Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati.
Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.
Dengan mengambil jarak yang tak terlalu dekat, mungkin sekitar sepuluh meter jauhnya, aku tetap memantau pergerakan Mas Rauf yang untungnya tak kencang membawa motor. Lelaki itu tampak tenang dan tiada beban. Seakan dia sedang hendak berjalan menuju tempat yang sudah sangat biasa didatanginya. Aku tak tahu sejak kapan dia melakukan hal ini. Namun, seperti telah berlangsung beberapa lama. Jangan-jangan ... sejak kami menikah? Sialan!
Mas Rauf terus memacu motornya masuk ke jalan Dr. Soetomo dan kemudian belok ke kiri. Tepatnya di sebuah gerbang perumahan rakyat bersubdi. Aku pernah masuk ke perum ini. Penjagaannya memang tak ketat seperti perumahan elit yang dijaga oleh satpam segala. Namun, jika ikut masuk, aku khawatir bakal ketahuan. Lagi-lagi nyaliku menciut. Namun, rasa penasaran ini terlalu kuat dan sulit untuk dibendung. Setelah menepi sesaat di dekat trotoar yang jaraknya beberapa meter dari gerbang perumahan, aku akhirnya memutuskan untuk ikut ke sana. Mencoba mencari ke mana perginya Mas Rauf yang semoga saja tak begitu jauh atau masuk ke blok yang membingungkan.
Saat aku mulai memacu kendaraan dan memasuki blok A, tak kuduga, Mas Rauf sudah berbalik arah untuk keluar dari perumahan dan membonceng seorang perempuan. Betapa napasku tercekat. Jantung berdegup sangat keras. Kubiarkan mereka melalui diriku begitu saja sementara aku terus memacu motor dengan kecepatan pelan. Kini, Mas Rauf bersama selingkuhannya sudah keluar dari gerbang dan aku cepat-cepat berbelok dan mengejar mereka.
Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hancur berkeping. Rusak semua kenangan indah yang telah kami rajut bersama selama ini. Masa-masa SMA yang indah dan jalinan persahabatan selama tiga tahun, kemudian dilanjutkan dengan pacaran selama tiga tahun juga, dan sepuluh bulan pernikahan ini. Semua ternyata telah tiada artinya lagi bagi Mas Rauf. Tak kunyana, lelaki yang dulunya sangat baik dan ringan tangan untuk menolong, royal serta perhatian, kini berganti menjadi lelaki penuntut plus kikir. Ternyata semua ini memiliki alasan. Ya, perselingkuhannya dengan perempuan yang sekilas kulihat mengenakan seragam sebuah minimarket frenchise.
Otakku langsung bekerja keras. Jangan-jangan ... perempuan itu bekerja di minimarket yang letaknya tak jauh dari bengkel. Ya, di arah yang sama, sekitar lima puluh meteran dari bengkel Mas Rauf yang rukonya masih menyewa tersebut, terdapat minimarket waralaba yang kerap didatangi oleh suamiku untuk berbelanja. Memang, setiap pulang bekerja, Mas Rauf kerap membawa plastik berlogo minimarket tersebut dengan bermacam barang belanjaan. Mulai dari cuma sebungkus rokok, susu steril kalengan, sampai alat cukur maupun shampo. Apakah ini ada hubungannya?
Keluar dari gerbang, feelingku begitu kuat untuk berbelok ke arah kanan. Meski tak kutemukan Mas Rauf di ujung jalan sana, tetapi aku sangat yakin dengan instingku sebagai seorang wanita yang dikhianati. Kupacu motor dengan kecepatan tinggi. Melewati dan menyalip kendaraan lain tanpa memikirkan risiko yang mengancam. Biarlah, daripada aku harus kehilangan kesempatan untuk memergoki pasangan selingkuh tersebut.
Di perempatan lampu merah, aku mengambil lajur kiri tanpa harus menunggu lampu apil hijau. Terus membawa motor dengan kecepatan lumayan kencang dan menerobos hiruk pikuk jalanan yang semakin padat merayap.
Tuhan memang sangat sayang padaku. Di depan sana, sekitar tiga puluh meter, tampak olehku motor milik Mas Rauf yang sedang membonceng perempuan dengan helm warna putih dan atasan seragam warna merah dengan logo minimarket terkenal berinisial ‘A’ tersebut. Kini kupacu motor agak lambat, agar tak menyalip mereka. Kita tunggu, sampai di mana mereka berdua akan bermesraan di atas motor yang suara knalpotnya berisik.
Dengan mata kepalaku sendiri, tampak dua sejoli itu sangat lengket. Bahkan, si perempuan tak segan untuk memeluk erat pinggang milik Mas Rauf. Kalau tak berselingkuh, lantas apa namanya? Kakak-adik? Teman tapi bangs**? Persetan! Yang jelas mereka berdua benar-benar telah menyakiti hati. Tunggu, ya. Kita harus bertatap enam mata pagi ini juga. Tenang. Tak bakal seperti video viral seorang istri sah yang ngamuk-ngamuk di depan umum hanya untuk memberi tahu bahwa dia telah dicurangi oleh suami. Aku akan mengambil tindakan yang lebih elegan dan manusiawi karena aku adalah seorang insan yang sejatinya terpelajar dan berpendidikan. Nama baik adalah taruhannya dan bagiku Mas Rauf tidak pantas menjadi alasan bagiku untuk mencoreng harga diri ini.
Dan ya! Benar sekali dugaanku. Tak meleset sedikit pun. Mas Rauf membawa motornya berbelok ke kanan. Masuk ke jalan Tanjung di mana area pasar dan bengkel Mas Rauf berada. Pasti mereka akan singgah ke minimarket yang letaknya sebelum bengkel milik suamiku. Taruhan. Aku bahkan berani potong jari jika memang dugaanku salah.
Motor Mas Rauf benar-benar berhenti di depan parkiran minimarket tersebut. Aku pun tak mau lengah. Semakin kupacu kencang sepeda motorku dan berhenti beberapa jengkal di belakang motor Mas Rauf. Saat aku akan turun dari motor, Mas Rauf dan perempuan yang telah menenteng pengaman kepala yang sebelumnya dia gunakan, tengah bersalaman. Mesra sekali perempuan bertubuh ramping dengan wajah yang dihias dengan make up natural tersebut mencium tangan berbulu milik Mas Rauf. Dan si bajing*n itu mengelus puncak kepala sang selingkuhan yang ditutupi dengan jilbab warna hitam yang senada dengan celana panjangnya.
Telingaku bahkan dapat menangkat kata-kata manis dari mulut Mas Rauf yang bahkan akhir-akhir ini sama sekali tak kudengar lagi. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kalinya dia mengatakan hal serupa pada aku istri sahnya.
“Semangat kerjanya ya, Yang. Jangan lupa, makan siangnya jangan sampai telat. Mas nggak mau kamu sakit.”
Mendidih darahku. Sampai mengepal kedua tinju ini. Risa, dianggap apa kamu oleh suamimu sendiri? Sebatas pemuas nafsu bir*hinya, kah? Sekadar mesin pencetak uang untuk memberi makan keluarganya?
Hancur betul perasaanku. Ternyata aku tak sekuat yang kubayangkan. Lutut ini bahkan seketika melemas dengan kaca-kaca di mataku yang mulai akan luruh sebagai tangis kekecewaan. Aku pun jadi setengah yakin, sanggupkah aku untuk melangkah ke arah mereka serta melabrak keduanya? Mas Rauf ... kamu sebenarnya manusia atau binatang, Mas? Bisa-bisanya hatimu begitu jahat dan licik bagai srigala!
Tidak, Risa bukanlah sosok yang lemah. Tak ada tangis dan kecewa. Aku harus bangkit! Selagi Mas Rauf masih sibuk mengusap puncak kepala kekasih gelapnya, maka aku pun berusaha untuk bangkit dari motor. Berjalan ke arah mereka sembari membuka helm dan maske yang tadinya sempurna menutupi penyamaran. Dengan menahan degupan jantung yang keras dan seolah membabi buta memukuli dada, kuempaskan helm pinjaman milik Mak Ambar tepat di kepala Mas Rauf. Plak! Mas Rauf seketika terjungkal ke samping bersama sepeda motornya. Lelaki itu membelalak kaget dengan wajah yang pucat pasi. “Sayang!” Teriakan histeris perempuan minimarket tersebut membuat telingaku semakin panas. “Apa katamu? Sa
Aku tiba di depan warung Mak Ambar dengan wajah yang sembab akibat tangis di sepanjang jalan tadi. Segera kuseka air mata ini sebelum masuk menemui beliau. Sial, di dalam sana ada beberapa orang lain yang sedang belanja. Namun, aku harus segera bergerak. Sebelum Mas Rauf ikut menyusul dan menghentikan rencana. Setelah meyakini bahwa wajahku kini baik-baik saja, langsung kubergegas masuk, melewati dua ibu-ibu yang sedang berdiri di depan meja Mak Ambar. Keduanya kukenali sebagai Bu Minarti dan Mbak Kinanti. Mereka adalah tetangga sekitar sini yang terkenal lambe turah serta hobi ngurusi kehidupan orang lain. “Eh, ada Risa. Nggak dinas, Ris?” Mbak Kinanti yang usianya beberapa tahun di atasku menyapa. Wanita cantik dengan daster rumahan selutut itu mulai menatap diriku dari ujung kaki hingga pucuk kepala.&nb
Sesampainya di parkiran khusus karyawan yang berada di belakang rumah sakit, tak jauh dengan kamar jenazah (makanya terkadang aku lebih suka parkir di depan, karena sering ngeri-ngeri sedap lewat sini), aku segera memarkirkan motor dan tak lupa untuk mengunci stangnya. Jarang sebenarnya aku parkir di sini. Namun, apa boleh buat. Yang kutakutkan apabila Mas Rauf nekat mencari ke RS dan menemukan motorku di parkiran depan sana. Dia memang tahu kebiasaanku yang selalu parkir di depan karena aku kerap bercerita bahwa spot angker di RS Citra Medika ini selain di kamar jenazah dan tempat laundry, juga di parkiran belakang. Lagi pula yang bisa mengakses tempat ini hanya karyawan yang memiliki ID card saja. Dari depan sana satpam bakal menghalau pengunjung untuk masuk. Karena takut hilang, kubawa saja tas travel yang lumayan berat ke ruang rawat jalan poli umum tempat dr. Vadi kemungkinan sedang menjalanka
“Ris, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang.” Mas Rauf menggenggam pergelangan tanganku dan sedikit menariknya. Aku tersentak sekaligus naik pitam. Apa maksudnya? Mengajakku pulang? Hei, siapa dirimu memangnya? “Lepaskan!” Aku menepis tangannya kuat sembari setengah berteriak. “Jangan buat malu di sini. Aku sudah muak denganmu!” Aku menuding ke wajahnya yang berminyak dan kemerahan akibat tersengat sinar matahari tersebut. “Ris, aku mohon. Pulanglah. Aku minta maaf padamu.” Mas Rauf berlutut di tanah. Membuat orang-orang di sekitar parkiran langsung memberikan perhatiannya kepada kami.&n
Kami memasuki resto yang dipadati oleh ramai pengunjung. Rata-rata pengunjung di sini tampak dari kalangan kantoran dan pebisnis. Mereka menduduki kursi-kursi dengan meja berbentuk persegi maupun bulat. Meski ramai, suasana di dalam resto ini terasa begitu nyaman dan homey dengan ornamen tradisional khas Jawa yang melekat pada setiap sudut. Berjejer figura yang memajang ragam batik tulis khas Jawa Tengah di beberapa spot. Kipas-kipas besar terpasang di langit-langitnya sehingga kami sama sekali tak merasa gerah meski cuaca di luar sedang panas-panasnya. Dokter Vadi terus berjalan demi mencari tempat yang nyaman. Sampai di tengah ruangan, dia mengajakku untuk belok ke arah kanan dan mataku langsung takjub melihat sebuah kolam besar berhias teratai di mana-mana. Cantik sekali. Di tengah-tengahnya ada sebuah patung kendi yang mengalirkan ai
Usai menghabiskan bersih makanannya tanpa menyisakan sedikit pun, sosok berpotongan rambut pendek rapi masa kini itu duduk bersandar di pojok saung sambil selonjoran. Menikmati hidup sekali sepertinya dr. Vadi. Sampai-sampai lupa jaga image di hadapan anak buahnya. “Ris, kamu serius mau cerai?” Dokter Vadi tiba-tiba membuka perbincangan. Aku yang ikut tersandar di seberangnya, kini setengah gelagapan sembari menegakkan posisi. “Iya, Dok.” Aku menatap dr. Vadi sekilas. Lelaki itu ternyata sedari tadi memandang ke arahku. “Boleh tahu, kronologi tadi pagi? Itu kalau kamu tidak keberatan. Eh, sekali lagi. Stop dak dok di sini.” Lelaki itu menunjukku dengan tusuk gigi yang sedari tadi dipegangnya.
“Ris, ayo pulang. Sudah sangat sore. Kamu mau cari kamar kost, bukan?” Dokter Vadi membuyarkan lamunanku. Lelaki itu bangkit dan menarik ujung kemeja untuk mebenarkan letaknya. Aku yang merasa begitu kenyang dan mulai mengantuk ini, bangkit perlahan sambil berpegangan pada sebuah tiang bambu besar. “Iya, Dok, eh, Mas.” Aku menatap tak enak hati padanya. Lelaki itu hanya mendengus kecil. “Jangan kaku benar hidupmu, Ris. Ini bukan masa penjajahan kolonial Belanda.”Lelaki itu melangkahkan kakinya dan mendahuluiku. Tubuh tinggi dengan pundak bidangnya itu menutupi setengah pandanganku. Kalau dilihat dari belakang begini, dr. Vadi sangat gagah. Apalagi dari depan. Wajar sih kalau mantan pacarnya serupa dengan artis papan atas seperti Nadya. Tak berdanda tebal saja bisa seglowing itu. Apalagi kalau d
PoV Rauf Plak! Plak! Tamparan mendarat di pipi. Lestari benar-benar murka padaku. Dia mengamuk dengan tangis yang tumpah ruah membasahi pipi mulus yang kerap kuciumi tersebut. “Kamu jahat, Mas! Kamu pembohong! Katamu akan meninggalkan istrimu yang matre itu, tapi kamu malah bilang padanya bahwa kamu memilih dia ketimbang aku!” Tak kusangka, gadis yang sudah kupacari selama enam bulan ini dapat mengamuk juga. Perempuan desa yang baru merantau setahun dan termakan rayuanku, ternyata bisa bersikap buas seperti Risa juga. Kep*rat! Bukankah tujuanku memacari gadis desa sepertinya agar dia tak bersikap kurang ajar begini? Eh, ternyata salah besar. Berani-beraninya dia memukul mukaku di tepi jalan begini. Mana orang-orang mulai ramai berbelanja di minimarket p
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba