Bianca terbatuk-batuk hebat, nafasnya tercekat dan sesak di tenggorokannya akibat cengkeraman kuat tangan Sebastian yang mengikat lehernya dengan penuh amarah. Setiap kali dia berusaha menarik napas, seakan-akan udara di sekitarnya menghilang, hanya ada tekanan yang semakin menyesakkan. Rasa panik mulai menyelimuti tubuhnya, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Sebastian, yang berdiri di hadapannya, tampak sangat murka, wajahnya merah padam dan matanya berkilat dengan kebencian yang mendalam. Ini adalah puncak dari kemarahannya yang dia pendam, dan Bianca tahu bahwa saat ini dia berada di titik terburuk dalam hidupnya. Tidak ada kata yang bisa diucapkan, hanya keheningan yang berat antara mereka. Sebuah ketegangan yang terasa semakin menebal di udara."Ba-bastian, lepaskan!" Bianca memohon dengan susah payah. Wajahnya mulai memerah karena kesulitan mendapatkan udara. Pelayan yang melihat adegan ini sangat panik, namun mereka bisa apa? Setidaknya mereka tahu siapa Sebastian. Siapa pu
Bianca terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Tatapannya kosong, seolah-olah terhalang oleh kabut tebal yang mengaburkan penglihatannya. Bahkan, wajah Sebastian yang berdiri begitu dekat dengannya tampak samar, tidak bisa ia tangkap dengan jelas.Tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena rasa takut yang mencengkeram, tetapi juga karena kekecewaan yang menyayat hati. Bianca merasa seolah-olah dunianya runtuh, meninggalkan dirinya terjebak dalam jurang ketidakpastian yang mencekam.“Apa kamu bilang? Hamil?”Bianca kembali mengulangi pertanyaan Sebastian.Dengan sudut bibir yang terangkat ke atas Sebastian menjawab, “Aku rasa kamu tidak tuli.”Tubuh wantita itu kembali di hempaskan, kali dengan sangat kuat sehingga wajah Bianca nyaris menyentuh lantai.“Ingat ini baik-baik, Bianca!” Terakhir kalinya, Sebastian menatap Bianca dengan jari telunjuk yang teracung ke arah wanita itu.“Tuan…” Ramon memanggil dan itu adalah sebuah peringatan bahwa waktu mereka telah habis. Detik berikutnya, S
Bianca tercekat dan segera menatap ke arah sosok itu, dan seketika bernapas lega ketika melihatnya."Dareen? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Bianca.Dareen melihat ke arah pintu sesaat kemudian meletakkan jemarinya pada bibir."Ikut aku!" kata Dareen.Langkah Bianca sedikit menyeret mengikuti Dareen. Entah ke mana pria ini akan membawanya pergi. Bianca merupakan kerabat jauh dari keluarga Abraham. Hubungan kekeluargaan inilah yang menjadi alasan mengapa Bianca sudah lama mengenal Dareen."Dareen kita mau ke mana?" tanya Clara."Diamlah, kita harus bicara," ucap Dareen.Bianca hanya menurut ketika Dareen tiba-tiba menarik lengannya dan membawanya menuju suatu tempat tanpa memberikan penjelasan. Meskipun bingung, Bianca tidak mengajukan pertanyaan dan memilih mengikuti langkah Dareen dengan diam.Setelah beberapa saat melewati lorong-lorong rumah sakit, mereka akhirnya tiba di rooftop. Udara di atas terasa sejuk, disertai pemandangan langit yang mulai memerah karena senja. Di sana
"Saya dengar Nona mangandung, saya khawatir karena lantai ini sangat keras," kata Andrew."Tuan Andrew, ini justru tidak masuk akal. Saya baik-baik saja. Sekarang berdirilah," titah Clara lembut.Andrew segera menjalankan perintah Clara, dia bangkit lantas memposisikan diri di dekat Clara, dia mengulurkan lengannya yang membuat Sebastian melotot.“Apa yang kamu lakukan, Andrew?” hardik Sebastian. Dia menepis tangan Andrew yang hendak menyentuh Clara.Andrew menatap Sebastian tanpa rasa bersalah. “Saya ingin membantu Nona, Tuan,” jawab Andrew.“Berani menyentuh, kupatahkan tanganmu supaya kamu tidak bisa memasak!” Setelah mengatakan itu, Sebastian menuntun Clara menuju pintu utama.“Dia sangat pencemburu,” gumam Andrew sembari menatap punggung majikannya itu.Keduanya memasuki pintu utama yang segera dikawal ketat oleh pelayan. Mereka bertindak seolah-olah Clara adalah wanita yang rapuh yang perlu dijaga.Saat mencapai tangga, Sebastian berhenti sejenak, menoleh ke arah Clara yang tamp
Pertanyaan itu seketika menyadarkan Clara dari lamunannya tentang Sebastian. Tatapannya yang semula terpaku pada pria itu kini beralih dengan gugup. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat melayang entah ke mana.Dengan cepat, Clara mengalihkan perhatiannya dari Sebastian. Dia melangkah sedikit mundur, menatap gaun yang masih tergantung rapi, lalu kembali menoleh ke arah pria yang kini berdiri tegap di depannya. Ada sesuatu dalam sorot mata Sebastian yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa bisa menahan rasa ingin tahunya lebih lama, Clara akhirnya bertanya, "Memangnya ada acara apa? Mengapa saya harus memakai gaun?"Suaranya terdengar ragu-ragu, namun cukup jelas untuk menunjukkan kebingungannya. Hatinya mulai dipenuhi berbagai spekulasi. Apakah ada perayaan penting yang dia lupakan? Ataukah ini adalah kejutan yang telah Sebastian siapkan untuknya?Dia menunggu jawaban dengan perasaan berdebar, sementara Sebastian hanya tersenyum tipis, seol
Clara tertegun beberapa saat, membiarkan matanya menjelajahi pemandangan yang terbentang di hadapannya. Tatapan takjub sekaligus heran begitu jelas terpancar dari sorot matanya.Udara malam yang sejuk terasa membelai kulitnya, sementara kelap-kelip cahaya lilin dan lampu-lampu kecil yang tergantung di dahan pepohonan menciptakan suasana yang begitu hangat dan menenangkan.Sebastian telah menyulap taman dekat kolam menjadi sebuah arena makan malam romantis yang begitu indah. Meja bundar dengan taplak putih bersih berdiri di tengah, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar merah dan lilin-lilin kecil yang menyala lembut.Kursi-kursi elegan telah disiapkan, dan di atas meja, dua piring porselen dengan peralatan makan berkilauan tersusun dengan rapi, seolah menunggu pemiliknya untuk menikmati hidangan istimewa.Kolam di dekatnya memantulkan cahaya dari lampu-lampu gantung, menciptakan bayangan yang berkilauan di permukaan air yang tenang. Aroma lembut dari bunga mawar yang bermekaran di sekit
Clara menyandarkan punggungnya ke kursi dengan napas yang sedikit berat. Perutnya terasa penuh setelah menikmati berbagai hidangan lezat yang tersaji di meja. Tanpa sadar, dia telah menyantap terlalu banyak makanan, terbawa suasana hangat dan romantis yang diciptakan Sebastian.Tangannya perlahan mengusap perutnya yang kini terasa begah. Dia menatap piring di depannya yang hampir kosong, menyadari bahwa setiap suapan yang ia nikmati tadi benar-benar menggoda seleranya. Namun kini, rasa kenyang mulai mendominasi tubuhnya, membuatnya ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan percakapan dengan Sebastian.Sebastian yang duduk di seberangnya tampak menyadari perubahan ekspresi Clara. Dengan alis yang sedikit terangkat dan senyum menggoda di wajahnya, dia bertanya, "Kenyang?"Clara mengangguk pelan sambil tersenyum malu. "Sepertinya saya makan terlalu banyak," ujarnya jujur, membuat Sebastian tertawa kecil."Itu karena ada kehidupan lain di perutmu. Sebaiknya kamu beristirahar sebentar
Malam yang penuh kehangatan itu perlahan mencapai puncaknya. Sebastian yang telah terpenjara hasrat, membawa Clara ke kamar pribadinya. Dia meletakkan tubuh Clara di atas kasur yang empuk. Lampu utama dimatikan dan menyisakan lampu tidur.Di bawah cahaya temaram yang lembut, Sebastian menatap Clara dengan penuh kasih. Kedalaman matanya memancarkan ketulusan dan rasa cinta yang begitu nyata, seolah ingin meyakinkan bahwa malam ini sepenuhnya dia dedikasikan untuk wanita yang kini berada di bawah kungkungannya.Dengan penuh perhatian, Sebastian membelai wajah Clara, jemarinya yang hangat menyusuri pipi wanitanya dengan kelembutan yang tak terlukiskan. Dia tahu bahwa Clara kini tengah mengandung, dan itu membuatnya semakin berhati-hati dalam setiap gerakan. Baginya, Clara dan buah hati yang sedang dikandungnya adalah anugerah terbesar dalam hidupnya.“Aku akan melakukannya dengan sangat berhati-hati.” Bisikan itu terdengar begitu menggelitik daun telinga Clara. “Jika kamu merasakan kesak
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Abraham tetap dipenuhi semangat baru. Matahari pagi menyinari halaman luas, membelai kebun kecil tempat Kaisar biasa bermain. Burung-burung berkicau riang seolah turut merayakan kebahagiaan keluarga itu.Sebastian duduk di teras bersama Maxime, sambil menyeruput kopi hangat. Kaisar berlari-lari kecil di halaman, diawasi oleh Clara dan Lucia yang duduk di ayunan."Kaisar benar-benar menjadi pusat dunia kita sekarang," ujar Maxime, matanya tidak pernah lepas dari cucu buyut kecilnya itu.Sebastian tersenyum bangga. "Dia anugerah terbesar kami, Kek. Kami ingin membesarkannya dengan nilai-nilai yang sudah Kakek ajarkan."Maxime mengangguk pelan. Ia tahu, Sebastian bukan hanya berkata-kata. Ia melihat sendiri bagaimana putranya itu kini menjadi sosok pemimpin keluarga yang kuat namun penuh kasih."Kau tahu, Sebastian," kata Maxime setelah beberapa saat hening. "Aku sempat khawatir, ketika dulu semua terasa begitu kacau... Aku takut keluarga ini akan
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj