Clara telah dipindahkan ke ruang rawat inap VVIP setelah menjalani perawatan intensif di unit gawat darurat. Ruang tersebut memberikan kenyamanan maksimal dengan fasilitas terbaik yang dirancang untuk mempercepat proses pemulihan pasien.Di sisi tempat tidur, Sebastian dengan setia menemani Clara, memastikan bahwa setiap kebutuhannya terpenuhi. Wajahnya memancarkan kekhawatiran yang mendalam, namun ia berusaha sebaik mungkin demi memberikan dukungan moral kepada Clara. Semua itu dia lakukan demi calon bayinya.Setiap beberapa menit, ia mengecek suhu ruangan dan selimut Clara, memastikan semuanya dalam kondisi yang ideal. Dalam keheningan yang penuh pengharapan, Sebastian terus berada di sisinya, membuktikan betapa besar kasih sayangnya.“Tuan tidak pulang?” tanya Clara. Dia melihat jarum pendek yang menunjuk pada angka 2.Kening Sebastian mengkerut. “Kamu ngusir aku?”Clara terkesiap, seketika menggeleng cepat. “Bukan begitu, tapi besok Anda harus bekerja,” jelas Clara.Sebastian mele
Sebastian terdiam sejenak, matanya menatap kosong ke arah Maxime yang berdiri berseberangan dengannya. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Maxime tentang pernikahan seperti menembus pikirannya, mengguncang ketenangan yang selama ini dia jaga.Suasana di ruang rawat inap yang semula terlihat tenang dengan diriningi suara tawa dan obrolan antara Clara dan kedua orang tuanya mendadak terasa sunyi bagi Sebastian. Dia mencoba merangkai kata untuk menjawab, namun lidahnya terasa kelu.Jantungnya berdegup lebih kencang, seolah-olah memberi isyarat bahwa ini adalah momen yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Maxime, dengan tatapan penuh harap, menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah arah hubungan mereka.Sementara Sania dan Leonard sama-sama menatap Sebastain dengan memberikan sebuah kode berubah kedipan mata agar puteranya itu memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan oleh Maxime Abraham.Suasana menjadi menegangkan ketika Sebastian tak kunjung memberikan jawaban. Keh
Bianca terbatuk-batuk hebat, nafasnya tercekat dan sesak di tenggorokannya akibat cengkeraman kuat tangan Sebastian yang mengikat lehernya dengan penuh amarah. Setiap kali dia berusaha menarik napas, seakan-akan udara di sekitarnya menghilang, hanya ada tekanan yang semakin menyesakkan. Rasa panik mulai menyelimuti tubuhnya, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Sebastian, yang berdiri di hadapannya, tampak sangat murka, wajahnya merah padam dan matanya berkilat dengan kebencian yang mendalam. Ini adalah puncak dari kemarahannya yang dia pendam, dan Bianca tahu bahwa saat ini dia berada di titik terburuk dalam hidupnya. Tidak ada kata yang bisa diucapkan, hanya keheningan yang berat antara mereka. Sebuah ketegangan yang terasa semakin menebal di udara."Ba-bastian, lepaskan!" Bianca memohon dengan susah payah. Wajahnya mulai memerah karena kesulitan mendapatkan udara. Pelayan yang melihat adegan ini sangat panik, namun mereka bisa apa? Setidaknya mereka tahu siapa Sebastian. Siapa pu
Bianca terdiam, tubuhnya kaku seperti patung. Tatapannya kosong, seolah-olah terhalang oleh kabut tebal yang mengaburkan penglihatannya. Bahkan, wajah Sebastian yang berdiri begitu dekat dengannya tampak samar, tidak bisa ia tangkap dengan jelas.Tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena rasa takut yang mencengkeram, tetapi juga karena kekecewaan yang menyayat hati. Bianca merasa seolah-olah dunianya runtuh, meninggalkan dirinya terjebak dalam jurang ketidakpastian yang mencekam.“Apa kamu bilang? Hamil?”Bianca kembali mengulangi pertanyaan Sebastian.Dengan sudut bibir yang terangkat ke atas Sebastian menjawab, “Aku rasa kamu tidak tuli.”Tubuh wantita itu kembali di hempaskan, kali dengan sangat kuat sehingga wajah Bianca nyaris menyentuh lantai.“Ingat ini baik-baik, Bianca!” Terakhir kalinya, Sebastian menatap Bianca dengan jari telunjuk yang teracung ke arah wanita itu.“Tuan…” Ramon memanggil dan itu adalah sebuah peringatan bahwa waktu mereka telah habis. Detik berikutnya, S
Bianca tercekat dan segera menatap ke arah sosok itu, dan seketika bernapas lega ketika melihatnya."Dareen? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Bianca.Dareen melihat ke arah pintu sesaat kemudian meletakkan jemarinya pada bibir."Ikut aku!" kata Dareen.Langkah Bianca sedikit menyeret mengikuti Dareen. Entah ke mana pria ini akan membawanya pergi. Bianca merupakan kerabat jauh dari keluarga Abraham. Hubungan kekeluargaan inilah yang menjadi alasan mengapa Bianca sudah lama mengenal Dareen."Dareen kita mau ke mana?" tanya Clara."Diamlah, kita harus bicara," ucap Dareen.Bianca hanya menurut ketika Dareen tiba-tiba menarik lengannya dan membawanya menuju suatu tempat tanpa memberikan penjelasan. Meskipun bingung, Bianca tidak mengajukan pertanyaan dan memilih mengikuti langkah Dareen dengan diam.Setelah beberapa saat melewati lorong-lorong rumah sakit, mereka akhirnya tiba di rooftop. Udara di atas terasa sejuk, disertai pemandangan langit yang mulai memerah karena senja. Di sana
"Saya dengar Nona mangandung, saya khawatir karena lantai ini sangat keras," kata Andrew."Tuan Andrew, ini justru tidak masuk akal. Saya baik-baik saja. Sekarang berdirilah," titah Clara lembut.Andrew segera menjalankan perintah Clara, dia bangkit lantas memposisikan diri di dekat Clara, dia mengulurkan lengannya yang membuat Sebastian melotot.“Apa yang kamu lakukan, Andrew?” hardik Sebastian. Dia menepis tangan Andrew yang hendak menyentuh Clara.Andrew menatap Sebastian tanpa rasa bersalah. “Saya ingin membantu Nona, Tuan,” jawab Andrew.“Berani menyentuh, kupatahkan tanganmu supaya kamu tidak bisa memasak!” Setelah mengatakan itu, Sebastian menuntun Clara menuju pintu utama.“Dia sangat pencemburu,” gumam Andrew sembari menatap punggung majikannya itu.Keduanya memasuki pintu utama yang segera dikawal ketat oleh pelayan. Mereka bertindak seolah-olah Clara adalah wanita yang rapuh yang perlu dijaga.Saat mencapai tangga, Sebastian berhenti sejenak, menoleh ke arah Clara yang tamp
Pertanyaan itu seketika menyadarkan Clara dari lamunannya tentang Sebastian. Tatapannya yang semula terpaku pada pria itu kini beralih dengan gugup. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sempat melayang entah ke mana.Dengan cepat, Clara mengalihkan perhatiannya dari Sebastian. Dia melangkah sedikit mundur, menatap gaun yang masih tergantung rapi, lalu kembali menoleh ke arah pria yang kini berdiri tegap di depannya. Ada sesuatu dalam sorot mata Sebastian yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa bisa menahan rasa ingin tahunya lebih lama, Clara akhirnya bertanya, "Memangnya ada acara apa? Mengapa saya harus memakai gaun?"Suaranya terdengar ragu-ragu, namun cukup jelas untuk menunjukkan kebingungannya. Hatinya mulai dipenuhi berbagai spekulasi. Apakah ada perayaan penting yang dia lupakan? Ataukah ini adalah kejutan yang telah Sebastian siapkan untuknya?Dia menunggu jawaban dengan perasaan berdebar, sementara Sebastian hanya tersenyum tipis, seol
Clara tertegun beberapa saat, membiarkan matanya menjelajahi pemandangan yang terbentang di hadapannya. Tatapan takjub sekaligus heran begitu jelas terpancar dari sorot matanya.Udara malam yang sejuk terasa membelai kulitnya, sementara kelap-kelip cahaya lilin dan lampu-lampu kecil yang tergantung di dahan pepohonan menciptakan suasana yang begitu hangat dan menenangkan.Sebastian telah menyulap taman dekat kolam menjadi sebuah arena makan malam romantis yang begitu indah. Meja bundar dengan taplak putih bersih berdiri di tengah, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar merah dan lilin-lilin kecil yang menyala lembut.Kursi-kursi elegan telah disiapkan, dan di atas meja, dua piring porselen dengan peralatan makan berkilauan tersusun dengan rapi, seolah menunggu pemiliknya untuk menikmati hidangan istimewa.Kolam di dekatnya memantulkan cahaya dari lampu-lampu gantung, menciptakan bayangan yang berkilauan di permukaan air yang tenang. Aroma lembut dari bunga mawar yang bermekaran di sekit
Bab 114Clara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Bianca. Ancaman itu masih terasa jelas di pikirannya, membuat dadanya terasa sesak. Di luar, angin malam berhembus pelan, menggetarkan tirai jendela yang terbuka sebagian. Namun, di dalam kamarnya, keheningan justru terasa semakin menyesakkan.Ia menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki mendekat. Sebastian muncul dengan wajah serius, membawa segelas air untuknya. "Minumlah," katanya sambil menyodorkan gelas itu.Clara menerima gelas itu dengan tangan gemetar. "Sebastian, aku takut. Bianca tidak akan berhenti. Dia tahu terlalu banyak tentang kita, tentang William, bahkan tentang anak kita."Sebastian menghela napas dalam-dalam, duduk di sebelah Clara. "Aku sudah mengirim orang-orangku untuk menelusuri siapa yang membantu Bianca. Dia tidak mungkin melakukan ini sendirian. Akan kupastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi."Clara menatap Sebastian dengan mata penuh kecem
Bab 112Clara merasakan beban yang semakin berat setelah ancaman Bianca. Setiap kata dalam pesan itu menekan jantungnya, membuatnya merasa terperangkap. Tetapi saat ia menatap Sebastian, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang memberi harapan. Sebastian selalu menjadi pelindungnya, tetapi kali ini, ia bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Sebagian besar waktu mereka bersama telah diwarnai oleh kebahagiaan dan cinta, namun di balik itu, ada bayang-bayang yang semakin gelap yang mengancam semuanya.Clara menarik napas panjang dan memutuskan untuk memberi tahu Sebastian. "Sebastian, Bianca... dia tahu segalanya. Tentang aku, tentang William. Bahkan tentang foto-foto itu. Dia mengancamku, dan jika foto-foto itu sampai ke keluargamu, terutama ke ibu dan ayahmu, semuanya bisa berakhir buruk."Sebastian menatap Clara dengan serius, matanya menyempit seiring kecemasan yang muncul. "Kamu yakin? Apa yang ingin dia capai dengan ini?"Clara mengangguk dengan tegas, namun matanya terbelalak saat
Bab 111Clara sedang duduk di ruang tamu, memegang secangkir teh yang hampir tak terjamah, matanya kosong menatap keluar jendela. Pikiran dan perasaannya berputar-putar, tertambat pada situasi yang semakin rumit. Ia mencoba untuk fokus pada perbincangannya bersama Sebastian, namun bayang-bayang William yang baru saja sadar terus menghantui pikirannya.Saat ia hendak meneguk tehnya, tiba-tiba ponselnya berdering, suara itu cukup keras untuk mengagetkannya. Clara menatap layar ponselnya dengan ragu, merasa ada yang tak beres. Nama pengirim yang tertera adalah sebuah nomor tak dikenal, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.Dengan hati-hati, Clara membuka pesan yang masuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat foto-foto yang dilampirkan di dalam pesan itu. Foto pertama menunjukkan dirinya sedang berdiri di dekat ranjang rumah sakit William, saat ia datang untuk menjenguknya di ruang ICU beberapa hari yang lalu. Foto itu diambil dengan sangat jelas, memperlihatkan posisi dan posis
Bab 110Clara menatap ponselnya untuk beberapa detik, matanya tertuju pada pesan Sebastian yang masih mengalihkan perhatiannya. "Aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, tentang masa depan kita dan anak kita." Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, semakin menambah berat beban yang sudah ia rasakan.Dengan cepat, ia menekan tombol untuk membalas pesan tersebut, meski hatinya penuh keraguan. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera mengambil keputusan. Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengetikkan pesan balasan:Clara: "Aku akan segera menemuimu. Aku sedang dalam perjalanan, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Untuk sementara, tolong jaga William. Aku akan menghubungimu lagi."Clara menatap pesan itu sebelum menekannya untuk mengirimkannya. Ketika pesan terkirim, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia telah mengatur segala sesuatunya dengan hati-hati. Meskipun demikian, ia tahu bahwa keputusannya untuk tidak segera menemui William a
*Bab 109*Clara duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap lantai, pikirannya berkecamuk. Keputusan-keputusan yang ia buat selama beberapa bulan terakhir seakan-akan menjeratnya dalam jaring yang tak bisa ia lepaskan. Perasaannya terombang-ambing antara rasa takut dan penyesalan. Ia baru saja menerima kabar yang mengejutkan dari rumah sakit, berita yang tak pernah ia duga sebelumnya: William, suaminya yang telah lama koma setelah kecelakaan, akhirnya sadar.Namun, hal itu bukan satu-satunya beban yang kini ia tanggung. Pikirannya melayang kembali pada malam-malam gelap yang telah mengubah hidupnya. Kontrak yang ia buat dengan bosnya, Sebastian, bukan hanya tentang pekerjaan—tetapi juga tentang kehamilan yang kini ada dalam dirinya. Clara mengandung anak Sebastian. Dan itu membuat hatinya semakin berat, seolah ia terjebak dalam dua dunia yang saling bertentangan.Sebastian, pria yang telah lama merebut hatinya meski ia tak pernah menginginkannya, kini kembali had
Bab 108Rencana Bianca semakin matang. Setiap langkah yang ia ambil kini semakin mendekatkan pada tujuan utamanya: menjebak Sebastian dan membuat Clara merasa terpojok. Bianca tahu betul bahwa permainan ini tidak hanya tentang membangun keraguan dalam hati Sebastian, tapi juga menghancurkan rasa percaya Clara. Begitu Clara mulai merasakan kesal dan terasing, Sebastian akan menjadi semakin rentan terhadap pengaruhnya.Pada pagi hari yang cerah, Bianca duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada peta strategi yang sudah ia buat. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Adrian akan segera menghubungi Sebastian, memastikan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Tapi ada satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk mempercepat proses ini.Ia memanggil Reza ke kantornya. Pria itu masuk tanpa suara, mengenakan jas hitam yang sama seperti biasa. Setelah duduk di depan meja Bianca, Reza menunggu dengan sabar."Ada tugas baru," kata Bianca dengan suara datar, namun tajam. "Kita perlu menambah tekana
Bab 108Bianca duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Setelah menerima pesan dari Adrian, hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Kabar itu datang begitu tiba-tiba dan langsung mengguncang dunia yang telah ia rencanakan dengan sempurna. Ternyata, Clara tidak hanya memiliki masa lalu dengan Adrian, tetapi juga... sudah menikah.William, suami Clara, sekarang berada di rumah sakit, kata Adrian. Kabar itu membakar pikiran Bianca. Ia tidak pernah menyangka hal ini, tetapi saat ia berpikir lebih dalam, ide-ide licik mulai muncul begitu saja di benaknya.Bianca menggenggam ponselnya lebih erat, merenung. William... suami Clara, yang sekarang berada dalam keadaan terluka dan tak berdaya di rumah sakit. Bianca bisa membayangkan semua hal yang bisa ia lakukan dengan informasi ini. Suami yang terluka, hubungan yang rapuh, dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Dia tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan hubungan antara Clara dan Sebastian, ia h
Bab 107Hari-hari berlalu dengan cepat, namun rasa cemas yang menghantui Clara semakin sulit untuk ditutupi. Setiap kali ia berpapasan dengan Sebastian, ia merasa ada jurang tak terlihat yang mulai menggerogoti hubungan mereka. Meskipun Sebastian berusaha untuk terlihat perhatian dan penuh kasih sayang, ada ketegangan yang jelas di antara mereka. Clara bisa merasakannya—sesuatu yang tak terucapkan, tapi terasa begitu nyata.Di sisi lain, Bianca semakin merasa puas dengan hasil rencananya. Adrian melaporkan setiap langkah yang ia ambil, memastikan bahwa keberadaan mereka di dekat Clara tidak bisa diabaikan. Setiap kali Sebastian melihat Clara bersama Adrian, rasa curiga mulai tumbuh, meski ia berusaha menekan perasaan itu. Bianca tahu, itu hanya masalah waktu sebelum Sebastian mulai mempertanyakan segalanya.Suatu malam, saat Clara dan Sebastian duduk bersama di ruang makan, suasana semakin tegang. Makanan yang biasanya dinikmati dengan kehangatan kini terasa hambar. Sebastian menatap
Bab 106Keesokan harinya, suasana mansion keluarga Sebastian tampak tenang. Clara masih menjalani hari-harinya dengan kebahagiaan yang semakin terasa utuh bersama Sebastian. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, menikmati keindahan taman belakang, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar rumah. Namun, meski segala sesuatunya terlihat sempurna, ada sesuatu yang tak terlihat, yang perlahan mulai meresap ke dalam hubungan mereka.Pada saat yang sama, Adrian mulai melaksanakan rencananya dengan hati-hati. Ia mengamati Clara dari kejauhan, mengikuti setiap langkahnya, dan mencatat segala hal yang bisa dimanfaatkan untuk meragukan Clara di mata Sebastian. Setiap gerak-geriknya, setiap tempat yang sering dikunjungi Clara, telah dicatat dengan cermat dalam amplop yang Bianca berikan padanya.Pada suatu siang yang cerah, saat Clara sedang berjalan menuju kedai kopi favoritnya, Adrian muncul dengan tiba-tiba. Dengan pakaian kasual dan senyum penuh kepalsuan, ia menghampiri Clara yang se