Tania menatap pantulan dirinya di cermin. Sebuah dress putih dengan pita di bagian pinggang melekat di tubuhnya. Wanita itu tersenyum. Kemudian melangkahkan kakinya keluar mansion.
Tania berdiri di teras mansion. Merentangkan tangan sembari menarik napas dalam. Biasanya hanya bau alkohol yang dihirup olehnya. Sekarang ia bisa merasakan udara segar.
Melihat seorang wanita berseragam hitam putih sedang menyiram tanaman di samping rumah, Tania menghampirinya. Kakinya menuruni undakan teras.
"Biarkan aku membantumu," ucap Tania sambil mengulurkan tangannya. Meminta selang yang digunakan untuk menyiram tanaman.
Pelayan itu cukup terkejut dengan kehadiran Tania. "Tidak perlu, Nona. Ini pekerjaan saya. Nona kembali masuk saja ke dalam."
"Tidak apa-apa. Biarkan aku membantu." Tania mengambil selang dari tangan pelayan itu dan menggantikannya untuk menyirami tanaman.
Tania terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. Bangun sangat pagi untuk membersihkan club. Memasak dan juga mencuci pakaian milik Mami. Terkadang, wanita penghibur di sana juga menitip bajunya untuk dicuci oleh Tania.
"Nona, biar saya saja–"
"Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja Tania," sela Tania. Ia merasa tidak nyaman dipanggil seperti itu. Mungkin sama seperti mereka, Tania hanya pekerja di sini. Mereka memiliki tugas untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Sedangkan, Tania memiliki tugas untuk melahirkan seorang anak. Mereka sama. Hanya tugasnya saja yang berbeda. Jadi tidak perlu diperlakukan secara khusus.
"Tapi, Nona–"
"Aku bisa melakukannya."
Pelayan itu akhirnya mengangguk patuh. Dia berdiri sembari mengawasi Tania menyiram bunga-bunga. Sebenarnya dia penasaran siapa wanita itu, ingin bertanya, tapi tidak disuarakannya. Karena tugasnya hanya untuk memantau Tania. Itu perintah dari majikannya.
Tania meletakkan selangnya setelah mematikannya. Ia berjongkok, memperbaiki tanaman bunga mawar yang posisinya miring. Hampir tercabut dari potnya.
"Nona, itu kotor. Biar saya saja yang melakukannya."
Tania memajukan bibirnya. Ingin memprotes karena ia kembali dipanggil seperti itu, sebelum suara seperti helikopter terdengar sangat jelas.
Tania mendongak ke atas. Mencari-cari asal suara tersebut. Dan ia melihat sebuah helikopter perlahan mendarat di halaman.
"Aku ke sana sebentar." Tania belum mencuci tangannya yang dipenuhi tanah ketika ia berlari kecil ke halaman depan. Matanya melebar melihat helicopter itu. Bagaimana bisa ada helicopter mendarat di sini? Dan ia baru menyadari ketika tulisan Artadewa terpampang di badan helicopter. Apa ini milik Xander?
Orang yang dipikirkan Tania muncul tidak lama setelahnya bersama dengan Sera.
"Tuan, ini pesawat milikmu?" Tania langsung bertanya dengan wajah cengonya untuk menjawab rasa penasarannya.
"Kau habis melakukan apa?" Sera bertanya. Mewakili pertanyaan yang ingin ditanyakan juga oleh Xander saat melihat tangan dan pakaian Tania yang dikotori tanah.
"Apakah boleh orang seperti kita membeli pesawat?" Tania masih dengan rasa penasarannya itu. Ia sampai mengabaikan pertanyaan Sera.
Tania berpikir jika pesawat tidak untuk diperjualbelikan. Apakah bisa? Berapa harganya kira-kira? Dan seberapa kaya Xander hingga bisa membeli sebuah pesawat?
"Orang seperti kita apa maksudmu?" Kening Xander berkerut tidak suka. "Orang sepertimu mungkin tidak akan bisa membelinya. Berbeda denganku."
Tania mencibir dalam hati. Lelaki ini kembali menunjukkan kesombongannya.
"Aku berangkat." Tidak berniat menunggu balasan dari Tania, Xander mencium kening Sera, kemudian berjalan ke helikopter.
Sera melambaikan tangannya ketika helikopter itu mulai mengangkasa. Kemudian menatap pada Tania. "Cuci tangan dan ganti bajumu. Setelah itu kita ke rumah sakit."
Sera ingin memeriksakan kesehatan Tania. Ia ingin perempuan yang mengandung anaknya dalam kondisi yang memang benar-benar sehat.
*****
Tania membuka pintu kamarnya. Celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang. Tapi terlihat sepi.
Tania dan Sera baru pulang dari rumah sakit. Melakukan berbagai macam pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Ia bahkan tidak tahu pemeriksaan itu untuk apa saja. Sekarang ia merasa lapar. Tapi tidak berani mengambil makanan seenaknya, karena ini bukan rumahnya.
Tania menuruni tangga. Berjalan mengendap-endap seperti seorang maling. Wanita itu masuk ke dalam dapur dan berhenti di depan kulkas. Membukanya, dan ekspresinya langsung berbinar melihat banyaknya cokelat dan cemilan yang ada di dalamnya. Tania mengambil beberapa dan memeluknya di tangan.
"Tania."
Makanan di tangan Tania langsung berjatuhan. Wanita itu memutar tubuhnya terkejut. Melihat Sera berdiri di hadapannya.
"Aku merasa lapar. Maaf karena tidak meminta izin terlebih dahulu," ucap Tania. Berjongkok untuk mengambili cokelat dan snack yang berjatuhan. Ingin mengembalikannya ke dalam kulkas ketika Sera menghentikannya.
"Kenapa harus meminta izin?" ujar Sera. Wanita ini ternyata sangat lugu. "Anggap ini rumahmu sendiri. Makan apa yang ingin kau makan sepuasmu."
Tania tersenyum canggung. Ia mengambil makanan itu lagi. Menutup kulkasnya, kemudian pamit untuk ke kamarnya.
"Tania."
"Iya?" Tania menoleh saat Sera kembali memanggil.
"Xander akan pulang sekitar pukul sepuluh. Dia akan ke kamarmu nanti. Jadi tunggulah dia," kata Sera penuh arti.
Tania mengedip lambat. Mencoba memahami perkataan Sera. Wanita itu kemudian terdiam. Tidak tahu harus membalas bagaimana.
*****
Xander terbang kembali ke Manhattan setelah mengurus pembangunan resort yang ada di Venice. Helicopter Sikorsky S-76 C itu mendarat di helipad yang tersedia di halaman pada pukul sepuluh kurang lima menit.
Xander langsung menuju kamarnya dan Sera sebagai tempat pertama yang didatanginya. Ia membuka pintu kamarnya. Melihat Sera yang berbaring di ranjang dengan posisi memunggungi pintu.
Xander masuk ke dalam sembari menarik dasi yang melingkar di lehernya. Lalu melepas jas dan melemparkannya asal ke sofa. Sebelum kemudian naik ke ranjang. Langsung memeluk Sera dari belakang. "Apa kau sudah tidur?" bisiknya.
Xander yakin Sera belum tidur. Karena biasanya istrinya selalu menunggunya pulang berkerja.
Sera yang memang belum tidur membalik tubuhnya hingga berhadapan dengan Xander. "Kenapa kau kemari?"
Hidung Xander berkerut. "Kenapa aku kemari? Ini kamarku."
"Pergilah ke kamar Tania. Dia sudah menunggumu."
Xander berdecak malas. Sera seharusnya menanyakan bagaimana pekerjaannya. Memeluknya erat untuk menghilangkan rasa lelahnya sepulang ia bekerja. Sepeti yang biasa dia lakukan. Bukan malah mengatakan kalimat seperti itu.
Xander menarik Sera semakin merapat padanya. Dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher istrinya.
"Xander."
Xander tetap dalam posisinya. Tidak bergerak sama sekali.
"Xander, pergilah," paksa Sera. Ia mendorong Xander hingga pelukan di tubuhnya terlepas.
Xander menatap Sera. Berdecak. Ia bangun dan langsung keluar dari kamar. Wajahnya terlihat kesal.
Sera menghela napas berat. Menatap pintu di mana Xander sudah menghilang.
*****
Setelah keluar dari kamarnya, Xander seharusnya masuk ke kamar yang ada di sebelahnya. Kamar yang ditiduri Tania. Tapi lelaki itu malah turun ke lantai bawah. Masuk ke ruangan yang merupakan ruang kerjanya.
Xander memakai kaca mata bacanya. Membuka laptop dan berkutat dengan isi yang ada di dalamnya.
Tidak tahu berapa lama lelaki itu di sana. Rap pasti sudah sangat lama, sampai membuat orang yang menunggu kedatangannya merasa lelah.
Tania melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah bergerak ke angka dua belas. Mata wanita itu terlihat sayu. Sudah sangat mengantuk.
Ada harapan jika Xander tidak akan kemari malam ini. Meski Tania sudah setuju, tapi sebenarnya ia belum siap melakukannya. Bahkan mungkin tidak akan pernah siap.
Perasaan Tania campur aduk. Sesak, sedih, takut. Semuanya saat memikirkan apa yang akan terjadi begitu Xander masuk ke kamarnya.
Mata Tania berkedip-kedip, sebelum perlahan menutup. Wanita itu tertidur.
Sera menghela napas setelah masuk ke ruang kerja Xander. Ia melihat suaminya itu tidur di kursi dengan laptop di meja yang masih menyala.Sebelumnya Sera ke kamar Tania dan tidak mendapati Xander di sana. Ternyata suaminya ada di sini.Sera mendekat. Mengusap rambut Xander yang perlahan membuat lelaki itu membuka matanya. "Kenapa kau tidur di sini?" Sera menyisir rambut Xander dengan jemarinya. Merapikannya. "Cepatlah mandi. Kau ada meeting jam tujuh bukan?"Xander menatap wajah Sera. Mengusap pipinya sejenak, lalu bangkit dari kursi untuk kembali ke kamarnya. Bersiap-siap untuk ke kantor.Sera ikut pergi ke kamar saat pintu kamar yang ditempati Tania terbuka. Melihat Sera, wanita itu langsung menghampirinya."Aku sudah menunggu Tuan Xander tadi malam. Tapi dia tidak datang-datang. Jadi aku ketiduran. Maaf," ucap Tania dengan kepala menunduk. Wanita itu memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum Sera marah, karena ia yang tidak menjalankan tugasnya. Meski sebenarnya ada rasa lega,
Sera melepaskan mantel berbulunya yang langsung diambil alih oleh pelayan yang berjaga di depan pintu. Masuk ke dalam sembari menggosok telapak tangannya. Cuaca sedang sangat dingin sekarang.Sera berhenti ketika melihat Xander berjalan menuruni tangga. "Kau sudah pulang?" Xander berjalan menghampiri istrinya. Berdiri tepat di depannya. Tangannya terulur mengusap pipi Sera dengan tatapan penuh arti.Sera tersenyum. Tapi matanya tidak bisa berbohong ada kesedihan di sana. Ia tidak rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tapi demi seorang anak, ia harus melakukannya. Sera langsung memeluk Xander. Sangat erat. Xander balas memeluknya tak kalah erat. Tangannya mengusap rambut belakang Sera."Bagaimana harimu tanpaku?" tanya Sera dengan alis terangkat setelah pelukan mereka terlepas."Aku rasanya sudah ingin menjemputmu tadi malam. Baru tanpamu sebentar saja aku sudah sangat merindukanmu."Sera terkekeh geli. Suaminya ini pintar sekali bermanis lidah. Tawanya perlahan terhenti saat mel
Tania langsung melepaskan diri ketika pria yang berusaha melecehkannya menjadi tidak fokus karena kedatangan seseorang. Xander. Tania berlari menghampiri lelaki itu dan bersembunyi di belakang tubuhnya."Tolong aku...," ucap Tania lirih. Wanita itu mencengkeram ujung jas Xander. Tampak sangat ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar dengan wajah yang dipenuhi air mata.Xander meliriknya sesaat. Tatapannya menjadi datar.. Memandang pria di depannya. "Apa seperti ini cara seseorang dari kalangan terhormat bersikap pada perempuan?" Pria itu menggeleng. Tampak takut, tapi disembunyikan. "Anda salah paham, Mr. Artadewa. Perempuan itu menggodaku lebih dulu padahal aku sudah berusaha menolaknya, karena tahu dia sudah menjadi milikmu," ucapnya berusaha membela diri.Xander tidak merespon. Ia masih menatap datar pria itu. "Dia adalah seorang pelacur. Dan Anda tahu bukan bagaimana sifat mereka?" Pria itu kembali bersuara. Berusaha meyakinkan Xander bahwa bukan dirinya yang bersalah. "Mereka senang
"Tania sudah ketemu?""Belum, Nyonya. Kami sudah mencari di seluruh mansion, tapi tidak menemukan Nona Tania."Sera menghela napas kasar. Bingung mencari Tania yang tidak ditemukan juga. Saat ia pergi ke kamarnya, wanita itu tidak ada di sana. Sera bahkan menyuruh para pelayan untuk ikut mencari. Tapi Tania tidak terlihat sama sekali."Xander...." Sera menatap Xander dengan tatapan khawatir. Sekaligus kecewa jika Tania benar-benar pergi, karena ia sudah berharap Tania akan memberikan seorang anak untuknya. Apakah karena kejadian di pesta itu Tania memutuskan pergi? Lebih parahnya, pergi yang selama-lamanya. Tania sebelumnya berkata tidak ingin kehidupan yang seperti sekarang. Bagaimana jika wanita itu berbuat hal nekat? Karena Sera melihat ada bekas berwarna merah seperti darah di kamar Tania."Bagaimana jika Tania benar-benar pergi?" "Dia tidak mungkin pergi. Pasti masih ada di sekitar sini," balas Xander. Wanita itu tidak mungkin bisa keluar dari rumahnya, karena ada penjaga yang
Tania mendorong dada Xander. Menarik kepalanya kuat hingga rambutnya yang tersangkut di kancing baju lelaki itu terputus. Terasa sakit. Tapi ia hiraukan.Tania tersenyum canggung pada Sera sebelum kemudian melangkah cepat keluar dari dapur. Baru beberapa langkah, wanita itu kembali. Mengambil buah mangganya di meja pantry. Kemudian berlari keluar. Wanuta itu terlihat seperti orang yang tengah ketahuan melakukan sesuatu yang tidak-tidak dengan suami orang. Tania merutuk dirinya sendiri. Berharap semoga saja Sera tidak salah paham.Sera memandang Tania yang menghilang di balik pintu dapur sebelum mengalihkan tatapannya pada Xander. Menatapnya dengan mata memicing."Apa?" tanya Xander santai."Apa yang kau lakukan dengan Tania tadi?" selidik Sera. Ia melihat posisi mereka yang patut dicurigai. "Tidak ada," jawab Xander. Tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Sera yang penuh selidik. "Rambutnya menyangkut di kancing bajuku. Dan aku hanya berusaha melepaskannya," terangnya.Mendengar
"Molly, jangan lari!" Tania berlari mengejar anjingnya yang berlari ke arah pintu utama. Entah kenapa anjing itu suka sekali kabur. Tania baru meletakkannya untuk diberikan makan, tapi dia malah berlari pergi.Tania berlari cepat melewati pintu, dan di saat itu juga ia menabrak seseorang, karena tiba-tiba muncul di balik pintu."Apa kau tidak memiliki mata?!" Seorang wanita paruh baya yang tidak sengaja ditabrak Tania berseru. Terkejut. Dia hampir saja jatuh jika tidak berpegang pada pintu.Tania menunduk takut. Kedua tangannya tertaut. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya pelan dengan nada rasa bersalah.Wanita yang masih tampak modis di usianya yang tidak lagi muda itu mendengus kasar. Bibirnya terbuka, ingin memarahi Tania sebelum suara Sera terdengar."Mami?" Sera menghampiri wanita yang ternyata adalah ibunya itu. "Mami di sini?"Alina–ibu Sera masih sempat menatap kesal pada Tania sebelum melihat sepenuhnya pada putrinya. Ia mengangguk."Papi tidak ikut?" "Tidak. Dia ada meeting
"Kau sedang apa?" Tania berjalan menghampiri Sera yang sedang sibuk di dapur. Berdiri di samping wanita itu. Melihat apa yang sedang dilakukannya."Membuat kue kesukaan Xander," jawab Sera sambil memasukkan tepung ke dalam wadah."Boleh aku membantu?" tanya Tania. Ia bosan karena tidak melakukan apa-apa. Hanya mengitari mansion sejak tadi untuk menciptakan kesibukan. Lalu berhenti di sini karena melihat Sera."Tentu," jawab Sera. "Itu, pecahkan telurnya ke dalam wadah," pintanya. Menunjuk beberapa telur di meja dengan dagunya.Tania mengangguk. Ia mengambil satu telur, bersiap memecahkannya dengan sendok ketika Xander masuk ke dalam dapur. Lelaki itu memanggil Sera, tetapi Tania ikut menoleh."Pakaian dasiku." Xander mengulurkan dasinya pada Sera."Kau mau ke mana?" Sera bertanya karena Xander yang saat ia tinggal ke dapur tadi masih memakai pakaian santainya. Sedangkan sekarang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya."Ke kantor.""Bukannya kau tidak ke kantor hari ini?""Ada ra
"Selamat, Anda hamil."Dan kabar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Di sini jelas Sera yang merasa paling senang, karena akan memiliki seorang anak, meski bukan ia yang mengandung dan melahirkan. Xander juga ikut senang karena istrinya merasa senang.Sedangkan Tania, wanita itu termenung. Entah harus merasa senang atau tidak. Ia mengandung anak dari seorang lelaki yang bukan merupakan suaminya. Ia harus hamil di saat dirinya sendiri belum menikah. Haruskah Tania senang?Ya, Tania harus senang. Karena setidaknya ia akan bebas tidak lama lagi. Hanya sembilan bulan lagi. Setelah itu hidupnya akan menjadi miliknya sendiri. Tania hanya perlu memberikan bayinya, lalu pergi ke manapun yang ia inginkan.Tania mengusap perutnya. Tersenyum. "Istirahatlah. Aku dan Xander akan keluar," ucap Sera setelah dokter yang memeriksa Tania telah selesai dengan tugasnya. "Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Mengerti?"Kepala Tania yang bersandar di kepala ranjang mengangguk.Xander dan Sera
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio