Hari ini tokoku libur, Persiapan pembukaan besok. Aku putuskan kekantor pengacara tempatku menemui mereka dulu. Kantor itu sudah banyak motor dan mobil saat aku datang.Aku masuk kedalam kantor. Seorang wanita berdiri menyambutku. "Ada yang bisa kami bantu bu?""Saya mau cari pak Bagas. Sudah datang?""Pak Bagas? " Dia nampak kembali memastikan."Yaa mbak. Belum datang atau bagaimana?""Pak Bagas sudah tidak disini lagi bu. Sudah pindah.""Sebentar, jadi pak Bagas gak disini? Maksud saya sudah tidak kerja di sini lagi?""Betul. Ibu ada perlu apa?""Saya kliennya."Wanita itu tampak terdiam sebentar. "Ibu duduk dulu saja. Saya panggilkan yang punya kantor dulu."Aku duduk disofa. Sebentar kemudian lelaki yang sedikit lebih tua datang mendekat. "Assalamualaikum, saya pak Danu. Ibu?"Walaikumsalam. Sari pak, saya Sari. Bapak yang punya tempat ini?""Betul. Mbak cari pak Bagas?"Aku menganggukkan kepala. Kuceritakan kronologi yang terjadi padaku dan kasusku juga kuceritakan. Agar aku jug
Aku terkejut dengan dekorasi yang di pasang di luar toko. Mbak Yayuk dan mbak Nur yang menyiapkan semuanya. Dekorasinya sangat elegan. Ternyata kemarin mereka merencanakan semua ini, sebagai kejutan untukku.Bagian depan toko di hias banyak bunga. Balon tersusun melengkung di pintu masuk. Bahkan tali merah di ikat didepan pintu. Mbak Yayuk juga memasang tenda dan meja didepan. Beberapa kursi juga di tata sedemikiam rupa."Mbak, ini indah sekali. Aku fikir hanya akan membuat syukuran kecil didalam. Tapi ini seperti pembukaan suwalayan besar saja""Kami hanya membantu Sari, ibumu yang meminta kami memberimu kejutan""Ibu?" Aku melirik kearahnya. Ibu tersenyum. Aku segera memeluknya erat. Wanita kesanyanganku ini menangis. "Ibu kenapa gak bilang, Sari jadi nangis ini" aku berusaha menghapus air mataku. Ibu tersenyum. "Jangan menangis. Jelek sekali kamu. Ibu hanya ingin membuatmu bahagia nduk. Ibu belum pernah membahagiakanmu setelah banyak yang kamu lalui." Ibu mengusap wajahku dengan l
"Mbak, tau darimana mas Alan selingkuh?" Setelah kami cukup jauh dari ikeluarga mas Aldo. Aku menarik mbak Nur dan bertanya."Emang suami si Asya beneran selingkuh Sar?"Lah, dia malah nanya!"Tadi mbak bilang begitu, tadi?"Mbak Nur malah tertawa. "Woalah, aku cuma ngarang. Wajah suami si Asya saja lupa-lupa ingat." Mbak Nur berucap sambil menahan tawanya. "Tapi semoga deh mantunya bener selungkuh. Biar tau tu bu Ida sakit hatimu." Mbak Nur melipat tangan di dada. "Heran aku, dengan perempuan tua satu itu, kok gak ada simpatinya sama perempuan lain. Cemceman anaknya malah di pelihara. Mau jadi apa itu kompleksku!" mbak Nur menepuk jidatnya sendiri.Aku hanya terdiam. Apa kabar mbak Asya sekarang ya? ***Acara pembukaan tokoku selesai. Aku melihat Siti masih sibuk mencatat barang di lantai atas. Di bantu beberapa kariawan, gadis itu memang lebih cekatan di usianya yang masih muda."Sibuk sekali Sit?" Aku mendekat, duduk di samopingnya.Dia menoleh, tersenyum melihatku. Aisyah kulih
Warga sudah berkumpul didepan rumah Bu Ika. Bau anyir darah sesekali tercium di hidungku. Kami masih menunggu bu Lurah juga."Sehari ini bu lka gak keluar mbak?" Pak Robi tetanggaku bertanya."Tadi pagi datang ke toko ikut syukuran kok pak. Tapi hanya sekilas saya lihatnya." Kania menjawab. Aku malah sama sekali tak melihat bu Ika. Entah karena terlalu sibuk atau kebetulan aku tak melihatnya."Ada yang berangkat dengan bu Ika waktu ke toko mbak Sari?" Warga lain saling bertanya. Siapa yang bersama bu Ika hari ini.Namun semua terdiam, menggelengkan kepala. Sepertinya memang tak ada yang tau atau bersama bu Ika hari ini."Dobrak saja yok!" Seorang pemuda maju dengan beberapa orang."Iya pak, nanti ternyata bu Ika gak dirumah. Atau cuma ketiduran, Kita sudah terlanjur panggil polisi tadi." sambung pemuda lain."Ya sudah ayo coba di buka dulu" pak Rt memberikan perintah.Pintu di dobrak berkali - kali. Tapi membatu bahkan bergerak saja tidak. Hampir setengah jam tak ada yang bisa membuka
Empat puluh menit kami sampai di komplek perumahan Cendana Cluster. Melewati gerbang kami harus menunjukkan kartu pemilik rumah. Untungnya sejak di berikan, kartu ini tak pernah keluar dari dompet.Setelah melewati gerbang utama, mobil kembali berjalan. Melewati jalan panjang dengan pohon cemara dan dinding di kanan dan kiri. Dinding dengan tanaman rambat, menjalar ke atas. Teringat sebuah castil bila melihat ini.Keluar dari jalan utama, kami sedikit menanjak melewati kolam air buatan yang mirip dengan danau mini. Ada banyak bangku ditepiannya dan lampu taman menghiasi tepian danau.Tiba di ujung jalan kami belok kekanan. Disanalah rumah-rumah berada. Jika belok kekiri, kami akan tiba di area olah raga. Lapangan basket,futsal, tenis, badminton, taman khusus untuk berlari dan water boom kecil.Masuk ke kawasan perumahan. Rumah kami di kawasan paling depan. Melewati beberapa rumah dengan bentuk minimalis dan senada, kami berhenti dirumah nomor delapan. Kania turun membuka gerbang kecil
Aku membuka toko setelah mengantar Kania sekolah. Hari ini sebenarnya hanya pengenalan kelas dan guru, memilih ekskul untuk tahun ajaran baru, juga penempatan kelas. Dia harus ikut, karena anak baru.Setelah toko buka Aku duduk diruanganku. Membuka HP yang sejak tadi memang berdering. Aku masih sangat sibuk, sehingga tak sempat membukanya.Dua belas panggilan tak terjawab dari mas Alan. Aku tau, dia akan mencariku. Aku memencet tombol hijau untuk mengabarinya."Halo Sari, Kamu diman?" Belum sempat aku mengucao salam, dia bahkan sudah memberiku pertanyaan."Ditoko mas. Ada apa? Nanti aku kesana. Dompet wanitamu masih terbawa.""Toko? Toko ibu?" Suaranya terdengar panik.Apa maksudnya toko ibu? Apa mas Alan tidak tau aku dan mas Aldo sudah berpisah. Mas Alan memang jarang sekali ikut kerumah ibu. Ia seperti menjaga jarak dengan keluarga mbak Asya.Lain dengan mbak Asya yang begitu humble dengan keluarga mas Alan. Bahakan hampir disemua sosial media, mbak Asya memperlihatkan kebahagiaan
Aku terkejut, mbak Asya sudah di depan pintu. Bahkan dia juga nyalang menatapku."Sabar Asya, ini dirumah sakit. Delima masih belum sadar setelah melahirkan." Mas Alan mencoba memberinya pengertian. Namun mbak Asya sudah terlihat marah."Delima..., Delima..., Delimaaa! Panggil saja namanya terus!" Mbak Asya mengguncang -guncangkan badannya. Almira bahkan menangis karena ketakutan."Mama...mama...,"Gadis dua tahun itu terus memanggil ibunya. Namun mbak Asya tak juga mendengarkan."Mbak, tenanglah mbak. Kasihan Almira" Aku mencoba mengajaknya bicara."Diam kamu Sari. Jahat kamu! Diam-diam kamu juga perduli dengannya. Kamu kan yang membawanya kerumah sakit?"Aku terdiam. Dari mana mbak Asya tau aku yang membawa mbak Delima ke Rumah Sakit."Jangan salah paham mbak, aku tidak tau jika mbak Delima itu istri pertama mas Alan, aku...,""Diam! Aku benci padamu. Dan kamu mas, Jika kamu masih memilihnya, baik. Aku yang akan pergi, bersama Almira. Meninggalkan kamu bahkan dunia ini!" Mbak Asya me
Mbak Asya terdiam di dalam kamar. Di lantai atas rumah sakit tadi, dalam kepanikan, perawat menyuntikkan obat tidur padanya. Aku masih mendekap Almira dalam gendongan. Gadis kecil itu perlahan tertidur.Mbak Nadira yang memanggil bantuan. Dia ke atap gedung dengan beberapa petugas keamanan dan perawat. Mereka semua memegang mbak Asya dengan kuat dan memberikan suntikan padanya."Pulang lah Sari, biar mbak Nadira yang membawa Almira." Kakak mas Alan mendekat. Mengambil gadis kecil itu dari gendonganku."Apa mbak Asya selalu begini mas?" Aku balik bertanya. Tak mengubris permintaannya menyuruhku pulang.Mas Alan dan kakaknya saling pandang. "Ini yang ketiga" mbak Nadira menjawabku datar. Sementara mas Alan masih terdiam.Aku berdiri dari tempatku duduk, menghela nafas berat yang membuat dadaku kian sesak. Ada amarah pada lelaki sepertinya. "Sejujurnya, aku kasihan padamu mas!"Mas Alan melihatku penuh tanya. Lelaki iku berjalan mendekatiku. Dia melipat tanganya di dada. "Katakan, apa y
Aku berjalan masuk masuk, perlahan mencoba tersenyum dalam canggung. Mencari jawaban dari Kania dan Ibu. Namun keduanya hanya diam. Kania menarikku kedekatnya."Ada apa Kan?" Dia hanya senyum-senyum tak menjawab. Ingin aku toyor kepalanya, namun tak enak hati, di pandang banyak matan."Apa kabar Mbak Sari?" Seorang wanita dengan jimbab panjang menyapaku. Wajahnya tak asing, tentu saja, aku tau dia ibu mas Atnan."Baik bu, Alhamdulillah. Ibu lurah sehat?""Sehat, bahkan siap untuk mantu."Aku terdiam. Tak tau kemana arah pembicaraan wanita itu."Jadi seperti yang sudah diutarakan keluarga nak Atnan nduk, mereka datang untuk meminangmu."Mataku membulat sempurna. Tak ada angin dan hujan kenapa pelangi datang setelah badai?"Me_melamarku?" Aku menatap wajah mas Atnan denang lekat. Lelaki itu hanya tersenyum simpul.Jawaban apa itu!"Iya nduk, bagaimana? Apakah kamu sudsh siap menerima nak Atnan?" Ibu kembali bertanya.Aku masih terdiam. Sejujurnya aku nyaman bersamanya, namun apakah hat
Ku gandeng ibu mas Aldo turun. Aku memang harus memapahnya masuk. Mata sayu wanita itu berkaca. Menatap kedepan kami. Aku melihat kemana arah mata itu sekarang. Rupanya wajah yang ia kenal tengah sibuk mengurus kertas-kertas di depannya. Sehingga ia tak memperhatikan siapa yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya.Iya, aku membawa ibu Ida menemui Akmal. Anak lelakinya yang dia usir dari rumah. Namun justru merubah hidup lelaki itu jauh lebih baik. Akmal kini memiliki tempat fotocopy dan percetakan. Ia membuka usaha itu dengan kerja keras dan bantuan mas Yuda.Dia jadi lelaki yang halus dan santun. Bahkan jambang dan janggutnya terlihat memanjang sekarang. Akmal kini jauh lebih dewasa dan meneduhkan."Assalamualaikum" Aku mengucap salam."Waalaikumsalam. Ada perlu a..." Dia terdiam, saat melihatku memapah ibu kandungnya berdiri, tepat di depan matanya sekarang. "Ibu?" Begitu kalimat yang kudengar. Entah mengapa membuat darah
"Mengapa kau membawa Fatih pergi?" Aku bertanya tanpa berbasa-basi lagi. Kesabaranku pada mas Aldo sudah ada diujungnya.Dia terdiam, membuang wajahnya kearah lain. Aku menemuinya di kantor polisi. Mas Aldo ternyata juga masuk daftar pencarian orang. Penipuan, adalah kasus yang kini juga menjeratnya."Baiklah, jika kamu hanya diam, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ini terakhir kalinya aku kemari!"Aku berdiri, melangkah menuju pintu. "Aku hanya ingin memeluk anakku!"Suaranya sumbang. Membuat kakiku berhenti melangkah. Aku berbalik, melihat punggungnya yang kecil di balik baju orange bertuliskan Tahanan itu."Anak siapa? Fatih bukan anakmu!""Dia anakku! Aku tau dia anakku Sari!" Dia kini berdiri, namun belum melihatku."Anak yang tak kau akui sejak dalam kandungan? Bukankah mulutmu sendiri yang bilang 'hanya anak Rani darah dagingku'. Itu kan yang kau katakan?" Dia diam, tak ada jawaban."Lalu sekarang dimana Veronica? Hem... Kau bahkan tak bisa menjadi ayah yang baik untuk bayi malan
Kugendong Fatih yang menangis. Kupeluk dan kutenangkan dia dulu. " anak bunda sayang. Ini bunda" kutimang dia dalam dekapan. Kini tangisnya mulai reda. Dia memegang botol susunya dengan erat. Aku berjalan menuju pintu, tapi kudengar suara air dari dalam kamar mandi. Aku mendekat kearah pintu kamar mandi. Ada orang di dalam!Kutempelkan telingaku didaun pintu. Bunyi air itu sumakin jelas. "Sebentar nak, uti lagi buang air. Ini sudah selesai. Kamu jangan nangis lagi dong. Nanti mereka dengar!" Ibu ternyata ada di dalam. Aku kunci saja ibu dari luar. Biar saja dia berteriak-teriak didalam."Siapa itu! Hey siapa itu" suaranya berteriak mencoba membuka pintu."Jangan pernah lagi menyentuh anakku bu Ida!" Aku bicara dari luar. "Sari? Buka sari. Kembalikan Alex cucuku?"Alex? Keren amat namanya. Dikasih nama Muhammad Fatih kok jadi Alex. Kayak nama kedai Bakso di dekat Radio umum."Lha emang ibu punya cucu nama Alex?""Diam kamu. Keluarkan aku!""Diam ibu! Aku panggil polisi mau? Anakku b
"Assalamualaikum..." Suara itu membuatku melihat kearahnya. "Mas Atnan?"Saat aku sedang kalut. Mas Atnan datang tepat didepanku. Bisakah aku meminta bantuanmu juga mas?"Ada apa mbak?" Ia tampak terkejut melihatku yang tergugu"Bisa bantu saya mas. Anak saya hilang mas.""Aisyah?Aku menggelengkan kepala. "Fatih mas""Kok bisa? Dia kan masih kecil mbak. Yasudah kita kemobil dulu. Kita cari sama-sama. Nanti mbak bisa cerita kronoliginya sambil jalan."Aku menganggukkan kepala. Segera saja aku pergi menuju mobilku. Mas Atnan meminta kunci mobilku dan membukakanku pintu untuk masuk. Aku duduk di samping kemudi dan mas Atnan menyusul masuk. Tanpa berfikir panjang, kami pergi.***"Jadi Fatih di ambil mantan suami mbak kemarin itu? Aku menganggukan kepala."Secara biologis dia memang ayahnya mas. Tapi secara hukum fatih masuk anak saya dan mas Yuda. Entah bagaimana mas Yuda menuliskan Fatih anaknya yang sah.""Lalu Aisyah?""Dia anak angkat saya."Mas Atnan terdiam. "Mbak masih ingat kema
"Assalamualaikum " ibu datang bersama Kania dan anak-anak. Melihat mas Atnan dudukdi dalam saung bersamaku, membuat ibu menatapku penuh tanya."Ibu ingat, ini mas Atnan. Anaknya Bu lurah."Ibu duduk memperhatikan lelaki itu. "Oh, ibu ingat yang kemarun pas kita pulang ambil satur sama mak Idah kan?""Betul bu, itu saya. Apa kabar...""Baik mas, baik. Kok bisa sama-sama disini?" Kembali ibu mewawancara diriku."Oh, ini tempat makan punya mas Atnan bude" Kania ikut menjelaskan. Gadis sok tau inu tersenyum menggodaku. Dasar!Ibu nampak terkejut. Seban baru tau jika anak bu lurah itu polisi yang sukses punya tempat makan."Jadi beli sayur di rumah sana itu untuk di bawa kemari?""Iya bu. Betul. Tadinya kakak yang mengelola. Tapi sekarang diserahkan kesaya. Yasudah kalau begitu silahkan pesan. Saya pindah meja saja" Mas Atnan."Makan bareng saja nak, biar ramai" ibu memberikan tawaran."Iya mas, tadi bilang mau ikut bergabung. Gak apa-apa." Aku juga meminta."Betul mas, gak perlu gak enak
Sejak pagi mas Aldo masih terus menghubungi. Bahkan semalam dia pergi kerumah. Entah berapa lama dia ada di depan gerbang. Mungkin srbsiknya aku pindah saja. Rasanya tak nyaman diteror hamoit setiap hari.Dan setelah kufikirkan semalaman. Ada baiknya memang aku menerima tawaran untuk datang ke warung mas Atnan. Rasanya berterimakasih saja tak cukup. Mas Atnan sudah membantuku dari mas Aldo.Akhirnya menjelang siang, Kuberanikan diri mampir kewarung mas Atnan. Aku membawakan beberapa cemilan dan buah juga. Sebagai rasa terimakasih sudah membantuku kemarin saat mas Aldo kembali datang menganggu."Ada yang bisa dibantu kak?" Seorang pelayan wanita memberikan menunya padaku.Aku menerimanya. "Eh, saya mau pesan nasi ayam saja mbak. Untuk dua puluh delapan orang. Kirim untuk makan siang di toko depan ya"Wanita itu mencatat pesananku. Aku masih mencoba mencari-cari dimana mas Atnan berada."Em, maaf.. ada lagi yang lain bu?""Oh, tidak. Itu saja. Dimana kasirnya?" Wanita itu mengantarkan
"Aku hanya ingin bersamamu dek sari!" Mas Aldo mencegahku pulang dari toko.Entah hari keberapa ini, dia terus datang kemari. Tanpa henti dan tak kenal lelah. Aku bahkan merasa benar-benar sudah terganggu."Biarkan aku bersamamu dek..." Dia mencengkeram tanganku dengan erat. Kucoba melepasnya, namun tetap saja tak bisa. " Dengarkan dulu sari, aku dulu begitu takut pada ibu. Sekarang aku tak takut lagi." Dia mulai memaksa."Lepaskan! " Teriakku akhirnya. Setalah berkali kali kucoba bersabar.Satpam tokoku sedang di dalam, membantu mengurusi barang yang masuk. Jadilah aku didepan sendiri. Mengurusi manusia tak tau malu ini."Aku tak bisa lagi melepaskanmu Sari. Aku masih mencintaimu" Dia menatapku memelas. Dia fikir aku akan tersentuh? Dimataku, Aldo hanyalah barang bekas yang sudah kubuang. "Apa maumu mas?""Kembali padamu. Aku mohon. Mas janji dek, mas tak akan menyakitimu. M
Ibu masih terlihat menangis. Beberapa warga memeluknya dengan erat. Sebentar kemudian mobil lain mendekat. Lalu seseorang turun daru dalam mobil."Mas Alan" Ucapku pelan. Tiba-tiba aku begitu khawatir, terlihat mas Alan datang dengan membawa Arcila dan Almira, tanpa mbak Asya.Mbak Nur tiba-tiba berlari kearah kami. "Mbak, siapa yang meninggal?""Kamu belum dengar Sari?" Mbak Nur berbalik tanya.Aku menggelengkan kepala. "Mana aku tau mbak. Memang siapa?""Asya..."Astagfirullah...!Tubuhku tiba-tiba bergetar karena terkejut. Mbak Asya meninggal? Kenapa mbak Asya bisa meninggal? Bukankah kudengar terakhir kali dia akan menikah lagi."Jangan bercanda kamu Nur, bukanya Asya mau menikah bulan depan?" Mbak Yayuk bertanya. Sepertinya sama sepertiku, mbak Yayuk juga terkejut dan tak percaya."Masak berita orang mati aku buat-buat to mbak. Kalau aku buat-buat, menurut mbak siapa yang ada dalam peti itu?""Gak tau Nur, Aldo mungkin lebih pantas!" Ucap mbak Yayuk. "Lelaki tak tau diri itu pa