Setelah hampir tiga jam Alena membersihkan dirinya di kamar mandi, dua pelayan datang menghampirinya ke sana.
"Nona, Anda sudah terlalu lama berendam di air. Mari kami bantu mengenakan pakaian," ucap salah seorang dari mereka.
Alena membiarkan dirinya dibantu berdiri oleh mereka dan dikenakan gaun tipis untuk tidur. Alena bahkan tak punya rasa malu lagi saat para pelayan itu melihat semua bagian tubuhnya.
'Kenapa harus malu? Aku sudah jadi perempuan yang tak punya harga diri,' pikirnya. Harapan pun sudah tak lagi ada di hatinya.
"Nona, Anda makan lah."
Lukas kembali dengan pelayan dapur yang membawa makanan. Dia didudukkan di atas sofa dengan makanan yang sangat banyak di depannya. Alena menatap makanan itu tanpa sedikit pun berselera.
"Aku tak ingin makan. Aku ingin mati," jawab Alena datar.
"Nona, surat perjanjian itu sudah Anda tanda tangani. Itu berarti, Tuan Harry tidak akan membiarkan Anda mati begitu saja. Bahkan jika Anda tidak makan selama berhari-hari, Tuan akan memanggil dokter untuk membuat Anda makan dengan selang. Apa Nona mau seperti itu?" ucap Lukas lagi.
Memangnya kenapa laki-laki gila itu sangat ingin dia hidup? Jika untuk mengandung anaknya, bukankah banyak wanita di luar sana? Dengan uang yang dia tawarkan pasti lah para gadis akan berlomba-lomba menerimanya. Kecuai Alena tentunya.
"Apa tujuannya melakukan ini padaku?" tanya Alena.
"Tuan menginginkan bayi dari Nona. Bukankah sudah dijelaskan di surat kontrak itu?"
"Ya. Maksudku, kenapa harus aku? Di luar sana banyak gadis lainnya. Kenapa harus memaksa orang yang tak mau?"
Lukas membenarkan posisinya berdiri, sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Tuan kami orang yang sangat selektif, Nona. Dari sekian banyak gadis yang diseleksinya, hanya Nona yang menurutnya bisa membantu. Tuan ingin anaknya dilahirkan oleh gadis yang masih suci dan sederhana seperti Nona."
Alasan gila. Apa laki-laki itu mencari tahu segalanya tentang Alena? Dia bahkan tahu yang mana gadis yang masih suci.
'Tentu saja, Alena. Dia pasti sudah mencoba semua gadis-gadis seleksianya.' Alena mendengus kesal.
"Lalu, berapa lama aku harus di sini? Bagaimana jika aku tidak kunjung hamil? Apa akan selamanya dia mengurungku di sini?" Rentetan pertanyaan dia lemparkan pada Lukas.
Pria tua itu membenarnya kaca matanya. Dia ragu apakah jawabannya akan sedikit menenangkan gadis ini.
"Begini, Nona. Biasanya, Tuan Harry akan cepat bosan dengan gadis-gadisnya. Mungkin Nona bisa menunggu dua sampai tiga bulan."
'Cih! Dia memang gila.'
"Apa dia tidak laku? Kenapa tidak meminta anak pada istrinya?" cetus Alena. Meski perasaan hatinya sudah sangat hancur, dia tetap membuka mulut saat pelayan wanita itu menyodorkan makanan.
Alena terlalu lapar setelah disiksa di atas ranjang. Lagian menurut Lukas, Harry tidak akan melepaskannya bahkan jika Alena sudah di ujung maut. Untuk apa terus menahan lapar?
"Nona, jangan berkata seperti itu. Tuan akan marah besar disebut tidak laku."
Kenapa harus marah? Memang sepertinya laki-laki itu tidak laku, kan? Mungkin karena napsunya yang sangat gila hingga tak ada gadis yang bisa tahan menjadi istrinya.
"Justru ... sebenarnya Tuan Harry tidak ingin menikah, sebab itu dia menginginkan seorang anak."
Dasar orang gila! Tak mau menikah tapi ingin punya anak. Kenapa tidak mengandung saja sendiri?
"Karena Anda sudah selesai makan, kami pergi dulu, Nona." Lukas membawa dua pelayan lainnya keluar dari kamar itu sebelum Alena kembali bertanya.
Di luar sana Alena mendenga suara tawa cekikikan yang sangat ramai. Bising. Dia tak bisa memejamkan matanya sekejap saja. Alena penasaran dari mana asal suara itu datang.
Dia berjalan ke jendela kaca kamar itu dan melihat jendelanya tidak dikunci. Pikiran Alena segera berputar dengan cepat.
Jika ada kesempatan untuk melarikan diri, kenapa harus diam di rumah itu? Terserah lah dengan surat kontrak sialan yang sudah ditanda tanganinya. Alena hanya ingin bebas lalu meminta pertolongan dari keluarganya.
Setelah memastikan dirinya ada di lantai tiga, Alena mencari apa saja yang bisa dipakainya untuk melarikan diri. Beruntung di lemari itu dia menemukan beberapa helai kain penutup kasur tang sangat lebar. Alena mengikat tiap ujungnya hingga kain itu sangat panjang dan cukup untuk turun dua lantai.
"Di lantai tarakhir aku bisa melompat. Aku tak akan mati jika terjatuh dari sana," gumamnya semangat.
Alena menuruni kain yang sudah dia ikat pada besi jendela. Perlahan, dia melepaskan tangannya dan membuat dinding tembok menjadi tumpuan. Tinggal satu lantai lagi, dia akan berhasil melarikan diri dari kamar penyiksaan itu.
Tapi tak lama, telinganya mendengar suara gaduh di kamar.
"Dia di jendela. Cepat tangkap dia di halaman kiri!"
Kepala Alena mendongak ke atas dan melihat Harry menarik kain itu.
"Mau lari ke mana kamu, hah!"
Dasar orang gila! Dia menemukan Alena di sini.
"Lepaskan! Aku tak mau jadi simpananmu!"
"Diam! Aku akan menghukummu setelah ini!"
Tak ada waktu untuk bertengkar dengannya. Alena tak ingin membiarkan dirinya ditarik lagi kembali ke dalam kamar itu hingga dia melepaskan pegangannya pada kain. Alena terjatuh di atas tanah yang membuat kakinya sangat sakit.
Mungkin kakinya patah? Alena memeluk lututnya yang hampir tak bisa dirasakan lagi."Sakit ...."
Tidak, Alena. Meski sakit, kau tak boleh membiarkan dirimu tertangkap!
Dengan terpincang-pincang dia mencoba melarikan diri mencari jalan keluar dari halaman yang cukup luas itu. Telinganya mendengar derap kaki yang berlarian. Pasti para suruhan si laki-laki gila bernama Harry.
Bagaimana ini? Apa yang akan Harry lakukan jika Alena tertangkap? Dia akan menghukum Alena di ranjang penyiksaan itu lagi?
Bersambung.
Alena terus menyeret kakinya meninggalkan tempat itu. Namun, bukannya menemukan jalan keluar justru dia terjebak di kolam renang yang ramai oleh gadis-gadis. Mereka menatap Alena dengan mata sinis yang siap menerkam."Hei! Siapa kau? Kenapa kau masuk ke tempat ini?""Dia seperti gembel yang menyasar!""Lea, ayo kita usir dia!"Mereka bergantian berkata. Tak senang melihat ada gadis lain di rumah tuannya.Jadi suara tawa yang didengar Alena itu berasal dari kolam renang ini? Siapa gadis-gadis itu? Apakah mereka juga bertugas melahirkan anak untuk si Harry gila? Pikir Alena.Gadis berambut pirang sepundak itu keluar dari dalam kolam dan langsung mendekati Alena."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya penuh selidik. 'Apa dia juga simpanan Tuan Harry? Kenapa sangat jelek?'"Aku ... aku menyasar. Bisa kalian tunjukkan jalan keluar dari tempat ini?" tanya Alena berbohong.Semoga saja ga
Di dalam kamarnya Harry termenung setelah menghancurkan sangat banyak benda di atas lantai. Dia sudah seperti orang bodoh."Kenapa aku tak bisa marah pada gadis itu?" gumamnya kesal.Ini kali pertama Harry membiarkan seseorang bersuara keras di depannya. Semua orang, tak terkecuali lawan bisnisnya di luar sana, tak satu pun yang pernah mengangkat suara di depan Harry. Semuanya selalu ketakutan jika dia sudah marah."Bukannya aku sudah menawarkannya uang yang banyak? Bahkan jika dia bekerja di Toko Toserba sampai tua, aku yakin gajinya tak akan pernah terkumpul satu miliar!" ucapnya lagi. Entah dia memang sudah menjadi bodoh.Setiap kali dia menginginkan seorang gadis, Harry tak pernah kesulitan mendapatkan perhatian mereka. Hanya dengan berjalan saja, gadis-gadis itu sudah datang menempel padanya. Mereka akan sangat senang meski Harry hanya meletakkan tangan di pinggang mereka. Apalagi jika sampai membawa mereka ke atas ranjang, itu suatu kehormatan bes
Alena berbaring malas di atas ranjang dengan seluruh tubuh yang hampir remuk redam. Matanya mengantuk tapi tak bisa diajak tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong melompong.Lukas datang dengan pelayan dapurnya mengantar senampan makan siang. "Nona, makan siang Anda sudah siap," ucapnya.Alena melirik malas pada tiga orang di depannya itu."Paman Lukas, di mana laki-laki itu?""Maksud Nona, Tuan Muda?" Lukas bertanya balik. "Tuan Muda sedang ada rapat penting di luar. Ada apa, Nona?"Seketika Alena mendapat pikiran cemerlang."Benar kah? Kalau begitu, bisa kah Paman Lukas memberiku sedikit keringanan? Aku bosan hanya di kamar ini. Ingin keluar melihat-lihat." Padahal Alena sedang merencanakan pelarian dirinya.Menurutnya Lukas sudah tua. Jika Alena mengajaknya berjalan-jalan di luar sana, Lukas tidak akan sanggup mengejar Alena jika dia kabur. Ini kesempatan baik untuknya.&
"Nona, tolong jangan mengganggu pekerjaan kami.""Kembali lah ke kamar Anda, Nona."Para pelayan dapur heboh dengan kedatangan Alena ke sana. Gadis itu sudah sibuk dengan pekerjaannya tanpa menghiraukan perkataan mereka. Dia hanya fokus pada tujuannya; membuat hati Harry senang."Jika Tuan Muda melihat Nona di dapur, kami semua akan kena marah."Bukan hanya pelayan rendahan, bahkan Lukas kelimpungan melihat Alena yang sibuk sendiri. Dia terus mencoba menghentikannya."Tidak apa-apa, Paman. Aku yang akan bertanggung jawab. Palingan juga aku yang kena hukum, kan? Paman Lukas tenang aja," jawab Alena tetap tenang.Belum saja dia tahu emosi Harry yang sebenarnya. Laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu sangat gampang marah. Lukas sudah mengenal Harry sejak anak itu masih berusia lima tahun."Jika dia suka masakanku, mungkin dia akan memberiku sedikit kelonggaran," bisik Alena.Meski dia sendiri tak
Harry mencengkram jemarinya mendengar perkataan Alena. 'Dia meremehkan aku?' pikirnya. Baru kali ini ada seseorang yang berani mempertanyakan uang yang dimiliki Harry.Jangankan satu gadis seperti Alena, Harry bisa membeli banyak pulau, membangun segala fasilitas dan mengumpulkan penuh gadis-gadis di dalamnya."Kau tak mengenalku?" tanya Harry."Tidak. Aku tak mengenalmu. Siapa kau, dan kau pikir sehebat apa kau membeliku?" tantang Alena. Meski dia sendiri sudah sangat ketakutan, Alena masih berusaha melawan pria itu."Aku Harry Borisson, pria paling tampan di negara ini. Berusia dua puluh delapan tahun dan sukses menjadi CEO nomor satu di lima negara saat aku masih dua puluh lima tahun. Kau ingin tau berapa banyak uang yang kupunya? Kau ingin melihat semua asetku? Aku yakin, kau pasti mati jantungan melihat berapa digit angka di salah satu debit card milikku."Selain penuh percaya diri dan kejam, ternyata laki-laki ini juga nars
"Paman Lukas, apa itu?"Alena mendengar kebisingan di luar dan memilih keluar dari dalam kamarnya. Di lorong kamar dia melihat Lukas dan yang lainnya mendorong troley yang berisi banyak sekali perabotan rumah. Tapi semuanya sudah hancur, pecah berkeping-keping. Alena merasa penasaran makhluk apa yang merusak semua benda itu."Ini barang-barang yang sudah tak bisa dipakai," jawab Lukas.Tentu saja Alena tahu. Dia hanya penasaran pelayan atau siapa yang menghancurkannya dan apakah orang itu mendapat hukuman dari Harry?'Itu sudah pasti, Alena. Harry pasti menghukum orang yang berani merusak barangnya.'"Apa ada gempa bumi? Kenapa di kamarku aman-aman saja? Paman, siapa yang memecahkannya?" tanya Alena penasaran."Tuan Muda. Permisi, Nona, kami harus membuang semua ini."Apa? Tuan Mudanya yang gila itu menghancurkan semua barang-barang? Alena menggeleng tak percaya. Selain bodoh pria itu juga ternyata perusak perab
Siang itu Alena merasa sangat bosan berdiam diri di dalam kamar. Dia tak bisa menahan dirinya terus dipenjara seperti ini dan memilih keluar untuk melihat-lihat. Alena berjalan-jalan santai di lantai tiga rumah itu.Penjagaan tampak sepi. Mungkin Harry sedang keluar mengurus perusahaannya. Alena bisa merasakan angin sejuk di balkon tingkat tiga. Dia merentangkan kedua tangannya, menikmati semilir angin yang menggoyangkan rambut panjangnya."Ah ... ini nyaman," bisiknya.Tak puas hanya diam di sana, Alena melanjutkan kakinya berjalan-jalan. Rumah itu memang lah pantas disebut istana sebab luasnya terlalu besar. Kaki Alena sudah pegal padahal dia belum mengitari seluruh lantai tiga.Belum lagi ornamen dan segala lukisan di rumah itu. Sangat banyak, indah dan dia yakin itu adalah lukisan karya orang terkenal. Mungkin replikanya saja sangat mahal, apalagi yang aslinya? Alena menggeleng melihat tanda tangan pelukis yang lengkap di bagian ba
Ponsel di sebelah Alena bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Dia meliriknya, nama Harry Borisson terpampang sebagai pengirim. Bibir Alena berkedut melihatnya. Ternyata Harry langsung menyimpan nomornya di ponsel yang dia berikan untuk Alena.'Aku akan rapat.'Isi pesan singkat dari Harry.Alena meletakkan lagi ponsel itu di sebelahnya. Dia tak berminat melihat-lihat dari merk apa, seri berapa, ram, dan harga berapa ponsel itu. Bahkan jika pun itu ponsel termahal dan terbaru, bagi Alena sama saja tak ada gunanya. Dia bahkan tak bisa membawa benda itu keluar dari istana penyiksaan ini. Dia pun tak berani menghubungi seseorang dengan ponsel itu, takut akan ancaman Harry.Sekali lagi pesan singkat masuk. Masih dari nama yang sama Harry Borisson. Alena meraih lagi ponsel itu untuk membaca pesan.'Alena, aku sedang rapat.'Memangnya kenapa, sih? Apa urusannya dengan Alena? Mau dia rapat, rapit, repot, juga nggak ada urusan sama Alen