Beberapa saat sebelum Ibra bertemu dengan Kalisha ........Sore tadi, Ibra bertemu dengan Alex yang datang mengunjunginya. Dia yang tadinya duduk santai dengan punggung yang bersandar di dipan ranjang rawat rumah sakit VIP miliknya seketika menegakkan posisi.“Pak Alex, selamat sore,” sapanya dengan kepala yang sedikit tertunduk.“Selamat sore, Ibrani. Duduklah ... jangan pergi ke mana-mana.”“Aku sudah lebih baik daripada yang kemarin kok.”“Tapi jangan beraktivitas banyak dulu karena kamu perlu waktu buat pulih.”“Terima kasih. Bagaimana Lara? Sudah bangun?”“Belum. Tolong bantu dengan doa.”“Iya, selalu.”Alex menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang milik Ibra. “Ada yang Pak Alex pikirkan?”“Iya.”“Ceritalah ... Pak Alex ‘kan tidak punya teman cerita selain aku.”“Kamu mengejekku tidak punya teman?”“Bukan begitu maksudku.”“Terus?”“Ya ... daripada Pak Alex tidak punya bahan untuk bicara ‘kan?”“Hm ....”“Ada apa? Bilanglah padaku. Kalau misalnya aku tidak bisa melakukan banya
Meski di dalam kamar rawat Ibra bisa dikatakan ada yang sedang perlahan menumbuhkan benih cinta, yaitu antara Ibra dan juga Kalisha, di dalam rumahnya sendiri—di dalam rumah Alex—dia masuk dengan melepas coat panjang yang dia kenakan.Langkah kakinya terasa berat. Seperti ada bongkahan batu yang diikat dan dia seret sepanjang dia berjalan. Setiap memasuki rumah, dia harus menyiapkan jawaban baru untuk anak-anaknya, si kembar Neo dan Shenina karena mereka jelas akan menanyakan kabar Lara.Malam ini pun rasanya sama karena saat Alex masuk, seperginya dari kamar rawat Lara yang sekarang sedang dijaga oleh ayah dan ibunya, Jefri dan Aruan, Alex melihat Neo dan Shenina yang berlari menyambut kedatangannya.“PAPA!”Panggilan mereka selalu bersamaan saat menghadap Alex. Yang membuat Alex dengan cepat berlutut untuk mengimbangi tinggi tubuh mereka yang tak jauh lebih tinggi daripada lututnya.“Halo, Sayang.”Sejenak Alex membiarkan mereka memeluknya lebih dulu sebelum Alex mendengar tanya yan
Alex akan pergi untuk mandi lebih dulu sebelum melihat Neo dan Shenina di dalam kamar mereka.Setidaknya ... dia ingin melunturkan kegelisahan yang ada di dalam dadanya ini untuk sebentar pergi.Meski nantinya akan kembali, Alex ingin memejamkan matanya barang hanya satu atau dua jam sebelum dia kembali untuk menemui Lara di rumah sakit nanti.Alex berdiri dari duduknya. Memandang fotonya dengan Lara yang tampak cantik yang sekarang sedang menempel di dinding. Kemudian beralih pada foto keluarga mereka yang tampak sangat bahagia. Yang senyum polos kedua anaknya malah membuat Alex merasakan lilitan sesak di dadanya semakin lama semakin menjadi-jadi.“Lara, aku tahu kamu mendengarku baik itu aku mengatakannya dari dekat atau dari kejauhan. Kamu sudah tahu kalau kami bergantung hidup padamu apapun yang terjadi, ‘kan? Melihat senyum polos anak-anak kita, atau kenangan yang kita pernah buat dengan sangat baiknya, apa kamu rela meninggalkan semua itu?”Alex menghela napasnya dan memasuki wa
Tidak sanggup. Mungkin dua kata itu yang bisa menggambarkan bagaimana keadaan Alex saat ini.Dia tidak sanggup membaca lembaran lain di dalam buku harian milik Lara yang usang. Dia menutupnya, meletakkan kembali ke dalam kotak, mengembalikannya ke tempat asal dan dia berlari pergi dari kamar. Dia menuju ke kamar Neo dan juga Shenina. Saat dia membuka kamar Neo, anak lelakinya itu tidak ada di sana.“Neo?” panggilnya yang tidak menemui hasil.Neo tidak ada di dalam kamarnya, tidak tertidur di atas ranjang seperti yang dia bayangkan.Saat Alex mencarinya ke dalam kamar mandi, Neo juga tidak ada di sana.Dia berlari untuk menuju ke kamar milik Shenina. Saat pintu terbuka lebar, dia melihat Shenina ada di sana. Dan anak lelaki yang dia cari itu juga ada di sana. Berdiri di sebelah ranjang milik Shenina dan meletakkan telapak tangannya di kening adik perempuannya itu.“Neo, kenapa, Sayang?” tanya Alex saat berjalan mendekat dan berlutut di sebelah Neo. Menghadap pada Shenina yang terbarin
"Besok pagi ya, Sayang? Sekarang Shen harus istirahat, besok pagi kita tunggu kakak Neo juga lalu kita pergi buat lihat mama. Ya?"Alex mengusap lembut pipi Shenina yang masih tampak pucat.Kepalanya yang mengangguk setidaknya menenangkan hati Alex."Baik, Papa.""Kalau begitu, Shen tidurlah dulu.""Papa.""Iya?""Bisa ... ceritakan sesuatu untuk Shen?""Cerita pengantar tidur?""Iya.""Cerita tentang apa?""Tentang apapun. Shen hanya ingin dengar suara Papa. Shen hanya ingin memastikan kalau Papa ada di sini dan tidak meninggalkan Shen.""Baiklah. Tapi pejamkan mata dulu."Anak gadisnya itu menurut, dia memejamkan matanya dan tersenyum. Mendengarkan Alex yang membuka suaranya,"Pada suatu hari, ada seorang tuan putri yang kurang beruntung, dia menikah dengan seorang pangeran sombong yang tidak tahu cara berterima kasih. Pernikahan mereka tidak bahagia. Sang putri pergi karena berpikir tidak akan pernah ada cinta di dalam sana."Alex berhenti bicara, dia memandang Shenina yang terpejam
Tidak pernah sama sekali ada keinginan seperti ini di dalam hidup Alex untuk kehilangan Lara. Ini sangat sakit, menyakitkan sekali rasanya melihatnya seperti ini. Belum banyak hal yang bisa Alex lakukan untuk Lara tetapi semuanya sudah harus berakhir?"Pak Alex!" Panggilan semua orang dia abaikan, dia tak ingin menjawab apapun."PAK ALEX!"Sebuah guncangan menyadarkan Alex yang memeluk Lara terlalu erat.Punggungnya duduk dengan tegak, jantungnya berdebar tak karuan. Berpacu memompa aliran darah dengan cepat, adrenalin mengaliri setiap detik yang dia ambil untuk harus melepas Lara.Alex memandang Lara yang terbaring d atas ranjang yang lambat laun wajahnya berubah menjadi Shenina."Shen?" panggil Alex dengan gugup.Dia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan dan akal sehat kembali merengkuhnya.Oh, itu bukan Lara. Tapi Shenina. Dia sedang mendapat kunjungan pemeriksaan.Alex tidak berada di dalam kamar milik Lara melainkan ada di kamar Shenina.Alex meremas rambutnya, seorang peraw
Ruangan putih seperti tak ada habisnya bagi Lara. Dia lelah berjalan, dia tidak menemui jalan keluar. Semua yang ada di pandangan matanya hanya ruangan putih yang tidak kunjung selesai.‘Apa ini yang dinamakan dengan dunia bawah sadar seseorang?’Lara bertanya dalam hening. Membungkukkan sedikit badannya, letih lutut dan kakinya melangkah, seperti tanpa tujuan. Tapi dia tahu dia harus pulang.Dia rindu anak-anaknya, Neo dan juga Shenina. Dia rindu dengan Alex.Entah sudah berapa lama langkah kakinya ini menyusuri ruangan yang tidak mengantarnya kembali pada kehidupan.Lara menangis seorang diri di sini, dia dikekang kerinduan, dibelenggu keinginan akan sebuah pertemuan.Dia kembali berjalan dengan meraba perutnya yang kembali rata. Sadar bahwa anak yang dia damba itu telah pergi dalam pelukan surga.Perjalanan yang panjang ternyata membuka lebar kedua telinganya. Lara mendengar suara Alex yang mengatakan,“Aku tahu bahwa sadar atau tidak, jauh atau dekat kamu akan mendengarku, Lara. Ja
Pelukan Neo dan juga Shenina seperti obat pelipur lara bagi Lara. Kedua anaknya merengkuh Lara sebisa tangan kecil mereka menjangkaunya.Lara juga sama meneteskan air mata merasakan kebahagiaan yang terasa pasca luka yang dia terima dengan hebatnya. Rasa sakit kehilangan secara fisik dan batin masih bisa dia rasakan bahkan hingga saat ini.Dia juga sama menangisya, tak ada ubahnya dengan Alex yang sekarang berdiri di samping ranjang. Yang selama beberapa detik kemudian menyerah dan dia menunduk untuk memeluk mereka bertiga.Mengubah pagi ini menjadi haru biru atas bangunnya Lara, tempat mereka menggantungkan hidup dan tempat mereka menggantungkan harapan itu kini telah bangun dan kembali ke pelukan mereka.“Mama,” panggil Neo dan Shenina hampir bersamaan saat keadaan berangsur membaik. Saat mereka melepas pelukan mereka untuk bisa melihat wajah satu sama lain.“Iya, Sayangku?” Lara memandang mereka bergantian, menghapus air mata Neo dan Shenina dengan ibu jarinya yang terasa gemetar.