Kalung berlian dengan permata zamrud berwarna merah menyapa indera penglihatan Clara. Sesaat dia merasa terlena. Berlian ini sangat indah.Sebastian melirik ke samping. Sudut bibirnya terangkat ke atas. Kebahagiaan terpancar di wajahnya ketika melihat ekspresi Clara."Permata Zamrud berwarna merah itu sesuai dengan warna gaunmu," ucap Sebastian."Terima kasih, Tuan. Apa saya boleh memakainya?" tanya Clara."Tentu saja, biar aku yang pakaian."Mendengar itu, Clara tidak keberatan.Dia memposisikan dirinya memunggungi Sebastian. Dan membiarkan pria itu memasangkan kalung di lehernya. Clara menatap permata merah yang menggantung di lehernya."Ini benar-benar sangat indah," gumam Clara."Selesai.""Terima kasih, Tuan."Sepanjang perjalanan, keheningan menemai keduanya.Saat hampir sampai. Sebastian baru membuka suara."Clara, dengarkan aku baik-baik. Saat keluargaku bertanya tentang kehidupan pribadimu, kamu tahu 'kan apa yang harus kamu katakan?" tanya Sebastian."Ya, Tuan."Clara tahu, S
Sebastian menatap Clara. Dia tahu kekhawatiran yang dirasakan wanita itu. Keluarga Clara berasal dari kalangan menengah. Jelas akan menjadi masalah bagi Maxime yang selalu memegang prinsip kesetaraan kasta. Sebastian meraih jemari Clara di bawah meja kemudian menggenggamnya.Clara menoleh ke arah Sebastian. Genggaman tangan pria itu seolah memberikan kekuatan, sehingga Clara kembali menguasai dirinya yang sempat goyah. Setelah lama terdiam, Clara mengulas senyum. Senyuman yang begitu hangat."Kedua orang tua saya hanyalah orang biasa, Tuan. Mereka tinggal di pedesaan dan mengelola sebuah perkebunan," jawab Clara.Sebastian meneliti wajah kakeknya. Tanpa diduga pria itu justru terlihat antusias."Perkebunan?" tanya Maxime yang tampak tertarik dengan topik pembicaraan ini"Ya, Tuan. Mereka mengelola bisnis perkebunan buah apel yang nantinya hasil panen akan dikirim ke luar negeri," jelas Clara."Ini sangat menarik, lain kali aku akan mengunjungi mereka," ucap Maxime."Tentu saja, Tuan."
Clara terdiam untuk beberapa saat. Dia segera teringat permainan panasnya bersama Sebastian. Mana mungkin Sebastian menyukai sesama jenis sedangkan permainannya bergitu liar di atas ranjang.Clara rasa, tuduhan Dareen tidak berdasar. Soal Ramon, pria itu memang sangat dekat dengan Sebastian. Itu karena pria itu telah lama menjadi kaki tangan Sebastian. Bukan karena memiliki hubungan.“Tuan Dareen, sepertinya Anda salah menduga,” ujar Clara mencoba mematahkan dugaan Dareen tentang Sebastian.“Mana mungkin, aku sudah mengenal dia sangat lama.” Dareen bersikeras dengan tuduhannya.Clara menghela napas. Tidak ada gunanya meladeni orang seperti Dareen. Clara yakin, pria ini hanya ingin memecah dirinya dan Sebastian.Di ruang perjamuan, Sebastian menyadari sesuatu ketika tidak melihat Dareen berada dikursinya. Dia bukannya tidak tahu bila Dareen sejak tadi memperhatikan Clara.Untuk seorang yang gemar bermain wanita, jelas akan merasa tertarik ketika melihat Clara.Terlebih malam ini Clara
Clara menatap wanita itu. Dia sangat cantik. tubuhnya seksi, dia juga tinggi. Penampilannya sangat sempurna dengan aksesoris mewah yang melekat di tubuhnya. Lalu Clara menatap Sebastian. Ekspresinya terlihat dingin dan datar."Kamu sadar apa yang kamu katakan? Aku tahu kamu sejak tadi berada di ruang perjamuan. Dan kamu pasti mendengar semua percakapan antara kami 'kan? Jadi jangan berpura-pura tuli."Setelah mengatakan itu, Sebastian membalik diri. Namun, suara wanita itu kembali terdengar."Tunggu, Bastian. Apa kamu sungguh akan menikah? Apa kamu lupa dengan janji kita dulu?" tanya wanita itu.Langkah Sebastian terhenti. Dia terdiam untuk beberapa saat. Selanjutnya dia membalik diri, dia menatap wanita itu dengan intens."Janji?" Kemudian Sebastian tertawa. Ekspresi pria ini berubah dalam waktu yang sangat singkat. "Bianca, aku hanya perlu mengingatkanmu bahwa kamu yang telah melanggar janji itu dengan pergi tanpa pamit," ucap Sebastian."Tapi aku punya alasan," sahut wanita itu cep
"Ke mana dia akan pergi?" Clara bertanya-tanya dalam hati. Dia terus memperhatikan langkah Sebastian yang begitu tenang, seolah tidak ada sesuatu yang mengganggunya."Ini sudah malam, seharusnya beliau tidur,” gumam Clara lagi. Dia ingin mengabaikannya. Namun, ini justru mengganggunya. Clara tidak bisa membiarkan rasa penasaran ini membunuhnya.Pada akhirnya Clara memutuskan untuk turun ke bawah. Kaki telanjangnya menapaki satu-persatu anak tangga. Tak dia pedulikan rasa dingin yang menusuk telapak kakinya. Nalurinya begitu tajam menginginkan dirinya keluar rumah.Clara melewati ruang tamu, beberapa lampu telah dimatikan. Ketika dia mencapai pintu utama, dia segera membukanya, namun, malah dikunci. Clara menghela samar. Mencoba untuk tidak bersuara.Saat malam begini rumah ini terlihat menakutkan, terlebih dalam kondisi sepi seperti ini. Clara segera menuju pintu samping yang terhubung dengan taman. Dan Clara begitu senang ketika mendapati pintu ini tidak dikunci.Entah ini kebetulan
Clara menatap Sebastian dengan tatapan bingung sekaligus takut. Bagaimana dirinya harus menjawab. Apa dirinya begitu ketara? Padahal tadi Clara sudah mencoba untuk berjalan seperti biasa. Namun sepertinya Sebastian sangat teliti.“Saya? Memangnya kenapa, Tuan?” tanya Clara balik. Dia mencoba menyangkal ucapan Sebastian.Sebastian melihat ke bawah. “Cara berjalanmu terlihat aneh!”Damn!Clara memejamkan mata ketika mendengar ucapan Sebastian. Sudah Clara duga, pria ini sangat teliti dalam menilai suatu hal. Pantas saja selama ini Sebastian selalu sukses dalam setiap pekerjaannya. Karena sudah ketahuan, mau tidak mau Clara harus mencari alasan.“Kaki saya sedikit sakit karena terkilir tadi,” jawab Clara. Dia tidahk percaya bahwa dirinya semakin mahir membual. Sebastian menarik sedikit sudut bibirnya. “Kalau kamu sakit, tidak perlu datang ke kantor,” kata Sebastian.“Tidak, Tuan. Ini hanya sakit biasa, tidak perlu khawatir,” balas Clara."Hari ini kita akan kedatangan tamu penting di P
Clara terdiam untuk beberapa saat, manik indahnya mengedar ke sekitar. Beruntung tidak ada siapa pun. Bisa-bisanya Sebastian bicara seperti itu dengan nada yang keras. Padahal lelaki itu sendiri yang berkata bahwa saat di kantor harus bersikap professional. Sekarang pria itu sendiri yang justru membahas masalah pribadi.“Kenapa masih di situ? Kamu tidak mau pulang?”“Ya, Tuan.”Clara menghela napas panjang. Sebisa mungkin bersabar ketika menghadapi Sebastian. Walau bagaimanapun, pria itu telah berjasa besar dalam melunasi biaya rumah sakit William. Selain itu, Sebastian juga sudah memperlakukan dirinya dengan baik akhir-akhir ini. Ya meskipun kadang sifat menyebalkannya itu kambuh, seperti sekarang ini.Padahal Clara ingin pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kakinya. Clara tidak tahu bahwa tindakannya malam itu berdampak besar terhadap dirinya. Apa ini yang dinamakan karma karena diam-diam mengikuti Sebastian?Clara menggeleng cepat, membuang jauh-jauh pikiran konyolnya. Apa yang
Teriakan Clara mengejutkan semua yang ada dalam ruangan termasuk Sebastian yang sedang duduk di sofa. Pria itu seketika melihat ke arah Clara dengan rasa khawatir yang tersembunyi di balik ekspresinya yang datar."Apa ini sakit?" tanya Dokter Daniel."Menurut Dokter?" sahut Clara yang terlihat kesal.Dokter Daniel kembali fokus dengan kaki Clara. Serangkaian pemeriksaan dilakukan.Dokter Daniel memeriksa secara keseluruhan hingga dia menemukan sesuatu."Ada duri kecil yang tertanam di dalam kakinya, jika tidak diambil maka bisa menyebabkan infeksi." Dokter Daniel memaparkan hasil diagnosa terhadap pemeriksaan yang dilakukan pada kedua telapak kaki Clara.Sebastian menutup majalah di tangan kemudian mengalihkan perhatiannya pada Dokter tampan itu.“Lalu tindakan apa yang harus dilakukan?” tanya Sebastian.“Satu-satunya cara adalah operasi,” jawab Dokter Daniel yang membuat Clara seketika melotot."Lakukan yang terbaik!" sahut Sebastian.“Tunggu,” sela Clara yang seketika menarik perhat
Di mansion, kehidupan terus berjalan dengan suasana yang semakin hangat. Hari-hari Sania dihabiskan bersama Kaisar dan Clara, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara mereka. Sebastian, yang dahulu kaku dan menjaga jarak, mulai menunjukkan sisi lembutnya. Ia tak lagi canggung menyaksikan interaksi ibunya dengan Clara dan putranya. Suatu sore, Sania membawa Kaisar ke taman kecil di belakang mansion. Clara menemaninya, membawa selimut kecil untuk alas duduk mereka. Kaisar yang mulai aktif menggerakkan tangan dan kakinya tampak begitu ceria dalam dekapan neneknya. "Dia semakin aktif setiap hari," kata Clara sambil tersenyum. Sania mengusap kepala cucunya dengan lembut. "Ya, dia tumbuh dengan sangat baik. Aku bahagia bisa melihatnya berkembang seperti ini." Clara menatap Sania dengan penuh penghargaan. "Mom, aku ingin berterima kasih. Kehadiran Mom benar-benar membuat keluarga ini lebih lengkap. Aku bisa melihat Sebastian juga mulai menerima Mom sepenuhnya." Sania menatap Clara
Hari-hari berlalu dengan penuh kehangatan di mansion. Sania semakin sering datang, selalu membawa berbagai perlengkapan bayi atau hadiah kecil untuk Kaisar. Hubungan antara dirinya dan Clara pun semakin akrab.Sebastian yang awalnya masih menjaga jarak dengan ibunya, perlahan mulai menerima kehadiran Sania dalam kehidupan mereka. Ia melihat betapa ibunya benar-benar berusaha menebus kesalahan di masa lalu.Suatu sore, saat Sebastian baru saja pulang dari kantor, ia mendapati pemandangan yang menghangatkan hati. Sania tengah duduk di ruang keluarga, memangku Kaisar yang sudah tertidur pulas. Di sampingnya, Clara tersenyum sambil menyesap teh hangat.Sebastian berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. "Sepertinya Kaisar semakin dekat dengan Mom," ujarnya pelan.Sania mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Tentu saja. Dia adalah cucuku, dan aku ingin berada di sisinya sebanyak mungkin."Sebastian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih, Mom."Sania menatap putranya de
Dareen mengernyitkan dahi, merasa tidak nyaman dengan nada tegas pria di hadapannya. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan nada kesal.Pria itu tetap tenang, tatapannya dingin dan profesional. "Reservasi Anda telah dibatalkan, Tuan. Kami menerima perintah langsung dari pemilik hotel. Anda memiliki waktu satu jam untuk meninggalkan tempat ini."Dareen terkekeh sinis. "Batal? Aku sudah membayar untuk satu bulan penuh!""Benar, namun pemilik hotel memiliki kebijakan untuk tidak menerima tamu dengan riwayat... mencurigakan," jawab pria itu tanpa ekspresi.Dareen semakin bingung. "Riwayat mencurigakan? Omong kosong macam apa ini?"Pria itu tidak menjawab, hanya menyerahkan sebuah amplop berisi dokumen. Dareen merobeknya dengan kasar dan membaca isi surat di dalamnya. Matanya membelalak saat melihat sebuah nama yang tidak asing baginya—Abraham."Brengsek..." gumamnya, meremas kertas di tangannya. Jadi ini ulah Abraham? Dia bahkan tidak menyangka pria tua itu masih memiliki pengaruh sebesar ini
Tiada hari tanpa kehadiran Sania. Pagi-pagi sekali wanita itu datang dengan beberapa tas belanja di tangan. Kedatangan wanita itu jelas membuat heboh penghuni mansion. Para pelayan tengah sibuk dengan pekerjaan dapur, perhatian mereka teralihkan oleh perhatian Sania. Penasaran lantaran kedatangan Nyonya besar mereka sepagi ini. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak mereka. "Apa yang membuat Nyonya Besar datang sepagi ini?" "Ada urusan apa?" Suara-suara bisikan itu menggema di antara suara dentingan peralatan dapur. Para pelayan yang belum terbiasa dengan kedatangan Sania jelas merasa heran. Seperti yang mereka tahu, tuannya sempat tidak menghendaki kedatangan kedua orang tuanya lantaran sempat berselisih paham dalam kurun waktu yang cukup lama.Namun, keberadaan Clara mampu mencairkan hubungan mereka yang sempat memanas. Kedatangan Clara dalam keluarga ini memang benar-benar membawa keberuntungan. "Semua berkat Nyonya Clara. Hubungan Tuan dan kedua orang tuanya jadi mem
Sejak hari itu, hubungan Clara dan kedua orang tua Sebastian mulai membaik. Sania kembali datang, kali ini dia seorang diri karena Leonard tengah disibukkan oleh urusan Abraham Group. Pria itu kembali menjadi pemimpin perusahaan tersebut dan kembali membangun kekuatan dari nol. "Nyonya Sania di sini, Nyonya." Clara yang tengah bersantai dengan Kaisar sembari berjemur segera menatap pelayan yang memberi laporan. Wanita cantik itu menyunggingkan senyumnya. Tidak terkejut, lantaran Sania sudah berkata akan kembali esok hari. Rupanya wanita itu menepati ucapannya. Clara lantas bangun, bersiap untuk menyambut kedatangan sang ibu mertua. Kaisar yang kini lelap dalam kereta bayi itu didorong masuk. Sania berdiri dari duduknya ketika mendengar suara ketukan sepatu yang mulai menggema, ketika dia menoleh, wajah antusiasnya segera terlihat. "Cucuku!" Sania melangkah cepat, sedikit berlari menghampiri Kaisar. Dia bahkan tidak menyapa Clara karena terlalu bersemangat terhadap cucunya. Bayi
Clara mendelik, pupil matanya membesar. Dari pada mendengarkan ucapannya, sepertinya suaminya ini tetap bersikeras dengan keinginannya untuk tidak memaafkan kedua orang tuanya. Sementara Clara memiliki pemikiran yang berbeda dengan pria itu. Bagi Clara, berhubungan baik dengan kedua orang tua adalah hal yang penting. Sania yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah sendu. Sementara Leonard seperti sebelumnya, terlihat dingin dan datar seolah apa yang dikatakan oleh Sebastian adalah hal yang biasa. Kenyataannya, dia memang mulai terbiasa dengan sikap puteranya. Sebastian memperhatikan perubahan wajah Sania. Sedikit iba. Namun, dia masih tidak bisa melupakan perlakuannya terhadap Clara. Bisa jadi, hal itu akan terulang kembali suatu hari nanti. "Kalian pergi saja, acara sudah selesai. Hadiahnya juga sudah kami terima." Kali ini Sebastian bicara dengan nada sedikit ringan. Kemarahan yang sempat menghiasi wajahnya sedikit mereda. Clara yang sejak tadi mengamati, kini mendekati sua
Clara terpejam, kala sebuah sentuhan dia rasakan di bibirnya. Clara dapat merasakan hawa panas yang mengalir dari sentuhan bibir Sebastian. Deru napasnya yang begitu memburu kuat. Kemudian, pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Membuat tubuh Clara seketika menegang. Clara refleks menekan kukunnya di pundak Sebastian, menekannya dengan kencang. Setiap pagutan terasa begitu liar, indera perasa Sebastian menjelajah memasuki rongga mulut istrinya. Clara merasakan mulutnya penuh. Dalam hatinya ingin sekali menolak, namun tubuhnya bereaksi berbeda. Bukan hanya sekedar menerima, melainkan mendorongnya untuk melakukan lebih. Sebelum Clara akhirnya benar-benar hanyut dalam permainan panas dan penuh gairah, Clara segera tersadar. Dia menarik diri, dan melepaskan pagutannya. "Sayang..." Dada bidang suaminya itu didorong pelan. Dan itu sempat membuat Sebastian kesal. "Kamu jangan coba menahanku, kamu tahu aku sudah lama berpuasa..." Clara tahu itu bohong. Buktinya saat hamil besar, s
Clara menoleh, matanya yang terang menyipit kala menangkap siluet seseorang yang baru saja menghilang di balik dinding ruangan. Sebelah sudut bibirnya ditarik sedikit. Dia berusaha untuk mengabaikan semua itu, meski dia belum benar-benar bisa melakukannya. Dia mencoba fokus pada puteranya yang kini berada dalam gendongan ibu mertua. Clara ingin sedikit tinggal lebih lama, menikmati momen yang mungkin saja tidak akan kembali terulang. Namun, semakin lama dia tinggal, ada perasaan yang mengusiknya. Dia tidak bisa mengabaikan Sebastian begitu saja. Selanjutnya, Clara beranjak dari kursinya. Kaisar masih terlelap, sementara kedua mertuanya masih ingin Kaisar bersama mereka. Jadi tidak masalah bila Clara meninggalkan mereka. Clara melangkah ke arah di mana siluet tubuh Sebastian menghilang. Tujuannya sudah jelas, Clara tahu ke mana perginya suaminya itu. Ketika sudah dekat, Clara melihat pintu Paviliun tertutup, sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Meski begitu Clara yakin,
"Clara!" Clara menatap ke arah Sebastian sekilas. Kemudian melangkah mendekati Leonard dan Sania dan berhenti tepat di hadapan mereka. "Apa kalian ingin melihat bayi kami?" Clara memiringkan sedikit tubuhnya, supaya kedua mertuanya dapat melihat bayi yang tertidur lelap, sembari bersembunyi di ketiak ibunya. Sania menatap Leonard berkaca-kaca. Ketika Sang suami mengangguk, dia segera kembali fokus pada wanita di hadapannya. "Apa aku boleh menggendongnya?" Air mata telah menggenang di sudut mata Sania. "Tentu saja," kata Clara dengan senyum ramah. Air mata Sania menetes. Akhirnya dia mendapatkan keinginannya. Memeluk dan menggendong sang cucu. Kaisar menggeliat ketika dipindahkan dalam gendongan Sania, dan itu membuat Sania merasa gemas. Dengan berhati-hati dia mendekap bayi mungil itu supaya tidak terbangun. Dan sesuai dengan keinginannya, Kaisar kembali tertidur seperti semula. Seolah tidak terganggu dengan dunia sekitar. Tangis haru Sania berubah menjadi senyum kebahagiaan.