Bagian 34
PoV Risa
“Ng ....” Aku menggantung kalimat sembari mengerling ke arah lain. Astaga, tolong siapa pun selamatkan aku dari kadal tua bangka ini!
“Berarti, Bapak boleh dong WA kamu sering-sering?” Pak Simbolon berkata dengan cukup manis. Mana tanganku tidak dilepaskannya pula.
“Ris!” Sebuah suara membuatku menoleh. Betapa leganya hatiku kala menatap dr. Vadi memunculkan kepalanya dari celah pintu yang dia buka sedikit dari luar. Tatapannya tajam bagai seekor elang. Cepat kutarik tanganku dari genggaman Pak Simbolon dan mengangguk kecil padanya. Langkah kakiku langsung berpacu cepat, meninggalkan Pak Simbolon dengan mulutnya yang menganga plus muka syok. Tentu saja. Dia pasti takut dicaci oleh dr. Vadi lagi.
&
Bagian 35PoV Risa Tubuhku diukur oleh Tante yang belakangan kutahu namanya sebagai Selviana. Ternyata Sejati itu singkatan dari Selvi-Jati. Kukira apaan. Sedang dr. Vadi diukur oleh Om Jati. Kedua pasangan suami istri ini sangat baik. Mereka juga mengenalkan dua keponakannya yang bekerja sebagai penjahit. Namanya Ana dan Anne. Dua-duanya berusia 20 dan 25, sama-sama masih lajang dan tinggal di sini bersama pasutri yang tak memiliki keturunan ini.Kata Tante Selvi, mereka masih punya lima karyawan lain yang bekerja di tempat terpisah. Sebagian orderan dilempar ke tempat tersebut, sedang sisanya yang penting-penting dan butuh penanganan ekstra seperti gaun dan jas pengantin Om Jati sendiri yang handle. Selain mahir menjahit, beliau juga seorang designer yang hasil karyanya sudah banyak dipakai oleh anak-anak pejabat serta orang penting kala mereka menikah. Aku tahu karena diceritakan oleh Ta
Bagian 36PoV Mama “Kami mencari saudara Rauf. Apakah dia ada di rumah?” “Kami membawa surat penangkapan untuknya. Ada kasus yang dia harus selesaikan di kantor polisi.” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di telinga. Kepala mau pecah. Lebih-lebih jantungku. Kalau bisa melompat, dia pasti sudah melompat. Aku yang sejam lalu tiba-tiba merasa antara hidup dan mati akibat terkejut, kini masih merasa sesak napas yang sama. Aku sudah tua. Beberapa tahun lagi bakal kepala enam. Berita begini tentu membuat hidupku seketika tak tenang. Rauf, anakku yang paling tampan sejagat Jalan Rambutan ini. Rasanya tak mungkin dia sampai berurusan dengan hukum.
Bagian 37PoV Vadi Senyumnya. Beliak matanya. Perempuan bernama Risa Sarasdewi, jelas-jelas sudah berhasil mencuri hatiku. Sempurna tanpa meninggalkan sisa. Aku jadi takut. Bisakah aku hidup dengan hati yang dia bawa pergi, tanpa kutahu apakah perasaan ini akan berbalas atau tidak. “Udah, ah! Aku kenyang.” Risa menutup mulutnya rapat dengan tangan. Menolak suapan berikutnya yang hendak mendarat. Aku kecewa. Padahal masih ingin lebih lama lagi menatapnya saat sendok masuk ke mulutnya. “Oke.” Sendok sudah kuletakkan. Kali pertama aku menyuapi seorang wanita setelah sekian lama tak melakukannya. Terakhir sekitar empat tahun yang lalu saat aku masih merenda angan bersama Nadya.
Bagian 38PoV Risa Tangisanku semakin tergugu. Rasanya aku benar-benar sedih luar biasa. Mengetahui bahwa dr. Vadi berasal dari kota di mana Ibu kini hidup Bahagia Bersama suami barunya, membuatku entah mengapa sesentimental ini. Memang taka da hubungannya. Namun, aku jadi teringat akan Ibu. Bagaimana kalua aku kelak bias menemukannya kembali di sana? Apa yang akan terjadi ketika kami bersitatap lagi setelah sekian tahun kami dibuang olehnya? Hap! Tubuhku kemudian dipeluk erat oleh dr. Vadi. Bagaimana aku tak makin menangis apabila diperlakukan begini? Kupeluk kembali tubuhnya. Menumpahkan deras air mata di atas dada bidang lelaki itu. Air mataku telah membasahi kemejanya, tetapi lelaki itu semakin mendekap. Seperti aku tak bakal lagi dia lepaskan. “Ke
Bagian 39PoV Risa Aku tetap diam. Ogah menjawab. Beranjak pun aku tak ingin. Biar dia tahu, bahwa bukan cuma dia yang bias ngambek atau keberatan. “Kamu mau tidur di sini?” Pertanyaan dari dr. Vadi sungguh membuatku jengkel. “Kenapa?” tanyaku dengan nada kesal. Kutatap wajahnya. Tanpa sadar bibirku mengerucut. Pria yang tampak lelah itu mengurungkan niatnya untuk turun. Pintu yang telah terbuka sedikit celahnya, kembali dia tutup. Wajah dr. Vadi kini menatapku. Aku tak menoleh. Memandang lurus saja ke depan sambal melipat tangan di depan dada. “Aku suka padamu. Sudah dengar?”
Bagian 40PoV Risa “Buka pintumu, aku di depan.” Deg! Aku luar biasa terperanjat. Secepat itu dia berada di depan sana? Oh, dr. Vadi, kamu sekarang memang bagaikan jailangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Bagai hantu yang kehadirannya tiba-tiba dan membuatku terkejut luar biasa. “I-iya,” jawabku dengan tergagap. Kuusap air mata. Beranjak dari tempat tidur dengan posisi ponsel yang masih menempel di telinga. Sebelum membuka pintu, kutenangkan diri sesaat dengan mengambil napas panjang. Huft, semoga dia tak marah karena melihatku belum mandi dan berganti pakaian begini. “Kamu bahkan belum ganti pakaian?” Lelaki yang baru saja menurunkan po
Bagian 41PoV dr. Vadi Tangisan Risa yang bertubi-tubi dari siang hingga malam ini, tentu membuat hatiku ikut gerimis. Dusta bila aku hanya cuek. Memang mata ini tak ikut menitik, tetapi jiwa? Sungguh aku sesak dibuatnya. Gemetar bibirnya yang jujur bercerita, membuat hatiku menangis dalam sunyi sejadi-jadinya. Tanganku bahkan tremor saat menyentuh pundak dan puncak kepalanya. Risa bagiku bukan hanya sekadar partner bekerja. Sejak dia kubawa tinggal di kost Anugrah, entah bagaimana separuh jiwa adalah dia. Berlebihan? Tidak. Aku rasa sama sekali tidak. Terlalu cepat jatuh cinta? Aku akan tegas menjawab, no! Hati yang menyeleksi. Raga mengamini. Lantas, aku bisa apa? Waktu yang membuatku rela bertaruh, bahwa perasaan ini sama sekali bukan hanya sesaa
Bagian 42PoV dr. Vadi Meski lama, Risa berhasil juga menghabiskan seluruh isi piring dan gelasnya. Aku memang sudah tak sabar lagi untuk mengusaikan semua. Malam ini harus kelar, begitu pikirku. Apa pun yang terjadi, Risa harus lekas kembali ceria. Tak boleh lagi ada saputan awan mendung di mata beningnya. “Ayo,” kataku pada Risa setelah membayar bon makan kami. Risa gelagapan. Matanya bagai penuh tanya. “K-kita …?” “Kita ke rumah suamimu. Sekarang.” Aku menggandeng tangannya. Menyebrangi jalan dan membukakan pintu mobil untuk perempuan tersebut. Aku duduk di kursi kemu