Tania langsung melepaskan diri ketika pria yang berusaha melecehkannya menjadi tidak fokus karena kedatangan seseorang. Xander. Tania berlari menghampiri lelaki itu dan bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Tolong aku...," ucap Tania lirih. Wanita itu mencengkeram ujung jas Xander. Tampak sangat ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar dengan wajah yang dipenuhi air mata.
Xander meliriknya sesaat. Tatapannya menjadi datar.. Memandang pria di depannya. "Apa seperti ini cara seseorang dari kalangan terhormat bersikap pada perempuan?"
Pria itu menggeleng. Tampak takut, tapi disembunyikan. "Anda salah paham, Mr. Artadewa. Perempuan itu menggodaku lebih dulu padahal aku sudah berusaha menolaknya, karena tahu dia sudah menjadi milikmu," ucapnya berusaha membela diri.
Xander tidak merespon. Ia masih menatap datar pria itu.
"Dia adalah seorang pelacur. Dan Anda tahu bukan bagaimana sifat mereka?" Pria itu kembali bersuara. Berusaha meyakinkan Xander bahwa bukan dirinya yang bersalah. "Mereka senang mendekati laki-laki kaya. Menggodanya untuk mencari keuntungan. Sama seperti yang dilakukannya padaku." Dia menunjuk Tania dengan dagunya.
"Aku bukan pelacur...," sanggah Tania setengah berbisik.
"Kau seorang pelacur, tapi tidak mau disebut seperti itu?" Pria itu terkekeh sinis. Menatap Tania dari balik bahu Xander. "Mr. Artadewa, aku sarankan, sebaiknya Anda tinggalkan perempuan itu. Dia wanita licik. Untuk apa terus menyimpannya? Aku bersyukur tidak jadi menyewanya waktu itu," ucapnya panjang lebar.
"Ah iya, aku rasa istrimu saja sudah jauh lebih cukup. Dia wanita terhormat, cantik. Tidak seperti perempuan itu yang–"
"Tutup mulutmu," potong Xander dengan nada rendah dan matanya yang menajam. Tangannya terkepal. Berusaha menahan diri. Lelaki itu tidak ingin mengotori citranya hanya untuk berkelahi di tempat ini.
Xander berbalik. Menatap Tania tanpa ekspresi. Ia melepas jasnya, memakaikannya di tubuh wanita itu sebelum kemudian menggendongnya dengan gaya bridal.
Tania hanya diam. Mungkin terlalu shock dengan apa yang terjadi.
*****
"Apa aku seburuk itu?" Tania berucap pelan. Tatapan sendunya bertanya pada Sera yang duduk di sebelahnya.
Sera menggeleng. Tangannya mengusap rambut Tania. "Kau wanita yang baik. Aku tahu itu," jawabnya jujur.
Meski Tania berasal dari tempat yang tidak baik, tapi Sera tahu wanita ini seperti apa. Dari wajahnya saja sudah terlihat betapa polosnya Tania.
Sera jadi merasa menyesal sudah memaksa Tania untuk ikut dengannya. Ia cukup terkejut melihat keadaannya yang cukup memprihatinkan.
"Orang itu sangat jahat." Mata Tania mulai berkaca-kaca. Tidak bisa menahannya lagi. Ia terlalu sakit dengan hinaan yang diterimanya. "Apa itu salahku jika terlahir di tempat para pelacur dan menjadi bagian dari mereka? Jika bisa meminta, aku bahkan tidak ingin dilahirkan. Aku tidak ingin hidup seperti ini," ucapnya dengan nada menyedihkan. Bulir bening dari kelopak matanya sudah meluncur membasahi pipinya.
"Kau tidak salah. Tenang saja, Mr. Smilt pasti akan diberikan pelajaran karena berani melecehkanmu," balas Sera dengan mengusap-usap punggung Tania. Menenangkannya.
Xander melirik sesaat ke kaca spion sebelum kembali fokus mengemudi. Ia tidak mengatakan apapun, tapi telinganya mendengar pembicaraan dua wanita yang duduk di kursi belakang itu.
Mobilnya berbelok memasuki gerbang dan berhenti di halaman mansion.
"Aku akan mengantar Tania ke kamarnya," ujar Sera pada Xander yang dibalas anggukan kepala oleh lelaki itu.
Sera merangkul Tania dan mengajaknya masuk ke dalam. Mengantar perempuan itu ke kamarnya. Sementara Xander masih berada di luar. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana bahannya untuk menelepon seseorang.
"Cari informasi tentang Tania Ghrestalea. Pelacur di Galaxy club secara lengkap," perintah Xander tanpa basa-basi. "Dan juga, batalkan kerja sama kita dengan keluarga Smilt. Jika perlu semua perusahaan yang terlibat kerja sama dengan perusahaan itu. Minta mereka untuk membatalkan kerja samanya. Aku ingin mendengar kabar kebangkrutan keluarga Smilt secepatnya."
*****
Tania menanggalkan seluruh pakaiannya. Menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Kemudian mulai menangis lagi.
Tania belum bisa melupakan kejadian tadi. Bagaimana pria itu menghina dan melecehkannya. Itu benar-benar melukai harga dirinya. Ia seperti seorang pelacur sungguhan.
Terkadang Tania ingin menyerah. Pergi jauh yang tidak pernah kembali. Tapi ia selalu teringat ibunya ketika akan melakukannya. Bagaimana jika dia datang dan mencarinya? Karena Tania masih mengharap kehadirannya.
Tania menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia mematikan shower ketika airnya sudah mengguyur tubuhnya lebih dari satu jam. Merasa menggigil, tapi diabaikan.
Tania mengambil jubah mandinya, memakainya tanpa mengeringkan badannya terlebih dahulu. Kemudian keluar dari kamar mandi. Duduk di meja rias tanpa melakukan apapun. Sebelum seorang pelayan perempuan yang biasa melayani Tania datang, mengeringkan rambut wanita itu dan menyisirnya.
"Nona baik-baik saja?" Pelayan itu bertanya, karena melihat wajah Tania yang selalu tampak ceria berubah sendu.
Tania mengangguk lesu.
"Nona bisa bercerita pada saya jika membutuhkan teman cerita. Saya selalu siap mendengar cerita Nona."
Tania memutar tubuhnya. Menatap pelayan itu. "Lyla–" ucapannya terhenti, terpotong oleh nada dering ponsel milik pelayan bernama Lyla itu.
"Maaf, Nona." Lyla mengambil ponselnya dari saku seragam hitam putih yang dipakainya dengan tergesa. Berniat mematikannya karena suaranya yang mengganggu. Tapi Tania melarangnya.
"Angkat saja. Siapa tahu penting."
"Tidak, Nona–"
"Tidak apa-apa. Angkat saja."
Pelayan itu dengan sungkan mengangkat teleponnya dan diperhatikan oleh Tania. Wajah Lyla terlihat cemas setelah menutup panggilan teleponnya.
"Kenapa?" tanya Tania merasa penasaran.
"Anak saya sakit, Nona. Dia demam tinggi dan tidak ada yang mengurusnya."
"Suamimu?"
"Saya sudah bercerai dengan suami saya. Jadi kami hanya tinggal berdua saja."
"Kalau begitu pulanglah. Kasihan anakmu," suruh Tania.
"Tapi, Nona, baru-baru ini saya sudah meminta cuti dengan alasan yang sama. Saya takut Tuan akan marah jika saya meminta cuti lagi," balasnya. Tuannya tidak menyukai orang yang tidak niat bekerja. Apapun alasannya, ia akan memecat orang itu jika bekerja dengan tidak benar.
"Aku yang akan bicara padanya. Sekarang kau pergilah."
Pelayan itu mengangguk. "Terima kasih, Nona. Saya akan segera kembali setelah anak saya sembuh," ucapnya. Lalu pergi dengan terburu-buru.
Tania melihatnya dengan senyuman miris. Berandai-andai, jika saja wanita yang melahirkannya seperti Lyla. Ibu yang sangat menyayangi anaknya. Mengkhawatirkannya ketika dia sakit. Tania pasti akan sangat senang.
Tapi tidak. Dia bahkan meninggalkannya. Tidak pernah menemuinya sekalipun. Dia tidak ada ketika Tania sangat membutuhkannya seperti sekarang ini. Mungkin cukup sampai di sini ia menunggu kedatangannya. Wanita yang disebut ibunya itu tidak akan pernah datang.
Tania tetap bertahan karena menunggu ibunya. Jika ibu yang ditunggu tidak pernah datang, bukankah lebih baik ia menyerah saja?
Tania lelah menjalani kehidupan yang seperti ini. Ia ingin pergi.
"Tania sudah ketemu?""Belum, Nyonya. Kami sudah mencari di seluruh mansion, tapi tidak menemukan Nona Tania."Sera menghela napas kasar. Bingung mencari Tania yang tidak ditemukan juga. Saat ia pergi ke kamarnya, wanita itu tidak ada di sana. Sera bahkan menyuruh para pelayan untuk ikut mencari. Tapi Tania tidak terlihat sama sekali."Xander...." Sera menatap Xander dengan tatapan khawatir. Sekaligus kecewa jika Tania benar-benar pergi, karena ia sudah berharap Tania akan memberikan seorang anak untuknya. Apakah karena kejadian di pesta itu Tania memutuskan pergi? Lebih parahnya, pergi yang selama-lamanya. Tania sebelumnya berkata tidak ingin kehidupan yang seperti sekarang. Bagaimana jika wanita itu berbuat hal nekat? Karena Sera melihat ada bekas berwarna merah seperti darah di kamar Tania."Bagaimana jika Tania benar-benar pergi?" "Dia tidak mungkin pergi. Pasti masih ada di sekitar sini," balas Xander. Wanita itu tidak mungkin bisa keluar dari rumahnya, karena ada penjaga yang
Tania mendorong dada Xander. Menarik kepalanya kuat hingga rambutnya yang tersangkut di kancing baju lelaki itu terputus. Terasa sakit. Tapi ia hiraukan.Tania tersenyum canggung pada Sera sebelum kemudian melangkah cepat keluar dari dapur. Baru beberapa langkah, wanita itu kembali. Mengambil buah mangganya di meja pantry. Kemudian berlari keluar. Wanuta itu terlihat seperti orang yang tengah ketahuan melakukan sesuatu yang tidak-tidak dengan suami orang. Tania merutuk dirinya sendiri. Berharap semoga saja Sera tidak salah paham.Sera memandang Tania yang menghilang di balik pintu dapur sebelum mengalihkan tatapannya pada Xander. Menatapnya dengan mata memicing."Apa?" tanya Xander santai."Apa yang kau lakukan dengan Tania tadi?" selidik Sera. Ia melihat posisi mereka yang patut dicurigai. "Tidak ada," jawab Xander. Tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Sera yang penuh selidik. "Rambutnya menyangkut di kancing bajuku. Dan aku hanya berusaha melepaskannya," terangnya.Mendengar
"Molly, jangan lari!" Tania berlari mengejar anjingnya yang berlari ke arah pintu utama. Entah kenapa anjing itu suka sekali kabur. Tania baru meletakkannya untuk diberikan makan, tapi dia malah berlari pergi.Tania berlari cepat melewati pintu, dan di saat itu juga ia menabrak seseorang, karena tiba-tiba muncul di balik pintu."Apa kau tidak memiliki mata?!" Seorang wanita paruh baya yang tidak sengaja ditabrak Tania berseru. Terkejut. Dia hampir saja jatuh jika tidak berpegang pada pintu.Tania menunduk takut. Kedua tangannya tertaut. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya pelan dengan nada rasa bersalah.Wanita yang masih tampak modis di usianya yang tidak lagi muda itu mendengus kasar. Bibirnya terbuka, ingin memarahi Tania sebelum suara Sera terdengar."Mami?" Sera menghampiri wanita yang ternyata adalah ibunya itu. "Mami di sini?"Alina–ibu Sera masih sempat menatap kesal pada Tania sebelum melihat sepenuhnya pada putrinya. Ia mengangguk."Papi tidak ikut?" "Tidak. Dia ada meeting
"Kau sedang apa?" Tania berjalan menghampiri Sera yang sedang sibuk di dapur. Berdiri di samping wanita itu. Melihat apa yang sedang dilakukannya."Membuat kue kesukaan Xander," jawab Sera sambil memasukkan tepung ke dalam wadah."Boleh aku membantu?" tanya Tania. Ia bosan karena tidak melakukan apa-apa. Hanya mengitari mansion sejak tadi untuk menciptakan kesibukan. Lalu berhenti di sini karena melihat Sera."Tentu," jawab Sera. "Itu, pecahkan telurnya ke dalam wadah," pintanya. Menunjuk beberapa telur di meja dengan dagunya.Tania mengangguk. Ia mengambil satu telur, bersiap memecahkannya dengan sendok ketika Xander masuk ke dalam dapur. Lelaki itu memanggil Sera, tetapi Tania ikut menoleh."Pakaian dasiku." Xander mengulurkan dasinya pada Sera."Kau mau ke mana?" Sera bertanya karena Xander yang saat ia tinggal ke dapur tadi masih memakai pakaian santainya. Sedangkan sekarang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya."Ke kantor.""Bukannya kau tidak ke kantor hari ini?""Ada ra
"Selamat, Anda hamil."Dan kabar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Di sini jelas Sera yang merasa paling senang, karena akan memiliki seorang anak, meski bukan ia yang mengandung dan melahirkan. Xander juga ikut senang karena istrinya merasa senang.Sedangkan Tania, wanita itu termenung. Entah harus merasa senang atau tidak. Ia mengandung anak dari seorang lelaki yang bukan merupakan suaminya. Ia harus hamil di saat dirinya sendiri belum menikah. Haruskah Tania senang?Ya, Tania harus senang. Karena setidaknya ia akan bebas tidak lama lagi. Hanya sembilan bulan lagi. Setelah itu hidupnya akan menjadi miliknya sendiri. Tania hanya perlu memberikan bayinya, lalu pergi ke manapun yang ia inginkan.Tania mengusap perutnya. Tersenyum. "Istirahatlah. Aku dan Xander akan keluar," ucap Sera setelah dokter yang memeriksa Tania telah selesai dengan tugasnya. "Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Mengerti?"Kepala Tania yang bersandar di kepala ranjang mengangguk.Xander dan Sera
"Hari ini kan jadwalmu memeriksakan kandungan?"Tania mengangguk. Dokter belum tahu pasti berapa usia kandungan Tania. Karena itu memintanya untuk datang ke rumah sakit. Ia juga sudah bersiap-siap dan hanya tinggal berangkat."Tapi maaf, aku tidak bisa menemanimu. Aku sudah ada janji dengan temanku," sesal Sera. Ia ingin sekali menemani Tania ke rumah sakit. Melihat bagaimana perkembangan bayinya. Tapi ia sudah terlanjur ada janji dengan temannya. Tidak enak jika dibatalkan begitu saja."Tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri," balas Tania. "Xander akan menemanimu."Xander yang namanya disebut langsung menoleh. Tatapannya memprotes perkataan Sera. "Kau tidak ke kantor kan hari ini? Jadi tolong temani Tania," pinta Sera."Itu tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Tania menanggapi cepat. Ia tidak ingin merepotkan Xander. Apalagi lelaki itu juga tampak keberatan."Dia bilang bisa pergi sendiri. Dengan kan?" Xander menatap Sera. Kemudian kembali fokus dengan ponselnya.Sera berdecak. "Ke
"Huek–huek." Tania terus memuntahkan isi perutnya. Berjongkok di pinggir jalan dengan Xander yang mengusap punggungnya. Setelah berusaha menahannya, Tania akhirnya memuntahkan isi perutnya juga. Dalam perjalanan pulang, wanita itu meminta Xander untuk berhenti di saat mobilnya baru berjalan beberapa menit. Tidak peduli Xander merasa kesal, karena ia sudah tidak tahan. Tania juga tidak mungkin muntah di dalam mobil mahal Xander. "Sudah?" tanya Xander sembari menyingkirkan beberapa anak rambut Tania yang terjuntai ke depan. Lelaki itu tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya setelah sebelumnya menampilkan wajah kesal, karena Tania yang menyuruhnya berhenti seenak jidat. Tania yang wajahnya sudah tampak pucat mengangguk lemas. Mata sayunya menatap Xander tidak enak hati. "Aku terus merepotkanmu. Maaf," ujarnya pelan. "Masih mual?" Tanpa menanggapi ucapan Tania Xander bertanya. Tania menggeleng. Lantas kembali masuk ke mobil dengan Xander yang menuntunnya. Lelaki itu merangkul pundaknya.
Sera menatap bingung beberapa pekerja bangunan yang berlaku lalang di mansionnya. Ia menghampiri Xander setelah lelaki itu selesai berbicara dengan salah satunya."Apa yang mereka lakukan?" tanya Sera."Aku menyuruh mereka untuk membuat lift di sebelah kamar."Dahi Sera berkerut. "Kenapa tiba-tiba?" Sebelumnya Xander tidak mau ada lift di mansionnya. Karena itu tidak dibangun lift. Xander membuka bibirnya. Ingin menjawab ketika melihat Tania menuruni tangga. Berjalan dengan langkah pelan sambil berpegangan pada pilar tangga. Mungkin takut akan terpeleset lagi."Tidak ada yang tiba-tiba. Aku memang sudah berniat membangun lift sejak lama," jawab Xander kemudian.Sera akhirnya mengangguk. Ia lantas menghampiri Tania karena melihat wanita itu. "Kenapa kau turun? Kepalamu sudah tidak pusing?" tanyanya.Tania menggeleng. "Aku sudah merasa lebih baik.""Syukurlah kalau begitu," ucap Sera. Kemudian meninggalkannya untuk pergi ke dapur sehingga hanya tersisa Xander. Tania memberanikan diri m
Butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk Tania benar-benar pulih dari luka tembak yang dialaminya. Dan selama itu, hanya saat inilah yang paling ditunggu Tania. Bertemu dengan ayah kandungnya.Xander selalu beralasan akan membawanya menemuinya jika kondisinya sudah pulih. Dan baru sekarang dia melakukannya. Tania sempat marah karena Xander dan orang tuanya yang menyembunyikan ini darinya. Meski Tania sendiri yang berkata tidak ingin mengetahui siapa ayah kandungnya. Tapi jika dia memang sudah sangat dekatnya, tapi tetap ingin bertemu."Kau yakin ingin bertemu dengannya?" tanya Xander sembari menggenggam jemari Tania. Berjalan bersama ke tempat di mana Abraham ditahan.Tania mengangguk yakin. "Kau tahu apa yang dia lakukan padamu bukan? Kenapa masih saja ingin bertemu dengannya?" Tania hanya tersenyum menanggapinya."Maaf, tapi Tuan Abraham tidak ingin dikunjungi oleh siapapun." Penjaga tahanan menyampaikan ucapan dari Abraham ketika dia memberitahu ada yang ingin menemuinya.Raut w
"Mommy, di mana Xander?" Tania bertanya pada Angeline yang tengah menyuapinya. Xander tidak berkata akan pergi atau apa padanya. Tapi dia tidak terlihat sejak dua jam lalu. "Xander sedang bersama Lio," jawab Angeline, yang tentu saja berbohong. Lio sedang tidur di ruangan lain. Dijaga oleh babysitter. Sementara Xander pergi keluar. Menemui Abraham di kantor polisi.Angeline mengetuk Abraham yang berani-beraninya mencelakai anaknya sendiri. Lelaki itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali. Tapi tidakkah dia sedikit saja merasa kasihan pada darah dagingnya? Dia memang lelaki jahat.Angeline berharap Tanai tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Karena dia pasti akan menyesal nantinya. Menyesal memiliki darah yang sama dengan orang yang berniat membunuhnya. Angeline tidak ingin putrinya tahu."Mommy, sudah." Tania menolak ketika Angeline kembali ingin menyuapkan bubur ke mulutnya."Ya sudah. Ini minumnya." Angeline meletakkan mangkuk berisi bubur yang tinggal beberapa suapan. Lalu
"Kondisimu sudah semakin membaik. Sebentar lagi kau mungkin bisa pulang."Tania menyengir. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih. "Aku kasihan melihatnya. Dia menangis saat aku sakit. Jadi aku harus cepat sembuh supaya dia tidak menangis lagi," ucapnya sembari melirik Xander yang berdiri didekat ranjang dengan tangan bersidekap.Xander mendengus. Sementara Tania dan dokter yang tengah memeriksanya tertawa. Tania langsung menghentikan tawanya, karena jahitan di punggungnya. Sementara sang dokter, karena Xander memberikan tatapan tajam padanya."Aku keluar dulu ya. Kau bisa memanggilku jika membutuhkan sesuatu."Tania mengangguk. Lalu mengucapkan terima kasih sebelum dokter itu keluar dari ruangannya."Kau menghancurkan reputasiku, kau tahu?" Xander berkata kesal. Ia memberikan pelototan kecil sebelum mengambil perban di atas nakas.Tania mengernyit, sebelum kemudian terkekeh kecil. "Kau malu ya, Daddy?" godanya. Xander yang terkenal tegas dan garang, menangis. Xander menggeram
Xander melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditempati Tania. Istrinya akhirnya dipindahkan ke ruangan lain. Tubuhnya sudah tidak lagi ditempeli dengan berbagai alat penunjang hidup. Dia bahkan sudah membuka matanya sekarang. Tania tengah menatap Xander dengan mata sayunya. Bibir pink alaminya tampak pucat. Sementara bahunya dililit dengan kain kasa. Dengan lemah, wanita itu mencoba tersenyum pada Xander."Xander...."Xander menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. "Sakit sekali ya?" ucapnya menyerupai bisikan. Meski sudah sadar, Xander tahu Tania tidak baik-baik saja. Dia masih kesakitan. Tania tampak seperti ingin berbicara. Tapi terlalu lemah untuk melakukannya. Satu kata saja sudah cukup sulit.Xander membelai rambut Tania. Menggeleng. "Tidak perlu bicara apa-apa dulu. Tidurlah. Kau butuh banyak istirahat.""Dimana baby Lio? Apa dia tidak mencariku?" tanya Tania dengan nada sangat pelan. Napasnya terengah. Xander harus benar-benar mendengarkan dengan baik. "Hm
Xander membopong tubuh lemah Tania keluar. Berjalan cepat memasuki pelataran rumah sakit. Para dokter dan perawat sudah bersiap. Membawa Tania ke ruang operasi untuk segera ditangani."Maaf, Tuan. Tapi Anda diizinkan untuk ikut masuk."Xander mengepalkan tangan. Menghembuskan napas berat, dia tidak membantah. "Selamatkan istriku apapun yang terjadi," ucapnya sebelum pintu ruangan tertutup.Xander duduk di kursi depan ruangan itu. Tangannya terkepal kuat. Raut emosi menumpuk di wajahnya. Penampilan Xander sudah berantakan. Kemeja putihnya sudah bercampur dengan warna merah. Xander sudah sangat siap membunuh orang.Lelaki itu. Jangan harap Xander akan melepaskannya. Jika sampai Tania kenapa-kenapa, ia pastikan Abraham Denovan akan mendapatkan perlakuan yang setimpal.Xander menoleh ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Alex dan Angeline berjalan cepat menghampirinya. Lio berada di gendongan Angeline. Tangisnya terdengar kencang.Xander berdiri dan ingin mengambil putranya
Xander mengeratkan mantel hijau tebal di tubuh Tania, sebelum merangkul pinggangnya dan berjalan bersama keluar mansion."Mommy dan Daddy?" Tania menoleh sekilas ke belakang untuk melihat apakah mereka sudah siap atau belum. Lio juga bersama mereka."Mommy dan Daddy akan menyusul. Kita ke bendara lebih dulu."Tania mengangguk. Xander membukakan pintu mobil, dan Tania masuk ke dalam. Ketika lelaki itu juga akan masuk, Christian datang. Xander menatap Tania. Memberitahukan dengan gerakan bibir sebelum berjalan sedikit menjauh dari mobil. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlihat dari ekspresi Christian."Tuan, Abraham menghilang.""Maksudmu?" Xander mengernyit."Posisinya masih bisa dilacak sekitar tiga puluh menit yang lalu. Tapi setelah itu dia menghilang. Dia meninggalkan mansionnya dan pergi entah ke mana," jelas Christian. Xander memang meminta Christian untuk mengawasi Abraham. Setelah dia membuat kejutan besar yang sudah pasti menghancurkan karirnya, Abraham tidak akan tinggal dia
Xander sudah sampai di mansion. Ia menghentikan langkah saat berpapasan dengan Alex di lorong lantai empat. Xander melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Daddy belum tidur?" tanyanya."Kau berbicara apa dengannya?" Xander mengernyit. Tapi kemudian ia paham maksud pertanyaan Alex. Daddynya pasti sudah tahu semuanya. Xander tidak perlu menjelaskan lagi."Hanya memberi peringatan pada Abraham Denovan," jawab Xander santai.Alex menghela napas berat. "Daddy tahu kau pasti sangat marah dengan apa yang dilakukan laki-laki itu pada Tania. Daddy juga sangat marah saat mengetahuinya," ucapnya. "Tapi kau jangan menjadi gegabah seperti ini."Alex sangat ingin menemui Abraham dan menghajarnya secara langsung ketika ia mengetahui ketika lelaki itu hampir mencelakai putrinya. Tapi Alex tahu ia tidak bisa gegabah."Pamanmu Robert, mengenal Abraham dengan baik. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Lawannya adalah Abraham." Alex memulai ceritanya. "Abraham orang yang tida
"Apa saja yang kau lakukan di sana?"Tania merengut. "Aku tidak yakin kau tidak tahu. Para bodyguard mu pasti sudah memberitahumu kan?""Benar. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri darimu." Dan mengetahui apa yang kau rasakan saat bertemu dengan ayah kandungmu. Lanjutnya dalam hati.Tania dan Angeline baru saja pulang dari acara amal. Meski bodyguard sudah memberitahukan semuanya. Tapi ia ingin Tania sendiri yang memberitahu."Di sana ramai sekali. Banyak orang yang memberikan amal," cerita Tania. Lalu wajahnya yang tampak biasa sebelumnya berubah cemberut. "Tapi karena ada wartawan juga, aku jadi tidak suka.""Kenapa?" Xander memberikan tanggapan. Ia mendongak menatap istrinya."Banyak orang yang jadi pamer tahu. Mereka berlomba memberikan uang paling banyak untuk amal. Lalu menceritakannya di depan kamera. Seharusnya kan tidak boleh seperti itu. Jika memang ikhlas ingin beramal ya beramal saja. Kenapa harus dipamer-pamerkan?"Xander tersenyum melihat bibir Tania yang maju ke depan ke
"Setelah sukses dengan menjadi anggota dewan di Spanyol, Bulgaria, dan Inggris, Abraham Denovan akhirnya kembali negaranya untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden pada pemilihan presiden yang akan datang. Nama lelaki kelahiran 1965 itu begitu cemerlang dalam dunia perpolitikan. Sikap tanggung jawab dalam menjalankan setiap tugasnya tidak bisa diragukan.""Namun, baru-baru ini berhembus kabar miring tentangnya. Belum dipastikan kebenarannya, tapi Abraham Denovan diduga suka bermain dengan perempuan malam, meski telah memiliki seorang istri. Dia juga memiliki seorang anak dari salah satu teman tidurnya itu. Anak itu–""Mommy."Angeline langsung mematikan layar televisi yang menampilkan berita itu ketika Tania memanggil. Wajahnya yang semula datar berganti menjadi senyuman saat Tania berjalan mendekat."Mommy." Tania duduk di sebelah Angeline. "Mommy sedang apa?"Angeline menggeleng. "Mommy melihat berita. Tapi karena tidak menarik, Mommy jadi malas melihatnya," jawabnya. "Di mana Lio