Alena terus menyeret kakinya meninggalkan tempat itu. Namun, bukannya menemukan jalan keluar justru dia terjebak di kolam renang yang ramai oleh gadis-gadis. Mereka menatap Alena dengan mata sinis yang siap menerkam.
"Hei! Siapa kau? Kenapa kau masuk ke tempat ini?"
"Dia seperti gembel yang menyasar!"
"Lea, ayo kita usir dia!"
Mereka bergantian berkata. Tak senang melihat ada gadis lain di rumah tuannya.
Jadi suara tawa yang didengar Alena itu berasal dari kolam renang ini? Siapa gadis-gadis itu? Apakah mereka juga bertugas melahirkan anak untuk si Harry gila? Pikir Alena.
Gadis berambut pirang sepundak itu keluar dari dalam kolam dan langsung mendekati Alena.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya penuh selidik. 'Apa dia juga simpanan Tuan Harry? Kenapa sangat jelek?'
"Aku ... aku menyasar. Bisa kalian tunjukkan jalan keluar dari tempat ini?" tanya Alena berbohong.
Semoga saja gadis-gadis itu tidak tahu bahwa Harry sedang mencari Alena.
Gadis bernama Lea itu mengamati Alena dari kaki hingga kepala. 'Apa mungkin perempuan ini yang disebut-sebut simpanan istimewah?' pikirnya.
Dilihat dari wajah Alena sangat biasa saja. Tapi, tidak mungkin ada orang menyasar datang ke tempat itu. Jangankan masuk ke tempat berenang, melewati gerbang saja tak mungkin bisa. Jika bukan salah satu dari gadis simpanan Harry, tak mungkin dia ada di sini. Hatinya marah, kesal memikirkan Alena mungkin simpanan istimewah itu.
"Aku bisa membantumu keluar. Ayo, ikut aku," ajaknya.
Tak ada satu pun simpanan yang boleh menyaingi dirinya!
Berbeda dengan Alena, dia justru terlihat sangat senang ada seseorang yang bersedia membantunya keluar. Dia mengangguk cepat mengikuti gadis itu menuntun jalan. Tapi, saat mereka akan keluar dari gerbang kecil di taman belakang, para penjaga segera menghentikan.
"Berhenti! Anda tidak boleh meninggalkan tempat ini!"
Alena kembali lemas. Harapan untuk bisa keluar sirna sudah saat melihat Harry juga ada di sana.
"Nona, ayo kembali ke kamar Anda." Penjaga itu meraih lengan Alena.
"Lepaskan!" bentak Harry. Matanya tajam menatap tangan penjaga itu yang baru saja menyentuh Alena. "Aku akan mematahkan tanganmu jika berani menyentuh milikku!"
Penjaga itu segera berlutut memohon diampuni.
Kini mata Harry sudah tertuju pada Alena. Kemarahannya tak bisa dia kontrol menyadari Alena bahkan berusaha kabur darinya. Jari-jarinya saling meremas dan menimbulkan buku-buku di bagian punggung telapak tanga.
"Mau ke mana kau, Alena? Bukannya kau sudah menanda tangani kontrak denganku?"
"Aku ... aku," jawab Alena gugup.
Benar. Pasti perempuan ini lah yang disebut-sebut sebagai simpanan istimewa itu. Lea memasang wajah masamnya menatap Alena.
"Tuan Harry ..." Lea berlari ke sebelah Harry dan bergelayut di tangannya. "Tuan, aku tak tau kalau Anda mencarinya. Dia berbohong padaku."
"Minggir!"
Harry menepis tangan Lea dan melangkah mendekati Alena.
"Kau ingin kabur dariku? Di dalam mimpimu pun jangan berharap!"
Dengan sekali angkat, Alena sudah berada di pundak Harry. Rontahan dan pukulan tangan Alena di punggungnya dia abaikan dan terus memasuki istana besarnya. Harry sangat marah merasa dirinya dipermainkan oleh gadis ini.
Ketika memasuki lorong menuju kamarnya, Alena melihat benda berserakan di atas lantai. Sepertinya Harry baru saja mengamuk dan merusak benda itu. Sangat menakutkan hingga dia tak berani bergerak di pundak Harry.
Di dalam kamar Harry melempar Alena ke atas ranjang.
"Kau lupa baru saja memohon padaku?" Giginya bergemeretak menahan amarah yang kian membuncah.
Sangat menyeramkan. Alena beringsut ke belakang, ketakutan oleh ekspresi wajah Harry yang siap akan membunuh.
"Ma-maafkan aku, Tuan."
Harry tergelak tak percaya.
Belum lama ini Alena memanggilnya dengan sebutan 'kau' dan berkata tak akan mau menjadi simpanannya. Tapi sekarang dia terlihat seperti seekor anak kucing yang baru saja terjebur ke dalam kolam. Sangat menggelikan. Amarah Harry surut melihatnya.
"Kau bermain-main denganku, Alena?"
'Memangnya aku tampak seperti bermain-main?' Alena menjawabnya di pikiran.
"Aku bosan di dalam kamar. Aku hanya ingin menghirup udara segar," jawab Alena berbohong.
Tapi Harry bukan orang bodoh yang bisa dibohongi begitu saja.
"Kau pikir aku tak tau kau ingin melarikan diri? Pintu itu tidak dikunci, kenapa kau harus bergantungan seperti monyet di jendela?"
"Benar! Aku memang ingin kabur darimu. Aku tak tahan menghadapi siksaanmu yang sangat keterlaluan!" Alena membalas tak kalah kerasnya.
Dia hanya ingin bebas. Alena ingin pulang ke rumahnya dan meminta pertolongan pada papanya. Tapi sepertinya harapan itu tak akan pernah lagi Alena dapatkan. Harry sudah sangat marah. Bahkan terali di jendela kamar sudah disuruh dipaku mati.
"Saat aku bisa lepas dari sini, kau akan menyesal sudah berani mengurungku!" jawab Alena.
Kemarahan yang sudah ditahan Harry kembali meledak. Kakinya menendang meja di depannya, menghancurkan kaca itu dengan menginjak berkali-kaki. Alena bisa melihat darah segar tercecer di atas lantai.
Dia memang gila. Harry bahkan tidak merasa sakit dengan luka di kakinya. Dia masih terus menendang benda-benda lain di dalam kamar.
Tak Alena sadari kapan Harry melesat ke depannya. Kini, pria itu sudah berdiri dan mencengkram dagunya kasar.
"Apa? Kau ingin membuatku menyesal? Apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Harry, mengencangkan tangannya meremas dagu lancip milik Alena.
Cengkraman itu sangat sakit hingga Alena tak mampu menahan air matanya. Dia menangis saat itu juga dan membuat Harry kelimpungan. Pria itu buru-buru melepaskan tangannya dari sana.
"Diam lah! Jangan menangis. Aku benci perempuan cengeng sepertimu!"
Namun bukannya berhenti, tangisan Alena justru semakin tak bisa ditahannya. Bukan hanya air mata, bahkan isakan mulai lepas dari mulutnya. Alena sangat ketakutan diperlakukan kasar seperti itu.
"Kau tak bisa diam? Baik! Aku yang akan membungkam mulut itu."
Harry menindih tubuh Alena dan membungkam mulutnya dengan bibir. Dengan rakus dia melumat bibir merah muda yang kini menjadi candu baginya. Hasrat di dalam dirinya memacu, menuntut lebih untuk memuaskan lagi napsunya.
Tapi bagi Alena, perlakuan itu sudah sangat keterlaluan. Dia mendorong Harry dengan seluruh kemampuan yang dia punya, hingga pria itu terjatuh ke atas lantai.
"Jangan menyamakanku dengan gadis-gadis simpananmu itu, Tuan! Meski sekarang aku terikat kontrak denganmu, bukan berarti kau bisa melakukannya sesukamu!" bentak Alena diiringi isakan tangis.
'Ya Tuhan ... dia pasti membunuhku setelah ini. Aku sudah berani membentak laki-laki gila ini,' bisik Alena di dalam hati. Dia sangat takut, meski amarahnya masih bersarang di dalam dada.
Tidak seperti yang Alena pikirkan, Harry justru termenung di kedua kakinya. Perkataan Alena menamparnya sangat keras.
Ini kali pertama seseorang berani pada Harry. Biasanya, gadis-gadis itu justru menggoda, menyerahkan tubuhnya dengan suka hati. Sangat berbeda dengan gadis satu ini.
"Lukas!"
"Ya, Tuan Muda. Saya di sini," jawab Lukas. Lelaki tua yang mulai ubanan itu selalu siaga di balik pintu.
"Suruh pelayan memandikan monyet yang pintar memanjat ini!"
"Baik, Tuan Muda."
Monyet? Laki-laki gila itu menyebut Alena monyet? Dasar buta! Mana ada monyet secantik Alena.
Setelah Harry keluar, kembali Lukas berbicara pada Alena.
"Nona, kenapa Anda melarikan diri? Bukannya saya sudah mengajarkan Anda? Tunggu lah sampai Tuan Harry bosan pada Anda."
Alena bukan barang yang menunggu dibuang saat dirinya bosan. Dia tak akan mendengarkan saran orang tua di depannya itu.
"Kenapa aku harus menunggu? Hanya perempuan bodoh yang tahan dengan sikap tuan kalian itu!" jawab Alena cetus.
"Tuan Harry pada dasarnya tidak sekasar itu, Nona. Jika Anda bersikap baik di depannya, mungkin Nona tidak perlu dikurung seperti ini di dalam kamar. Apakah Nona mau mendengarkan perkataan saya sekali ini?"
Bersambung.Terima kasih sudah membaca dan semoga kalian suka ya kak.
Di dalam kamarnya Harry termenung setelah menghancurkan sangat banyak benda di atas lantai. Dia sudah seperti orang bodoh."Kenapa aku tak bisa marah pada gadis itu?" gumamnya kesal.Ini kali pertama Harry membiarkan seseorang bersuara keras di depannya. Semua orang, tak terkecuali lawan bisnisnya di luar sana, tak satu pun yang pernah mengangkat suara di depan Harry. Semuanya selalu ketakutan jika dia sudah marah."Bukannya aku sudah menawarkannya uang yang banyak? Bahkan jika dia bekerja di Toko Toserba sampai tua, aku yakin gajinya tak akan pernah terkumpul satu miliar!" ucapnya lagi. Entah dia memang sudah menjadi bodoh.Setiap kali dia menginginkan seorang gadis, Harry tak pernah kesulitan mendapatkan perhatian mereka. Hanya dengan berjalan saja, gadis-gadis itu sudah datang menempel padanya. Mereka akan sangat senang meski Harry hanya meletakkan tangan di pinggang mereka. Apalagi jika sampai membawa mereka ke atas ranjang, itu suatu kehormatan bes
Alena berbaring malas di atas ranjang dengan seluruh tubuh yang hampir remuk redam. Matanya mengantuk tapi tak bisa diajak tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong melompong.Lukas datang dengan pelayan dapurnya mengantar senampan makan siang. "Nona, makan siang Anda sudah siap," ucapnya.Alena melirik malas pada tiga orang di depannya itu."Paman Lukas, di mana laki-laki itu?""Maksud Nona, Tuan Muda?" Lukas bertanya balik. "Tuan Muda sedang ada rapat penting di luar. Ada apa, Nona?"Seketika Alena mendapat pikiran cemerlang."Benar kah? Kalau begitu, bisa kah Paman Lukas memberiku sedikit keringanan? Aku bosan hanya di kamar ini. Ingin keluar melihat-lihat." Padahal Alena sedang merencanakan pelarian dirinya.Menurutnya Lukas sudah tua. Jika Alena mengajaknya berjalan-jalan di luar sana, Lukas tidak akan sanggup mengejar Alena jika dia kabur. Ini kesempatan baik untuknya.&
"Nona, tolong jangan mengganggu pekerjaan kami.""Kembali lah ke kamar Anda, Nona."Para pelayan dapur heboh dengan kedatangan Alena ke sana. Gadis itu sudah sibuk dengan pekerjaannya tanpa menghiraukan perkataan mereka. Dia hanya fokus pada tujuannya; membuat hati Harry senang."Jika Tuan Muda melihat Nona di dapur, kami semua akan kena marah."Bukan hanya pelayan rendahan, bahkan Lukas kelimpungan melihat Alena yang sibuk sendiri. Dia terus mencoba menghentikannya."Tidak apa-apa, Paman. Aku yang akan bertanggung jawab. Palingan juga aku yang kena hukum, kan? Paman Lukas tenang aja," jawab Alena tetap tenang.Belum saja dia tahu emosi Harry yang sebenarnya. Laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu sangat gampang marah. Lukas sudah mengenal Harry sejak anak itu masih berusia lima tahun."Jika dia suka masakanku, mungkin dia akan memberiku sedikit kelonggaran," bisik Alena.Meski dia sendiri tak
Harry mencengkram jemarinya mendengar perkataan Alena. 'Dia meremehkan aku?' pikirnya. Baru kali ini ada seseorang yang berani mempertanyakan uang yang dimiliki Harry.Jangankan satu gadis seperti Alena, Harry bisa membeli banyak pulau, membangun segala fasilitas dan mengumpulkan penuh gadis-gadis di dalamnya."Kau tak mengenalku?" tanya Harry."Tidak. Aku tak mengenalmu. Siapa kau, dan kau pikir sehebat apa kau membeliku?" tantang Alena. Meski dia sendiri sudah sangat ketakutan, Alena masih berusaha melawan pria itu."Aku Harry Borisson, pria paling tampan di negara ini. Berusia dua puluh delapan tahun dan sukses menjadi CEO nomor satu di lima negara saat aku masih dua puluh lima tahun. Kau ingin tau berapa banyak uang yang kupunya? Kau ingin melihat semua asetku? Aku yakin, kau pasti mati jantungan melihat berapa digit angka di salah satu debit card milikku."Selain penuh percaya diri dan kejam, ternyata laki-laki ini juga nars
"Paman Lukas, apa itu?"Alena mendengar kebisingan di luar dan memilih keluar dari dalam kamarnya. Di lorong kamar dia melihat Lukas dan yang lainnya mendorong troley yang berisi banyak sekali perabotan rumah. Tapi semuanya sudah hancur, pecah berkeping-keping. Alena merasa penasaran makhluk apa yang merusak semua benda itu."Ini barang-barang yang sudah tak bisa dipakai," jawab Lukas.Tentu saja Alena tahu. Dia hanya penasaran pelayan atau siapa yang menghancurkannya dan apakah orang itu mendapat hukuman dari Harry?'Itu sudah pasti, Alena. Harry pasti menghukum orang yang berani merusak barangnya.'"Apa ada gempa bumi? Kenapa di kamarku aman-aman saja? Paman, siapa yang memecahkannya?" tanya Alena penasaran."Tuan Muda. Permisi, Nona, kami harus membuang semua ini."Apa? Tuan Mudanya yang gila itu menghancurkan semua barang-barang? Alena menggeleng tak percaya. Selain bodoh pria itu juga ternyata perusak perab
Siang itu Alena merasa sangat bosan berdiam diri di dalam kamar. Dia tak bisa menahan dirinya terus dipenjara seperti ini dan memilih keluar untuk melihat-lihat. Alena berjalan-jalan santai di lantai tiga rumah itu.Penjagaan tampak sepi. Mungkin Harry sedang keluar mengurus perusahaannya. Alena bisa merasakan angin sejuk di balkon tingkat tiga. Dia merentangkan kedua tangannya, menikmati semilir angin yang menggoyangkan rambut panjangnya."Ah ... ini nyaman," bisiknya.Tak puas hanya diam di sana, Alena melanjutkan kakinya berjalan-jalan. Rumah itu memang lah pantas disebut istana sebab luasnya terlalu besar. Kaki Alena sudah pegal padahal dia belum mengitari seluruh lantai tiga.Belum lagi ornamen dan segala lukisan di rumah itu. Sangat banyak, indah dan dia yakin itu adalah lukisan karya orang terkenal. Mungkin replikanya saja sangat mahal, apalagi yang aslinya? Alena menggeleng melihat tanda tangan pelukis yang lengkap di bagian ba
Ponsel di sebelah Alena bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Dia meliriknya, nama Harry Borisson terpampang sebagai pengirim. Bibir Alena berkedut melihatnya. Ternyata Harry langsung menyimpan nomornya di ponsel yang dia berikan untuk Alena.'Aku akan rapat.'Isi pesan singkat dari Harry.Alena meletakkan lagi ponsel itu di sebelahnya. Dia tak berminat melihat-lihat dari merk apa, seri berapa, ram, dan harga berapa ponsel itu. Bahkan jika pun itu ponsel termahal dan terbaru, bagi Alena sama saja tak ada gunanya. Dia bahkan tak bisa membawa benda itu keluar dari istana penyiksaan ini. Dia pun tak berani menghubungi seseorang dengan ponsel itu, takut akan ancaman Harry.Sekali lagi pesan singkat masuk. Masih dari nama yang sama Harry Borisson. Alena meraih lagi ponsel itu untuk membaca pesan.'Alena, aku sedang rapat.'Memangnya kenapa, sih? Apa urusannya dengan Alena? Mau dia rapat, rapit, repot, juga nggak ada urusan sama Alen
"Tuan Muda mengirimkan ini untuk Nona. Pesan tuan, Nona harus memakainya sebelum Tuan Muda pulang dari kantor."Lukas menyerahkan sebuah tas belanjaan ke tangan Alena. Dari tulisan fashion di luar tas itu Alena tahu isinya pasti lah pakaian, dari butik terkenal. Dia tidak begitu tertarik, tapi hanya bisa menerima dan mengucapkan terima kasih pada Lukas."Kata tuan, jangan lupa akan ucapannya siang tadi," ucap Lukas lagi."Baik, Paman. Terima kasih," ulang Alena. Wajahnya merah menahan malu. Apa mungkin Harry juga mengatakan pada Lukas jika siang tadi dia meminta Alena melayaninya malam ini? Jika iya, sungguh sangat memalukan. Alena buru-buru masuk ke dalam kamar tak berani menatap Lukas lebih lama.Tak ada hasrat sedikit pun untuk tahu isi di dalam tas belanjaan itu. Alena meletakkannya begitu saja di atas meja rias dan duduk menghadap cermin. Pantulan wajahnya di dalam cermin itu terlihat sangat kusam tak bercahaya.Apa itu efek dari
Esau berlari menaiki tangga pintu masuk istana keluarganya, dengan penuh semangat dan senyum yang tergambar di bibirnya. Tangan kanan menjinjing sebuah boks besar yang dia bawakan hadiah untuk istrinya, belakangan ini dia memang menjadi sangat romantis sejak mendengar kabar kehamilan Freya. Setiap akan pulang dari mana pun, Esau menyempatkan membawa hadiah untuk Freya. Baik itu berupa bunga, makanan, atau benda apa saja yang dia temukan di jalan. Terkadang juga Esau mencari-cari sesuatu yang diinginkan ibu hamil melalui situs internet, lantas membawakannya untuk Freya. Dia adalah suami yang begitu mencintai istrinya. “Sayang...” Esau mendorong pintu kamar, memamerkan jinjingan yang dia bawa. “Lihat, aku membawa apa padamu?” Freya yang tengah berbaring membaca sebuah buku, menurunkan buku itu ke atas perutnya dan melihat Esau. Sejak hamil dan dikatakan fisiknya lemah, Freya dengan suka rela mengambil cuti kuliah dan lebih memilih menghabiskan waktu menikmati k
“Frey, kalian harus datang, ingat!”Leona berseru dari ujung sana, melambaikan tangannya pada Freya yang masih berdiri menunggu Esau membukakan pintu mobil. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban untuk seruan dari Leona.“Baik lah, akan aku usahakan.” Freya lalu masuk ke dalam mobil di samping suaminya yang menyetir.“Datang? Memangnya... ke mana dia mengajakmu?”“Ulang tahun. Leona merayakan ulang tahunnya, dan dia mengundang kita.”“Kenapa kita harus datang?” Esau menyahut acuh, menyalakan mesin mobil yang membawa mereka meninggalkan parkiran kampus. “Aku heran kenapa kau mau berteman dengannya, padahal dulu dia jahat padamu.”Jika dipikir-pikir, Leona memang banyak melakukan kejahatan pada Freya, tapi di balik itu Freya sendiri sudah membalasnya, kan? Lantas kenapa harus merasa dirinya harus membenci Leona lagi? Lagian Leona sendiri sudah meminta maaf secara terang-tera
Semua orang menjadi diam melihat kedatangan pria itu. Esau masih terkejut, bahkan dia tidak sadar kapan Ezra Raves berjalan menuju kado besar yang sudah Harry siapkan. Dia menatap Harry dengan tatapan yang sedikit aneh.“Apakah kado dariku sangat besar?” katanya, seakan menyindir Harry. Ezra cukup tahu Harry adalah seseorang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu, dan sudah pasti Harry lah yang membuat kado itu seakan-akan dari dirinya. “Kalian tampak senang melihat kado dariku, tapi tampaknya tidak senang dengan kedatanganku.” Ezra berpindah ke depan Harry, mengulurkan tangannya dan berkata, “Halo, Besan, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama.”Harry muak melihat sikap Ezra yang seakan ingin menunjukkan sifat arogannya. Tapi demi menjaga nama baik menantu perempuannya, Harry mengulurkan tangan untuk menyambut Ezra. “Ya, selamat datang kembali. Aku pikir pesawat itu sudah meledak sehingga kau mungkin tidak akan pernah dat
“Selamat, akhirnya kau benar-benar menjadi lelaki jantan.” Parsa menepuk pundak sahabatnya, membuat Esau mengerut kening tidak senang.“Sial! Apa selama ini aku kurang jantan di matamu?” umpat Esau pelan, tidak senang dia dengan ledekan yang ditujukan Parsa padanya.“Mana aku tahu, Freya lah yang tahu bagaimana kau di ranjang.” Parsa melirik Freya dan meneruskan pertanyaan Esau padanya. “Bagaimana, Frey, apakah Esau jago di ranjang?” ucapnya sembari tertawa.Kesal, Esau meninju pelan pundak Parsa untuk menyuruh sahabatnya itu diam. “Diam lah, Brengsek, atau aku memanggil bagian keamanan untuk mengusirmu,” balasnya sambil bergurau.Hal itu membuat Julian ikut tertawa mendengar dua sahabatnya yang saling mengejek, dan ikut serta di dalam perbincangan mereka. “Mungkin kau memang tidak jago, Esau, sebab itu Freya ingin meninggalkanmu.”“Hei, tutup mulutmu atau aku
“Apa yang kau lakukan, Esau?” Freya menarik Esau untuk menjauh, tetapi Esau tidak menggubrisnya. Dia tidak akan menyerah begitu saja sebelum Felisha menunjukkan apa yang dia sembunyikan.“Frey, aku lah yang lebih dulu mengenal bibi, jadi aku tahu dia tidak sepenuhnya gila. Sebelum kau masuk ke dalam hidupku, perawat mengatakan bibi hanya butuh pengobatan ringan. Dia hanya terlalu malu bertemu denganmu, sampai-sampai berkata tidak ingin melihatmu lagi. Benar seperti itu kan, Bi?” tanya Esau tegas.Tentu hal itu membuat Felisha tak tahan lagi. Dia lelah menahan diri hingga akhirnya meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.“Aku orang jahat, kenapa aku berhak memiliki anak? Aku sudah membuat semua orang menderita, aku tidak pantas menjadi ibunya,” bisik Feli lemah.Pertemuan dengan Ezra sudah membuat Feli seperti tersadar bahwa dirinya adalah orang jahat yang tak pantas mendapatkan perhatian dari siapa pun. Semua tuduh
“Maaf sudah memisahkanmu dengan papamu.” Esau mengelus wajah Freya, satu jarinya bermain-main di wajah cantik gadis yang bersandar ke pundaknya.Bagaimana pun, Ezra Raves adalah pria pertama yang mencintai gadis itu sejak dia lahir. Mungkin banyak kesalahan yang Ezra lakukan, tapi tetap saja cinta seorang ayah tidak bisa dihilangkan dari hati.“Kau masih sedih?” Kini Esau tatap wajah cantik istrinya dengan memegangi dagu lancip Freya.Menggeleng lemah, tentu saja Freya berbohong. Dia tidak bisa berkata dirinya baik-baik saja setelah yang barusan terjadi.“Sedih sebentar tidak akan membunuhku, kan?” bisik Freya, lagi air matanya mengalir. “Papa tidak boleh hanya menyalahkan mama, mereka sama-sama salah. Aku harus tega pada papa untuk membuatnya menyadari kesalahan.”“Benar, kau tidak melakukan kesalahan. Jika papamu bisa berpikir dengan baik, seharusnya dia menyesal.”Helaan na
“Apa yang kalian bicarakan? Sayang, papa mencintaimu. Kau tidak harus mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang tidak menyukai papa,” kata Ezra, berharap kali ini putrinya masih mendengarnya. Ezra Raves tidak rela jika Freya menuduhnya tidak menginginkan dirinya.“Tapi bukti yang kutemukan bukan sekedar ucapan orang-orang. Papa juga ingin melihatnya?” Freya menantang papanya, lantas membuka lipatan kertas yang dia pegang.Bagaimana pula ada orang yang berkata demikian? Apakah mereka bisa mendengar isi kepala Ezra? Siapa yang dengan berani membuat kesaksian bahwa Ezra tidak menginginkan bayinya? Sejak mendengar Felisha hamil, Ezra sudah berencana untuk mengurus bayi itu meski tanpa ibunya!“Catatan rumah sakit atas nama Felisha Raves dan suaminya Ezra Raves,” kata Freya, membaca sebagian dari kertas yang ada di tangannya. Dadanya sesak. Pedih Freya rasakan ketika dia melanjutkan untuk berkata, “Catatan ini adalah kunju
Freya masih bergeming menatap tangan Esau yang terulur padanya. Lalu perlahan mengangkat mata untuk melihat wajah suami yang... katanya sudah bercerai oleh perbuatan oleh sang papa. Wajah sendunya sulit untuk ditebak, apakah Freya akan menerima uluran tangan itu?Kemudian dia perlahan mengalihkan wajah menatap tangan papanya, lalu mata mereka pun bertemu beberapa detik kemudian.“Mari, Sayang, kita akan berangkat hari ini,” ucap Ezra Raves sekali lagi.“Papa menjagaku?” Suara serak yang menyiratkan kerinduan akan cinta.“Pasti, karena kau lah separu dari nyawaku yang tersisa.” Ezra mengangguk perlahan.Ezra memang banyak melakukan kebohonga, tapi semua dia lakukan untuk alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin membuat Freya seperti ibunya.“Freya, ibumu memiliki temprament yang sangat buruk. Dia suka menyakiti orang lain tanpa peduli siapa orangnya. Aku menjauhkanmu dari dia karena aku mencintaimu, a
“Esau, tunggu!” Freya hampir saja terjatuh ketika mengikuti langkah suaminya turun dari mobil. “Bukankah kau bilang akan mempertahankanku? Kenapa kau ingin mengembalikanku pada papa?” katanya lagi. Freya tidak ingin pergi, dia berhenti menatap rumah besar di mana papanya menunggu.“Freya, ikut lah, papamu sudah tak sabar menunggu.”Kemarahan Esau sudah sampai di puncak kepalanya, sehingga tak ada waktu baginya membahas hal ini. Esau hanya ingin segera bertemu dengan Ezra Raves dan menyelesaikan masalah mereka. Dia tidak tahan mendengar kata-kata Ezra yang bahkan sudah mengurus perceraiannya dan Freya. Bukankah pria itu sudah sangat keterlaluan?“Tapi aku tidak mau! Aku mencintaimu, aku ingin denganmu!” Freya yang baru mendapat kasih sayang dari seluruh anggota keluarga Borisson, tiba-tiba merasa sangat sedih. Esau, lelaki yang pagi tadi berkata mencintai dirinya bahkan rela mati untuknya, kenapa sekarang justru sep