Dokter di depan mereka masih merapikan peralatannya, tidak langsung menjawab pertanyaan dari dua orang yang tampaknya tak sabaran. Apalagi Harry, ingin sekali dia menarik kerah baju si dokter agar segera memberitahu bahwa Alena hamil.
"Menjawab itu saja sangat lama," gerutu Harry.
Wajah dokter memucat, takut akan mendapat kemarahan dari Harry. Tapi masih berusaha tersenyum walau hambar.
"Maaf, Tuan, sepertinya Anda harus berusaha lebih kuat lagi. Nona Alena belum hamil."
"Apa katamu?" Harry meradang. Segera dia berdiri dan benar-benar menarik kerah baju si dokter. "Kau meremehkan kemampuanku? Kau pikir aku bermain-main dua minggu ini? Aku sudah bekerja sangat banyak dengannya!"
"Tuan ... saya tidak melihat kantung kandungan di rahim Nona Alena." Keringat dingin mulai mengucur di kening dokter, ketika membalas tatapan menakutkan dari Harry.
Alena menghela napas melihat emosi lelaki yang sulit dikontrol itu. Sambil merapikan bajunya dia
"Tuan Harry sudah pulang? Aku menunggu sejak tadi."Harry baru saja turun dari mobilnya saat Lea datang bergelayut di lengannya. Wajahnya dibuat tersipu malu-malu, seperti bukan dirinya yang biasa. Harry melihat Lea menyelipkan rambut ke balik telinganya."Jaga sikapmu. Lepaskan!" ucap Harry, tenang.Pria itu sudah terkenal sebagai laki-laki yang suka semaunya, kasar, dan tidak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Tak peduli itu rekan bisnis atau bawahan di kantor, apalagi pada gadis simpanannya.Namun, Lea bukan gadis penakut seperti simpanan Harry yang lain. Dia memang selalu bersikap sopan selama ini, tapi tidak gampang menyerah."Maaf, Tuan Harry. Aku terlalu merindukanmu sampai tak bisa mengontrol diri," ucap Lea, berusaha keras mendapat perhatian."Jangan memancing amarahku, Lea. Kau tau, aku bukan orang yang sabaran." Ketika mengatakan itu, Harry melihat sosok Alena di ujung sana. Harry menjadi teringat dengan kejadian
Dagu Harry diletakkan di atas kepala Alena, sedang dia sibuk dengan berkas-berkas di depan matanya. Jika seseorang melihat posisi mereka sekarang, orang akan berpikir Harry dan Alena sedang melakukan hal mesum di balik kertas yang menutupi wajah mereka.Tubuh Alena menegang, tak berani bahkan menggerakkan jari-jarinya. Dia serta merta ikut membaca kertas-kertas yang tidak dimengertinya, sembari meniup teh di dalam cangkir."Apa itu nyaman?" tanya Harry, menyentak Alena dari pikiran."A-apa?" Alena tak berani memutar wajahnya untuk melihat Harry di belakang."Berada di pangkuanku. Apa kau merasa nyaman? Kulihat, kau sangat menikmatinya."'Terserah, deh. Dilawan juga nanti tetap salah.' Alena mengunci bibirnya tak ingin menjawab."Apa yang membawamu ke sini? Tak seorang pun diijinkan masuk ke dalam kamarku, kecuali Lukas dan berapa pelayan pilihan. Itu juga jika ada urusan penting. Kupikir, kau pasti ada urusan makanya datang."
Refleks Alena menarik diri dari pangkuan Harry. Kakinya mundur ke belakang, dengan mata yang terus menatap Harry. Dia tak ingin mendengar apalagi mempercayai ucapan pria itu."Kau pasti mengantuk, Harry. Tidur lah agar pikiranmu kembali normal," ucapnya. Kembali Alena terkekeh.Harry merenung sejenak. Dia melihat Alena shock oleh pengakuan suka yang dia katakan barusan. Tapi sebenarnya, Harry memang sudah menyukai Alena jauh sebelum mereka bertemu."Aku tidak mengantuk. Aku juga sadar seratus persen. Alen, aku menyukaimu," ulang Harry meyakinkan.Alena kembali mundur lebih jauh dari tempatnya. Dia tak ingin masuk dalam permainan Harry dan membuat dirinya dalam kesulitan. Alena jelas tahu Harry memiliki puluhan gadis lain yang menghiburnya, pasti lah dia juga menyukai gadis-gadis itu.Sementara di dalam hatinya, pikiran Alena berbeda. Rasa suka adalah awal dari cinta, bukan suka di atas ranjang saja. Dia tak ingin bodoh
Sejak kejadian malam itu Alena terus menghindar bertemu dengan Harry. Di pagi hari dia akan berpura bangun siang agar tidak bertemu saat sarapan, dan di malam hari Alena makan lebih dulu sebelum Harry pulang dari kantor. Dia juga pura-pura tidur jika Harry datang menjenguknya ke kamar hingga pria itu tidak berani mendekat.Di akhir pekan Harry hanya diam di rumah tidak pergi ke mana saja. Alena sangat bosan mengunci diri di dalam kamarnya yang hampir setiap jam dikunjungi Harry. Dia menyelinap keluar begitu mendengar Harry berada di ruang baca, dan pergi ke taman belakang.Di sana Alena bisa sedikit lega, menikmati pemandangan taman bunga yang cukup luas."Tiffa, menurumu apa aku terbilang sulit hamil?" tanya Alena pada pelayan yang bersamanya.Tiffany adalah pelayan yang tadinya bekeja di Istana Selatan. Pelayan yang pernah mendapat perlakuan buruk dari Lea. Sejak Alena menolongnya siang itu, Tiffa dipindahkan ke Istana Tengah, dan menj
Langkah kaki Harry terus memasuki hutan belakang istana. Sudah lumayan lama dia tak ke sana, sejak Alena mulai masuk dalam hidupnya. Harry mengedarkan pandangan ke segala arah sejauh matanya bisa memandang. Lalu di ujung sana, di tempat para pelayan sering menghabiskan waktu, Harry bisa melihat pelayan yang belakangan ini mengikuti Alena. Hatinya semakin teguh berpikir sudah menemukan Alena di sana."Dapat kau, Alen. Aku akan menghukummu setelah ini," gumam Harry, dia bersembunyi di balik pohon yang bisa menutupi tubuh besarnya."Anda haus, Nona? Bagaimana jika aku menjemput sesuatu yang bisa diminum?" Pelayan itu mendekati Alena yang sedang menikmati tidurnya."Boleh. Pergi lah. Tapi cepat kembali, Tiffa.""Tentu. Mana berani aku meninggalkan Anda lama di sini. Tuan akan membunuhku jika tau Nona sendirian di hutan."Alena menggerakkan tubuhnya menghadap Tiffa. "Jangan katakan padanya aku di sini. Aku malas melihatnya."
"Alen, kau tak mendengarku?"Sekali lagi Harry memanggil dari lantai atas. Alena semakin gemetar, ingin segera ke sana tapi juga tak berani. Dia menurunkan kakinya sangat hati-hati dari atas sofa.Kabur. Alena tak ingin mati di tangan Harry. Dia membawa tubuhnya berdiri, bersiap akan lari dari sana. Di mana pintu ke luar?"Alen?"Ketika Alena baru menyentuh gagang pintu, Harry sudah muncul di anak tangga paling bawah."Mau ke mana?"Mampus lah, Alena, dia melihatmu akan kabur."A ... ti-tidak. Aku ingin melihat ke luar," jawab Alena gugup.Raut gadis itu tak bisa berbohong. Harry tahu Alena ketakutan melihat dirinya. Pria itu mendekati Alena setelah menghela napas berat."Aku lupa kakimu sakit. Ayo, aku akan menggendongmu ke atas."Bukannya dia marah? Kenapa nada suaranya biasa saja? Alena bingung dengan tingkah Harry.Belum lagi pikiran Alena bisa jernih, Harry la
Alena baru kembali dari dapur saat ponselnya berdering di atas bed. Tanpa melirik pun dia tahu bahwa Harry lah yang menghubunginya. Alena memutar matanya malas, menempelkan ponsel itu di telinga."Ada apa, Harry?"Suara Alena melemah tak bersemangat. Dia mengantuk sejak tadi, tapi Harry terus saja menghubunginya.Dasar laki-laki curigaan."Kau sedang apa, Alen?""Masih menonton televisi," jawab Alena. Memangnya dia ngapai lagi? Jelas-jelas Harry tak mengijinkannya pergi tanpa ditemani."Kau sudah mandi?"Ya Tuhan ... ini panggilan Harry yang ke sekian puluh. Sejak berangkat dari rumah, pria itu terus saja menelepon bertanya apakah Alena sudah makan, mandi, sedang apa, di mana, dan segala yang dilakukan Alena semua dia tanyai. Bahkan ketika minum pun Alena harus terburu-buru meletakkan gelasnya untuk tidak terlambat mengangkat telepon Harry. Lelaki itu menjadi sangat posesif setelah Alena memberinya kesemp
"Ke mari."Harry merangkul pinggang Alena yang masih berdiri, untuk didudukkan di atas sebelah paha. Lelaki itu tersenyum, membuat Alena merasa kesal. Dia seperti sedang menertawakan hati Alena yang saat ini terluka."Aku duduk di sofa aja," sahut Alena, mencoba bangkit dari paha Harry.Lelaki itu memeluknya erat menghalangi niat Alena. "Duduk kataku. Jangan suka membantah, Alen."'Kenapa aku tak bisa membantah pada calon suami orang?'Rasanya Alena tak sabar ingin menanyakan Harry tentang Lea, tapi mulutnya terasa kaku. Dia takut Harry akan mengiyakan perkataan Lea, yang akan membuat hatinya lebih sakit. Alena tak siap, memilih diam membungkam mulutnya."Alen, aku punya sesuatu untukmu," ucap Harry lagi, menyentak Alena dari lamunannya."A-apa? Sesuatu?"Lelaki itu menggeser posisi duduk Alena menghadapnya. Kedua pasang bola mata mereka saling bertemu, dan bisa Alena lihat senyuman manis yan