Clara menatap Sebastian dengan tatapan bingung sekaligus takut. Bagaimana dirinya harus menjawab. Apa dirinya begitu ketara? Padahal tadi Clara sudah mencoba untuk berjalan seperti biasa. Namun sepertinya Sebastian sangat teliti.“Saya? Memangnya kenapa, Tuan?” tanya Clara balik. Dia mencoba menyangkal ucapan Sebastian.Sebastian melihat ke bawah. “Cara berjalanmu terlihat aneh!”Damn!Clara memejamkan mata ketika mendengar ucapan Sebastian. Sudah Clara duga, pria ini sangat teliti dalam menilai suatu hal. Pantas saja selama ini Sebastian selalu sukses dalam setiap pekerjaannya. Karena sudah ketahuan, mau tidak mau Clara harus mencari alasan.“Kaki saya sedikit sakit karena terkilir tadi,” jawab Clara. Dia tidahk percaya bahwa dirinya semakin mahir membual. Sebastian menarik sedikit sudut bibirnya. “Kalau kamu sakit, tidak perlu datang ke kantor,” kata Sebastian.“Tidak, Tuan. Ini hanya sakit biasa, tidak perlu khawatir,” balas Clara."Hari ini kita akan kedatangan tamu penting di P
Clara terdiam untuk beberapa saat, manik indahnya mengedar ke sekitar. Beruntung tidak ada siapa pun. Bisa-bisanya Sebastian bicara seperti itu dengan nada yang keras. Padahal lelaki itu sendiri yang berkata bahwa saat di kantor harus bersikap professional. Sekarang pria itu sendiri yang justru membahas masalah pribadi.“Kenapa masih di situ? Kamu tidak mau pulang?”“Ya, Tuan.”Clara menghela napas panjang. Sebisa mungkin bersabar ketika menghadapi Sebastian. Walau bagaimanapun, pria itu telah berjasa besar dalam melunasi biaya rumah sakit William. Selain itu, Sebastian juga sudah memperlakukan dirinya dengan baik akhir-akhir ini. Ya meskipun kadang sifat menyebalkannya itu kambuh, seperti sekarang ini.Padahal Clara ingin pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kakinya. Clara tidak tahu bahwa tindakannya malam itu berdampak besar terhadap dirinya. Apa ini yang dinamakan karma karena diam-diam mengikuti Sebastian?Clara menggeleng cepat, membuang jauh-jauh pikiran konyolnya. Apa yang
Teriakan Clara mengejutkan semua yang ada dalam ruangan termasuk Sebastian yang sedang duduk di sofa. Pria itu seketika melihat ke arah Clara dengan rasa khawatir yang tersembunyi di balik ekspresinya yang datar."Apa ini sakit?" tanya Dokter Daniel."Menurut Dokter?" sahut Clara yang terlihat kesal.Dokter Daniel kembali fokus dengan kaki Clara. Serangkaian pemeriksaan dilakukan.Dokter Daniel memeriksa secara keseluruhan hingga dia menemukan sesuatu."Ada duri kecil yang tertanam di dalam kakinya, jika tidak diambil maka bisa menyebabkan infeksi." Dokter Daniel memaparkan hasil diagnosa terhadap pemeriksaan yang dilakukan pada kedua telapak kaki Clara.Sebastian menutup majalah di tangan kemudian mengalihkan perhatiannya pada Dokter tampan itu.“Lalu tindakan apa yang harus dilakukan?” tanya Sebastian.“Satu-satunya cara adalah operasi,” jawab Dokter Daniel yang membuat Clara seketika melotot."Lakukan yang terbaik!" sahut Sebastian.“Tunggu,” sela Clara yang seketika menarik perhat
Sebastian segera menegakkan tubuhnya, kemudian berdeham. Gerakan tangannya begitu cepat membenahi jasnya. Sebastian terlihat salah tingkah, namun, pria itu selalu bisa menguasai dirinya dan kembali bersahaja.“Lain kali kalau masuk ketuk pintu dulu!” protes Sebastian.“Maafkan saya, Tuan.” Andrew membungkukkan tubuhnya sejenak. “Kalau begitu akan saya ulangi.”Andrew menatap pelayan di dekatnya dan memberi kode untuk membawa kembali troli makanan ke depan pintu. Namun, Sebastian lebih dulu menyela."Hentikan, bawa kemari makanannya!" titahnya."Baik, Tuan."Ini kedua kalinya Clara dirawat oleh Sebastian. Alih-alih menyuruh pelayan mengurus dirinya, Sebastian justru turun tangan sendiri. Sempat merasa tidak enak hati, namun Clara sendiri juga tidak bisa protes. Semua dilakukan atas keinginan Sebastian, jadi tidak ada salahnya Clara menerimanya. "Setelah ini minum obat lalu beristirahat," tegur Sebastian."Baik, Tuan."Clara belum pernah merasa diperhatikan seperti ini. Ketika diri
Clara seketika tercengang. Langkahnya ternundur beberapa langkah. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Dan mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Clara. Manik indahnya menyusuri setiap bingkai berukuran besar yang menggantung di setiap sudut dinding. Nyaris tidak ada ruang kosong, semua terisi dengan bingkai dengan ukuran yang berbeda-beda.Yang membuat Clara terkejut adalah, dalam bingkai tersebut terdapat foto seorang wanita yang mirip sekali dengan dirinya. Clara menggeleng, tidak! Itu memang dirinya, bukan orang lain.Clara terus memperhatikan setiap bingkai yang tertatata dengan rapi itu. Dilihat dari pose dalam potret tersebut, diambil secara diam-diam. Clara memperhatikan salah satu foto di mana dirinya baru pertama kali bekerja di Abraham Group.Foto itu diambil tiga tahun yang lalu. Itu artinya Sebastian sudah memperhatikan dirinya selama itu. Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa?Dari sekian banya foto di dinding, ada satu bingkai yang berisi foto
Clara berdiri, pandangannya kosong sejenak, seolah terhanyut dalam ingatan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Adegan-adegan lama itu kembali datang, seperti film yang diputar ulang dalam pikirannya.Waktu itu, semuanya terasa begitu nyata, begitu dekat. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan samar yang melayang di udara. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu.Kemudian, matanya bertemu dengan mata Sebastian yang sedang menatapnya, tajam dan penuh arti. Ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Clara merasa seperti dunia ini tiba-tiba berhenti berputar.Semuanya menjadi hening sejenak, seolah waktu tak lagi berjalan. Hati Clara berdebar, dan dia tahu, ada sesuatu yang tak bisa dia hindari. Dia tak bisa terus lari dari kenyataan, dari perasaan yang telah lama terkubur.“Ini tidak mungkin!” Clara merasa ini sangat mustahil. Insting Clara begitu kuat Sebastian adalah teman masa lalunya itu. Teman yang belum sempat dia tanyakan namanya.Sebastian terseny
Sebastian mengangkat Clara dengan lembut dan membawanya menuju sofa yang terletak di ruang tengah. Dengan hati-hati, ia menempatkan Clara di atas sofa tersebut, memastikan agar wanita itu merasa nyaman. Tatapan mereka saling bertemu dalam diam. Mata mereka berbicara lebih dari sekadar kata-kata, menyampaikan perasaan yang mendalam dan penuh makna. Setiap pandangan yang mereka tukar mengandung kerinduan yang tak terucapkan, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya ada keduanya dalam kesunyian yang penuh harapan.Clara merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Sebastian menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ada begitu banyak yang ingin mereka ungkapkan, namun kata-kata terasa tak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hati mereka. Sebuah perasaan yang sudah lama terpendam kini muncul kembali, seakan tak mampu lagi untuk disembunyikan.Sebastian pun merasakan hal yang sama. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Clara, seolah segala kekhawatirannya hilang d
Tatapan Sebastian melebar sempurna. Wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya ini tidak asing. Dirinya sudah pernah bertemu beberapa kali di masa kini. Dan terlalu sering di masalalu. Bahkan bisa dibilang Sebastian sangat bosan melihatnya.Sebastian menatap Bianca dengan sorot mata yang tenang dan tanpa ekspresi, seolah berusaha menyembunyikan isi hatinya. Di tengah keheningan yang melingkupi mereka, tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak terucap.Bianca, yang berdiri di hadapannya, merasakan ada sesuatu yang tak terjangkau dalam tatapan tersebut, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu penjelasan yang mungkin tak pernah datang dengan senyum yang begitu menantang."Ini bukan perusahaanmu, alangkah baiknya kamu mengetuk pintu dulu!" tegur Sebastian dengan nada dingin."Ouh, Maafkan saya, Pak Bastian, mungkin karena saya terlalu bersemangat," ujar Bianca dengan senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Mungkin karena aku merindukan tempat ini," imbunya lag
Bab 112Clara merasakan beban yang semakin berat setelah ancaman Bianca. Setiap kata dalam pesan itu menekan jantungnya, membuatnya merasa terperangkap. Tetapi saat ia menatap Sebastian, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang memberi harapan. Sebastian selalu menjadi pelindungnya, tetapi kali ini, ia bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Sebagian besar waktu mereka bersama telah diwarnai oleh kebahagiaan dan cinta, namun di balik itu, ada bayang-bayang yang semakin gelap yang mengancam semuanya.Clara menarik napas panjang dan memutuskan untuk memberi tahu Sebastian. "Sebastian, Bianca... dia tahu segalanya. Tentang aku, tentang William. Bahkan tentang foto-foto itu. Dia mengancamku, dan jika foto-foto itu sampai ke keluargamu, terutama ke ibu dan ayahmu, semuanya bisa berakhir buruk."Sebastian menatap Clara dengan serius, matanya menyempit seiring kecemasan yang muncul. "Kamu yakin? Apa yang ingin dia capai dengan ini?"Clara mengangguk dengan tegas, namun matanya terbelalak saat
Bab 111Clara sedang duduk di ruang tamu, memegang secangkir teh yang hampir tak terjamah, matanya kosong menatap keluar jendela. Pikiran dan perasaannya berputar-putar, tertambat pada situasi yang semakin rumit. Ia mencoba untuk fokus pada perbincangannya bersama Sebastian, namun bayang-bayang William yang baru saja sadar terus menghantui pikirannya.Saat ia hendak meneguk tehnya, tiba-tiba ponselnya berdering, suara itu cukup keras untuk mengagetkannya. Clara menatap layar ponselnya dengan ragu, merasa ada yang tak beres. Nama pengirim yang tertera adalah sebuah nomor tak dikenal, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.Dengan hati-hati, Clara membuka pesan yang masuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat foto-foto yang dilampirkan di dalam pesan itu. Foto pertama menunjukkan dirinya sedang berdiri di dekat ranjang rumah sakit William, saat ia datang untuk menjenguknya di ruang ICU beberapa hari yang lalu. Foto itu diambil dengan sangat jelas, memperlihatkan posisi dan posis
Bab 110Clara menatap ponselnya untuk beberapa detik, matanya tertuju pada pesan Sebastian yang masih mengalihkan perhatiannya. "Aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, tentang masa depan kita dan anak kita." Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, semakin menambah berat beban yang sudah ia rasakan.Dengan cepat, ia menekan tombol untuk membalas pesan tersebut, meski hatinya penuh keraguan. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera mengambil keputusan. Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengetikkan pesan balasan:Clara: "Aku akan segera menemuimu. Aku sedang dalam perjalanan, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Untuk sementara, tolong jaga William. Aku akan menghubungimu lagi."Clara menatap pesan itu sebelum menekannya untuk mengirimkannya. Ketika pesan terkirim, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia telah mengatur segala sesuatunya dengan hati-hati. Meskipun demikian, ia tahu bahwa keputusannya untuk tidak segera menemui William a
*Bab 109*Clara duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap lantai, pikirannya berkecamuk. Keputusan-keputusan yang ia buat selama beberapa bulan terakhir seakan-akan menjeratnya dalam jaring yang tak bisa ia lepaskan. Perasaannya terombang-ambing antara rasa takut dan penyesalan. Ia baru saja menerima kabar yang mengejutkan dari rumah sakit, berita yang tak pernah ia duga sebelumnya: William, suaminya yang telah lama koma setelah kecelakaan, akhirnya sadar.Namun, hal itu bukan satu-satunya beban yang kini ia tanggung. Pikirannya melayang kembali pada malam-malam gelap yang telah mengubah hidupnya. Kontrak yang ia buat dengan bosnya, Sebastian, bukan hanya tentang pekerjaan—tetapi juga tentang kehamilan yang kini ada dalam dirinya. Clara mengandung anak Sebastian. Dan itu membuat hatinya semakin berat, seolah ia terjebak dalam dua dunia yang saling bertentangan.Sebastian, pria yang telah lama merebut hatinya meski ia tak pernah menginginkannya, kini kembali had
Bab 108Rencana Bianca semakin matang. Setiap langkah yang ia ambil kini semakin mendekatkan pada tujuan utamanya: menjebak Sebastian dan membuat Clara merasa terpojok. Bianca tahu betul bahwa permainan ini tidak hanya tentang membangun keraguan dalam hati Sebastian, tapi juga menghancurkan rasa percaya Clara. Begitu Clara mulai merasakan kesal dan terasing, Sebastian akan menjadi semakin rentan terhadap pengaruhnya.Pada pagi hari yang cerah, Bianca duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada peta strategi yang sudah ia buat. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Adrian akan segera menghubungi Sebastian, memastikan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Tapi ada satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk mempercepat proses ini.Ia memanggil Reza ke kantornya. Pria itu masuk tanpa suara, mengenakan jas hitam yang sama seperti biasa. Setelah duduk di depan meja Bianca, Reza menunggu dengan sabar."Ada tugas baru," kata Bianca dengan suara datar, namun tajam. "Kita perlu menambah tekana
Bab 108Bianca duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Setelah menerima pesan dari Adrian, hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Kabar itu datang begitu tiba-tiba dan langsung mengguncang dunia yang telah ia rencanakan dengan sempurna. Ternyata, Clara tidak hanya memiliki masa lalu dengan Adrian, tetapi juga... sudah menikah.William, suami Clara, sekarang berada di rumah sakit, kata Adrian. Kabar itu membakar pikiran Bianca. Ia tidak pernah menyangka hal ini, tetapi saat ia berpikir lebih dalam, ide-ide licik mulai muncul begitu saja di benaknya.Bianca menggenggam ponselnya lebih erat, merenung. William... suami Clara, yang sekarang berada dalam keadaan terluka dan tak berdaya di rumah sakit. Bianca bisa membayangkan semua hal yang bisa ia lakukan dengan informasi ini. Suami yang terluka, hubungan yang rapuh, dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Dia tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan hubungan antara Clara dan Sebastian, ia h
Bab 107Hari-hari berlalu dengan cepat, namun rasa cemas yang menghantui Clara semakin sulit untuk ditutupi. Setiap kali ia berpapasan dengan Sebastian, ia merasa ada jurang tak terlihat yang mulai menggerogoti hubungan mereka. Meskipun Sebastian berusaha untuk terlihat perhatian dan penuh kasih sayang, ada ketegangan yang jelas di antara mereka. Clara bisa merasakannya—sesuatu yang tak terucapkan, tapi terasa begitu nyata.Di sisi lain, Bianca semakin merasa puas dengan hasil rencananya. Adrian melaporkan setiap langkah yang ia ambil, memastikan bahwa keberadaan mereka di dekat Clara tidak bisa diabaikan. Setiap kali Sebastian melihat Clara bersama Adrian, rasa curiga mulai tumbuh, meski ia berusaha menekan perasaan itu. Bianca tahu, itu hanya masalah waktu sebelum Sebastian mulai mempertanyakan segalanya.Suatu malam, saat Clara dan Sebastian duduk bersama di ruang makan, suasana semakin tegang. Makanan yang biasanya dinikmati dengan kehangatan kini terasa hambar. Sebastian menatap
Bab 106Keesokan harinya, suasana mansion keluarga Sebastian tampak tenang. Clara masih menjalani hari-harinya dengan kebahagiaan yang semakin terasa utuh bersama Sebastian. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, menikmati keindahan taman belakang, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar rumah. Namun, meski segala sesuatunya terlihat sempurna, ada sesuatu yang tak terlihat, yang perlahan mulai meresap ke dalam hubungan mereka.Pada saat yang sama, Adrian mulai melaksanakan rencananya dengan hati-hati. Ia mengamati Clara dari kejauhan, mengikuti setiap langkahnya, dan mencatat segala hal yang bisa dimanfaatkan untuk meragukan Clara di mata Sebastian. Setiap gerak-geriknya, setiap tempat yang sering dikunjungi Clara, telah dicatat dengan cermat dalam amplop yang Bianca berikan padanya.Pada suatu siang yang cerah, saat Clara sedang berjalan menuju kedai kopi favoritnya, Adrian muncul dengan tiba-tiba. Dengan pakaian kasual dan senyum penuh kepalsuan, ia menghampiri Clara yang se
MAPP 105Clara memasuki ruang rawat inap William. Seperti biasa, wanita itu menyapa suster Cintya. Sebelum datang kemari, Clara sudah mencari tahu terlebih dahulu bahwa Ben dan Julia tidak datang.Menurut keterangan suster Cintya, Ben dan Julia jarang datang. Mereka hanya menelpon dan bertanya kabar. Terakhir kali, mereka menelpon adalah tiga hari yang lalu.Clara menghela napas panjang. "Kedua orang tuamu begitu kejam. Bagaimana bisa mereka mengabaikanmu," gumam Clara sesekali menggenggam erat jemari William yang semakin kurus."Maafkan aku, aku bukan tidak ingin kamu bangun. Tapi untuk saat ini biarlah semua seperti ini. Tunggu semua selesai baru kamu bangun," kata Clara.Dia melihat wajah William yang masih sama seperti dahulu. Hanya saja sedikit pucat dan kurus."Bertahanlah sebentar lagi." Clara mengecup tangan William sekilas. Kemudian dia berdiri dari duduknya. Dia melihat Suster Cintya yang memperhatikannya.Clara lantas menghampiri suster itu. "Suster Cintya," panggilnya."Ya