Para staff sedang berkumpul di ruang ratap khusus. Pasalnya, Harry sudah seminggu lebih tidak terlalu mengurusi pekerjaannya. Dia hanya datang sesebentar lalu pergi tanpa kembali lagi. Sedangkan dari berita yang beredar, prodak terakhir yang mereka luncurkan ditolak di pasaran. Untuk perusahaan yang hampir saja kolaps, ini terbilang sangat genting dan bisa berakibat fatal.
Tentunya bukan hanya Harry saja yang akan menderita jika perusahaan ini benar-benar bangkrut, para staf sampai karyawan rendahan pun akan terkena imbasnya. Dan mereka semakin takut ketika mendengar Ezra Raves akan berkunjung ke perusahaan itu.
"Jika Tuan Harry tak juga datang hari ini, bagaimana nasib kita semua? Aku jadi merasa menyesal bertahan di sini." Pria tua berusia lima puluhan itu berkata.
"Sabar lah, Tuan Defron, kita tunggu saja Tuan Harry Borisson datang. Dia pasti yang lebih takut jika perusahaannya bangkrut." Yang lain berbicara menenangkan.
"Bagaimana bisa tenang jika sud
Baru saja Harry Borisson turun dari mobilnya, mata orang-orang langsung mengawasi lelaki itu. Mereka menilainya dengan dua mata yang mereka miliki, memandang Harry seperti sebuah sampah yang hina. Lelaki yang dulu sangat disegani itu sekarang menjadi sebuah duri yang membuat semua mata terasa ingin menusuknya."Dia masih berani mendatangi tempat seperti ini? Aku pikir seharusnya dia malu mengingat dirinya sangat tidak bermoral.""Entah lah, aku juga bingung kenapa ada lelaki seperti Tuan Harry yang tega menjual istrinya."Orang-orang membicarakan Harry yang sedang menghadiri rapat di sebuah hotel ternama. Dia belum mendengar isu yang tersebar, membuatnya sedikit bertanya-tanya ada apa dengan mata orang-orang itu. Dengan melirik Lukas, dia seperti meminta penjelasan."Maafkan aku, Tuan. Tapi sebaiknya kita bicarakan ini setelah selesai rapat." Lukas mengingatkan tujuan mereka datang ke sana.Prodak yang baru mereka keluarkan dikatakan me
"Ini berkas yang Anda minta, Tuan. Aku sudah menyiapkannya sejak kemarin."Lukas menyerahkan map berisi lembaran tebal di dalamnya, pada Harry. Lelaki yang tengah sibuk dengan mac-nya, berdehem pertanda dia mendengar perkataan Lukas. Pria tua yang masih berdiri di balik meja itu masih melihati wajah fokus tuannya."Kau tak punya pekerjaan lain, Lukas?" sapa Harry tanpa mengalihkan matanya sama sekali. Sepuluh jarinya masih fokus mengetik sesuatu di jajaran keyboard yang berbaris. Lukas menjadi salah tingkah ditegur seperti itu, seakan dia bermain-main saja."Tentu banyak, Tuan. Aku hanya menunggu perintah selanjutnya darimu."Kala itu pun Harry mengangkat wajahnya menatap Lukas."Sejak kapan kau bekerja harus mendapat perintah? Apa kau sudah tak bisa melihat sendiri pekerjaanmu?" Dia menghela napas panjang oleh sikap Lukas yang aneh."Bukan begitu," jawab Lukas. Dia mengatur posisi tegapnya sebelum menundukkan tubuhnya ke arah Harry. "
Suasana yang tadinya riuh kini berubah sunyi setelah kedatangan Harry. Meski lelaki itu mungkin sudah bukan pemegang kuasa tertinggi di kota ini, tetap saja aura yang dibawanya mampu mengintimidasi semua orang. Tak akan terlupkam dari ingatan, bahwa seorng Harry Borisson adalah lelaki yang sangat kejam dan bisa membalikkan kehidupan seseorang dalam satu malam.Apalagi orang-orang yang ada di butik itu hanya lah istri dari pengusaha-pengusaha rendahan yang jauh di bawah Harry. Sejentik aja Harry menggerakkan jarinya, suami-suami mereka bisa menjadi bangkrut bahkan jadi gembel. Mereka semua terdiam dan tak berani menjawab ucapan Harry."Kenapa menjadi sunyi? Bukankah tadi sangat ramai di sini? Mulut lebar kalian terdengar sampai ke lantai satu bangunan ini. Aku jadi penasaran apa ada pengeras suara yang menempel di mulut kalian itu?" sambung Harry, yang semakin membuat mereka bungkam. Wajah mereka tampak memerah menahan malu bahkan ada yang bersembunyi ke bal
Ponsel Harry berdering pagi-pagi sekali. Sebuah nama yang sudah sangat lama tak menghubunginya, kini tertera di layar ponsel yang sedang dia tatap. Awalnya Harry sama sekali tidak tertarik menerima panggilan dari papanya itu, tapi kemudian dia menggeser juga layar ponselnya ke posisi menerima."Harry, bagaimana kabarmu?" tanya Tuan Borisson, begitu dia menempelkan ponsel di telinga."Ada apa ini? Bukannya Anda sendiri sudah menganggap saya bukan siapa-siapa?'Tak akan Harry lupakan begitu saja perkataan papanya tempo hari, ketika Tuan Borisson mengatakan nama Harry akan dihapus dari daftar keluarga."Jangan terlalu membenciku, bagaimana mungkin aku serius mengatakannya?"Harry tertawa kecil. "Tapi Anda terlihat sangat serius saat itu, Tuan. Bagaimana bisa saya menganggapnya tidak serius?"Dia adalah anak yang dididik keras sejak kecil, jadi Tuan Borisson harus menahan suaranya untuk tidak bertengkar lagi dengan Harry. Dengan mere
Ketika Harry hanya diam tanpa menjawab perkataan Lukas, pintu di ruangan itu diketuk dari luar sana. Harry melirik Lukas ke belakang dan tersenyum kecil melihat abdi kesayangannya itu."Persilakan dia masuk, Lukas, dan siapkan kursi untuknya. Salah satu musuh kita akan segera datang."Lukas yang tak paham maksud tuannya hanya mengerut kening, lantas melakukan perkataan Harry. Dia membukakan pintu dan melihat Serena berdiri di sana."Di mana Harry?" tanya Serena, keangkuhan tampak jelas di wajah gadis itu."Silakan masuk, Nona Serena, Tuan Harry sudah menunggu," katanya, lantas mengambilkan kursi seperti yang disuruh oleh Harry.Pria tua itu pun meninggalkan mereka setelah Serena duduk di sana."Hai, Harry, maaf aku mengganggumu."Serena duduk di sebelah Harry. Perasaan senang sudah memenuhi hati gadis itu, ketika dia memasuki ruangan ini. Bagaimana tidak? Harry terlihat sangat lemah dan tak punya harapan hidup sekara
Hari itu masih siang saat Amanda memasuki istana besar milik putranya. Harry belum kembali dari kantor, dia tahu itu. Dan Amanda sendiri pun datang ke sini memang sengaja ingin menemui Alena tanpa sepengetahuan putranya. Sebab jika Harry tahu, anaknya itu akan mengusir Amanda tanpa kata ampun. Amanda duduk di ruang tamu sembari menatap Alena yang baru saja datang dari kamarnya.Ada apa Amanda ke sini? Tentu Alena merasa was-was dengan kedatangan mama mertuanya itu. Dia menutupi rasa gugupnya dengan berpamitan ke dapur, membuatkan teh untuk mama mertuanya. Ketika membuatnya dia berlama-lama berharap hari akan cepat berlalu sehingga Harry segera tiba, tapi itu hanya akan sia-sia sebab Amanda mendatangi Alena ke dapur. Dia menjadi semakin gugup memegangi nampan tehnya."Bisa aku duduk di sini?" kata Amanda, sembari menunjuk meja makan yang ada di sana."Ah? I- iya, tentu saja boleh, Nyonya. Silakan," sahut Alena, dia membawa nampan tehnya ke meja makan
"Harry, ayo duduk dulu kau pasti lelah."Alena merasa sangat bersalah setelah membentak suaminya. Buru-buru dia mendekati lelaki yang tengah mematung di ambang pintu untuk mengajaknya ke tempat Amanda duduk. Dia menarik sebuah kursi untuk Harry, lalu mendudukkan suaminya di sana. Kemudian, Alena mengambil tempat duduk yang bersebelahan dengan suaminya sementara Amanda berada di depan sana."Maaf tidak meneleponmu. Mama datang tanpa diduga dan ... kami berbincang terlalu serius sampai aku lupa mengabarimu," kata Alena, ketika dia melihat suaminya melempar tatapan menuntut penjelasan."Tapi kalian sudah selesai bicara? Maka suruh mama mertuamu kembali ke negaranya, aku tak punya waktu untuk berbasa-basi."Harry adalah orang yang sangat keras, semua orang tahu itu. Amanda menghela napas mendapat perkataan seperti itu dan dia sangat terluka. Sepertinya Harry tak akan bisa memafkannya begitu saja, apalagi setelah mendengar perkataannya tadi terhadap Alen
Pertengkaran suami istri itu sudah tak terdengar lagi, tapi keduanya lebih banyak diam sejak kemarin. Bahkan ketika Harry memeluk Alena saat tidur, istrinya itu menepis tangannya. Hingga ini sudah pagi pun keduanya masih tetap tidak berbicara sebelum Harry yang memulai."Ambilkan dasiku."Alena baru saja akan keluar dari kamar ketika dia mendengar Harry meminta dasi. Benda itu ada di atas ranjang, dan jika Harry memutar tubuhnya pasti sudah bisa meraihnya. Alena menghela napas, dia tahu suaminya hanya ingin menguji kesabarannya pagi ini. Lantas, dengan kaki yang sedikit menghentak Alena berjalan menuju ranjang untuk mengambilnya."Ini." Dia menyodorkan dasi yang diminta oleh Harry."Tanganku sakit, pasangkan itu padaku."Sakit? Alena melirik tangan Harry yang menggantung di sebelah kedua paha, dan dia tak melihat ada yang sakit di sana. Dari yang Alena ingat pun, tadi malam Harry masih bisa mengetik dengan lincah di atas laptop-nya, apakah itu menj
Esau berlari menaiki tangga pintu masuk istana keluarganya, dengan penuh semangat dan senyum yang tergambar di bibirnya. Tangan kanan menjinjing sebuah boks besar yang dia bawakan hadiah untuk istrinya, belakangan ini dia memang menjadi sangat romantis sejak mendengar kabar kehamilan Freya. Setiap akan pulang dari mana pun, Esau menyempatkan membawa hadiah untuk Freya. Baik itu berupa bunga, makanan, atau benda apa saja yang dia temukan di jalan. Terkadang juga Esau mencari-cari sesuatu yang diinginkan ibu hamil melalui situs internet, lantas membawakannya untuk Freya. Dia adalah suami yang begitu mencintai istrinya. “Sayang...” Esau mendorong pintu kamar, memamerkan jinjingan yang dia bawa. “Lihat, aku membawa apa padamu?” Freya yang tengah berbaring membaca sebuah buku, menurunkan buku itu ke atas perutnya dan melihat Esau. Sejak hamil dan dikatakan fisiknya lemah, Freya dengan suka rela mengambil cuti kuliah dan lebih memilih menghabiskan waktu menikmati k
“Frey, kalian harus datang, ingat!”Leona berseru dari ujung sana, melambaikan tangannya pada Freya yang masih berdiri menunggu Esau membukakan pintu mobil. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban untuk seruan dari Leona.“Baik lah, akan aku usahakan.” Freya lalu masuk ke dalam mobil di samping suaminya yang menyetir.“Datang? Memangnya... ke mana dia mengajakmu?”“Ulang tahun. Leona merayakan ulang tahunnya, dan dia mengundang kita.”“Kenapa kita harus datang?” Esau menyahut acuh, menyalakan mesin mobil yang membawa mereka meninggalkan parkiran kampus. “Aku heran kenapa kau mau berteman dengannya, padahal dulu dia jahat padamu.”Jika dipikir-pikir, Leona memang banyak melakukan kejahatan pada Freya, tapi di balik itu Freya sendiri sudah membalasnya, kan? Lantas kenapa harus merasa dirinya harus membenci Leona lagi? Lagian Leona sendiri sudah meminta maaf secara terang-tera
Semua orang menjadi diam melihat kedatangan pria itu. Esau masih terkejut, bahkan dia tidak sadar kapan Ezra Raves berjalan menuju kado besar yang sudah Harry siapkan. Dia menatap Harry dengan tatapan yang sedikit aneh.“Apakah kado dariku sangat besar?” katanya, seakan menyindir Harry. Ezra cukup tahu Harry adalah seseorang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu, dan sudah pasti Harry lah yang membuat kado itu seakan-akan dari dirinya. “Kalian tampak senang melihat kado dariku, tapi tampaknya tidak senang dengan kedatanganku.” Ezra berpindah ke depan Harry, mengulurkan tangannya dan berkata, “Halo, Besan, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama.”Harry muak melihat sikap Ezra yang seakan ingin menunjukkan sifat arogannya. Tapi demi menjaga nama baik menantu perempuannya, Harry mengulurkan tangan untuk menyambut Ezra. “Ya, selamat datang kembali. Aku pikir pesawat itu sudah meledak sehingga kau mungkin tidak akan pernah dat
“Selamat, akhirnya kau benar-benar menjadi lelaki jantan.” Parsa menepuk pundak sahabatnya, membuat Esau mengerut kening tidak senang.“Sial! Apa selama ini aku kurang jantan di matamu?” umpat Esau pelan, tidak senang dia dengan ledekan yang ditujukan Parsa padanya.“Mana aku tahu, Freya lah yang tahu bagaimana kau di ranjang.” Parsa melirik Freya dan meneruskan pertanyaan Esau padanya. “Bagaimana, Frey, apakah Esau jago di ranjang?” ucapnya sembari tertawa.Kesal, Esau meninju pelan pundak Parsa untuk menyuruh sahabatnya itu diam. “Diam lah, Brengsek, atau aku memanggil bagian keamanan untuk mengusirmu,” balasnya sambil bergurau.Hal itu membuat Julian ikut tertawa mendengar dua sahabatnya yang saling mengejek, dan ikut serta di dalam perbincangan mereka. “Mungkin kau memang tidak jago, Esau, sebab itu Freya ingin meninggalkanmu.”“Hei, tutup mulutmu atau aku
“Apa yang kau lakukan, Esau?” Freya menarik Esau untuk menjauh, tetapi Esau tidak menggubrisnya. Dia tidak akan menyerah begitu saja sebelum Felisha menunjukkan apa yang dia sembunyikan.“Frey, aku lah yang lebih dulu mengenal bibi, jadi aku tahu dia tidak sepenuhnya gila. Sebelum kau masuk ke dalam hidupku, perawat mengatakan bibi hanya butuh pengobatan ringan. Dia hanya terlalu malu bertemu denganmu, sampai-sampai berkata tidak ingin melihatmu lagi. Benar seperti itu kan, Bi?” tanya Esau tegas.Tentu hal itu membuat Felisha tak tahan lagi. Dia lelah menahan diri hingga akhirnya meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.“Aku orang jahat, kenapa aku berhak memiliki anak? Aku sudah membuat semua orang menderita, aku tidak pantas menjadi ibunya,” bisik Feli lemah.Pertemuan dengan Ezra sudah membuat Feli seperti tersadar bahwa dirinya adalah orang jahat yang tak pantas mendapatkan perhatian dari siapa pun. Semua tuduh
“Maaf sudah memisahkanmu dengan papamu.” Esau mengelus wajah Freya, satu jarinya bermain-main di wajah cantik gadis yang bersandar ke pundaknya.Bagaimana pun, Ezra Raves adalah pria pertama yang mencintai gadis itu sejak dia lahir. Mungkin banyak kesalahan yang Ezra lakukan, tapi tetap saja cinta seorang ayah tidak bisa dihilangkan dari hati.“Kau masih sedih?” Kini Esau tatap wajah cantik istrinya dengan memegangi dagu lancip Freya.Menggeleng lemah, tentu saja Freya berbohong. Dia tidak bisa berkata dirinya baik-baik saja setelah yang barusan terjadi.“Sedih sebentar tidak akan membunuhku, kan?” bisik Freya, lagi air matanya mengalir. “Papa tidak boleh hanya menyalahkan mama, mereka sama-sama salah. Aku harus tega pada papa untuk membuatnya menyadari kesalahan.”“Benar, kau tidak melakukan kesalahan. Jika papamu bisa berpikir dengan baik, seharusnya dia menyesal.”Helaan na
“Apa yang kalian bicarakan? Sayang, papa mencintaimu. Kau tidak harus mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang tidak menyukai papa,” kata Ezra, berharap kali ini putrinya masih mendengarnya. Ezra Raves tidak rela jika Freya menuduhnya tidak menginginkan dirinya.“Tapi bukti yang kutemukan bukan sekedar ucapan orang-orang. Papa juga ingin melihatnya?” Freya menantang papanya, lantas membuka lipatan kertas yang dia pegang.Bagaimana pula ada orang yang berkata demikian? Apakah mereka bisa mendengar isi kepala Ezra? Siapa yang dengan berani membuat kesaksian bahwa Ezra tidak menginginkan bayinya? Sejak mendengar Felisha hamil, Ezra sudah berencana untuk mengurus bayi itu meski tanpa ibunya!“Catatan rumah sakit atas nama Felisha Raves dan suaminya Ezra Raves,” kata Freya, membaca sebagian dari kertas yang ada di tangannya. Dadanya sesak. Pedih Freya rasakan ketika dia melanjutkan untuk berkata, “Catatan ini adalah kunju
Freya masih bergeming menatap tangan Esau yang terulur padanya. Lalu perlahan mengangkat mata untuk melihat wajah suami yang... katanya sudah bercerai oleh perbuatan oleh sang papa. Wajah sendunya sulit untuk ditebak, apakah Freya akan menerima uluran tangan itu?Kemudian dia perlahan mengalihkan wajah menatap tangan papanya, lalu mata mereka pun bertemu beberapa detik kemudian.“Mari, Sayang, kita akan berangkat hari ini,” ucap Ezra Raves sekali lagi.“Papa menjagaku?” Suara serak yang menyiratkan kerinduan akan cinta.“Pasti, karena kau lah separu dari nyawaku yang tersisa.” Ezra mengangguk perlahan.Ezra memang banyak melakukan kebohonga, tapi semua dia lakukan untuk alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin membuat Freya seperti ibunya.“Freya, ibumu memiliki temprament yang sangat buruk. Dia suka menyakiti orang lain tanpa peduli siapa orangnya. Aku menjauhkanmu dari dia karena aku mencintaimu, a
“Esau, tunggu!” Freya hampir saja terjatuh ketika mengikuti langkah suaminya turun dari mobil. “Bukankah kau bilang akan mempertahankanku? Kenapa kau ingin mengembalikanku pada papa?” katanya lagi. Freya tidak ingin pergi, dia berhenti menatap rumah besar di mana papanya menunggu.“Freya, ikut lah, papamu sudah tak sabar menunggu.”Kemarahan Esau sudah sampai di puncak kepalanya, sehingga tak ada waktu baginya membahas hal ini. Esau hanya ingin segera bertemu dengan Ezra Raves dan menyelesaikan masalah mereka. Dia tidak tahan mendengar kata-kata Ezra yang bahkan sudah mengurus perceraiannya dan Freya. Bukankah pria itu sudah sangat keterlaluan?“Tapi aku tidak mau! Aku mencintaimu, aku ingin denganmu!” Freya yang baru mendapat kasih sayang dari seluruh anggota keluarga Borisson, tiba-tiba merasa sangat sedih. Esau, lelaki yang pagi tadi berkata mencintai dirinya bahkan rela mati untuknya, kenapa sekarang justru sep