Share

4

last update Last Updated: 2021-12-23 20:10:05

Beberapa saat menikmati makan malam di dalam kamar sendirian, Mas Rauf akhirnya ikut masuk. Wajahnya tampak tak senang. Cemberut. Terserah, ya. Aku tidak mau peduli.

              “Sudah selesai makannya?” tanya Mas Rauf padaku dengan nada yang kesal.

              “Bisa lihat sendiri, kan? Piringku sudah habis.” Kuletakkan begitu saja piring bersama gelas kosong yang telah duluan berada di atas meja rias. Masa bodoh Mas Rauf marah. Kalau dia mau, taruh saja di wastafel dapur sendiri.

              “Kata-katamu tadi sungguh membuat Indy sakit hati, Ris.”

“Sama, dong! Aku juga kesal dengar omongan dia tadi, Mas. Satu sama artinya.” Aku menjawab santai. Duduk bersandar pada kepala ranjang sembari memainkan ponsel. Menengok-nengok beranda F******k, sekadar mencari hiburan lewat postingan status teman-teman.

              “Kamu selalu tidak mau kalah, Ris. Jauh berubah kamu sekarang. Apa karena bekerja, kamu jadi bertindak begini?”

              Aku cuma diam. Malas menanggapi. Aduh, capek banget. Dari sore sampai malam tidak ada habisnya membahas masalah ini. Rasanya aku ingin langsung tidur saja. Kemudian terbangun saat matahari telah bersinar dan pergi ke RS untuk menjalani pekerjaan yang mengasyikan.

              “Ris, kamu dengar aku bicara tidak?” Mas Rauf meninggikan suaranya. Aku yang sangat malas, terpaksa harus mengalihkan pandangan dari layar.

              “Aku dengar. Lantas? Kita masih ingin bertengkar, Mas?”

              Mas Rauf terdiam. Lelaki itu tampak menggemelutuk. Rahangnya sampai terlihat semakin tegas.

              “Sudah ya, Mas. Besok lagi. Aku harus bekerja besok.”

              “Aku juga bekerja! Bukan hanya kamu yang kerja di rumah ini.” Mas Rauf begitu terdengar emosional. Kenapa dia? Kesurupan jin?

              Mas Rauf kemudian merogoh saku celananya dan sedikit mengempaskan ponsel di atas nakas samping ranjang. Heran. Kenapa barang yang malah jadi pelampiasannya? Kalau rusak, dia pikir beli hape itu bisa pakai daun?

              Suamiku lantas berbaring dengan gerakan yang kasar. Terasa getaran di kasur yang membuat tubuhku agak terguncang. Luar biasa. Hari ini sikapnya sangat membuatku jengkel.

              Namun, aku berusaha diam. Sabar dan tak ambil peduli. Biar saja dia begitu. Asal jangan menyakiti tubuhku saja.

              Kulirik sekilas, tampak Mas Rauf memejamkan matanya. Dia berbaring terlentang dengan sebelah tangan di atas dahi. Seperti posisi orang yang sedang mumet.

              Kring! Suara ponsel yang sedang kupegang tiba-tiba berdering. Aku kaget. Mas Rauf apalagi. Dia langsung terbangun dan menatap ke arahku.

              Cepat kulihat ke layar. Panggilan dari dr. Vadi. Tumben, pikirku. Ada apa gerangan beliau menelepon semalam ini? Tidak biasanya.

              “Halo?”

              “Ris, besok datang ke rumah sakit pagi-pagi, ya. Sebelum jam tujuh. Aku disuruh ngasih penyuluhan di ruang tunggu pendaftaran sama tim PKRS. Kamu bantuin aku.” PKRS itu promosi kesehatan rumah sakit. Duh, ada-ada saja. Kok mendadak begini?

              “Kok ngasih tahunya mendadak, Dok?” Aku mengerutkan kening.

              “Iya, maaf. Lupa. Oke. Udah dulu, ya. Selamat malam.” Klik. Sambungan langsung dimatikan.

              Aku sontak manyun sembari menatap ponsel. Dih, si dokter. Baik sih baik, tapi sukanya apa-apa mendadak.

              “Siapa yang telepon?” Suara Mas Rauf terdengar tak suka. Aku menatap malas ke arahnya.

              “Dokter Vadi. Kenapa?” Mataku mendelik. Tak suka ditanyai begitu. Seolah ada yang salah saja.

              “Kalian sering teleponan kalau aku tidak ada?” Pertanyaan yang sangat aneh. Mas Rauf, sebenarnya dia ini kenapa?

              “Kamu lihat saja sendiri. Apa pernah aku teleponan sama dia? Aneh!” Maka semakin sebal lah aku pada Mas Rauf. Bisa-bisanya orang ini semakin aneh. Tak cukupkah dia membuatku kesal seharian ini?

              “Jangan karena dia dokter dan masih lajang, kamu bisa bebas dekat dengannya, Ris. Ingat, kamu itu sudah punya suami.” Mas Rauf lalu membalik badannya. Berbaring dengan memeluk guling dan memunggungiku.

              Aku yang merasa tersinggung dan belum bisa meredakan amarah, kini semakin merasa kesal luar biasa. Dasar kurang waras! Dari mulai masalah membela Mama, pembahasan nafkah, uang kuliah, hingga dr. Vadi. Rentetan kejadian hari ini sungguh luar biasa menguras emosiku. Kalau saja kepala ini bisa meledak, mungkin sudah hancur berkeping-keping.

              “Kalau sampai aku berselingkuh, itu artinya ada yang salah denganmu.”

              Namun, Mas Rauf tak lagi menjawab. Suasana seketika hening. Lama kelamaan, hanya suara ngoroknya yang terdengar. Syukurlah lelaki itu sudah terkapar. Aku jadi tak perlu kehabisan banyak tenaga untuk meladeninya.

              Saat aku kembali sibuk berselancar di dunia maya untuk sekadar membaca berita terkini, tiba-tiba terdengar suara getaran ponsel. Berkali-kali seperti ada panggilan masuk. Mataku langsung sigap mencari dari mana asal bunyi. Ternyata, dari nakas yang berada di samping Mas Rauf berbaring. Lelaki itu malah tak terbangun. Sibuk mengorok dan larut dalam alam mimpi.

              Aku langsung memanjangkan tangan demi meraih ponsel milik Mas Rauf. Hati-hati kubergerak agar jangan sampai menyentuh lelaki yang terlihat sangat nyenyak tersebut. Kala ponsel sudah berada di genggaman, panggilan tersebut masih terus berlangsung dan tampak pada layar sebuah deretan angka yang tak disimpan nama kontaknya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkat telepon tersebut.

              “Halo, Sayang.” Terdengar sebuah suara perempuan di seberang sana. Manja dan mendayu-dayu. Membuat jantung ini mendadak nyeri akibat kaget luar biasa.

              “Kamu lagi apa? Ada istrimu kah? Kalau ada, ya udah. Kamu diam saja, nggak perlu ngomong. Aku cuma pengen ngucapin selamat malam dan kangen.” Sontak duniaku serasa runtuh. Sesak dada ini. Tersengal napasku.

              Untunglah, aku bisa mengendalikan diri untuk segera meraih ponsel dan menekah tombol kamera. Cepat-cepat kufoto nomor yang tertera di layar, serta menekan tombol rekam suara pada ponsel Mas Rauf.

              “Sayang, udah dulu, ya. Besok pagi jangan lupa jemput ke rumah dan antar aku seperti biasa. Uangku juga udah nipis, Yang. Besok jangan lupa kirim, ya.”

              Betul-betul darahku mendidih mendengarnya. Mas Rauf ... ternyata dugaanku benar. Kau telah bermain api di belakang. Mengkhianati rumah tangga dan hubungan yang empat tahun telah kita bina. Sia-sia semua. Terkuak sudah kebusukanmu satu per satu.

              “Bye, Sayang. Good night.”

              Sambungan telepon langsung dimatikan. Namun, irama jantungku masih sangat cepat sampai membuat diri ini limbung dan hampir tersandar. Tenang, Ris. Selesaikan semuanya pelan-pelan. Sebelum menggugat, kamu perlu bukti yang kuat.

              Tangan ini langsung mengutak atik ponsel milik Mas Rauf yang terkunci dengan password berupa angka. Kutebak dengan tanggal lahirnya, salah. Tanggal lahirku, apalagi. Tanggal pernikahan kami, bukan juga. Aku hampir putus asa. Karena geram, kutekan 123456 dengan kesal. Dan ... ponsel itu malah terbuka.

              Tolol! Dasar laki-laki bodoh. Password macam apa yang kau buat. Kalau Cuma begini, anak PAUD pun pasti bakal bisa menebaknya.

Tanpa buang waktu lagi, aku segera masuk ke galeri untuk mencari file suara tadi. Buru-buru kukirim lewat W******p. Setelah berhasil kuunduh, langsung kuhapus riwayat obrolan dan file rekaman asli. Untungnya, W******p milik Mas Rauf sama sekali kosong dan bersih. Tak ada satu pun bekas percakapan masuk. Grup pun tak ada yang diikutinya. Semua putih bersih tanpa menyisakan apa-apa.

              Kulihat lagi riwayat panggilan. Hanya ada panggilan masuk dari perempuan misterius tadi. Cepat kuhapus dan tak menyisakan apa pun di sana.

              Gila! Benar-benar gila. Rapi sekali permainannya. Tak berjejak sedikit pun. Jika Tuhan tak membuatnya terkapar malam ini dan meletakkan ponsel di nakas, mungkin aku tak bakal tahu bahwa selama ini Mas Rauf ternyata sedang bermain api.

              Dengan sangat berhati-hati, kuletakkan ponsel tersebut ke tempat semula. Susah payah aku menahan agar tak ada amuk atau bahkan tangisan. Sudah cukup. Air mata kesedihan tak boleh lagi meluncur membasahi pipi. Semua bukti yang kudapat malam ini telah lebih dari cukup untuk mengungkap akar permasalahan dalam rumah tangga yang kami arungi.

              Ya, benar. Ketiadaan nafkah yang dia katakan ditabung untuk membuat rumah. Semua hanya bullshit! Tipuan semata. Ternyata, ada seorang gundik yang sedang dipelihara sampai-sampai membuat perpecahan antara aku dan mertua serta ipar.

              Bagus kamu, Mas. Lanjutkan kecuranganmu! Kita lihat, sampai di mana kamu bisa bertahan dengan segala kebohongan ini. Yang jelas, aku siap kapan pun untuk menendang namamu dari hati. Buat apa? Buat apa kita teruskan jika lagi-lagi aku yang jadi korban. Ingat, aku bukan perempuan tolol yang tak bisa mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Kalau perlu, akan kucicil segala uang yang pernah kau berikan selama ini!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ancha Aishiteru
sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Melawan Suami dan Mertua   5

    Pagi-pagi sekali aku bangun dari peraduan. Tanpa menyentuh dapur terlebih dahulu seperti hari-hari lalu, kuputuskan untuk segera mandi dan berkemas diri. “Awal sekali, Ris? Kamu sudah mau berangkat jam segini?” Mas Rauf yang baru tercelang matanya tepat pukul 05.30 pagi, menatapku dengan penuh heran. Sedang aku tengah mematut diri di depan cermin sembari mengenakan bedak dan pemerah bibir.Meski masih terasa sesak dada ini akibat dugaan perselingkuhan yang dilakukan Mas Rauf, tetapi aku mencoba untuk terlihat santai. Kujawab pertanyaannya dengan nada dan ekspresi datar.“Iya. Dokter Vadi yang nyuruh.” Aku menyampirkan tas kerja yang sudah kuisi dengan dompet dan cap perawat yang akan kupakai nanti setelah sampai di poli. “Nggak siapin sarapan dulu?” Pertanyaan Mas Rauf entah mengapa malah

    Last Updated : 2021-12-28
  • Melawan Suami dan Mertua   6

    Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati. Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.

    Last Updated : 2021-12-28
  • Melawan Suami dan Mertua   7

    Tidak, Risa bukanlah sosok yang lemah. Tak ada tangis dan kecewa. Aku harus bangkit! Selagi Mas Rauf masih sibuk mengusap puncak kepala kekasih gelapnya, maka aku pun berusaha untuk bangkit dari motor. Berjalan ke arah mereka sembari membuka helm dan maske yang tadinya sempurna menutupi penyamaran. Dengan menahan degupan jantung yang keras dan seolah membabi buta memukuli dada, kuempaskan helm pinjaman milik Mak Ambar tepat di kepala Mas Rauf. Plak! Mas Rauf seketika terjungkal ke samping bersama sepeda motornya. Lelaki itu membelalak kaget dengan wajah yang pucat pasi. “Sayang!” Teriakan histeris perempuan minimarket tersebut membuat telingaku semakin panas. “Apa katamu? Sa

    Last Updated : 2021-12-29
  • Melawan Suami dan Mertua   8

    Aku tiba di depan warung Mak Ambar dengan wajah yang sembab akibat tangis di sepanjang jalan tadi. Segera kuseka air mata ini sebelum masuk menemui beliau. Sial, di dalam sana ada beberapa orang lain yang sedang belanja. Namun, aku harus segera bergerak. Sebelum Mas Rauf ikut menyusul dan menghentikan rencana. Setelah meyakini bahwa wajahku kini baik-baik saja, langsung kubergegas masuk, melewati dua ibu-ibu yang sedang berdiri di depan meja Mak Ambar. Keduanya kukenali sebagai Bu Minarti dan Mbak Kinanti. Mereka adalah tetangga sekitar sini yang terkenal lambe turah serta hobi ngurusi kehidupan orang lain. “Eh, ada Risa. Nggak dinas, Ris?” Mbak Kinanti yang usianya beberapa tahun di atasku menyapa. Wanita cantik dengan daster rumahan selutut itu mulai menatap diriku dari ujung kaki hingga pucuk kepala.&nb

    Last Updated : 2021-12-29
  • Melawan Suami dan Mertua   9

    Sesampainya di parkiran khusus karyawan yang berada di belakang rumah sakit, tak jauh dengan kamar jenazah (makanya terkadang aku lebih suka parkir di depan, karena sering ngeri-ngeri sedap lewat sini), aku segera memarkirkan motor dan tak lupa untuk mengunci stangnya. Jarang sebenarnya aku parkir di sini. Namun, apa boleh buat. Yang kutakutkan apabila Mas Rauf nekat mencari ke RS dan menemukan motorku di parkiran depan sana. Dia memang tahu kebiasaanku yang selalu parkir di depan karena aku kerap bercerita bahwa spot angker di RS Citra Medika ini selain di kamar jenazah dan tempat laundry, juga di parkiran belakang. Lagi pula yang bisa mengakses tempat ini hanya karyawan yang memiliki ID card saja. Dari depan sana satpam bakal menghalau pengunjung untuk masuk. Karena takut hilang, kubawa saja tas travel yang lumayan berat ke ruang rawat jalan poli umum tempat dr. Vadi kemungkinan sedang menjalanka

    Last Updated : 2021-12-29
  • Melawan Suami dan Mertua   10

    “Ris, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang.” Mas Rauf menggenggam pergelangan tanganku dan sedikit menariknya. Aku tersentak sekaligus naik pitam. Apa maksudnya? Mengajakku pulang? Hei, siapa dirimu memangnya? “Lepaskan!” Aku menepis tangannya kuat sembari setengah berteriak. “Jangan buat malu di sini. Aku sudah muak denganmu!” Aku menuding ke wajahnya yang berminyak dan kemerahan akibat tersengat sinar matahari tersebut. “Ris, aku mohon. Pulanglah. Aku minta maaf padamu.” Mas Rauf berlutut di tanah. Membuat orang-orang di sekitar parkiran langsung memberikan perhatiannya kepada kami.&n

    Last Updated : 2021-12-31
  • Melawan Suami dan Mertua   11

    Kami memasuki resto yang dipadati oleh ramai pengunjung. Rata-rata pengunjung di sini tampak dari kalangan kantoran dan pebisnis. Mereka menduduki kursi-kursi dengan meja berbentuk persegi maupun bulat. Meski ramai, suasana di dalam resto ini terasa begitu nyaman dan homey dengan ornamen tradisional khas Jawa yang melekat pada setiap sudut. Berjejer figura yang memajang ragam batik tulis khas Jawa Tengah di beberapa spot. Kipas-kipas besar terpasang di langit-langitnya sehingga kami sama sekali tak merasa gerah meski cuaca di luar sedang panas-panasnya. Dokter Vadi terus berjalan demi mencari tempat yang nyaman. Sampai di tengah ruangan, dia mengajakku untuk belok ke arah kanan dan mataku langsung takjub melihat sebuah kolam besar berhias teratai di mana-mana. Cantik sekali. Di tengah-tengahnya ada sebuah patung kendi yang mengalirkan ai

    Last Updated : 2022-01-03
  • Melawan Suami dan Mertua   12

    Usai menghabiskan bersih makanannya tanpa menyisakan sedikit pun, sosok berpotongan rambut pendek rapi masa kini itu duduk bersandar di pojok saung sambil selonjoran. Menikmati hidup sekali sepertinya dr. Vadi. Sampai-sampai lupa jaga image di hadapan anak buahnya. “Ris, kamu serius mau cerai?” Dokter Vadi tiba-tiba membuka perbincangan. Aku yang ikut tersandar di seberangnya, kini setengah gelagapan sembari menegakkan posisi. “Iya, Dok.” Aku menatap dr. Vadi sekilas. Lelaki itu ternyata sedari tadi memandang ke arahku. “Boleh tahu, kronologi tadi pagi? Itu kalau kamu tidak keberatan. Eh, sekali lagi. Stop dak dok di sini.” Lelaki itu menunjukku dengan tusuk gigi yang sedari tadi dipegangnya.

    Last Updated : 2022-01-06

Latest chapter

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 15

    Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 14

    Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 13

    Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 12

    Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 11

    Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 10

    Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 9

    Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 8

    Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 7

    Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba

DMCA.com Protection Status