“Kamu ingin memukul lagi, Mas? Baiklah. Silakan! Biar setelah ini aku kabur dan melaporkan tindakanmu ke polisi!” Aku semakin berteriak. Menantangnya dan berharap dia benar-benar memukulku lagi. Namun, Mas Rauf malah mengembuskan napas masygul. Mulutnya berkali-kali merapalkan istighfar. Cuih! Dia tidak mantas mengucapkan kalimat suci semacam itu. Kelakuannya sudah seperti preman kampung yang hanya berani memukul istri. Tidak ada akhlak!
“Kita cukupkan pertengkaran ini, Ris. Aku mohon.” Mas Rauf tampak putus asa. Jujur aku belum bisa melupakan tentang prasangka kemana larinya uang hasil bengkel selama sepuluh bulan belakangan ini. Lihat saja. Akan kukorek sampai ke akarnya kalau perlu.
“Oke. Aku juga capek! Berdebat denganmu tidak ketemu ujung pangkalnya. Akhir-akhirnya kita hanya bertengkar dan stuck dalam kebuntuan.” Aku benar-benar lelah. Baiklah, mungkin aku harus pakai cara halus untuk mengurai segala kekusutan ini. Pelan-pelan, Ris. Jangan gegabah menghadapi hal ruwet. Bisa-bisa malah aku yang terperosok sendiri.
“Kamu maafkan aku kan, Ris.” Mas Rauf mengulurkan tangannya.
Terpaksa, kujabat tangan kasar yang masih tampak sisa-sisa oli pada sela kukunya. “Ya.”
“Masalah Mama, tolong jangan diambil hati. Kasihan dia. Sejak dulu aku selalu memprioritaskanmu sampai lupa bakti padanya. Wajar kalau saat ini Mama banyak menuntut.” Yap! Bela saja terus mamamu yang mata duitan tersebut. Bela terus! Salahkan aku. Pojokkan pokoknya sampai aku tersungkur ke dalam jurang.
“Baik kalau begitu. Mulai detik ini, maafkan aku juga. Aku sudah tidak bisa membantu perekonomian keluarga kalian. Terserah kamu mau ngomong apa, Mas.” Aku berucap santai. Kini wajahku bisa tersenyum manis pada sosok lelaki yang masih bertelanjang dada tersebut.
“Ris—” Cepat ucapan Mas Rauf kupotong.
“Itu jalan satu-satunya agar aku bisa memaafkanmu, Mas. Aku sudahi gajiku untuk memenuhi kebutuhan kalian sekeluarga. Masalah listrik, gas, beras, ledeng, dan cicilan motor adikmu, semua urusanmu. Kau kepala rumah tangganya. Aku tidak mau tahu.”
Mas Rauf terdiam. Dia tampak sudah kehabisan kata. Sementara aku, dengan santainya berlalu melewati tubuh lelaki yang memiliki tinggi 175 sentimeter tersebut. Kusambar handuk bersih dari dalam lemari pakaian dan bergegas masuk ke kamar mandi. Aku butuh menyegarkan tubuh dan memikirkan strategi apa yang bisa kujalankan demi melawan Mas Rauf maupun Mama. Jika memang semua tak bisa diperbaiki, akan kurelakan hubungan yang telah bertahun-tahun kami bina selama ini.
***
Malam ini, aku tak keluar sama sekali dari kamar. Rasa lapar kutahan sekuat tenaga. Aku lebih memilih tak makan ketimbang harus jumpa dengan sosok Mama maupun Indy. Dua wanita itu sudah pasti bakal membuatku naik pitam lagi. Buang-buang energi. Buat apa?
“Ris, kamu nggak keluar? Ayolah. Kita makan malam bersama.” Mas Rauf yang tadinya sudah keluar kamar sejak habis Magrib, kini masuk kembali dengan memasang wajah melas. Dia pikir, mukanya yang seperti orang minta dihajar warga sekampung itu bisa meluluhkanku? No way!
“Nggak, Mas. Aku di kamar saja.”
Mas Rauf kemudian duduk di tepi ranjang, tepat di samping aku yang tengah berbaring sembari memainkan ponsel.
“Kamu sedang apa? Chatting sama laki-laki?” Tuduhan Mas Rauf sontak membuat telinga berdiri. Apa yang dia ucapkan barusan?
“Iya. Memangnya kenapa?” Aku menatapnya geram. Kalau saja aku tak sabar, mungkin tumit ini sudah berpindah pada wajahnya. Namun, aku masih ingat dosa dan menghormati Mas Rauf sebagai suami.
“Ah, kamu bercanda.” Mas Rauf malah salah tingkah. Wajahnya antara tak enak dan malu sendiri.
“Jangan asal tuduh ya, Mas! empat tahun lebih kita kenal, belum pernah aku berhubungan dengan lelaki lain. Jangankan chatting, punya niatan saja tidak!” Aku geram. Mengapa Mas Rauf tak habis-habisnya membuatku geram.
“Ya, maaf. Aku salah.”
“Kamu kali yang chatting sama perempuan!”
Mas Rauf terkesiap. Dia tiba-tiba salah tingkah. Gerakannya tak terarah. Garuk kepala, menyentuh hidung berulang kali, dan membuang pandangan. Kenapa dia?
“D-demi Tuhan! Mana ada aku seperti itu.”
“Demi Tuhan ... katamu?” Aku kemudian bangkit dari berbaring dan menatap Mas Rauf dalam-dalam. Mencoba menelisik lewat iris hitamnya. Sayang, lelaki itu malah buang muka. Sebagai perempuan ... naluriku malah mengatakan sesuatu.
“Ayo, kita makan. Mama sudah tidak menyinggung masalah tadi. Beliau sudah masak. Katanya ajak kamu makan sekalian karena belum isi perut dari pulang kerja.”
Cuih! Tumben ingat denganku! Tumben perhatian. Biasanya, pulang dari RS dalam keadaan tudung saji kosong pun, tak ada yang mau bergerak untuk masak kecuali aku. Rela berlelah ria lepas bekerja hanya untuk menyajikan makanan untuk seisi rumah. Baru kusadari, ternyata selama sepuluh bulan ini aku kelewat tolol.
“Nanti bertengkar lagi. Aku malas!”
“Tidak. Aku yang akan menengahi.”
“Jangan-jangan kamu yang bakal nampar aku lagi.” Aku tersenyum sinis. Mengejek Mas Rauf yang ternyata di dalam ketenangannya selama ini, tersimpan jiwa bar-bar yang tersembunyi. Kamu bar-bar, aku juga bisa, Rauf! Kamu sungguh berdosa, ya, Rauf! Tega-teganya kau pukuli aku yang ikut menopang rumah tangga.
“Ris, sudahlah. Katamu sudah memaafkanku.” Mas Rauf menahan napasnya. Dia tampak sudah mulai hampir kehabisan sabar. Salahmu membuatku begini!
“Oke! Awas kalau terjadi hal yang membuatku muak. Aku tidak segan untuk melempar piring dan gelas ke wajahmu, Mas.”
Aku langsung turun dari ranjang dan keluar kamar. Berjalan dengan penuh percaya diri dan membusungkan dada. Kudatangi Mama dan Indy yang sudah duduk di kursi makan sembari saling melamun. Mereka langsung menoleh ke arahku saat tahu ada derap langkah kaki yang menuju.
“Ris, makan dulu.” Mama mengulas senyuman. Wanita paruh baya dengan perawakan sedang dan kulit sawo matang itu terlihat sangat ramah. Seolah dia tidak melakukan kesalahan apa pun padaku.
“Mbak Risa, ayo duduk di sampingku.” Indy yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu juga turut tersenyum manis. Gadis berambut lurus sebahu dengan perawakan tinggi langsing tersebut bersikap seperti biasa. Manis (atau hanya pura-pura?) dan kuduga lagi-lagi bakal minta duit untuk bekal sekolah besok. No! Jelas hari ini aku akan menolak. Mulai detik ini hingga kapan pun, tak bakal ada lagi uang buat kalian-kalian yang berhasil menghancurkan perasaanku.
Tanpa banyak bicara, aku langsung duduk di sebelah Indy. Menarik bakul nasi dan mengautnya dua centong ke atas piring yang telah tersedia di meja. Tumis kangkung dan orek tempe kuambil pula sebagai lauk pauk. Hanya ini? Padahal kemarin aku baru saja memberikan Rp. 200.000 untuk Mama belanja beli sayur. Kalau cuma kangkung, tidak perlu minta uang segala! Bisa langsung petik di parit belakang rumah sana. Luar biasa keluarga culas.
“Makan yang banyak, Ris. Kamu pasti sangat lapar.”
“Iya, tentu. Masa aku makan sedikit? Toh, aku yang kasih uang belanja.” Aku menatap sengit ke arah Mama yang duduk di seberang. Mas Rauf yang baru saja tiba dan hendak duduk di samping ibunya pun, tampak terperanjat dengan kata-kataku.
“Iya, Ris. Maaf, uangnya cuma Mama belanjakan kangkung dan tempe saja. Soalnya harus bayar SPP Indy.” Akhirnya perempuan paruh baya itu sadar diri juga. Betapa tak sesuainya besaran uang yang kuberi dengan lauk yang dia belanjakan. Tahu begitu, mending aku yang belanja sendiri!
Mas Rauf kemudian duduk. Wajahnya tampak ditekuk. Diam tak berkata-kata.
“Itu uang terakhir yang kuberi untuk belanja, Ma. Selanjutnya urusan Mas Rauf.” Aku mulai menyuap nasi ke mulut. Acuh tak acuh pada keluarga ini.
“Uf, kamu sudah ada uang? Bukankah katamu bengkel sedang sepi?”
“Iya, Ma. Akan Rauf usahakan.” Suara Mas Rauf lemas. Seperti kurang bergairah. Siapa suruh kalian injak aku? Kalau kalian bisa membawa diri, tentu saja sekadar membantu kebutuhan sehari-hari, aku tak bakal mempermasalahkan.
“Mbak Risa, dulu kan waktu Mbak kuliah, Mas Rauf sering bantu. Seharusnya, saat Mas Rauf sedang susah, sekarang kan giliran Mbak yang menolong.” Indy dengan wajahnya yang berbalut bedak tipis dan lipgloss pink di bibir itu berucap dengan sangat santai. Mukanya sangat innocent. Kurasa di usianya yang menginjak 18 tahun, Indy sudah lebih dari dewasa untuk sekadar mengerti arti sopan santun dan tata krama.
“Indy, ucapanmu sangat lancang.” Aku meletakkan sendok yang semula akan kusuap ke mulut. Kutatap gadis itu dengan penuh rasa muak. Lihat saja wajahnya yang putih tapi leher dan tangannya yang gelap. Kalau bukan dari sisihan keringatku, dari mana dia bisa beli krim pemutih bermerkuri tersebut?
“Aku nggak pernah usil dengan hidupmu ya, In. Kamu mau TikTok-an sepanjang hari tanpa mau bantu-bantu kerja rumah tangga, nggak pernah aku senggol.” Aku benar-benar tak dapat menahan emosi.
“Ma, baiknya Mama ajari Indy sopan santun.” Aku menatap muak ke arah Mama. Tak peduli dengan wajahnya yang mulai tak terima dan tersulut emosi tersebut.
“Kalau kalian memang tidak senang dengan keberadaanku di sini, aku akan turun. Malam ini juga. Tidak masalah.” Aku bangkit dari meja makan. Menyambar piring dan segelas air, kemudian berjalan membawanya ke kamar.
Mereka pikir, bisa membuatku bersedih hati? Menangis seperti wanita-wanita lemah di sinetron yang kerap mengiris perasaan? Tidak bakal! Kalau perlu, kalianlah yang kubuat menangis. Jangan pikir hanya karena aku menumpang di sini, bisa kalian omongi macam-macam. Mohon maaf!
Beberapa saat menikmati makan malam di dalam kamar sendirian, Mas Rauf akhirnya ikut masuk. Wajahnya tampak tak senang. Cemberut. Terserah, ya. Aku tidak mau peduli. “Sudah selesai makannya?” tanya Mas Rauf padaku dengan nada yang kesal. “Bisa lihat sendiri, kan? Piringku sudah habis.” Kuletakkan begitu saja piring bersama gelas kosong yang telah duluan berada di atas meja rias. Masa bodoh Mas Rauf marah. Kalau dia mau, taruh saja di wastafel dapur sendiri. “Kata-katamu tadi sungguh membuat Indy sakit hati, Ris.” “Sama, dong! Aku juga kesal dengar omongan dia tadi, Mas. Satu sama artinya.” Aku menj
Pagi-pagi sekali aku bangun dari peraduan. Tanpa menyentuh dapur terlebih dahulu seperti hari-hari lalu, kuputuskan untuk segera mandi dan berkemas diri. “Awal sekali, Ris? Kamu sudah mau berangkat jam segini?” Mas Rauf yang baru tercelang matanya tepat pukul 05.30 pagi, menatapku dengan penuh heran. Sedang aku tengah mematut diri di depan cermin sembari mengenakan bedak dan pemerah bibir.Meski masih terasa sesak dada ini akibat dugaan perselingkuhan yang dilakukan Mas Rauf, tetapi aku mencoba untuk terlihat santai. Kujawab pertanyaannya dengan nada dan ekspresi datar.“Iya. Dokter Vadi yang nyuruh.” Aku menyampirkan tas kerja yang sudah kuisi dengan dompet dan cap perawat yang akan kupakai nanti setelah sampai di poli. “Nggak siapin sarapan dulu?” Pertanyaan Mas Rauf entah mengapa malah
Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati. Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.
Tidak, Risa bukanlah sosok yang lemah. Tak ada tangis dan kecewa. Aku harus bangkit! Selagi Mas Rauf masih sibuk mengusap puncak kepala kekasih gelapnya, maka aku pun berusaha untuk bangkit dari motor. Berjalan ke arah mereka sembari membuka helm dan maske yang tadinya sempurna menutupi penyamaran. Dengan menahan degupan jantung yang keras dan seolah membabi buta memukuli dada, kuempaskan helm pinjaman milik Mak Ambar tepat di kepala Mas Rauf. Plak! Mas Rauf seketika terjungkal ke samping bersama sepeda motornya. Lelaki itu membelalak kaget dengan wajah yang pucat pasi. “Sayang!” Teriakan histeris perempuan minimarket tersebut membuat telingaku semakin panas. “Apa katamu? Sa
Aku tiba di depan warung Mak Ambar dengan wajah yang sembab akibat tangis di sepanjang jalan tadi. Segera kuseka air mata ini sebelum masuk menemui beliau. Sial, di dalam sana ada beberapa orang lain yang sedang belanja. Namun, aku harus segera bergerak. Sebelum Mas Rauf ikut menyusul dan menghentikan rencana. Setelah meyakini bahwa wajahku kini baik-baik saja, langsung kubergegas masuk, melewati dua ibu-ibu yang sedang berdiri di depan meja Mak Ambar. Keduanya kukenali sebagai Bu Minarti dan Mbak Kinanti. Mereka adalah tetangga sekitar sini yang terkenal lambe turah serta hobi ngurusi kehidupan orang lain. “Eh, ada Risa. Nggak dinas, Ris?” Mbak Kinanti yang usianya beberapa tahun di atasku menyapa. Wanita cantik dengan daster rumahan selutut itu mulai menatap diriku dari ujung kaki hingga pucuk kepala.&nb
Sesampainya di parkiran khusus karyawan yang berada di belakang rumah sakit, tak jauh dengan kamar jenazah (makanya terkadang aku lebih suka parkir di depan, karena sering ngeri-ngeri sedap lewat sini), aku segera memarkirkan motor dan tak lupa untuk mengunci stangnya. Jarang sebenarnya aku parkir di sini. Namun, apa boleh buat. Yang kutakutkan apabila Mas Rauf nekat mencari ke RS dan menemukan motorku di parkiran depan sana. Dia memang tahu kebiasaanku yang selalu parkir di depan karena aku kerap bercerita bahwa spot angker di RS Citra Medika ini selain di kamar jenazah dan tempat laundry, juga di parkiran belakang. Lagi pula yang bisa mengakses tempat ini hanya karyawan yang memiliki ID card saja. Dari depan sana satpam bakal menghalau pengunjung untuk masuk. Karena takut hilang, kubawa saja tas travel yang lumayan berat ke ruang rawat jalan poli umum tempat dr. Vadi kemungkinan sedang menjalanka
“Ris, kamu mau ke mana? Ayo, kita pulang.” Mas Rauf menggenggam pergelangan tanganku dan sedikit menariknya. Aku tersentak sekaligus naik pitam. Apa maksudnya? Mengajakku pulang? Hei, siapa dirimu memangnya? “Lepaskan!” Aku menepis tangannya kuat sembari setengah berteriak. “Jangan buat malu di sini. Aku sudah muak denganmu!” Aku menuding ke wajahnya yang berminyak dan kemerahan akibat tersengat sinar matahari tersebut. “Ris, aku mohon. Pulanglah. Aku minta maaf padamu.” Mas Rauf berlutut di tanah. Membuat orang-orang di sekitar parkiran langsung memberikan perhatiannya kepada kami.&n
Kami memasuki resto yang dipadati oleh ramai pengunjung. Rata-rata pengunjung di sini tampak dari kalangan kantoran dan pebisnis. Mereka menduduki kursi-kursi dengan meja berbentuk persegi maupun bulat. Meski ramai, suasana di dalam resto ini terasa begitu nyaman dan homey dengan ornamen tradisional khas Jawa yang melekat pada setiap sudut. Berjejer figura yang memajang ragam batik tulis khas Jawa Tengah di beberapa spot. Kipas-kipas besar terpasang di langit-langitnya sehingga kami sama sekali tak merasa gerah meski cuaca di luar sedang panas-panasnya. Dokter Vadi terus berjalan demi mencari tempat yang nyaman. Sampai di tengah ruangan, dia mengajakku untuk belok ke arah kanan dan mataku langsung takjub melihat sebuah kolam besar berhias teratai di mana-mana. Cantik sekali. Di tengah-tengahnya ada sebuah patung kendi yang mengalirkan ai
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba