba-tiba memecah keheningan.Aku tersenyum getir sambil mengelus rambut sepundaknya. "Kita doain ya semoga, Oma Lastri baik-baik saja." Aku kembali memeluk tubuh putriku."Maaf apa Ibu keluarga pasien?" Tiba-tiba seorang suster datang menghampiri kami."I-iya saya, Sus," jawabku gugup."Silahkan untuk mengurus administrasinya dibagian depan, biar korban bisa segera di tindak lanjuti untuk dilakukan operasi," jelas Suster Mila yang kuketahui namanya dari bed namenya."Tapi, Sus ....""Mari, Bu silahkan!" Suster Mila tersenyum ramah sembari mempersilahkan.Dengan perasaan berdebar aku pun mengikuti suster Mila menuju resepsionis. Tib
"Mas!" Lagi aku memanggil Mas Bram, tetapi yang dipanggil masih belum menyahut dan sibuk dengan ponsel pintar miliknya."Lagi chatan sama siapa sih? kayaknya asik banget." Aku sengaja mendekatkan wajahku ke depan wajahnya agar kali ini ia menyadari kedatanganku."Astagfirullahaladzim, Naya!" geram Mas Bram karena kaget, ponselnya hampir saja terjatuh. "Ngagetin aja, bisa gak sih yang sopan manggilnya." Mas Bram masih terlihat kesal, mungkin juga jantungnya kini tengah memompa lebih cepat dari biasanya.Aku menghela nafas lalu membuanganya dengan masygul. "Aku dari tadi udah manggil-manggil, Mas. Masnya aja yang gak dengar dan malah senyam-senyum. Memang chat sama siapa sih?" tanyaku penasaran.Mas Bram langsung kelihatan gelagapan, namun ia segera bisa menguasai dirinya. "Em, bukan siapa-siapa cuma teman." ia memaksakan senyumnya."Ya udah itu tehnya aku mau mandi dulu!""Em, ya mandi sana!" balasnya lalu kembali memainkan pons
"Memangnya kenapa sih, Mas? Kok kayak panik gitu?" Aku sengaja memancingnya dengan pertanyaan."Em, eh nggak apa-apa kok," kilahnya. Aku tau kalau Mas Bram tengah berbohong.Ternyata sedingin-dinginnya sikap seseorang kalau dalam keadaan salah tetap akan terlihat aura ketakutannya."Ya udah, Mas mau sarapan dulu!" ujar Mas Bram. Terlihat sekali Mas Bram menghindari percakapan.Aku melipatkan tangan di dada melihat kepergian Mas Bram menuju meja makan, dan tersenyum miring."Lihatlah, Mas sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepintar-pintar manusia menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan bangakai yang kamu simpan saat ini mulai tercium." desisku.Aku pun segera membangunkan Rania, dan menyusul ke meja makan."Em, aku berangkat dulu!" ujar Mas Bram memecah keheningan."Kok buru-buru, Mas? Gak dihabisin dulu makanannya?" cercaku melihat gelagat Mas Bram yang terlihat aneh. Sementara
"Apa VIP?" tanyaku kaget, siapa yang melakukannya, apa keluarganya Oma? Siapa sebenarnya Oma Lastri?"Iya, Bu. Bu Lastri sudah dipindahkan ke VIP semalam," ucapnya ramah.Berarti setelah aku pulang, ada yang datang menjenguk Oma dan mengurus semuanya. Aku menghela nafas, syukurlah itu artinya keluarga Oma sudah ada di sini."Ayo, Ma kita temui Oma!" celetuk Rania tiba-tiba, seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i-iya, Sayang." Aku membalas ucapannya "Oh iya Kalau boleh tau, Bu Lastri di ruangan nomor berapa ya, Mbak?" tanyaku.Nisa kembali melihat ke layar komputer setelahnya menyebutkan nomor ruangan yang di tempati Oma."Bu Lastri di ruangan 203, Ibu lurus aja dari sini nanti ada belokan ke kanan, nah di situ ada tangga ibu langsung naik aja," jelasnya panjang lebar."Baik, Mbak terima kasih," balasku tersenyum dan kemudian langsung pergi sembari menggandeng tangan Rania.Untung sebelum ke sini sudah membel
"Eh, em ... Enggak kok, Mas!" Aduh mati aku kalau sampai ketahuan, ini belum waktunya."Terus kenapa sampai air mata keluar gitu?" Mas Bram semakin mendekat, membuat debaran jantungku berpacu lebih cepat. Tamat sudah riwayatku.Aku asal memencet ponselku, hingga tanpa sengaja memutar sebuah video drama korea."I-ini, Mas gara-gara nonton ini!" Aku memperlihatkan layar ponselku, sebuah drama yang entah ada adegan sedihnya atau tidak. Semoga saja Mas Bram percaya dengan alasanku."Hem, dasar emak-emak korban sinetron," ucapnya kemudian yang terlihat jengkel. Tidak apa, asal jangan sampai ketahuan.Aku segera mematikan ponselku dan bangkit dari sofa menuju ranjang, sementara Mas Bram kembali asik dengan ponselnya, sembari rebahan di tempat tidur. Sepertinya, Mas Bram melanjutkan dengan perempuan si*lan itu.Aku pun segera berbaring pura-pura tidur, sambil memikiran kegilaan Mas Bram. Aku harus cari tau siapa perempuan yang berani me
"Waalaikumsalam. Lho, Fatir, Risa kok gak bilang dulu kalau mau kesini, Mama kan bisa nyambut kalian," ucap Mama saat Mas Fatir dan Mbak Risa turun dari dalam mobil."Iya, Ma sengaja. Biar jadi kejutan," balas Mas Fatir sembari tersenyum, lalu menyambut tangan Mama diikuti Mbak Risa."Eyang ...," teriak Galih dan Nadia berbarengan lalu menghambur memeluk Mama, anaknya Mas Fatir dan Mbak Risa. Mama pun balas memeluk kedua cucunya tersebut dengan senang."Duh, cucu-cucu Eyang cantik dan ganteng," puji Mama sambil mencium kedua pipi mereka secara bergantian."Ayo masuk!" ajak Mama setelah kami saling salam-salaman."Gimana kabar, Mama?" tanya Mas Fatir saat kami telah duduk di ruang tamu."Seperti yang kamu lihat, Mama baik." Senyum lebar terkembang dari wajah Mama. Betapa senangnya Mama kedatangan Mas Fatir dan Mbak Risa, binar bahagia begitu kentara dari kedua matanya."Gimana usahanya, lancar?" tanya Mama, berbinar."Alhamdulil
"Udah gak apa-apa, Mbak. Pake ini aja!" Di luar dugaan, Mas Bram malah berucap demikian sembari mengeluarkan kartu ATMnya dan memberikannya padaku. Sepertinya harga dirinya sebagai lelaki masih tinggi, tentunya ia tidak ingin terlihat pelit di depan Abang dan Kakak iparnya. Dalam hati aku tersenyum, iyes.Tanpa menunggu lama aku segera mengambil kartu ATM dari tangan Mas Bram, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."Ya udah kalau gitu," balas Mbak Risa.Dengan kartu ATM ini, aku berencana membeli segala keperluan yang kemarin sempat tertunda gegara, Mas Bram membelikan ponsel untuk wanita si*lan itu. Kali ini aku akan membeli semua yang ku mau. Lihat saja Mas akan kukuras tabunganmu."Aku pamit dulu ya!" ucapku, Lalu bersiap melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket."Nay, Mbak ikut ya!" ujar Mbak Risa.Aku menoleh, lalu mengangguk dan tersenyum. Usai mengambil jaket aku kembali ke ruang tamu."Ayo, Mbak