Pagi-pagi sekali aku bangun dari peraduan. Tanpa menyentuh dapur terlebih dahulu seperti hari-hari lalu, kuputuskan untuk segera mandi dan berkemas diri.
“Awal sekali, Ris? Kamu sudah mau berangkat jam segini?” Mas Rauf yang baru tercelang matanya tepat pukul 05.30 pagi, menatapku dengan penuh heran. Sedang aku tengah mematut diri di depan cermin sembari mengenakan bedak dan pemerah bibir.
Meski masih terasa sesak dada ini akibat dugaan perselingkuhan yang dilakukan Mas Rauf, tetapi aku mencoba untuk terlihat santai. Kujawab pertanyaannya dengan nada dan ekspresi datar.
“Iya. Dokter Vadi yang nyuruh.” Aku menyampirkan tas kerja yang sudah kuisi dengan dompet dan cap perawat yang akan kupakai nanti setelah sampai di poli.
“Nggak siapin sarapan dulu?” Pertanyaan Mas Rauf entah mengapa malah membuatku menjadi semakinsesak dan panas. Jika saja dia menanyakan hal ini sebelum kami bertengkar hebat dan disusul telepon misterius dari seorang perempuan tadi malam, mungkin aku akan menanggapi pertanyaannya dengan biasa. Namun, sekarang sudah beda cerita. Ingin sekali kupukul kepalanya dengan tas atau alat-alat make up yang berada di dalam laci meja rias. Akan tetapi, biarlah pagi ini aku merasa tenang sesaat. Membiarkan Mas Rauf tak curiga akan diriku yang mulai mengendus kecurangan darinya. Tunggu kau, ya. Tak akan kubiarkan selamat begitu saja.
“Nggak. Cari di luar atau masak mie dulu.” Aku cuek dan hendak keluar kamar meninggalkan Mas Rauf yang wajahnya masih terlihat mengantuk tersebut.
“Jangan makin keterlaluan, Ris. Sabarku sebagai suami ada kalanya akan habis.” Ucapan itu begitu menusuk dan sangat dingin. Andai aku tak dapat menahan sabar, mungkin pisau dapur telah kuhunuskan pada perutnya akibat rasa syok sekaligus kecewa kala mendengar suara perempuan memanggilnya dengan sebutan sayang.
Aku langsung menoleh. Menatapnya sekilas yang kini duduk di pinggir ranjang sembari melempar wajah masam ke arahku. Aku mengulas senyum. Sinis. Berharap dia akan sadar diri. Namun, lelaki itu tambah kecut saja. Seolah aku lah yang paling bersalah di dalam rumah ini.
“Silakan saja habiskan sabarmu, Mas.” Aku membuang muka dan kini benar-benar keluar kamar. Masa bodoh. Jika memang sabarnya sudah habis, itu berarti kami memang harus berpisah. Namun, aku tak bakal puas jika kami segera bercerai begitu saja tanpa adanya sebuah pembuktian atas pengkhianatan yang dia perbuat. Cepat atau lambat, Mas Rauf harus kena batunya. Rasa malu yang tiada tara harus mencoreng mukanya. Kita lihat nanti. Aku sama sekali tidak takut untuk melawannya.
Dengan santainya aku melenggang kangkung. Melewati Mama yang baru keluar dari kamar. Perempuan yang mengenakan daster batik selutut dengan rambut tergulung ke atas tersebut menatap dengan heran.
“Ris, berangkat? Awal banget?” tanyanya masih sambil berdiri di ambang pintu.
Aku yang sudah berada di depannya beberapa langkah, terpaksa untuk menoleh dan setor muka. “Iya, Ma. Ada urusan.”
“Udah bikin sarapan buat Rauf?” Pertanyaannya lebih seperti penodongan. Lantas, kalau belum mau apa?
“Nggak. Nggak sempat.” Aku menjawab santai. Membuang muka dan meneruskan berjalan hingga mencapai ruang tamu, lalu keluar untuk membuka pintu.
Tak kupedulikan lagi decak kesal dari bibir Mama yang sempat terdengar sekilas di telinga. Mau marah? Mau kesal? Silakan saja!
Dari awal menikah, sebenarnya aku ini kurang apa?Rajin bikin sarapan, iya. Masak untuk makan malam sekalian makan siangku, juga iya. Yang tak kulakukan rutin hanya beres-beres rumah dan mencuci pakaian Mas Rauf. Sisanya aku semua yang kerjakan. Pakaianku sendiri saja aku cuci atau terkadang laundry. Kalau Mas Rauf alasannya lebih cocok dicucikan oleh Mama. Ah, alasan saja! Buatan mereka doang supaya aku merasa berutang budi pada mamanya dan mengeluarkan sedikit uang sebagai ucapan terima kasih karena telah mencucikan pakaian suamiku. Kini sudah terbaca siasat busuk mereka olehku. Sebenarnya dari dulu aku sudah mengendus ada yang tak beres. Namun, dasarnya aku yang telalu berpikiran positif. Akibatnya apa? Aku malah diinjak dan diselingkuhi oleh sosok Mas Rauf yang ternyata bajing*n tesebut.
Kukeluarkan motor skuter matik yang dibelikan Almarhum Bapak saat aku SMA kelas X dulu. Motor ini masih sangat bagus dan terawat dengan baik. Tak ada niatan untukku menggantinya dengan yang baru. Apalagi kalau sampai kredit dan memaksakan diri padahal tak punya uang. Ya, seperti si Indy! Lihat tuh, motornya. Kinclong! Baru dan buka bungkus. Tiga bulan yang lalu kredit di leasing dengan uang muka hasil menjual motor lama. Padahal, motor bekas pakai Mas Rauf saat kami masih sama-sama SMA itu (aku dan suami satu kelas saat sekolah), masih sangat layak dipakai. Dasar saja anak itu tidak tahu diri dan cari kesempatan!
Setelah kembali menutup dan mengunci pintu garasi, kupacu motorku agak menjauh dari rumah. Setelah sekiranya seratus meter, aku berhenti di depan sebuah warung langganan keluarga Mas Rauf. Ya, aku tidak ke RS sebenarnya. Namun, ingin membuntuti Mas Rauf dan mencari tahu siapa perempuan yang menelepon tadi malam. Bukankah pagi ini dia minta dijemput ke rumah untuk kemudian diantar lagi? Nah, pasti setelah aku pergi, Mas Rauf akan bergegas untuk menemui perempuan tersebut.
“Permisi Mak Ambar,” sapaku pada pemilik warung sembako yang berusia hampir sama dengan Mama. Mak Ambar sosok perempuan gemuk dengan senyum ramah dan baik hati. Dia tak sungkan untuk memberi utangan pada warga sekitar sini bahkan membantu orang-orang yang kesulitan. Beberapa kali aku bahkan diberikannya bonusan apabila belanja banyak di warungnya.
“Eh, Risa. Mau belanja apa?” Ucapnya sambil bangkit dari kursi kasir tempat dia melayani pembeli di antara tumpukkan barang-barang dagangan.
“Mak, mau minta tolong. Boleh?” Aku menatap penuh harap kepada perempuan yang memiliki dua anak yang semuanya berprofesi sebagai guru.
“Boleh, Ris. Tolong apa?” Mak Ambar yang mengenakan jilbab bahan kaus berwarna hitam dengan pad yang sudah meleyot akibat usang tersebut tersenyum manis.
“Tukar motor boleh, Mak? Biar Mamak pakai motorku. Aku pakai motor Mamak. Aku mau membuntuti orang, Mak. Takut ketahuan makanya mau tukaran motor.”
Mak Ambar yang memiliki sifat enggan usil pada urusan orang lain itu pun langsung mengambil kunci motornya dari dalam laci. “Nih, pakailah.”
Dengan mengulas senyum lebar, aku meraih benda dengan gantungan kunci berbentuk miniatur candi Borobudur tersebut. “Makasih ya, Mak. Nanti kuganti bensinnya. Sekalian pinjam helmnya ya, Mak.”
“Santai saja, Ris. Pakai aja nggak apa-apa. Nggak usah diganti segala.” Mak Ambar menepuk-nepuk pundakku.
“Mak, maaf sekali lagi. Punya jaket nggak, Mak? Yang kaya apa aja terserah. Yang penting jaket. Aku pinjam sehari ya, Mak?” Bagai melunjak, aku lagi-lagi meminta pertolongan pada ibu baik hati tersebut. Sebenarnya tidak enak hati, sih. Namun, mau bagaimana lagi? Ini demi sempurnanya penyamaran.
“Ada. Bentar, ya. Titip warung.” Mak Ambar kemudian berjalan ke belakang, melewati pintu yang tersambung langsung ke arah samping bagian rumahnya. Tak sampai semenit lamanya, perempuan tua baik hati itu kembali lagi dengan gerakan yang agak tergopoh. Kasihan Mak Ambar. Aku jadi makin tak enak hati saja. Setelah ini aku berjanji akan membelikannya buah-buahan segar di pasar.
“Ini, Ris. Pakai aja.” Mak Ambar memberikan sebuah sweater rajut berwarna abu-abu terang padaku. Kuterima benda tersebut sembari mengucap terima kasih dan langsung memakainya. Agak kebesaran. Mungkin ini punya Mak Ambar. Namun, bukan masalah. Sweater ini malah membuatku hangat dan nyaman karena harum pewangi pakaian yang menguar. Seperti baru habis dicuci dan setrika. Baiknya Mak Ambar!
“Makasih ya, Mak. Aku menunggu di depan sebentar, sekalian menanti orangnya lewat.” Kusalami Mak Ambar dengan penuh rasa hormat. Perempuan itu mengusap kepalaku beberapa kali.
“Ini helmnya. Jangan lupa. Motor udah terparkir di teras samping. Langsung keluari aja, Ris. Bawa ke depan warung sini.” Mak Ambar tak lupa untuk mengambilkan helm berwarna merah dengan logo sebuah merk kendaraan motor ternama inisial ‘Y’ dari bawah kolong meja kerjanya.
“Siap, Mak. Siang pulang kerja motornya aku kembalikan. Ini kunci motorku ya, Mak. Pakai aja.”
Mak Ambar mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Beliau kembali duduk di kursi sembari mencatat sesuatu di buku yang kuduga seperti buku catatan bon utang.
Tak menunggu lama, langsung kupakai helm tersebut dan mengambil motor Mak Ambar yang terparkir di halaman rumahnya yang persis bersebalahan dengan warung. Cepat kubawa ke depan warung sembari mengawasi Mas Rauf yang kemungkinan sebentar lagi akan lewat sini.
Kututup kaca helm, sebagai antisipasi kalau-kalau lelaki itu bakal mengenali wajahku. Rambut sebahuku pun kumasukkan ke dalam sweater, jadi dia semakin sulit untuk mengenali sang istri. Pokoknya, hari ini juga Mas Rauf harus selesai olehku. Persetan dengan dr. Vadi yang akan marah sebab aku tak datang tepat waktu. Persetan kalau aku bakal dipecat dari RS sekali pun. Masih banyak RS atau klinik lain di kota ini yang mau menerimaku bekerja. Toh, rejeki sudah diatur oleh Tuhan.
Dan, benar saja. Mas Rauf dengan motor bebeknya, lewat dengan kecepatan sedang. Lelaki yang mengenakan jaket bahan denim yang warnanya sudah usang dan bolong beberapa buah di bagian punggung tersebut tak menoleh sedikit pun ke arahku. Inilah kesempatanku untuk mengikutinya dari belakang dan jangan sampai kehilangan jejak lelaki kurang ajar itu.
Jantungku rasanya berdegup kuat. Ada perasaan yang campur aduk dan sulit untuk diungkap. Mas Rauf, jika memang pagi ini ketahuan olehku menjemput seorang perempuan, maka usailah hubungan kita. Maaf, Mas. Meski jasamu banyak, aku ini cuma seorang perempuan yang bisa habis sabarnya. Aku punya harga diri dan kemampuan untuk hidup mandiri. Camkan itu!
Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati. Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.
Tidak, Risa bukanlah sosok yang lemah. Tak ada tangis dan kecewa. Aku harus bangkit! Selagi Mas Rauf masih sibuk mengusap puncak kepala kekasih gelapnya, maka aku pun berusaha untuk bangkit dari motor. Berjalan ke arah mereka sembari membuka helm dan maske yang tadinya sempurna menutupi penyamaran. Dengan menahan degupan jantung yang keras dan seolah membabi buta memukuli dada, kuempaskan helm pinjaman milik Mak Ambar tepat di kepala Mas Rauf. Plak! Mas Rauf seketika terjungkal ke samping bersama sepeda motornya. Lelaki itu membelalak kaget dengan wajah yang pucat pasi. “Sayang!” Teriakan histeris perempuan minimarket tersebut membuat telingaku semakin panas. “Apa katamu? Sa
Aku tiba di depan warung Mak Ambar dengan wajah yang sembab akibat tangis di sepanjang jalan tadi. Segera kuseka air mata ini sebelum masuk menemui beliau. Sial, di dalam sana ada beberapa orang lain yang sedang belanja. Namun, aku harus segera bergerak. Sebelum Mas Rauf ikut menyusul dan menghentikan rencana. Setelah meyakini bahwa wajahku kini baik-baik saja, langsung kubergegas masuk, melewati dua ibu-ibu yang sedang berdiri di depan meja Mak Ambar. Keduanya kukenali sebagai Bu Minarti dan Mbak Kinanti. Mereka adalah tetangga sekitar sini yang terkenal lambe turah serta hobi ngurusi kehidupan orang lain. “Eh, ada Risa. Nggak dinas, Ris?” Mbak Kinanti yang usianya beberapa tahun di atasku menyapa. Wanita cantik dengan daster rumahan selutut itu mulai menatap diriku dari ujung kaki hingga pucuk kepala.&nb
Sesampainya di parkiran khusus karyawan yang berada di belakang rumah sakit, tak jauh dengan kamar jenazah (makanya terkadang aku lebih suka parkir di depan, karena sering ngeri-ngeri sedap lewat sini), aku segera memarkirkan motor dan tak lupa untuk mengunci stangnya. Jarang sebenarnya aku parkir di sini. Namun, apa boleh buat. Yang kutakutkan apabila Mas Rauf nekat mencari ke RS dan menemukan motorku di parkiran depan sana. Dia memang tahu kebiasaanku yang selalu parkir di depan karena aku kerap bercerita bahwa spot angker di RS Citra Medika ini selain di kamar jenazah dan tempat laundry, juga di parkiran belakang. Lagi pula yang bisa mengakses tempat ini hanya karyawan yang memiliki ID card saja. Dari depan sana satpam bakal menghalau pengunjung untuk masuk. Karena takut hilang, kubawa saja tas travel yang lumayan berat ke ruang rawat jalan poli umum tempat dr. Vadi kemungkinan sedang menjalanka
“Ris, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang.” Mas Rauf menggenggam pergelangan tanganku dan sedikit menariknya. Aku tersentak sekaligus naik pitam. Apa maksudnya? Mengajakku pulang? Hei, siapa dirimu memangnya? “Lepaskan!” Aku menepis tangannya kuat sembari setengah berteriak. “Jangan buat malu di sini. Aku sudah muak denganmu!” Aku menuding ke wajahnya yang berminyak dan kemerahan akibat tersengat sinar matahari tersebut. “Ris, aku mohon. Pulanglah. Aku minta maaf padamu.” Mas Rauf berlutut di tanah. Membuat orang-orang di sekitar parkiran langsung memberikan perhatiannya kepada kami.&n
Kami memasuki resto yang dipadati oleh ramai pengunjung. Rata-rata pengunjung di sini tampak dari kalangan kantoran dan pebisnis. Mereka menduduki kursi-kursi dengan meja berbentuk persegi maupun bulat. Meski ramai, suasana di dalam resto ini terasa begitu nyaman dan homey dengan ornamen tradisional khas Jawa yang melekat pada setiap sudut. Berjejer figura yang memajang ragam batik tulis khas Jawa Tengah di beberapa spot. Kipas-kipas besar terpasang di langit-langitnya sehingga kami sama sekali tak merasa gerah meski cuaca di luar sedang panas-panasnya. Dokter Vadi terus berjalan demi mencari tempat yang nyaman. Sampai di tengah ruangan, dia mengajakku untuk belok ke arah kanan dan mataku langsung takjub melihat sebuah kolam besar berhias teratai di mana-mana. Cantik sekali. Di tengah-tengahnya ada sebuah patung kendi yang mengalirkan ai
Usai menghabiskan bersih makanannya tanpa menyisakan sedikit pun, sosok berpotongan rambut pendek rapi masa kini itu duduk bersandar di pojok saung sambil selonjoran. Menikmati hidup sekali sepertinya dr. Vadi. Sampai-sampai lupa jaga image di hadapan anak buahnya. “Ris, kamu serius mau cerai?” Dokter Vadi tiba-tiba membuka perbincangan. Aku yang ikut tersandar di seberangnya, kini setengah gelagapan sembari menegakkan posisi. “Iya, Dok.” Aku menatap dr. Vadi sekilas. Lelaki itu ternyata sedari tadi memandang ke arahku. “Boleh tahu, kronologi tadi pagi? Itu kalau kamu tidak keberatan. Eh, sekali lagi. Stop dak dok di sini.” Lelaki itu menunjukku dengan tusuk gigi yang sedari tadi dipegangnya.
“Ris, ayo pulang. Sudah sangat sore. Kamu mau cari kamar kost, bukan?” Dokter Vadi membuyarkan lamunanku. Lelaki itu bangkit dan menarik ujung kemeja untuk mebenarkan letaknya. Aku yang merasa begitu kenyang dan mulai mengantuk ini, bangkit perlahan sambil berpegangan pada sebuah tiang bambu besar. “Iya, Dok, eh, Mas.” Aku menatap tak enak hati padanya. Lelaki itu hanya mendengus kecil. “Jangan kaku benar hidupmu, Ris. Ini bukan masa penjajahan kolonial Belanda.”Lelaki itu melangkahkan kakinya dan mendahuluiku. Tubuh tinggi dengan pundak bidangnya itu menutupi setengah pandanganku. Kalau dilihat dari belakang begini, dr. Vadi sangat gagah. Apalagi dari depan. Wajar sih kalau mantan pacarnya serupa dengan artis papan atas seperti Nadya. Tak berdanda tebal saja bisa seglowing itu. Apalagi kalau d
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba