"Apa maksudnya? Kau melepaskan mereka, Alen?"
Harry tak mengeri entah terbuat dari apa hati istrinya ini. Padahal, Harry sudah berencanna membuang Feli beserta mamanya ke dalam hutan. Tak peduli bahwa Felisha sedang mengandung, dia pantas mati setelah berkali-kali melakukan kejahatan pada Alena.
"Harry, aku tahu betapa kau marah pada mereka. Aku pun tahu kau sangat ingin mereka mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi negara ini memiliki hukum, dan karma atas perbuatan jahat mereka pun akan mendapat balasan. Kita tak perlu mengotori tangan kita untuk membunuh mereka, Harry. Biarkan waktu hukum yang berlaku pada mereka, aku tak mau suamiku menjadi pembunuh," kata Alena. Jika benci dan dendamnya pada ibu dan anak itu, tak perlu diragukan lagi.
"Tapi mereka sudah berkali-kali hampir membunuhmu. Aku tak akan membiarkan mereka lolos."
"Dengan membalasnya, bukankah kita juga akan sama seperti mereka, Harry? Biarkan mereka menuai karmanya sendiri, dan biar
"Lepaskan aku! kalian tak bisa melakukan ini padaku!"Felisha menjerit, merontah ketika dua polisi datang menjemputnya. Mereka mengabaikan teriakan wanita itu dan terus menggiringnya menuju mobil yang sudah terparkir di sana. Alena melihatnya dari kejauhan dengan mata yang tak lekang dari kakak tirinya itu. Andai saja Feli bisa berdamai dengan Alena sejak dulu, tentu semua ini tak akan pernah terjadi. Tapi itu lah kehidupan yang harus dia jalani akibat dari perbuatannya."Alena! Kau tak bisa melakukan ini, Alena! Aku adalah kakakmu, kau tak boleh membiarkan mereka membawaku!" teriaknya dari ujung sana. Lantas, mau tak mau Alena mendekat ke arah Feli."Jika saja sejak dulu kau menyadari kita bersaudara tiri, aku tak mmungkin tega melakukan ini, Feli. Tapi kau sayangnya kau sadar setelah terlalu jauh melukaiku. Maka, aku tak bisa berbuat banyak untukmu," jawab Alena."Alena, aku tahu sudah banyak berlaku jahat padamu. Tapi tak bisa kah kau
Para staff sedang berkumpul di ruang ratap khusus. Pasalnya, Harry sudah seminggu lebih tidak terlalu mengurusi pekerjaannya. Dia hanya datang sesebentar lalu pergi tanpa kembali lagi. Sedangkan dari berita yang beredar, prodak terakhir yang mereka luncurkan ditolak di pasaran. Untuk perusahaan yang hampir saja kolaps, ini terbilang sangat genting dan bisa berakibat fatal.Tentunya bukan hanya Harry saja yang akan menderita jika perusahaan ini benar-benar bangkrut, para staf sampai karyawan rendahan pun akan terkena imbasnya. Dan mereka semakin takut ketika mendengar Ezra Raves akan berkunjung ke perusahaan itu."Jika Tuan Harry tak juga datang hari ini, bagaimana nasib kita semua? Aku jadi merasa menyesal bertahan di sini." Pria tua berusia lima puluhan itu berkata."Sabar lah, Tuan Defron, kita tunggu saja Tuan Harry Borisson datang. Dia pasti yang lebih takut jika perusahaannya bangkrut." Yang lain berbicara menenangkan."Bagaimana bisa tenang jika sud
Baru saja Harry Borisson turun dari mobilnya, mata orang-orang langsung mengawasi lelaki itu. Mereka menilainya dengan dua mata yang mereka miliki, memandang Harry seperti sebuah sampah yang hina. Lelaki yang dulu sangat disegani itu sekarang menjadi sebuah duri yang membuat semua mata terasa ingin menusuknya."Dia masih berani mendatangi tempat seperti ini? Aku pikir seharusnya dia malu mengingat dirinya sangat tidak bermoral.""Entah lah, aku juga bingung kenapa ada lelaki seperti Tuan Harry yang tega menjual istrinya."Orang-orang membicarakan Harry yang sedang menghadiri rapat di sebuah hotel ternama. Dia belum mendengar isu yang tersebar, membuatnya sedikit bertanya-tanya ada apa dengan mata orang-orang itu. Dengan melirik Lukas, dia seperti meminta penjelasan."Maafkan aku, Tuan. Tapi sebaiknya kita bicarakan ini setelah selesai rapat." Lukas mengingatkan tujuan mereka datang ke sana.Prodak yang baru mereka keluarkan dikatakan me
"Ini berkas yang Anda minta, Tuan. Aku sudah menyiapkannya sejak kemarin."Lukas menyerahkan map berisi lembaran tebal di dalamnya, pada Harry. Lelaki yang tengah sibuk dengan mac-nya, berdehem pertanda dia mendengar perkataan Lukas. Pria tua yang masih berdiri di balik meja itu masih melihati wajah fokus tuannya."Kau tak punya pekerjaan lain, Lukas?" sapa Harry tanpa mengalihkan matanya sama sekali. Sepuluh jarinya masih fokus mengetik sesuatu di jajaran keyboard yang berbaris. Lukas menjadi salah tingkah ditegur seperti itu, seakan dia bermain-main saja."Tentu banyak, Tuan. Aku hanya menunggu perintah selanjutnya darimu."Kala itu pun Harry mengangkat wajahnya menatap Lukas."Sejak kapan kau bekerja harus mendapat perintah? Apa kau sudah tak bisa melihat sendiri pekerjaanmu?" Dia menghela napas panjang oleh sikap Lukas yang aneh."Bukan begitu," jawab Lukas. Dia mengatur posisi tegapnya sebelum menundukkan tubuhnya ke arah Harry. "
Suasana yang tadinya riuh kini berubah sunyi setelah kedatangan Harry. Meski lelaki itu mungkin sudah bukan pemegang kuasa tertinggi di kota ini, tetap saja aura yang dibawanya mampu mengintimidasi semua orang. Tak akan terlupkam dari ingatan, bahwa seorng Harry Borisson adalah lelaki yang sangat kejam dan bisa membalikkan kehidupan seseorang dalam satu malam.Apalagi orang-orang yang ada di butik itu hanya lah istri dari pengusaha-pengusaha rendahan yang jauh di bawah Harry. Sejentik aja Harry menggerakkan jarinya, suami-suami mereka bisa menjadi bangkrut bahkan jadi gembel. Mereka semua terdiam dan tak berani menjawab ucapan Harry."Kenapa menjadi sunyi? Bukankah tadi sangat ramai di sini? Mulut lebar kalian terdengar sampai ke lantai satu bangunan ini. Aku jadi penasaran apa ada pengeras suara yang menempel di mulut kalian itu?" sambung Harry, yang semakin membuat mereka bungkam. Wajah mereka tampak memerah menahan malu bahkan ada yang bersembunyi ke bal
Ponsel Harry berdering pagi-pagi sekali. Sebuah nama yang sudah sangat lama tak menghubunginya, kini tertera di layar ponsel yang sedang dia tatap. Awalnya Harry sama sekali tidak tertarik menerima panggilan dari papanya itu, tapi kemudian dia menggeser juga layar ponselnya ke posisi menerima."Harry, bagaimana kabarmu?" tanya Tuan Borisson, begitu dia menempelkan ponsel di telinga."Ada apa ini? Bukannya Anda sendiri sudah menganggap saya bukan siapa-siapa?'Tak akan Harry lupakan begitu saja perkataan papanya tempo hari, ketika Tuan Borisson mengatakan nama Harry akan dihapus dari daftar keluarga."Jangan terlalu membenciku, bagaimana mungkin aku serius mengatakannya?"Harry tertawa kecil. "Tapi Anda terlihat sangat serius saat itu, Tuan. Bagaimana bisa saya menganggapnya tidak serius?"Dia adalah anak yang dididik keras sejak kecil, jadi Tuan Borisson harus menahan suaranya untuk tidak bertengkar lagi dengan Harry. Dengan mere
Ketika Harry hanya diam tanpa menjawab perkataan Lukas, pintu di ruangan itu diketuk dari luar sana. Harry melirik Lukas ke belakang dan tersenyum kecil melihat abdi kesayangannya itu."Persilakan dia masuk, Lukas, dan siapkan kursi untuknya. Salah satu musuh kita akan segera datang."Lukas yang tak paham maksud tuannya hanya mengerut kening, lantas melakukan perkataan Harry. Dia membukakan pintu dan melihat Serena berdiri di sana."Di mana Harry?" tanya Serena, keangkuhan tampak jelas di wajah gadis itu."Silakan masuk, Nona Serena, Tuan Harry sudah menunggu," katanya, lantas mengambilkan kursi seperti yang disuruh oleh Harry.Pria tua itu pun meninggalkan mereka setelah Serena duduk di sana."Hai, Harry, maaf aku mengganggumu."Serena duduk di sebelah Harry. Perasaan senang sudah memenuhi hati gadis itu, ketika dia memasuki ruangan ini. Bagaimana tidak? Harry terlihat sangat lemah dan tak punya harapan hidup sekara
Hari itu masih siang saat Amanda memasuki istana besar milik putranya. Harry belum kembali dari kantor, dia tahu itu. Dan Amanda sendiri pun datang ke sini memang sengaja ingin menemui Alena tanpa sepengetahuan putranya. Sebab jika Harry tahu, anaknya itu akan mengusir Amanda tanpa kata ampun. Amanda duduk di ruang tamu sembari menatap Alena yang baru saja datang dari kamarnya.Ada apa Amanda ke sini? Tentu Alena merasa was-was dengan kedatangan mama mertuanya itu. Dia menutupi rasa gugupnya dengan berpamitan ke dapur, membuatkan teh untuk mama mertuanya. Ketika membuatnya dia berlama-lama berharap hari akan cepat berlalu sehingga Harry segera tiba, tapi itu hanya akan sia-sia sebab Amanda mendatangi Alena ke dapur. Dia menjadi semakin gugup memegangi nampan tehnya."Bisa aku duduk di sini?" kata Amanda, sembari menunjuk meja makan yang ada di sana."Ah? I- iya, tentu saja boleh, Nyonya. Silakan," sahut Alena, dia membawa nampan tehnya ke meja makan