Bab 23-B: Membalas Mertua dan Suamiku
“Bang, kamu kenapa?” tanyaku saat melihat Bang Agam mengisi keranjang biru dengan tiga batang cokelat. “Bang, kamu beli apaan?”
“Yang kamu suka, Dek. Semoga belum terlambat!” balasnya.
Bang Agam terus berjalan mengelilingi supermarket berukuran tiga pintu tersebut. Dia mengisi dua keranjang dengan berbagai makanan ringan, cokelat, roti, selai, dan juga susu UHT. Sedang aku mengekor dari arah belakang tanpa mengerti alasannya bersikap begini.
Sampai Bang Agam selesai memilih, lalu kami berjalan menuju kasir. Satu per satu barang pilihan suamiku di-scan, totalnya mencapai empat ratus ribu rupiah, jauh lebih banyak dibanding uang bulanan yang selama ini diberikan olehnya.
Tapi, yang aneh adalah Bang Agam tidak lekas membayar. Pria itu berdiri, melipat dua tangan di dada. Sedang s
Bab 24-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Apa Ibu tahu jumlah komisinya berapa?” ulangku sekali lagi karena khawatir ibu mertua tidak mendengarnya tadi.Perempuan paruh baya itu langsung menyelesaikan makan siangnya. Beliau melirik diriku dengan tajam, kemudian Bang Agam yang juga tercengang. Jika Bang Agam tidak tahu apa-apa soal komisi, aku bisa maklum, tapi ibu mertua yang notabenenya berpihak pada Iqmal dan Sari? Ah, rasanya tidak mungkin. Bisa saja beliau sedang berakting, seperti biasanya.“Kak Ima, apa Kakak akan terus begini di rumah kami? Mending Kak Ima balik saja ke kota, semenjak Kak Ima datang ke sini, semuanya jadi rumit.” Sari menghantam diriku dengan satu kalimat ketus darinya.Perempuan itu juga mendorong piring yang digunakan untuk makan, wajahnya bengis, bibirnya meruncing ke satu sudut. Sedang Iqmal menundukkan muka, mengepal tangan di atas meja hingga bisa dilihat oleh semua orang.“Kamu minta aku balik ke kota sekarang, Sar? Boleh, kok!”“Ima, dari tadi kamu bicara
“Bu, hati-hati kalau bicara. Tidak perlu bawa-bawa orang tuaku di sini!”Beliau terus menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam, seolah ada laser yang terbang dari kedua netranya yang terus menua itu. Ibu mertua mendorong kasar kursi Iqmal hingga terbuka jalur yang selebar tubuhnya, beliau berjalan cepat memutari meja makan sampai tiba di kursi tempatku duduk.“Pulang saja, Iblis!” celanya.Aku terperangah, ibu mertua menarik tanganku dengan keras hingga terasa sangat sakit. Seolah engsel di bahu terlepas.“Bu, lepas ... sakit!” rintihku.“Bu, hentikan. Bukan begini caranya menyelesaikan masalah,” tahan Bang Agam.Pria itu juga berusaha membujuk, tangan ibu mertua yang menarik diriku ditahan olehnya. Bang Agam memaksa untuk membuka cengkeraman keras di lenganku.Tapi, bukannya mendapat p
Bab 25: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, tega kamu bicara begitu sama Ibu?” sentak ibu mertuaku kembali.Awalnya, aku benar-benar ingin bergegas keluar dari rumah lalu masuk ke mobil sesuai perintah Bang Agam. Namun, kudapati Bang Agam menyimpan keraguan di raut wajahnya. Pria itu bahkan terhenti setiap kali Ibu mertua menghardik dirinya dengan begitu keras.“Bu, biarkan saja Bang Agam pergi dari sini, memangnya kita enggak bisa hidup kalau enggak ada dia?” sahut Iqmal. Sari juga mengiyakan perkataan suaminya.Suasana jadi semakin tidak terkendali. Ini bukan yang aku harapkan saat mengungkap rahasia di antara keluarga ini. Aku hanya ingin Ibu mertua dan Iqmal tahu jika kami bukanlah sapi perah yang harus selalu memenuhi semua kemauan mereka sampai mengabaikan diri sendiri. Kami bersedia membantu, tapi bukan berarti harus sampai mengosongkan tabungan dan menc
Bab 26: Membalas Mertua dan Suamiku Bang Agam membawaku ke rumah sakit saat gawainya terus berdenting karena panggilan masuk dari adiknya. Hal itu membuatku merasa tidak nyaman merasa telah menjadi penyebab dari rusaknya hubungan antara Bang Agam dengan ibunya.Aku tidak bisa menghentikan tatapan pada layar gawai suamiku. Gawai itu tidak berhenti berbunyi dan layarnya berkedip, ditambah lagi ada beberapa pesan beruntun yang terus masuk.Ternyata kegelisahanku itu diketahui oleh Bang Agam, dia segera mengambil gawainya dan menyimpan di saku celana.Sikapnya tersebut membuatku bertanya pada Bang Agam sekali lagi
“Hati-hati di rumah, Dek. Jangan buka pintu sembarangan, kalau ada apa-apa hubungi aku!“ ingat Bang Agam.Aku mengekori tepat di sebelahnya, mengantar pria itu menuju pagar rumah. Selama ibu mertua ada di sini, beliaulah yang mendampingi Bang Agam, mengandeng lengannya dan berjalan beriringan. Sedang aku, tidak lebih dari perempuan asing yang hanya bisa melihat dari kejauhan.“Dek?“ Bang Agam menegur lagi.Sontak aku terhenyak, lalu menengadahkan kepala demi melihat parasnya. Di sana, kudapati ekspresi hangat yang tidak biasa. Bang Agam menatapku dengan sorot mata yang sama dengan dulu saat kami baru saling mengenal.&ldq
Bab 27: Membalas Mertua dan Suamiku “Dek, sudah enakan badannya?” Suara Bang Agam mendayu di telinga.Gara-gara mimpi yang mengerikan itu, seluruh tubuhku jadi meriang dan berakhir dengan terbaring lemah di ranjang sejak semalam. Bang Agam bahkan harus izin sehari karena tidak tega meninggalkanku di rumah seorang diri.“Aku baik-baik saja, harusnya Abang berangkat kerja. Kemarin habis cuti panjang juga,” balasku sembari beranjak duduk dengan menyandarkan punggung di dasboard ranjang.“Tidak bisa, Dek. Kalau aku berangkat kerja, terus kamu sendirian di sini?” Bang Agam menjawabku, lalu menempatkan diri di tepian ranjang.Pria itu sudah bersih, mandi dan berpakaian ala rumahan. Aroma harum dari lotionnya juga menguar kuat, menyentuh hidungku yang setengah tersumbat.“Kalau dulu, ada Ibu.”
Bab 28: Membalas Mertua dan Suamiku Kami tiba di desa sebelum jam sembilan pagi. Bang Agam memacu mini bus yang direntalnya dalam kecepatan tinggi dengan hati terus gelisah. Pria itu memintaku menelepon seluruh nomor keluarga yang dia punya untuk bertanya keberadaan Ibu mertua serta Iqmal.“Dek, coba hubungi lagi! Mungkin Iqmal atau Sari sudah aktif teleponnya,” pinta Bang Agam saat kami memasuki pagar rumah.Benar seperti perkataan Pak Ustad semalam, Ibu mertua atau Iqmal berniat menjual rumah utama. Ada papan berukuran sedang di depan, menghadap ke jalan dan bertuliskan jika rumah tersebut dijual.“Bang, belum terhubung juga!” ucapku sembari memandang ke arah Bang Agam.Pria itu sudah berdiri di depan mobil, dia menghadap ke arah rumah sembari berkacak pinggang. Tatapannya terus tertaut dengan rumah ibu mertua yang sudah sepi, begitu banyak daun berhamburan di halaman, sedangkan terasnya telah kosong dan berdebu tebal.Rumah ini benar-benar tidak berpenghuni untuk waktu yang lama.
Bab 29: Membalas Mertua dan Suamiku“Gadai, Pak Ustad?” Bang Agam mengulang pertanyaan pada pria bijak di depannya.“Apa kami boleh tahu detailnya, Pak? Karena sejujurnya kami tidak tahu apa-apa setelah kembali kota,” sambungku karena Bang Agam sepertinya masih syok.Pria itu, pastilah dia kembali terluka dengan kenyataan yang didengarnya dari Pak Ustad hari ini. Lagi dan lagi, suamiku dikecewakan oleh keluarganya sendiri.“Sudah digadaikan sejak lama, Dek Ima. Cuma kejelasannya kami tidak tahu. Digadaikan ke juragan di sini,” sahut Bu Ustazah.Kualihkan pandangan pada Bang Agam. Pria itu terus menekuk tengkuk, jemari tangannya yang panjang saling memilin, lututnya bergoyang, gelisah melingkupi seluruh tubuh pria ini.“Apa yang harus kami lakukan sekarang, Pak? Apa baiknya kami lapor