Usai menghabiskan bersih makanannya tanpa menyisakan sedikit pun, sosok berpotongan rambut pendek rapi masa kini itu duduk bersandar di pojok saung sambil selonjoran. Menikmati hidup sekali sepertinya dr. Vadi. Sampai-sampai lupa jaga image di hadapan anak buahnya.
“Ris, kamu serius mau cerai?” Dokter Vadi tiba-tiba membuka perbincangan. Aku yang ikut tersandar di seberangnya, kini setengah gelagapan sembari menegakkan posisi.
“Iya, Dok.” Aku menatap dr. Vadi sekilas. Lelaki itu ternyata sedari tadi memandang ke arahku.
“Boleh tahu, kronologi tadi pagi? Itu kalau kamu tidak keberatan. Eh, sekali lagi. Stop dak dok di sini.” Lelaki itu menunjukku dengan tusuk gigi yang sedari tadi dipegangnya.
“Ris, ayo pulang. Sudah sangat sore. Kamu mau cari kamar kost, bukan?” Dokter Vadi membuyarkan lamunanku. Lelaki itu bangkit dan menarik ujung kemeja untuk mebenarkan letaknya. Aku yang merasa begitu kenyang dan mulai mengantuk ini, bangkit perlahan sambil berpegangan pada sebuah tiang bambu besar. “Iya, Dok, eh, Mas.” Aku menatap tak enak hati padanya. Lelaki itu hanya mendengus kecil. “Jangan kaku benar hidupmu, Ris. Ini bukan masa penjajahan kolonial Belanda.”Lelaki itu melangkahkan kakinya dan mendahuluiku. Tubuh tinggi dengan pundak bidangnya itu menutupi setengah pandanganku. Kalau dilihat dari belakang begini, dr. Vadi sangat gagah. Apalagi dari depan. Wajar sih kalau mantan pacarnya serupa dengan artis papan atas seperti Nadya. Tak berdanda tebal saja bisa seglowing itu. Apalagi kalau d
PoV Rauf Plak! Plak! Tamparan mendarat di pipi. Lestari benar-benar murka padaku. Dia mengamuk dengan tangis yang tumpah ruah membasahi pipi mulus yang kerap kuciumi tersebut. “Kamu jahat, Mas! Kamu pembohong! Katamu akan meninggalkan istrimu yang matre itu, tapi kamu malah bilang padanya bahwa kamu memilih dia ketimbang aku!” Tak kusangka, gadis yang sudah kupacari selama enam bulan ini dapat mengamuk juga. Perempuan desa yang baru merantau setahun dan termakan rayuanku, ternyata bisa bersikap buas seperti Risa juga. Kep*rat! Bukankah tujuanku memacari gadis desa sepertinya agar dia tak bersikap kurang ajar begini? Eh, ternyata salah besar. Berani-beraninya dia memukul mukaku di tepi jalan begini. Mana orang-orang mulai ramai berbelanja di minimarket p
PoV Rauf “Uf, kamu jangan bercanda! Risa kabur ke mana? Memangnya ada apa, Uf?” Mama mencegat langkahku yang sudah terburu untuk keluar rumah. Kutengok wajahnya, beliau syok. Dia pasti kaget mendengar ucapanku tentang kaburnya Risa. “Panjang, Ma. Aku harus cari dia.” Aku melepaskan tangan Mama, bergegas mengambil langkah seribu. Sebelumnya aku menyambar sebuah helm berdebu yang lama kusimpan di dalam garasi. Memakainya, kemudian naik motor dan tancap gas. Pikiran ini hanya tertuju pada Risa. Ke mana perginya perempuan nekat itu? Setahuku dia tak memiliki teman dekat di kota ini. Sanak kerabat pun tak begitu akrab dengannya. Kabur ke mana perempuan itu? Masihkah dia di rumah sakit? Masuk bekerja sambil membawa barang-barangnya tersebut?
Mobil dr. Vadi terus melaju dengan kecepatan rendah. Keluar dari gerbang masuk utama RS Citra Medika, lelaki yang memegang setir mobil mewahnya tersebut mengambil lajur lurus dari perempatan, masuk ke jalan dr. Wahidin Sudirohusodo melewati ruko-ruko yang berderet menjubeli kawasan padat pusat perbelanjaan dan hiburan ini. Setelah mengendara sekiranya satu kilometer meninggalkan RS, dr. Vadi berbelok ke kanan, berhenti di depan bangunan besar bercat putih dengan tiga lantai berpagar tralis baja tinggi sekiranya dua meter. Seorang satpam berpakaian serba hitam tampak keluar dari post penjagaan dan membukakan gerbang untuk kami. Dr. Vadi kemudian melajukan mobilnya untuk masuk dan berhenti di area parkir yang sangat luas. Parkiran ini berada di sebelah sisi barat rumah. Dilengkapi dengan kanopi dengan penopang baja ringan yang membentang dari ujung ke ujung, sehingga sekiranya mampu melindungi sekitar 15-20 mobil sekaligus.
Di dalam kamar sebesar ini aku betul-betul merasa hampa dan sendirian. Tak ada teman mengobrol untuk sekadar berbagi cerita. Selepas menata pakaian yang kubawa ke dalam lemari milik kost, aku memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh sekaligus penat. Meskipun mandi di dalam tempat yang bersih dan wangi plus air hangat, tetap saja jiwa ini rasanya benar-benar kosong. Lama sekali aku melamun sembari membiarkan tubuhku dialiri air dari shower yang berada tepat di atas kepala. Sibuk memikirkan nasib apa yang bakal kutelan pada episode kehidupan nanti. Huft, andai bisa memilih takdir, sudah pasti aku tak ingin melalui pahit getir bagian seperti ini. Hidup tenang, rumah tangga ayem, ekonomi yang mapan adalah impian besarku. Namun, sayang. Semua mungkin tinggal angan belaka. Status janda yang tak pernah kuidam-idamkan, bakal tersemat di depan nama. Usai mandi, aku hanya duduk di atas ranjang sembari menonton
PoV Rauf Buru-buru aku meninggalkan RS Citra Medika dengan sepeda motor dan berniat untuk menjemput Lestari di minimarket. Kupacu kencang laju kendaraan agar bisa tiba di sana dalam waktu singkat. Urusanku sangat banyak hari ini. Satu per satu permasalahan harus segera diselesaikan. Bukan apa-apa, aku ingin rumah tanggaku bisa kembali normal. Risa pulang ke rumah dan melayani dengan semestinya, serta Lestari yang hanya gundik itu tak menuntuk banyak plus mengharap lebih dariku. Aku ingin hidupku kembali seperti biasa! Sesampainya di parkiran minimarket, aku duduk menunggu di atas motor. Tak perlu menunggu waktu lama, Lestari keluar dengan membawa helm dan tas kerjanya. Wajah perempuan itu tampak lesu. Langkahnya pun gontai tak bersemangat. Dia pasti masih memikirkan kejadian tadi pagi.&nb
PoV Rauf “Aku pulang! Kalau besok ternyata kamu tidak keguguran juga, aku akan cari jalan lain. Jangan pikir kalau aku bakal tanggung jawab, ya!” Aku mendorong kepala Lestari hingga perempuan itu terantuk cukup keras di dinding. Tangisnya masih kudengar histeris. Namun, aku tak ambil peduli. Bergegas aku pergi meninggalkan kontrakan milik selingkuhanku tersebut. Kupacu seger sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan, pikiranku kalut. Benar-benar pusing dengan himpitan hidup yang kian menyiksa. Kenapa Tuhan begitu tega memberikan cobaan? Salahku apa? Setahuku, aku sudah banyak berbuat baik di dunia ini. Menyekolahkan anak yatim, membantu keluarga miskin macam Lestari. Akan tetapi, mengapa malah dua begundal yang sudah kubantu itu kini berbali
Mobil dr. Vadi terus melaju, sementara dua insan yang sedang berada di dalamnya hanya dapat diam membisu tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar sedang dilanda kikuk. Sebagai perempuan normal, wajar bukan kalau sikapku begini setelah mendengarkan ucapan dr. Vadi yang rasa-rasanya membuat dada ini bagaikan diaduk-aduk? Tidak, aku sebenarnya tak ingin gede rasa. Namun, tak bisa ditampik bahwa aku ... ah, sulit untuk dijelaskan! Ya, sudahlah. Biarkan aku larut dalam anggapanku sendiri, begitu juga dengan dr. Vadi. Laju kendaraan dr. Vadi tiba-tiba melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan tembok beton tinggi yang melindungi sebuah bangunan megah dengan kerlip lampu-lampu taman warna kuning. Aku tidak tahu ini rumah siapa dan mau ngapain kami berhenti di depan sini. 
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba