Ramon kini berdiri tegap, sorot matanya penuh dengan tekad yang membara. Tanpa ragu, dia melangkah maju, mengambil alih posisi Sebastian yang mulai muak menghadapi para penjahat itu. Gerakannya tegas, penuh keyakinan, menunjukkan bahwa dia siap memberikan perlawanan sengit.Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam terkepal kuat, Ramon menghadapi mereka satu per satu, melindungi atasannya tanpa sedikit pun gentar.Setiap pukulan yang diarahkan padanya dia tangkis dengan cekatan, membalas dengan serangan yang tak kalah kuat. Da seperti dinding kokoh yang tidak mudah digoyahkan, membuat para penjahat itu mulai kehilangan keberanian. Ramon telah mengambil alih pertempuran, menjadi sosok pelindung yang tak kenal takut.Sebastian melangkah mendekati Clara yang terduduk lemas di atas aspal dingin. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam saat dia berhenti tepat di hadapannya. Dengan perlahan, dia merunduk, menekuk satu kakinya hingga sejajar dengan posisi Clara.Tangannya yang ko
Sebastian terkejut. Sebuah kejutan yang datang begitu mendalam, seakan waktu berhenti sejenak saat kata-kata itu terdengar. Matanya yang biasanya tajam dan penuh kewaspadaan kini berubah, ada kilatan kebahagiaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Untuk beberapa detik, dia hanya terdiam, mencerna kenyataan baru yang begitu indah itu. Walau tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi wajahnya mengungkapkan lebih dari apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.Ada perasaan yang luar biasa dalam dirinya, perasaan yang sulit dijelaskan, namun jelas tergambar dalam tatapannya yang tajam—kebahagiaan yang datang tanpa diduga, dan harapan yang baru saja tumbuh di dalam hati Sebastian.“Apa? Hamil?” Sebastian mempertegas ucapannya.“Ya, Tuan. Usia kandungannya delapan minggu.”Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari dokter, Sebastian melesat memasuki ruangan dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada Clara yang duduk di atas brankar, tampak lelah dan cemas.Tanpa ragu, dia mend
Ramon benar-benar murka. Wajahnya memerah, dan kedua tangannya terkepal erat, menahan amarah yang hampir meledak. Preman itu tetap bersikeras bungkam, tidak mau mengungkapkan siapa yang telah menginstruksikan mereka untuk bertindak.Ramon mendekat, sorot matanya tajam seperti elang yang mengincar mangsa. Meskipun berbagai pertanyaan telah dilontarkan, jawaban yang diharapkannya tak kunjung terucap. Keheningan preman itu membuat kesabaran Ramon semakin menipis, seperti api yang disiram minyak.“Aku tidak punya waktu untuk permainan seperti ini,” ucap Ramon dengan nada tegas, suaranya penuh tekanan. Namun, preman itu justru tertawa, seolah menikmati wajah Ramon.Tawa pria itu membuat Ramon semakin murkan, dia menekan kakinya dan seketika pria di bawah sana memekik.“Cepat katakan! Atau kepalamu kulenyapkan!” ancam Ramon. Dia sudah berada pada batas kesabaran. Namun, lagi-lagi tawa pria itu terdengar.“Sialan!” umpatan yang Ramon lontarkan bersamaan dengan gerakan kakinya menendang. Suara
Clara telah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP setelah menjalani perawatan intensif di unit gawat darurat. Ruang tersebut memberikan kenyamanan maksimal dengan fasilitas terbaik yang dirancang untuk mempercepat proses pemulihan pasien.Di sisi tempat tidur, Sebastian dengan setia menemani Clara, memastikan bahwa setiap kebutuhannya terpenuhi. Wajahnya memancarkan kekhawatiran yang mendalam, namun ia berusaha sebaik mungkin demi memberikan dukungan moral kepada Clara. Semua itu dia lakukan demi calon bayinya.Setiap beberapa menit, ia mengecek suhu ruangan dan selimut Clara, memastikan semuanya dalam kondisi yang ideal. Dalam keheningan yang penuh pengharapan, Sebastian terus berada di sisinya, membuktikan betapa besar kasih sayangnya.“Tuan tidak pulang?” tanya Clara. Dia melihat jarum pendek yang menunjuk pada angka 2.Kening Sebastian mengkerut. “Kamu ngusir aku?”Clara terkesiap, seketika menggeleng cepat. “Bukan begitu, tapi besok Anda harus bekerja,” jelas Clara.Sebastian mele
Sebastian terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah Maxime yang berdiri berseberangan dengannya. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Maxime tentang pernikahan seperti menembus pikirannya, mengguncang ketenangan yang selama ini dia jaga.Suasana di ruang rawat inap yang semula terlihat tenang dengan diriningi suara tawa dan obrolan antara Clara dan kedua orang tuanya mendadak terasa sunyi bagi Sebastian. Dia mencoba merangkai kata untuk menjawab, namun lidahnya terasa kelu.Jantungnya berdegup lebih kencang, seolah-olah memberi isyarat bahwa ini adalah momen yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Maxime, dengan tatapan penuh harap, menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah arah hubungan mereka.Sementara Sania dan Leonard sama-sama menatap Sebastain dengan memberikan sebuah kode berubah kedipan mata agar puteranya itu memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan oleh Maxime Abraham.Suasana menjadi menegangkan ketika Sebastian tak kunjung memberikan jawaban. Keh
Bianca terbatuk-batuk hebat, nafasnya tercekat dan sesak di tenggorokannya akibat cengkeraman kuat tangan Sebastian yang mengikat lehernya dengan penuh amarah. Setiap kali dia berusaha menarik napas, seakan-akan udara di sekitarnya menghilang, hanya ada tekanan yang semakin menyesakkan. Rasa panik mulai menyelimuti tubuhnya, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Sebastian, yang berdiri di hadapannya, tampak sangat murka, wajahnya merah padam dan matanya berkilat dengan kebencian yang mendalam. Ini adalah puncak dari kemarahannya yang dia pendam, dan Bianca tahu bahwa saat ini dia berada di titik terburuk dalam hidupnya. Tidak ada kata yang bisa diucapkan, hanya keheningan yang berat antara mereka. Sebuah ketegangan yang terasa semakin menebal di udara."Ba-bastian, lepaskan!" Bianca memohon dengan susah payah. Wajahnya mulai memerah karena kesulitan mendapatkan udara. Pelayan yang melihat adegan ini sangat panik, namun mereka bisa apa? Setidaknya mereka tahu siapa Sebastian. Siapa pu
Bianca terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Tatapannya kosong, seolah-olah terhalang oleh kabut tebal yang mengaburkan penglihatannya. Bahkan, wajah Sebastian yang berdiri begitu dekat dengannya tampak samar, tidak bisa ia tangkap dengan jelas.Tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena rasa takut yang mencengkeram, tetapi juga karena kekecewaan yang menyayat hati. Bianca merasa seolah-olah dunianya runtuh, meninggalkan dirinya terjebak dalam jurang ketidakpastian yang mencekam.“Apa kamu bilang? Hamil?”Bianca kembali mengulangi pertanyaan Sebastian.Dengan sudut bibir yang terangkat ke atas Sebastian menjawab, “Aku rasa kamu tidak tuli.”Tubuh wantita itu kembali di hempaskan, kali dengan sangat kuat sehingga wajah Bianca nyaris menyentuh lantai.“Ingat ini baik-baik, Bianca!” Terakhir kalinya, Sebastian menatap Bianca dengan jari telunjuk yang teracung ke arah wanita itu.“Tuan…” Ramon memanggil dan itu adalah sebuah peringatan bahwa waktu mereka telah habis. Detik berikutnya, S
Bianca tercekat dan segera menatap ke arah sosok itu, dan seketika bernapas lega ketika melihatnya."Dareen? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Bianca.Dareen melihat ke arah pintu sesaat kemudian meletakkan jemarinya pada bibir."Ikut aku!" kata Dareen.Langkah Bianca sedikit menyeret mengikuti Dareen. Entah ke mana pria ini akan membawanya pergi. Bianca merupakan kerabat jauh dari keluarga Abraham. Hubungan kekeluargaan inilah yang menjadi alasan mengapa Bianca sudah lama mengenal Dareen."Dareen kita mau ke mana?" tanya Clara."Diamlah, kita harus bicara," ucap Dareen.Bianca hanya menurut ketika Dareen tiba-tiba menarik lengannya dan membawanya menuju suatu tempat tanpa memberikan penjelasan. Meskipun bingung, Bianca tidak mengajukan pertanyaan dan memilih mengikuti langkah Dareen dengan diam.Setelah beberapa saat melewati lorong-lorong rumah sakit, mereka akhirnya tiba di rooftop. Udara di atas terasa sejuk, disertai pemandangan langit yang mulai memerah karena senja. Di sana
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj
Pagi itu langit terlihat cerah, burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar rumah keluarga Rein. Suasana yang tenang perlahan berubah ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Dari balik jendela ruang keluarga, Clara melirik keluar dan mendapati sosok yang sudah ia duga sejak semalam—William."Dia datang lagi,” gumam Clara pelan, sambil berdiri dan merapikan rok panjangnya.Sebastian yang duduk di kursi membaca koran hanya menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa kedatangan William tidak sekadar kunjungan biasa. Ada sesuatu yang disimpan pria itu, dan Sebastian bersiap untuk segala kemungkinan.Pintu rumah terbuka. Rosalia Rein, ibu Clara, menyambut William dengan senyum yang hangat.“William, Nak, kau datang lagi pagi-pagi begini. Ada angin apa?” tanya Rosalia dengan ramah.William membungkuk sedikit memberi hormat, lalu menjawab, “Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Paman Richard. Sekaligus… bertemu Clara.”C