Share

34

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bagian 34

PoV Risa

            “Ng ....” Aku menggantung kalimat sembari mengerling ke arah lain. Astaga, tolong siapa pun selamatkan aku dari kadal tua bangka ini!

            “Berarti, Bapak boleh dong WA kamu sering-sering?” Pak Simbolon berkata dengan cukup manis. Mana tanganku tidak dilepaskannya pula.

            “Ris!” Sebuah suara membuatku menoleh. Betapa leganya hatiku kala menatap dr. Vadi memunculkan kepalanya dari celah pintu yang dia buka sedikit dari luar. Tatapannya tajam bagai seekor elang. Cepat kutarik tanganku dari genggaman Pak Simbolon dan mengangguk kecil padanya. Langkah kakiku langsung berpacu cepat, meninggalkan Pak Simbolon dengan mulutnya yang menganga plus muka syok. Tentu saja. Dia pasti takut dicaci oleh dr. Vadi lagi.

&

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Melawan Suami dan Mertua   35

    Bagian 35PoV Risa Tubuhku diukur oleh Tante yang belakangan kutahu namanya sebagai Selviana. Ternyata Sejati itu singkatan dari Selvi-Jati. Kukira apaan. Sedang dr. Vadi diukur oleh Om Jati. Kedua pasangan suami istri ini sangat baik. Mereka juga mengenalkan dua keponakannya yang bekerja sebagai penjahit. Namanya Ana dan Anne. Dua-duanya berusia 20 dan 25, sama-sama masih lajang dan tinggal di sini bersama pasutri yang tak memiliki keturunan ini.Kata Tante Selvi, mereka masih punya lima karyawan lain yang bekerja di tempat terpisah. Sebagian orderan dilempar ke tempat tersebut, sedang sisanya yang penting-penting dan butuh penanganan ekstra seperti gaun dan jas pengantin Om Jati sendiri yang handle. Selain mahir menjahit, beliau juga seorang designer yang hasil karyanya sudah banyak dipakai oleh anak-anak pejabat serta orang penting kala mereka menikah. Aku tahu karena diceritakan oleh Ta

  • Melawan Suami dan Mertua   36

    Bagian 36PoV Mama “Kami mencari saudara Rauf. Apakah dia ada di rumah?” “Kami membawa surat penangkapan untuknya. Ada kasus yang dia harus selesaikan di kantor polisi.” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di telinga. Kepala mau pecah. Lebih-lebih jantungku. Kalau bisa melompat, dia pasti sudah melompat. Aku yang sejam lalu tiba-tiba merasa antara hidup dan mati akibat terkejut, kini masih merasa sesak napas yang sama. Aku sudah tua. Beberapa tahun lagi bakal kepala enam. Berita begini tentu membuat hidupku seketika tak tenang. Rauf, anakku yang paling tampan sejagat Jalan Rambutan ini. Rasanya tak mungkin dia sampai berurusan dengan hukum.

  • Melawan Suami dan Mertua   37

    Bagian 37PoV Vadi Senyumnya. Beliak matanya. Perempuan bernama Risa Sarasdewi, jelas-jelas sudah berhasil mencuri hatiku. Sempurna tanpa meninggalkan sisa. Aku jadi takut. Bisakah aku hidup dengan hati yang dia bawa pergi, tanpa kutahu apakah perasaan ini akan berbalas atau tidak. “Udah, ah! Aku kenyang.” Risa menutup mulutnya rapat dengan tangan. Menolak suapan berikutnya yang hendak mendarat. Aku kecewa. Padahal masih ingin lebih lama lagi menatapnya saat sendok masuk ke mulutnya. “Oke.” Sendok sudah kuletakkan. Kali pertama aku menyuapi seorang wanita setelah sekian lama tak melakukannya. Terakhir sekitar empat tahun yang lalu saat aku masih merenda angan bersama Nadya.

  • Melawan Suami dan Mertua   38

    Bagian 38PoV Risa Tangisanku semakin tergugu. Rasanya aku benar-benar sedih luar biasa. Mengetahui bahwa dr. Vadi berasal dari kota di mana Ibu kini hidup Bahagia Bersama suami barunya, membuatku entah mengapa sesentimental ini. Memang taka da hubungannya. Namun, aku jadi teringat akan Ibu. Bagaimana kalua aku kelak bias menemukannya kembali di sana? Apa yang akan terjadi ketika kami bersitatap lagi setelah sekian tahun kami dibuang olehnya? Hap! Tubuhku kemudian dipeluk erat oleh dr. Vadi. Bagaimana aku tak makin menangis apabila diperlakukan begini? Kupeluk kembali tubuhnya. Menumpahkan deras air mata di atas dada bidang lelaki itu. Air mataku telah membasahi kemejanya, tetapi lelaki itu semakin mendekap. Seperti aku tak bakal lagi dia lepaskan. “Ke

  • Melawan Suami dan Mertua   39

    Bagian 39PoV Risa Aku tetap diam. Ogah menjawab. Beranjak pun aku tak ingin. Biar dia tahu, bahwa bukan cuma dia yang bias ngambek atau keberatan. “Kamu mau tidur di sini?” Pertanyaan dari dr. Vadi sungguh membuatku jengkel. “Kenapa?” tanyaku dengan nada kesal. Kutatap wajahnya. Tanpa sadar bibirku mengerucut. Pria yang tampak lelah itu mengurungkan niatnya untuk turun. Pintu yang telah terbuka sedikit celahnya, kembali dia tutup. Wajah dr. Vadi kini menatapku. Aku tak menoleh. Memandang lurus saja ke depan sambal melipat tangan di depan dada. “Aku suka padamu. Sudah dengar?”

  • Melawan Suami dan Mertua   40

    Bagian 40PoV Risa “Buka pintumu, aku di depan.” Deg! Aku luar biasa terperanjat. Secepat itu dia berada di depan sana? Oh, dr. Vadi, kamu sekarang memang bagaikan jailangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Bagai hantu yang kehadirannya tiba-tiba dan membuatku terkejut luar biasa. “I-iya,” jawabku dengan tergagap. Kuusap air mata. Beranjak dari tempat tidur dengan posisi ponsel yang masih menempel di telinga. Sebelum membuka pintu, kutenangkan diri sesaat dengan mengambil napas panjang. Huft, semoga dia tak marah karena melihatku belum mandi dan berganti pakaian begini. “Kamu bahkan belum ganti pakaian?” Lelaki yang baru saja menurunkan po

  • Melawan Suami dan Mertua   41

    Bagian 41PoV dr. Vadi Tangisan Risa yang bertubi-tubi dari siang hingga malam ini, tentu membuat hatiku ikut gerimis. Dusta bila aku hanya cuek. Memang mata ini tak ikut menitik, tetapi jiwa? Sungguh aku sesak dibuatnya. Gemetar bibirnya yang jujur bercerita, membuat hatiku menangis dalam sunyi sejadi-jadinya. Tanganku bahkan tremor saat menyentuh pundak dan puncak kepalanya. Risa bagiku bukan hanya sekadar partner bekerja. Sejak dia kubawa tinggal di kost Anugrah, entah bagaimana separuh jiwa adalah dia. Berlebihan? Tidak. Aku rasa sama sekali tidak. Terlalu cepat jatuh cinta? Aku akan tegas menjawab, no! Hati yang menyeleksi. Raga mengamini. Lantas, aku bisa apa? Waktu yang membuatku rela bertaruh, bahwa perasaan ini sama sekali bukan hanya sesaa

  • Melawan Suami dan Mertua   42

    Bagian 42PoV dr. Vadi Meski lama, Risa berhasil juga menghabiskan seluruh isi piring dan gelasnya. Aku memang sudah tak sabar lagi untuk mengusaikan semua. Malam ini harus kelar, begitu pikirku. Apa pun yang terjadi, Risa harus lekas kembali ceria. Tak boleh lagi ada saputan awan mendung di mata beningnya. “Ayo,” kataku pada Risa setelah membayar bon makan kami. Risa gelagapan. Matanya bagai penuh tanya. “K-kita …?” “Kita ke rumah suamimu. Sekarang.” Aku menggandeng tangannya. Menyebrangi jalan dan membukakan pintu mobil untuk perempuan tersebut. Aku duduk di kursi kemu

Bab terbaru

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 15

    Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 14

    Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 13

    Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 12

    Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 11

    Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 10

    Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 9

    Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 8

    Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna

  • Melawan Suami dan Mertua   S2 Bagian 7

    Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba

DMCA.com Protection Status