Empat puluh menit kami sampai di komplek perumahan Cendana Cluster. Melewati gerbang kami harus menunjukkan kartu pemilik rumah. Untungnya sejak di berikan, kartu ini tak pernah keluar dari dompet.Setelah melewati gerbang utama, mobil kembali berjalan. Melewati jalan panjang dengan pohon cemara dan dinding di kanan dan kiri. Dinding dengan tanaman rambat, menjalar ke atas. Teringat sebuah castil bila melihat ini.Keluar dari jalan utama, kami sedikit menanjak melewati kolam air buatan yang mirip dengan danau mini. Ada banyak bangku ditepiannya dan lampu taman menghiasi tepian danau.Tiba di ujung jalan kami belok kekanan. Disanalah rumah-rumah berada. Jika belok kekiri, kami akan tiba di area olah raga. Lapangan basket,futsal, tenis, badminton, taman khusus untuk berlari dan water boom kecil.Masuk ke kawasan perumahan. Rumah kami di kawasan paling depan. Melewati beberapa rumah dengan bentuk minimalis dan senada, kami berhenti dirumah nomor delapan. Kania turun membuka gerbang kecil
Aku membuka toko setelah mengantar Kania sekolah. Hari ini sebenarnya hanya pengenalan kelas dan guru, memilih ekskul untuk tahun ajaran baru, juga penempatan kelas. Dia harus ikut, karena anak baru.Setelah toko buka Aku duduk diruanganku. Membuka HP yang sejak tadi memang berdering. Aku masih sangat sibuk, sehingga tak sempat membukanya.Dua belas panggilan tak terjawab dari mas Alan. Aku tau, dia akan mencariku. Aku memencet tombol hijau untuk mengabarinya."Halo Sari, Kamu diman?" Belum sempat aku mengucao salam, dia bahkan sudah memberiku pertanyaan."Ditoko mas. Ada apa? Nanti aku kesana. Dompet wanitamu masih terbawa.""Toko? Toko ibu?" Suaranya terdengar panik.Apa maksudnya toko ibu? Apa mas Alan tidak tau aku dan mas Aldo sudah berpisah. Mas Alan memang jarang sekali ikut kerumah ibu. Ia seperti menjaga jarak dengan keluarga mbak Asya.Lain dengan mbak Asya yang begitu humble dengan keluarga mas Alan. Bahakan hampir disemua sosial media, mbak Asya memperlihatkan kebahagiaan
Aku terkejut, mbak Asya sudah di depan pintu. Bahkan dia juga nyalang menatapku."Sabar Asya, ini dirumah sakit. Delima masih belum sadar setelah melahirkan." Mas Alan mencoba memberinya pengertian. Namun mbak Asya sudah terlihat marah."Delima..., Delima..., Delimaaa! Panggil saja namanya terus!" Mbak Asya mengguncang -guncangkan badannya. Almira bahkan menangis karena ketakutan."Mama...mama...,"Gadis dua tahun itu terus memanggil ibunya. Namun mbak Asya tak juga mendengarkan."Mbak, tenanglah mbak. Kasihan Almira" Aku mencoba mengajaknya bicara."Diam kamu Sari. Jahat kamu! Diam-diam kamu juga perduli dengannya. Kamu kan yang membawanya kerumah sakit?"Aku terdiam. Dari mana mbak Asya tau aku yang membawa mbak Delima ke Rumah Sakit."Jangan salah paham mbak, aku tidak tau jika mbak Delima itu istri pertama mas Alan, aku...,""Diam! Aku benci padamu. Dan kamu mas, Jika kamu masih memilihnya, baik. Aku yang akan pergi, bersama Almira. Meninggalkan kamu bahkan dunia ini!" Mbak Asya me
Mbak Asya terdiam di dalam kamar. Di lantai atas rumah sakit tadi, dalam kepanikan, perawat menyuntikkan obat tidur padanya. Aku masih mendekap Almira dalam gendongan. Gadis kecil itu perlahan tertidur.Mbak Nadira yang memanggil bantuan. Dia ke atap gedung dengan beberapa petugas keamanan dan perawat. Mereka semua memegang mbak Asya dengan kuat dan memberikan suntikan padanya."Pulang lah Sari, biar mbak Nadira yang membawa Almira." Kakak mas Alan mendekat. Mengambil gadis kecil itu dari gendonganku."Apa mbak Asya selalu begini mas?" Aku balik bertanya. Tak mengubris permintaannya menyuruhku pulang.Mas Alan dan kakaknya saling pandang. "Ini yang ketiga" mbak Nadira menjawabku datar. Sementara mas Alan masih terdiam.Aku berdiri dari tempatku duduk, menghela nafas berat yang membuat dadaku kian sesak. Ada amarah pada lelaki sepertinya. "Sejujurnya, aku kasihan padamu mas!"Mas Alan melihatku penuh tanya. Lelaki iku berjalan mendekatiku. Dia melipat tanganya di dada. "Katakan, apa y
Siti sudah kami antar ke pesantren. Kania menelphone mengabari jika dia sudah pulang kerumah, dan dia bilang ada tamu untukku." Mas, bisa antar kerumah dulu? Ada tamu kata Kania""Rumah? Kita putar balik?"Aku menepuk jidatku sendiri. Aku lupa jika mas Yuda belum tau aku pindah rumah."Bukan mas, rumahku sekarang di Cendana Cluster. Lebih dekat dengan bhatalionmu kan mas""Kamu sudah pindah rumah?""Sebetulnya belum. Tapi ada kejadian dirumah lamakuJadi kami terpaksa pindah lebih awal. Ingat ibu Ika? ""Iya, yang kamu urus saat dirumah sakit?"Aku menganggukkan kepala. Mas Yuda masih ingat. "Iya mas, dia meninggal. Tergantung dirumah""Astagfirullah! Bunuh diri?"Aku menggelengkan kepala seraya mengangkat bahuku. "Belum tau, tapi ada yang jangal menurutku dalam kematiannya."Mas Yuda masih sibuk mengemudi. Seperti sedang memikirkan sesuatu. " Biar polisi yang mencari tau, jika ada yang janggal, aku yakin akan segera terungkap."Aku mengangguk setuju. Memang bukan urusan kami mencari
Aku dan mas Yuda menuju Toko ibu. Api masih begitu besar, melahap apapun yang ada didepannya. Ibu nampak menangis dalam dekapan mas Aldo.Bisa bayangkan bagaimana tangisnya? Kehilangan seratus ribu saja ibu bisa mengamuk, sekarang melihat sendiri jualannya di lahap si Jago merah tanpa ampun.Beberapa orang juga terlihat sibuk mengambil ember dan gayung. Tapi mau sampau kapan, api sebesar itu disiram dengan ember dan gayung?"Kok belum ada mobil pemadam datang ya mas?" Aku bertanya pada mas Yuda. "Gak tau, coba mas hubungi." Mas Yuda menjauh dari kerumunan dan menghubungi pemadam kebakaran.Aku melihat kearah ibu. Melihatnya terus meronta, aku berlari menenangkannya. "Bu, sabar bu. Jangan begini"Ibu menatapku tak suka. Terlebih mas Aldo dan Rani. " Tu mas, dia pasti mau menertawakan kita!" Rani melihatku dengan sinis dan berbisik pada mas Aldo.Aku menghela nafas. "Heh Rani, hamil saja mulutmu seperti rongsokan, apa lagi gak hamil!" Ucapku sinis."Ngapain juga kamu kesini? Mau terta
Sejujurnya, aku tak menyangka. Mbak Nadira kakak mas Alan, adalah Nadira yang sama, yang pernah disebut mbak Yayuk dan mas Yuda. Dunia sesempit ini. Hingga semalam aku pulang kerumah. Rasanya kisah hari itu, seperti sekenario sebuah drama.Mas Yuda yang ku bilang gagah, bahkan bisa menjaga lisannya untuk tak menjawab secuilpun hinaan mbak Nadira. Harusnya ia bisa mencari alasan, atau membenarkan dirinya sindiri. Tapi dia bilang. Tak ada gunanya, segala yang terjadi memang sudan menjadi takdir. Termasuk perpisahannya dengan mbak Nadira.Aku mengendarai mobil ke rumah mbak Yayuk, setelah lebih dulu membuka toko dan menerima laporan penjualan hari kemarin. Ada yang harus aku bicarakan pada mbak Yayuk. Terlebih saat mengantar Siti kemarin, aku tak bertemu dengannya.Aku sampai di depan rumah mbak Yayuk. Aisyah ikut bersamaku juga. Hari ini ibu ingin membuat bolu pisang untuk tetangga sekitar, karenanya aku membawa Aisyah agar tak menganggu mbah ti nya.Aku turun dari mobil. Melihat lampu
Tak berapa lama mbak Yayuk kembali dengan rombongan ibu-ibu berdaster. Beberapa barang sudah di keluarkan dari dalam rumah. Jadi lebih mudah untuk membaginya segera."Sari, bener ini barang mau di hibahkan gratis?" Mak Odah bertanya."Bener mak, tapi di catat dulu siapa saja dan mau yang mana. Satu orang cuma boleh ambil satu barang besar dan satu barang kecil.""Bener gak ni? Nanti sudah dirumah, bu Ida datang ambil barangnya lagi""Gak bakalan. Ini barang punya sari, ada urusan apa bu Ida?" Mbak Yayuk ikut bicara.Seluruh isi ruang tamu, ruang tenggah dan kamar depan sudah di teras sekarang. Ada dua set meja dan kursi, meha makan, kulkas, TV, lemari, bifet bahkan etalase kaca."Yang di dapur juga mbak?" "Iya, semua. Mesin cuci, kompor Rak sepatu dan sepatunya juga!" Ucapku memerintah. Rani berdiri dengan wajah tak suka didepan pintu. Menghadang para pekerja itu masuk."Sudah cukup! Jangan sentuh barang didapur!""Lhaa, kenapa memangnya?" Aku sekarang berdiri didepannya."Bagaimana