Sera melepaskan mantel berbulunya yang langsung diambil alih oleh pelayan yang berjaga di depan pintu. Masuk ke dalam sembari menggosok telapak tangannya. Cuaca sedang sangat dingin sekarang.
Sera berhenti ketika melihat Xander berjalan menuruni tangga.
"Kau sudah pulang?" Xander berjalan menghampiri istrinya. Berdiri tepat di depannya. Tangannya terulur mengusap pipi Sera dengan tatapan penuh arti.
Sera tersenyum. Tapi matanya tidak bisa berbohong ada kesedihan di sana. Ia tidak rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tapi demi seorang anak, ia harus melakukannya. Sera langsung memeluk Xander. Sangat erat.
Xander balas memeluknya tak kalah erat. Tangannya mengusap rambut belakang Sera.
"Bagaimana harimu tanpaku?" tanya Sera dengan alis terangkat setelah pelukan mereka terlepas.
"Aku rasanya sudah ingin menjemputmu tadi malam. Baru tanpamu sebentar saja aku sudah sangat merindukanmu."
Sera terkekeh geli. Suaminya ini pintar sekali bermanis lidah. Tawanya perlahan terhenti saat melihat Tania juga menuruni tangga tidak lama setelahnya.
Sera menghampiri Tania yang berjalan dengan langkah pelan. "Apa kau sakit?" tanyanya melihat wajah wanita itu yang terlihat pucat.
Tania langsung menunduk saat tanpa sengaja bertemu tatap dengan Xander. Wanita itu kemudian menggeleng.
"Aku...." Tania tidak jadi berucap ketika matanya menangkap sesuatu di luar mansion. "Apa itu salju?" tanyanya sambil menunjuk butiran berwarna putih yang berjatuhan dari luar jendela.
Sera menoleh. Kemudian mengangguk. Pantas saja cuaca terasa sangat dingin. Ternyata turun salju. Salju pertama tahun ini.
"Aku akan keluar!" Tania berseru senang. Tanpa menunggu respon siapapun, ia langsung berlari keluar.
Sera mengatupkan bibirnya kembali. Tadinya ingin melarang Tania karena wanita itu terlihat tidak baik-baik saja. Tapi belum ia berbicara, Tania sudah pergi. Sera menggelengkan kepalanya.
"Ambilkan mantel untuknya." Xander memerintah salah satu pelayan. Tapi pandangannya mengarah pada Tania. Melihat wanita itu dari kejauhan yang tampak berputar-putar dengan tangan direntangkan.
Ini adalah pertama kalinya Tania bisa bermain salju. Meski tinggal di negara yang memiliki musim salju, ia tidak pernah merasakan bermain salju dan membuat boneka dari salju.
Tania tersenyum lebar. Tidak peduli dengan hawa dingin di sekitarnya. Ia terlalu senang.
*****
"Molly!" Tania berlari mengejar anak anjingnya yang melewati pintu mansion. Langsung mengangkatnya dan kembali membawanya masuk, karena di luar sangat dingin. Ia saja hanya bermain salju sebentar tadi, karena tidak tahan dengan hawa dinginnya.
"Tunggu di sini, ok?" Tania meletakkan anjingnya di sofa. Kemudian pergi untuk mengambil makanan anjing. Tapi saat ia kembali, anjingnya sudah tidak ada di tempatnya.
Tania menggerutu pelan sambil mencari anjingnya di sekitaran sofa. Hewan peliharaannya itu benar-benar akan diusir dari rumah ini jika tingkahnya masih banyak saja. Molly-nya itu memang tidak bisa diam.
"Tania!"
Tania yang berjongkok untuk mencari anjingnya di kolong meja, mendongak saat Sera memanggilnya dari balkon lantai dua.
"Apa yang sedang kau lakukan?!"
"Eung...mencari Molly."
"Dia masuk ke kamarku. Kemarilah!"
Tania melebarkan mata. Baru ditinggal sebentar, dan anjingnya sudah sampai di tempat yang seharusnya tidak boleh didatanginya. Xander pasti akan marah.
Tania bergegas naik ke lantai atas. Menggumamkan kata maaf pada Xander yang memberikan tatapan tajamnya sebelum mengambil anjingnya yang duduk dengan nyaman di karpet berbulu di depan televisi.
"Kalian akan pergi?" Tania bertanya ketika menyadari pasangan suami istri itu memakai pakaian rapi. Tapi jelas bukan Xander yang ditanyainya, melainkan Sera.
Sera mengangguk. "Kau mau ikut?" tawarnya. Salah satu rekan bisnis Xander mengadakan pesta, dan mereka diundang untuk menghadirinya.
"Aku?" Tania langsung menggeleng cepat. Menolak. Tatapan Xander saat ia tidak sengaja melihatnya sangat terlihat keberatan. Lagipula, apa yang akan dilakukan Tania nanti di sana?
"Jika di sini kau akan sendirian. Jadi ikut saja," ucap Sera. Setelah itu menoleh pada Xander. "Tidak apa-apa kan, X?"
"Terserah padamu," jawab Xander dengan nada tidak benar-benar setuju. Ia hanya menuruti kemauan istrinya.
Sera tersenyum, sebelum kemudian meraih tangan Tania. "Ayo. Aku akan mendandanimu." Wanita itu menarik tangan Tania ke kamarnya sebelum Tania sempat menolak. Jadi wanita itu hanya pasrah saja.
Sera langsung membuka lemari pakaian Tania begitu sampai di kamar. Mencari pakaian yang sekiranya cocok dan memberikannya pada Tania. "Pakai ini."
Tania menerimanya dengan ragu. "Apa tidak ada pakaian yang lain?"
"Kenapa? Ini cocok untukmu." Sera memilihkan Tania sebuah gaun bernuansa floral white dengan potongan dada rendah. Menurutnya sangat sesuai di kulit putih Tania. "Cobalah dulu." Ia memutar Tania dan mendorong punggungnya ke kamar mandi.
Tania mencobanya, dan ia benar-benar tidak nyaman setelah memakainya. Wanita itu keluar dari kamar mandi dengan tangan memegang kerah lehernya.
"Benar kan apa kataku. Gaun itu terlihat sangat pas di tubuhmu." Sera menyingkirkan tangan Tania untuk melihat pakaian yang melekat di tubuh wanita itu. Kemudian menariknya duduk di meja rias. Mulai mendandaninya.
Sera memberikan riasan tipis di wajah Tania, karena tanpa riasan pun wajah wanita itu sudah terlihat cantik. Sedangkan rambut panjang wanita itu dibuat bergelombang dan dibiarkan tergerai. Lalu ditambahkan beberapa hair pins di sisi kanan rambutnya.
"Sudah, selesai." Sera tersenyum sumringah. Merasa puas dengan hasil dari mendandani Tania.
Setelah itu, Sera mengajak Tania kembali turun, karena Xander pasti sudah menunggu. "Xander, ayo."
Xander yang menunggu di sofa, duduk sambil bermain ponsel, mendongak karena suara Sera. Tatapannya langsung mengarah pada wanita di sebelah Sera. Memandangnya dari atas sampai tanpa ekspresi.
"Tania sangat cantik bukan?" kata Sera, karena menyadari Xander yang tidak juga mengalihkan tatapan pada Tania.
Xander melengos. "Jelek. Apalagi bajunya."
Sera seketika melotot. Tidak terima hasil keterampilan tangannya dikritik. Tidak ada yang namanya jelek jika ia yang melakukannya. Sera sangat pandai merias dan mendandani. Jika menjadi seorang penata rias, ia yakin akan laku keras.
"Matamu sepertinya harus diperiksakan," ucap Sera mengejek Xander. Lalu menggandeng Tania untuk keluar lebih dulu.
*****
Sejak Limousine yang membawa mereka sampai di gedung tempat acara berlangsung, Tania tidak melepas cekalan tangannya pada Sera. Terlalu banyak orang yang membuat wanita itu merasa tidak nyaman.
"Kami akan menemui pemilik acara dulu. Kau tunggulah di sini."
Tania terpaksa melepaskan tangan Sera. Membuat dirinya berdiri sendiri didekat meja prasmanan. Sambil menoleh ke sekitar, karena tidak ada yang bisa dilakukannya.
"Setelah melihatmu, tidak akan ada yang tahu bahwa kau sebenarnya adalah seorang pelacur."
Tania berbalik. Terkejut dengan siapa yang berada di belakangnya. Pria di bar yang akan menyewanya ketika itu. Dia ada di sini sekarang.
"Kau terlihat sangat berbeda. Terlihat semakin cantik," ucap pria itu dengan tatapan menggoda. "Dia pasti merawatmu dengan baik bukan?"
Tania diam. Tidak berniat menjawab.
"Tunggu, apakah istrinya tahu jika kau menjadi simpanan Xander Artadewa?" Pria itu tampak berpikir. Dia menatap Xander dan Sera dari kejauhan.
Tania tetap diam. Tangannya mencengkeram erat sisi gaunnya.
"Sebelum istrinya tahu, pergilah dari Xander. Dan datang padaku. Aku bisa membayar berapapun yang kau minta."
Mata Tania berkaca-kaca. Dan tanpa mengatakan apapun ia langsung pergi dari sana dengan langkah cepat.
Tania pergi ke kamar mandi. Berdiam di sana sebentar, menatap pantulan dirinya di cermin.
Apakah karena tidak memiliki apapun, Tania bisa dihina seenaknya seperti ini? Ia juga memiliki harga diri. Tania ingin menangis rasanya.
Tania menghapus air matanya yang menetes. Membasuh tangannya di wastafel. Kemudian keluar dari kamar mandi. Dan seketika itu Tania terlonjak kaget karena pria tadi kembali mengikutinya. Berdiri di depan pintu kamar mandi.
Tania cukup terkejut. Tapi ia berusaha menutupinya. "Minggir," tekannya ketika pria itu menghalangi jalannya.
"Aku tiba-tiba ingin bermain denganmu." Pria itu mencekal tangan Tania untuk dibawa ke sudut dinding. Mengurungnya dengan kedua tangan.
"Lepaskan!" Tania berteriak. Mencoba melepaskan diri.
"Aku yakin Xander tidak akan masalah jika kau menghabiskan waktu denganku. Lagipula aku adalah rekan bisnisnya," bisik pria itu dengan wajah didekatkan pada Tania.
Tania berontak. Berusaha mendorong pria itu menjauh. Tapi percuma. Dia bahkan tidak bergerak sama sekali.
Tania mulai ketakutan, dan wanita itu hanya bisa memejamkan mata ketika pria itu mulai menggerayangi tubuhnya. Ia sudah berteriak. Tapi di tempat seperti ini, tidak akan ada yang mendengarnya. Sementara semua orang berada di dalam ballroom.
"Kau akan menyukainya cantik."
Tania membulatkan mata ketika pria itu merobek bagian depan gaunnya. Wanita itu menjerit. Tapi pria itu langsung membungkam bibir Tania dengan bibirnya. Tania hanya bisa menangis pasrah. Menunggu seseorang datang menolongnya.
"Lepaskan tangan kotormu darinya."
Tania langsung melepaskan diri ketika pria yang berusaha melecehkannya menjadi tidak fokus karena kedatangan seseorang. Xander. Tania berlari menghampiri lelaki itu dan bersembunyi di belakang tubuhnya."Tolong aku...," ucap Tania lirih. Wanita itu mencengkeram ujung jas Xander. Tampak sangat ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar dengan wajah yang dipenuhi air mata.Xander meliriknya sesaat. Tatapannya menjadi datar.. Memandang pria di depannya. "Apa seperti ini cara seseorang dari kalangan terhormat bersikap pada perempuan?" Pria itu menggeleng. Tampak takut, tapi disembunyikan. "Anda salah paham, Mr. Artadewa. Perempuan itu menggodaku lebih dulu padahal aku sudah berusaha menolaknya, karena tahu dia sudah menjadi milikmu," ucapnya berusaha membela diri.Xander tidak merespon. Ia masih menatap datar pria itu. "Dia adalah seorang pelacur. Dan Anda tahu bukan bagaimana sifat mereka?" Pria itu kembali bersuara. Berusaha meyakinkan Xander bahwa bukan dirinya yang bersalah. "Mereka senang
"Tania sudah ketemu?""Belum, Nyonya. Kami sudah mencari di seluruh mansion, tapi tidak menemukan Nona Tania."Sera menghela napas kasar. Bingung mencari Tania yang tidak ditemukan juga. Saat ia pergi ke kamarnya, wanita itu tidak ada di sana. Sera bahkan menyuruh para pelayan untuk ikut mencari. Tapi Tania tidak terlihat sama sekali."Xander...." Sera menatap Xander dengan tatapan khawatir. Sekaligus kecewa jika Tania benar-benar pergi, karena ia sudah berharap Tania akan memberikan seorang anak untuknya. Apakah karena kejadian di pesta itu Tania memutuskan pergi? Lebih parahnya, pergi yang selama-lamanya. Tania sebelumnya berkata tidak ingin kehidupan yang seperti sekarang. Bagaimana jika wanita itu berbuat hal nekat? Karena Sera melihat ada bekas berwarna merah seperti darah di kamar Tania."Bagaimana jika Tania benar-benar pergi?" "Dia tidak mungkin pergi. Pasti masih ada di sekitar sini," balas Xander. Wanita itu tidak mungkin bisa keluar dari rumahnya, karena ada penjaga yang
Tania mendorong dada Xander. Menarik kepalanya kuat hingga rambutnya yang tersangkut di kancing baju lelaki itu terputus. Terasa sakit. Tapi ia hiraukan.Tania tersenyum canggung pada Sera sebelum kemudian melangkah cepat keluar dari dapur. Baru beberapa langkah, wanita itu kembali. Mengambil buah mangganya di meja pantry. Kemudian berlari keluar. Wanuta itu terlihat seperti orang yang tengah ketahuan melakukan sesuatu yang tidak-tidak dengan suami orang. Tania merutuk dirinya sendiri. Berharap semoga saja Sera tidak salah paham.Sera memandang Tania yang menghilang di balik pintu dapur sebelum mengalihkan tatapannya pada Xander. Menatapnya dengan mata memicing."Apa?" tanya Xander santai."Apa yang kau lakukan dengan Tania tadi?" selidik Sera. Ia melihat posisi mereka yang patut dicurigai. "Tidak ada," jawab Xander. Tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Sera yang penuh selidik. "Rambutnya menyangkut di kancing bajuku. Dan aku hanya berusaha melepaskannya," terangnya.Mendengar
"Molly, jangan lari!" Tania berlari mengejar anjingnya yang berlari ke arah pintu utama. Entah kenapa anjing itu suka sekali kabur. Tania baru meletakkannya untuk diberikan makan, tapi dia malah berlari pergi.Tania berlari cepat melewati pintu, dan di saat itu juga ia menabrak seseorang, karena tiba-tiba muncul di balik pintu."Apa kau tidak memiliki mata?!" Seorang wanita paruh baya yang tidak sengaja ditabrak Tania berseru. Terkejut. Dia hampir saja jatuh jika tidak berpegang pada pintu.Tania menunduk takut. Kedua tangannya tertaut. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya pelan dengan nada rasa bersalah.Wanita yang masih tampak modis di usianya yang tidak lagi muda itu mendengus kasar. Bibirnya terbuka, ingin memarahi Tania sebelum suara Sera terdengar."Mami?" Sera menghampiri wanita yang ternyata adalah ibunya itu. "Mami di sini?"Alina–ibu Sera masih sempat menatap kesal pada Tania sebelum melihat sepenuhnya pada putrinya. Ia mengangguk."Papi tidak ikut?" "Tidak. Dia ada meeting
"Kau sedang apa?" Tania berjalan menghampiri Sera yang sedang sibuk di dapur. Berdiri di samping wanita itu. Melihat apa yang sedang dilakukannya."Membuat kue kesukaan Xander," jawab Sera sambil memasukkan tepung ke dalam wadah."Boleh aku membantu?" tanya Tania. Ia bosan karena tidak melakukan apa-apa. Hanya mengitari mansion sejak tadi untuk menciptakan kesibukan. Lalu berhenti di sini karena melihat Sera."Tentu," jawab Sera. "Itu, pecahkan telurnya ke dalam wadah," pintanya. Menunjuk beberapa telur di meja dengan dagunya.Tania mengangguk. Ia mengambil satu telur, bersiap memecahkannya dengan sendok ketika Xander masuk ke dalam dapur. Lelaki itu memanggil Sera, tetapi Tania ikut menoleh."Pakaian dasiku." Xander mengulurkan dasinya pada Sera."Kau mau ke mana?" Sera bertanya karena Xander yang saat ia tinggal ke dapur tadi masih memakai pakaian santainya. Sedangkan sekarang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya."Ke kantor.""Bukannya kau tidak ke kantor hari ini?""Ada ra
"Selamat, Anda hamil."Dan kabar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Di sini jelas Sera yang merasa paling senang, karena akan memiliki seorang anak, meski bukan ia yang mengandung dan melahirkan. Xander juga ikut senang karena istrinya merasa senang.Sedangkan Tania, wanita itu termenung. Entah harus merasa senang atau tidak. Ia mengandung anak dari seorang lelaki yang bukan merupakan suaminya. Ia harus hamil di saat dirinya sendiri belum menikah. Haruskah Tania senang?Ya, Tania harus senang. Karena setidaknya ia akan bebas tidak lama lagi. Hanya sembilan bulan lagi. Setelah itu hidupnya akan menjadi miliknya sendiri. Tania hanya perlu memberikan bayinya, lalu pergi ke manapun yang ia inginkan.Tania mengusap perutnya. Tersenyum. "Istirahatlah. Aku dan Xander akan keluar," ucap Sera setelah dokter yang memeriksa Tania telah selesai dengan tugasnya. "Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Mengerti?"Kepala Tania yang bersandar di kepala ranjang mengangguk.Xander dan Sera
"Hari ini kan jadwalmu memeriksakan kandungan?"Tania mengangguk. Dokter belum tahu pasti berapa usia kandungan Tania. Karena itu memintanya untuk datang ke rumah sakit. Ia juga sudah bersiap-siap dan hanya tinggal berangkat."Tapi maaf, aku tidak bisa menemanimu. Aku sudah ada janji dengan temanku," sesal Sera. Ia ingin sekali menemani Tania ke rumah sakit. Melihat bagaimana perkembangan bayinya. Tapi ia sudah terlanjur ada janji dengan temannya. Tidak enak jika dibatalkan begitu saja."Tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri," balas Tania. "Xander akan menemanimu."Xander yang namanya disebut langsung menoleh. Tatapannya memprotes perkataan Sera. "Kau tidak ke kantor kan hari ini? Jadi tolong temani Tania," pinta Sera."Itu tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Tania menanggapi cepat. Ia tidak ingin merepotkan Xander. Apalagi lelaki itu juga tampak keberatan."Dia bilang bisa pergi sendiri. Dengan kan?" Xander menatap Sera. Kemudian kembali fokus dengan ponselnya.Sera berdecak. "Ke
"Huek–huek." Tania terus memuntahkan isi perutnya. Berjongkok di pinggir jalan dengan Xander yang mengusap punggungnya. Setelah berusaha menahannya, Tania akhirnya memuntahkan isi perutnya juga. Dalam perjalanan pulang, wanita itu meminta Xander untuk berhenti di saat mobilnya baru berjalan beberapa menit. Tidak peduli Xander merasa kesal, karena ia sudah tidak tahan. Tania juga tidak mungkin muntah di dalam mobil mahal Xander. "Sudah?" tanya Xander sembari menyingkirkan beberapa anak rambut Tania yang terjuntai ke depan. Lelaki itu tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya setelah sebelumnya menampilkan wajah kesal, karena Tania yang menyuruhnya berhenti seenak jidat. Tania yang wajahnya sudah tampak pucat mengangguk lemas. Mata sayunya menatap Xander tidak enak hati. "Aku terus merepotkanmu. Maaf," ujarnya pelan. "Masih mual?" Tanpa menanggapi ucapan Tania Xander bertanya. Tania menggeleng. Lantas kembali masuk ke mobil dengan Xander yang menuntunnya. Lelaki itu merangkul pundaknya.
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio