Alena berbaring malas di atas ranjang dengan seluruh tubuh yang hampir remuk redam. Matanya mengantuk tapi tak bisa diajak tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong melompong.
Lukas datang dengan pelayan dapurnya mengantar senampan makan siang. "Nona, makan siang Anda sudah siap," ucapnya.
Alena melirik malas pada tiga orang di depannya itu.
"Paman Lukas, di mana laki-laki itu?"
"Maksud Nona, Tuan Muda?" Lukas bertanya balik. "Tuan Muda sedang ada rapat penting di luar. Ada apa, Nona?"
Seketika Alena mendapat pikiran cemerlang.
"Benar kah? Kalau begitu, bisa kah Paman Lukas memberiku sedikit keringanan? Aku bosan hanya di kamar ini. Ingin keluar melihat-lihat." Padahal Alena sedang merencanakan pelarian dirinya.
Menurutnya Lukas sudah tua. Jika Alena mengajaknya berjalan-jalan di luar sana, Lukas tidak akan sanggup mengejar Alena jika dia kabur. Ini kesempatan baik untuknya.
"Maaf, Nona. Tuan Muda tak mengijinkan Anda keluar dari dalam kamar."
"Ayo lah, Paman. Hanya di taman aja. Paman Lukas bisa menemaniku jika takut aku kabur."
Lukas menunduk sangat sopan sebelum menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Nona. Hanya Tuan Muda yang berhak menentukan apakah Nona bisa keluar."
'Ah, sial!' Batin Alena mengumpat. Orang-orangnya Harry ternyata sangat menjunjung tinggi perintah tuan mereka. Dia tidak akan punya kesempatan melihat dunia luar, jika melulu dikurung di sini.
"Baik lah jika begitu. Sepertinya nasibku memang harus jadi tawanan."
Alena mengusap wajahnya, dia tampak sangat sedih dan mulai mengeluarkan air mata. Lukas menjadi tak tega melihat gadis itu menderita seperti ini. Tapi bagaimana pun, Lukas tak punya keberanian untuk melawan perintah tuannya.
"Nona, jika saya memberi saran bisa kah Nona menerima?" tanya Lukas.
"Saran? Aku hanya ingin sedikit kebebasan."
"Begini, Nona. Untuk bebas seluruhnya Nona tidak mungkin bisa. Tapi, untuk sedikit kebebasan itu sepertinya akan ada harapan."
Memang itu saja harapan Alena sekarang. Membatalkan kontrak dia tak akan punya kekuatan melawan Harry. Hanya sedikit kebebasan. Tidak selalu dikurung seperti burung dalam sangkar.
"Coba lah Nona bersikap baik di depan Tuan Muda. Jika Nona berhasil membuatnya senang, mungkin Tuan Muda memberi kelonggaran. Bukankah Nona ingin bisa melihat dunia luar? Apa salahnya dengan sedikit mengalah?" Lukas menyarankan.
'Baik-baikin Harry?' Alena memutar matanya malas. Orang seperti Harry bukanlah manusia yang pantas dibaiki. Dia itu manusia kasar, sangat merendahkan Alena. Tak akan pernah Alena bersikap baik padanya.
"Nona, saya tau Anda pasti ingin bertemu keluarga. Meski hanya menjenguk sesekali, bukankah itu juga suatu keuntungan bagi Anda?" kata Lukas lagi.
Seketika pikiran Alena beralih pada papanya. Pasti lah papanya sangat khawatir, mencari Alena ke mana-mana. Dia juga merindukan kekasihnya yang kini terbaring lemah di rumah sakit.
Tidak ada salahnya dia berpura-pura baik di depan Harry demi bisa bertemu orang-orang yang dicintainya, kan? Pikiran Alena seketika jadi cemerlang.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk laki-laki itu? Dia sangat kasar, aku tak yakin dia bisa dibaiki," jawab Alena setelah sekian detik hanya sibuk dengan pikiran.
"Ada sedikit masalah pada emosi Tuan Muda. Jadi, Nona harus menjaga agar dia tidak selalu marah. Contohnya, dengan tidak membangkang saat dia mendekati Nona."
Maksudnya, Alena harus dengan ikhlas melayani pria itu di ranjang? Dunia ini runtuh pun, Alena tak akan pernah ikhlas dengan perlakuan lelaki itu. Dia menculik, memerkosa dan mengurung Alena. Apakah pantas Alena tersenyum senang saat dia menggagahi tubuhnya? Tidak masuk akal. Alena menggidik bahu membayangkan dirinya menggoda Harry.
Tentu saja Lukas bisa memahami isi pikiran Alena. Dia tersenyum tipis membayangkan masa mudanya.
"Maksud saya begini, Nona. Bersikap manis lah di depannya, jangan terlalu menunjukkan permusuhan di antara kalian. Jangan pula mencari-cari cela untuk kabur dari istana. Mungkin Tuan Muda akan sedikit lebih lembut pada Nona."
"Baik. Aku akan mencobanya," jawab Alena.
Tak ada salahnya, kan? Dia akan mencoba bersikap manis demi bisa mengunjungi orang tuanya. Alena merencanakan sesuatu untuk menyambut Harry pulang dari acara rapatnya.
Bersambung.
Untuk isi koin bisa pakai pulsa, gopay, shopeepay atau minta diisikan sama kasir di mini market, ya. Kalo kesulitan, bisa hubungi aku di wa biar aku bantu. 082287686653
Terima kasih sudah membaca, semoga kalian suka.
"Nona, tolong jangan mengganggu pekerjaan kami.""Kembali lah ke kamar Anda, Nona."Para pelayan dapur heboh dengan kedatangan Alena ke sana. Gadis itu sudah sibuk dengan pekerjaannya tanpa menghiraukan perkataan mereka. Dia hanya fokus pada tujuannya; membuat hati Harry senang."Jika Tuan Muda melihat Nona di dapur, kami semua akan kena marah."Bukan hanya pelayan rendahan, bahkan Lukas kelimpungan melihat Alena yang sibuk sendiri. Dia terus mencoba menghentikannya."Tidak apa-apa, Paman. Aku yang akan bertanggung jawab. Palingan juga aku yang kena hukum, kan? Paman Lukas tenang aja," jawab Alena tetap tenang.Belum saja dia tahu emosi Harry yang sebenarnya. Laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu sangat gampang marah. Lukas sudah mengenal Harry sejak anak itu masih berusia lima tahun."Jika dia suka masakanku, mungkin dia akan memberiku sedikit kelonggaran," bisik Alena.Meski dia sendiri tak
Harry mencengkram jemarinya mendengar perkataan Alena. 'Dia meremehkan aku?' pikirnya. Baru kali ini ada seseorang yang berani mempertanyakan uang yang dimiliki Harry.Jangankan satu gadis seperti Alena, Harry bisa membeli banyak pulau, membangun segala fasilitas dan mengumpulkan penuh gadis-gadis di dalamnya."Kau tak mengenalku?" tanya Harry."Tidak. Aku tak mengenalmu. Siapa kau, dan kau pikir sehebat apa kau membeliku?" tantang Alena. Meski dia sendiri sudah sangat ketakutan, Alena masih berusaha melawan pria itu."Aku Harry Borisson, pria paling tampan di negara ini. Berusia dua puluh delapan tahun dan sukses menjadi CEO nomor satu di lima negara saat aku masih dua puluh lima tahun. Kau ingin tau berapa banyak uang yang kupunya? Kau ingin melihat semua asetku? Aku yakin, kau pasti mati jantungan melihat berapa digit angka di salah satu debit card milikku."Selain penuh percaya diri dan kejam, ternyata laki-laki ini juga nars
"Paman Lukas, apa itu?"Alena mendengar kebisingan di luar dan memilih keluar dari dalam kamarnya. Di lorong kamar dia melihat Lukas dan yang lainnya mendorong troley yang berisi banyak sekali perabotan rumah. Tapi semuanya sudah hancur, pecah berkeping-keping. Alena merasa penasaran makhluk apa yang merusak semua benda itu."Ini barang-barang yang sudah tak bisa dipakai," jawab Lukas.Tentu saja Alena tahu. Dia hanya penasaran pelayan atau siapa yang menghancurkannya dan apakah orang itu mendapat hukuman dari Harry?'Itu sudah pasti, Alena. Harry pasti menghukum orang yang berani merusak barangnya.'"Apa ada gempa bumi? Kenapa di kamarku aman-aman saja? Paman, siapa yang memecahkannya?" tanya Alena penasaran."Tuan Muda. Permisi, Nona, kami harus membuang semua ini."Apa? Tuan Mudanya yang gila itu menghancurkan semua barang-barang? Alena menggeleng tak percaya. Selain bodoh pria itu juga ternyata perusak perab
Siang itu Alena merasa sangat bosan berdiam diri di dalam kamar. Dia tak bisa menahan dirinya terus dipenjara seperti ini dan memilih keluar untuk melihat-lihat. Alena berjalan-jalan santai di lantai tiga rumah itu.Penjagaan tampak sepi. Mungkin Harry sedang keluar mengurus perusahaannya. Alena bisa merasakan angin sejuk di balkon tingkat tiga. Dia merentangkan kedua tangannya, menikmati semilir angin yang menggoyangkan rambut panjangnya."Ah ... ini nyaman," bisiknya.Tak puas hanya diam di sana, Alena melanjutkan kakinya berjalan-jalan. Rumah itu memang lah pantas disebut istana sebab luasnya terlalu besar. Kaki Alena sudah pegal padahal dia belum mengitari seluruh lantai tiga.Belum lagi ornamen dan segala lukisan di rumah itu. Sangat banyak, indah dan dia yakin itu adalah lukisan karya orang terkenal. Mungkin replikanya saja sangat mahal, apalagi yang aslinya? Alena menggeleng melihat tanda tangan pelukis yang lengkap di bagian ba
Ponsel di sebelah Alena bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Dia meliriknya, nama Harry Borisson terpampang sebagai pengirim. Bibir Alena berkedut melihatnya. Ternyata Harry langsung menyimpan nomornya di ponsel yang dia berikan untuk Alena.'Aku akan rapat.'Isi pesan singkat dari Harry.Alena meletakkan lagi ponsel itu di sebelahnya. Dia tak berminat melihat-lihat dari merk apa, seri berapa, ram, dan harga berapa ponsel itu. Bahkan jika pun itu ponsel termahal dan terbaru, bagi Alena sama saja tak ada gunanya. Dia bahkan tak bisa membawa benda itu keluar dari istana penyiksaan ini. Dia pun tak berani menghubungi seseorang dengan ponsel itu, takut akan ancaman Harry.Sekali lagi pesan singkat masuk. Masih dari nama yang sama Harry Borisson. Alena meraih lagi ponsel itu untuk membaca pesan.'Alena, aku sedang rapat.'Memangnya kenapa, sih? Apa urusannya dengan Alena? Mau dia rapat, rapit, repot, juga nggak ada urusan sama Alen
"Tuan Muda mengirimkan ini untuk Nona. Pesan tuan, Nona harus memakainya sebelum Tuan Muda pulang dari kantor."Lukas menyerahkan sebuah tas belanjaan ke tangan Alena. Dari tulisan fashion di luar tas itu Alena tahu isinya pasti lah pakaian, dari butik terkenal. Dia tidak begitu tertarik, tapi hanya bisa menerima dan mengucapkan terima kasih pada Lukas."Kata tuan, jangan lupa akan ucapannya siang tadi," ucap Lukas lagi."Baik, Paman. Terima kasih," ulang Alena. Wajahnya merah menahan malu. Apa mungkin Harry juga mengatakan pada Lukas jika siang tadi dia meminta Alena melayaninya malam ini? Jika iya, sungguh sangat memalukan. Alena buru-buru masuk ke dalam kamar tak berani menatap Lukas lebih lama.Tak ada hasrat sedikit pun untuk tahu isi di dalam tas belanjaan itu. Alena meletakkannya begitu saja di atas meja rias dan duduk menghadap cermin. Pantulan wajahnya di dalam cermin itu terlihat sangat kusam tak bercahaya.Apa itu efek dari
Sepasang bulu mata itu bergerak saat Alena membuka matanya. Sebuah dada bidang langsung menyambut pemandangan Alena. Dia belum benar-benar sadar dan menelusupkan wajahnya ke dada putih bersih milik Harry. Mata itu kembali tertutup dan bibirnya tersenyum.Pikiran Alena beralih pada percintaan panas tadi malam dan seketika pula wajahnya memanas. Dia malu, mengingat dirinya membalas perbuatan Harry di atas ranjang.Astaga, Alena!Kembali dia membuka mata lebar-lebar dan saat itu pun Alena sadar dirinya berada di dalam pelukan Harry. Kepalanya bergerak lamban, mendongak mencari wajah lelaki itu. Dan sial, Harry tengah mengamatinya dengan seringai licik dan nakal."Tubuhku hangat? Kau sangat nyaman tidur satu malaman di pelukanku," bisik Harry. Suara khas bangun tidurnya sangat seksi mendayu ke rongga telinga Alena.'Alena ... apa yang kau pikirkan?!' rutuk Alena di pikiran. Dia menjauhkan tangannya dari dada Harry dan mundur dengan gerakan
"Sedang apa kau?"Alena dikejutkan suara Harry yang tiba-tiba sudah bersandar di tiang pintu. Ponsel di tangan Alena hampir saja terjatuh, tersentak oleh kehadiran pria itu. Bibirnya digigit menunjukkan dia sedang gugup."Siapa yang kau telepon? Polisi? Alena, apa kau tak mengerti juga perkataanku?"Dalam sekelabat mata Harry sudah berdiri di depan Alena dan menyambar ponsel dari tangan gadis itu."Hei, Gadis Bodoh! Bahkan jika kau memanggil semua polisi di kota ini, tak satu pun dari mereka yang berani menembus gerbang istanaku. Apa kau memang sangat bodoh!" umpat Harry.Siapa yang bisa menangkap Harry? Sepertinya Alena perlu ditunjukkan bagaimana Harry membuat polisi dan politikus tunduk dengan perintahnya."Maaf, Tuan. Aku ... aku hanya merindukan papaku," jawab Alena takut.Mata tajam Harry melembut seketika. Alena sudah hampir dua minggu tinggal di rumahnya tanpa pernah melihat dunia luar. Dia juga memiliki