Sebastian seketika menutup bukunya, kemudian menatap Clara. Wanita itu nampak menggigil kedinginan. Sebastian meletakkan bukunya di atas nakas kemudian berdiri dari duduknya, dia meraih remote lalu menyalakan penghangat ruangan. Jendela ditutup rapat, lalu tirai juga dirapatkan.Setelah memastikan ruangan dalam kondisi hangat, Sebastian naik ke atas ranjang. Dia membuka kancing kemejanya kemudian merebahkan diri di dekat Clara.Wanita itu merubah posisinya menghadap Sebastian dan menenggelamkan diri di dada bidang pria itu.Sebastian merengkuh tubuh Clara dan memeluknya dengan sangat erat.Cara ini memang sangat akurat untuk menghangatkan tubuh. Clara tidak menolak, dia justru merasa sangat bersyukur karena Sebastian sudah membantunya."Terima kasih, Tuan," ucap Clara. Dia tidak lagi merasa sungkan terhadap Sebastian."Tidurlah, sepertinya kamu tidak cocok dengan cuaca di sini, besok kita pulang saja," kata Sebastian.Clara mengangguk. Kali ini dia setuju dengan ucapan Sebastian. Clara
Clara demam, suhu tubuhnya mencapai 41 derajat celcius. Hal itu jelas membuat Sebastian panik. Dokter Daniel menyarankan agar dilakukan pengompresan. Selain penanganan medis, cara itu cukup membantu menurunkan panas pada tubuh. Sebastian memerintahkan Andrew untuk membawakan keperluan yang dibutuhkan untuk mengompres tubuh Clara. Sementara Sebastian memastikan secara langsung dengan meletakkan punggung tangannya pada dahi Clara.Dan benar saja, suhu tubuh wanita ini benar-benar panas.Dokter Daniel menatap sahabat sekaligus tuannya ini, pertama kalinya dia melihat kekhawatiran di wajah pria yang selalu terlihat dingin dan ketus. Hingga Dokter Daniel berpikir bahwa Sebastian menyimpan perasaan terhadap wanita ini.“Jadi siapa dia?” tanya Dokter Daniel.Sebastian menatap wajah sahabatnya itu dengan tatapan kesal. Rupanya temannya ini tidak menyerah.“Tidak bisakah kau bekerja saja. Jangan banyak tanya!” protes Sebastian.Dokter Daniel mendecak. “Masih saja kau menganggapku ini orang la
Clara seketika menutup mulutnya. Tidak ingin membangunkan Sebastian. Clara memiringkan kepalanya. Dia menatap Sebastian yang masih terlelap. Jika dilihat dalam kondisi seperti ini, Sebastian terlihat sangat polos, sebagian rambutnya menutupi matanya terpejam. Rasa-rasanya membuat Clara merasa iba.Melihat posisinya saat ini, sepertinya Sebastian telah menjaganya semalaman. Dan itu membuat Clara merasa tidak enak hati. Ternyata Sebastian tidak seperti yang dia pikirkan. Tangan Clara terulur hendak menyentuh wajah pria itu, namun Clara mengurungkannya. “Tuan, jika Anda sebaik ini, bagaimana bisa saya tidak menggunakan perasaan saya.”Perlahan Clara turun dari atas ranjang, Clara mencoba untuk tidak bersuaraagar tidak mengganggu tidur Sebastian.Clara lantas berjalan ke arah kamar mandi.Tak lama kemudian, Sebastian terbangun dan melihat Clara tidak ada di tempatnya. Dia seketika panik, namun ketika mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, seketika itu Sebastian merasa lega.
Sebastian tidak mengerti, mengapa ibunya datang pagi-pagi begini tanpa memberi kabar? Sebastian mendunga bahwa ini ada kaitannya dengan masalah penerus. Sebastian juga tidak tahu jelasnya. Namun yang jelas dia harus menyembunyikan Clara."Clara, kamu masuklah ke kamar!" titah Sebastian.Clara mengangguk. Kemudian dia berdiri dari duduknya dan segera menuju ke arah tangga. Selang beberapa menit, seorang wanita yang masih terlihat cantik di usia yang memasuki kepala 6 memasuki muncul dari arah depan."Good morning, My Emperor," sapa Sania Abraham."Kenapa tidak memberi kabar?" Sebastian melirik ke arah kursi yang baru saja ditinggalkan Clara, kini diduduki oleh Sania."Tidak sempat, Mom kemari karena ada sesuatu." Tatapan Sania jatuh pada piring yang ada di depannya. "Oh, apa ada orang lain di sini?" Sania celingukan.Sebastian memejamkan mata. Dia melupakan hal yang satu itu."Tidak, Mom," jawab Sebastian.Kening Sania mengkerut. Dia merasa ada yang aneh. Dia meneliti gelas yang ada di
Sofia semakin melotot saja. Dia merasa Clara ini menjadi sangat arogan. Apa karena dia sudah menjadi asisten Sebastian?"Memangnya kamu siapa ha?" sergah Sofia.Senyum Clara mengembang sempurna. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih."Kamu masih tanya siapa aku?" Clara maju satu langkah, mengikis jarak yang tersisa. Kemudian dia menatap wanita yang lebih pendek darinya itu. "Aku adalah Asisten pribadi kesayangan Tuan Bastian. Kamu ingin tahu bagaimana aku bisa membuatmu keluar dari sini, hmmm?"Kedua mata Sofia membola. Dia sungguh tidak terima."Kurang ajar kamu!"Plakkkk!Satu tamparan mendarat di pipi Clara. Dan membuat wanita cantik itu tertoleh ke kanan.Panas dan kebas menjalar di sekitar wajah. Meski begitu, Clara tetap tersenyum. Dia kembali menatap Sofia dan menampakkan senyumnya itu."Hanya segitu saja?" tanya Clara dengan nada meremehkan.Mendengar itu, Sofia naik pitam. Dia kembali mengangkat tangannya, hendak memberikan tamparan kedua namun, tiba-tiba tanganny
Clara terdiam untuk beberapa saat. Hanya karena itu, Sebastian sampai memecat Sofia? Clara merasa terharu, namun dia tidak boleh terlena begitu saja. Clara memang tidak menyukai Sofa. Akan tetapi, dia tidak akan membiarkan wanita itu dipecat. Sofia akan semakin membencinya jika ini benar-benar terjadi. Itu sebabnya Clara harus membujuk Sebastian."Tuan..." Clara hendak bicara, namun segera dipotong oleh gerakan tangan Sebastian. Pria itu mengarahkan pandangannya kepada Ramon."Ramon, bawakan aku kotak P3K!" titah Morgan."Baik, Tuan."Setelah Ramon meninggalkan ruangan, Sebastian kembali pada Clara."Duduk!" titahnya lagi.Clara menelan saliva. Nada bicara Sebastian yang sangat dingin membuat Clara tak mampu menolak. Dia sudah hapal tabiat Sebastian yang memang tidak suka dibantah. Lagi pula dirinya tidak ingin menambah masalah.Tak lama kemudian, Ramon kembali muncul dengan kotak P3K di tangan. Dia lantas memberikannya kepada Sebastian."Ini, Tuan.""Baiklah, kamu boleh pergi. Oh ya,
Kalung berlian dengan permata zamrud berwarna merah menyapa indera penglihatan Clara. Sesaat dia merasa terlena. Berlian ini sangat indah.Sebastian melirik ke samping. Sudut bibirnya terangkat ke atas. Kebahagiaan terpancar di wajahnya ketika melihat ekspresi Clara."Permata Zamrud berwarna merah itu sesuai dengan warna gaunmu," ucap Sebastian."Terima kasih, Tuan. Apa saya boleh memakainya?" tanya Clara."Tentu saja, biar aku yang pakaian."Mendengar itu, Clara tidak keberatan.Dia memposisikan dirinya memunggungi Sebastian. Dan membiarkan pria itu memasangkan kalung di lehernya. Clara menatap permata merah yang menggantung di lehernya."Ini benar-benar sangat indah," gumam Clara."Selesai.""Terima kasih, Tuan."Sepanjang perjalanan, keheningan menemai keduanya.Saat hampir sampai. Sebastian baru membuka suara."Clara, dengarkan aku baik-baik. Saat keluargaku bertanya tentang kehidupan pribadimu, kamu tahu 'kan apa yang harus kamu katakan?" tanya Sebastian."Ya, Tuan."Clara tahu, S
Sebastian menatap Clara. Dia tahu kekhawatiran yang dirasakan wanita itu. Keluarga Clara berasal dari kalangan menengah. Jelas akan menjadi masalah bagi Maxime yang selalu memegang prinsip kesetaraan kasta. Sebastian meraih jemari Clara di bawah meja kemudian menggenggamnya.Clara menoleh ke arah Sebastian. Genggaman tangan pria itu seolah memberikan kekuatan, sehingga Clara kembali menguasai dirinya yang sempat goyah. Setelah lama terdiam, Clara mengulas senyum. Senyuman yang begitu hangat."Kedua orang tua saya hanyalah orang biasa, Tuan. Mereka tinggal di pedesaan dan mengelola sebuah perkebunan," jawab Clara.Sebastian meneliti wajah kakeknya. Tanpa diduga pria itu justru terlihat antusias."Perkebunan?" tanya Maxime yang tampak tertarik dengan topik pembicaraan ini"Ya, Tuan. Mereka mengelola bisnis perkebunan buah apel yang nantinya hasil panen akan dikirim ke luar negeri," jelas Clara."Ini sangat menarik, lain kali aku akan mengunjungi mereka," ucap Maxime."Tentu saja, Tuan."
Selera makan Sebastian tiba-tiba menghilang. Gerakan mulutnya yang semula mengoyak makanan tiba-tiba berhenti. Lalu gelas di atas meja diraih, ditenggaknya dengan cepat, guna mendorong makanan yang serasa sulit masuk ke tenggorokan. Napasnya sedikit memburu, entah karena kesal atau apa, tatapan Sebastian berubah tak sehangat sebelumnya. Kedua tangan yang memegang sendok dan garpu berubah mengeras, kemudian diletakkannya benda di tangannya itu dengan hati-hati. "Andrew, sepertinya faktor usia membuatmu lupa. Tidak ada yang boleh menggangguku saat sedang makan." Sebastian menatap Andrew yang tampak kebingungan. Entah lupa atau bagaimana, kepala pelayan itu untuk pertama kalinya telah melanggar peraturan rumah ini. Andrew tampak menghindari tatapan Sebastian. Kemudian dengan nada rendah, dia berkata, "Maaf, Tuan. Tapi Kakek Anda, beliau ingin bicara." "Kalau begitu tunggu sampai selesai makan." Setelah mengatakan itu, Sebastian kembali meraih sendok dan garpu, dan melanjutkan makan m
Hari-hari berlalu, dan Sebastian kembali tenggelam dalam kesibukannya. Sejak pagi, dia telah duduk di belakang meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan layar monitor yang menampilkan laporan keuangan serta proyek-proyek baru. Telepon di mejanya sesekali berdering, sementara suara ketikan cepat memenuhi ruangannya. Dia bekerja seperti biasa—seolah apa yang terjadi kemarin hanyalah angin lalu.Tidak ada yang berubah dalam sikapnya. Dia tetap profesional, fokus pada pekerjaannya, dan tidak membiarkan pikirannya terbebani oleh apa pun di luar tugasnya. Menurut informasi, kelurga Ziyon tidak terima dan memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Namun, semua hanya Sebastian anggap sebagai anjing menggonggong saja. Nyatanya, bukti-bukti surat yang telah ditandatangani Ziyon sangat kuat.Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Sebastian kembali memfokuskan pada pekerjaannya. Ziyon, perjanjian yang dibatalkan, dan reaksi keluarganya—semuanya berusaha dia kubur dalam-dalam.Hari i
Keesokan harinya, konferensi pers digelar. Suasana di ruang konferensi sebuah hotel mewah di pusat kota terasa tegang. Puluhan wartawan telah memenuhi ruangan, kamera-kamera siaran langsung siap merekam setiap momen yang akan terjadi.Mikrofon-mikrofon dari berbagai media terpasang rapi di atas meja panjang, menunggu pernyataan resmi yang akan segera diumumkan.Di tengah sorotan lampu kamera, seorang pria berjas elegan naik ke podium. Dia adalah perwakilan resmi yang akan menyampaikan keputusan penting terkait masa depan Abraham Group. Ziyon telah hadir didampingi oleh asistennya tampak menunduk lesu, seolah kehilangan gairah hidup. Dia duduk di kursi yang tersedia, di sebelah kanan podium. Suara bisik-bisik mulai terdengar di antara para wartawan, spekulasi terus berkembang sejak berita pertandingan balap mobil yang menegangkan pada hari sebelumnya.“Terima kasih telah hadir,” ujar pria itu dengan nada tegas. “Hari ini, kami secara resmi mengumumkan bahwa perjanjian yang menyatakan
Sebastian kehilangan kendali sehingga kendaraan miliknya bergerak tak tentu arah. Meski begitu, Sebastian mencoba bersikap tenang, dan mencoba mengendalikan laju kendaraan agar tetap berada di lintasan. Pandangannya di depan tertutup asap yang keluar dari kendaraannya. Sebastian tidak menyerah. Tetap melaju meski dengan sangat lambat. "Sial! Bagaimana bisa begini?" gerutu Sebastian. Ketika kemenangan sudah di depan mata, dia justru mengalami sesuatu yang harus membuatnya jauh tertinggal di belakang. Clara yang melihat itu segera berdiri dari duduknya. Tangannya yang memegang tas berubah meremas. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Satu tangannya yang kosong memegang perutnya. Meski dia belum memastikan siapa yang berada dalam kendaraan bermasalah itu, tetap saja Clara merasa khawatir. "Mudah-mudahan semua baik-baik saja," gumam Clara. Ramon, yang berdiri di dekat lintasan seketika panik. Apa yang dia lihat sangat mengganggu ketenangannya. Ramon sudah memastikan kendaraan d
Para rekan-rekan Ziyon terkejut dan saling pandang antara satu sama lain. Salah satu dari mereka menyenggol lengan rekan lainnya agar membuka suaranya. Seolah tidak memiliki keberanian untuk berbicara sendiri. "Memang apa yang kamu lakukan?" tanya Michael, rekan Ziyon yang lain. "Mobil yang ada di sana itu, tidak ada benar. Para mobil itu sudah disabotase," ucap Ziyon sinis. Dengan senyum tipis yang terukir di bibir tebalnya. "Ah begitu rupanya." Para rekannya mengangguk saja. Entah mengapa mereka merasa ini tidak seru karena sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. "Tapi ingat, kalian harus tutup mulut, masing-masing saham lima persen untuk kalian." Detik itu juga mereka tersenyum lebar. Orang gila mana yang menolak saham diberikan secara cuma-cuma. Sementara tugas mereka hanya tutup mulut saja. Itu perkara yang gampang. Sebastian sudah bersiap di dekat kendaraannya yang terparkir di garis finish. Dengan ditemani Ramon, pria itu berdiri dengan raut tanpa ekspresi. Kemudian, Ziyon
Ziyon menatap berkas yang diberikan oleh Sebastian. Ragu, dia meraih berkas itu. "Apa ini?" tanya Ziyon saat berkas sudah berpindah tangan. "Buka dan baca. Bukankah kamu butuh penguat, Andai kamu menang, harus ada surat-surat yang menguatkan. Karena kamu akan mendapatkan semua yang aku punya, begitu juga sebaliknya," cetus Sebastian. Ziyon menyunggingkan senyumnya. "Kamu benar." Ziyon membuka berkas tersebut, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar. Matanya yang normal penuh binaran bahagia. Bukan hanya perusahaan, bahkan Sebastian mengerahkan semua yang dia punya untuk bertaruh. Ziyon tertawa setelah menutup berkas itu. "Bastian, kamu tidak jauh beda dengan adikmu, sangat percaya diri. Apa kamu yakin akan menang? Apa kamu siap kehilangan semuanya jika kamu kalah?" Ziyon berbicara dengan nada mengejek. Sebastian tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Kemudian dia membalas ucapan Ziyon. "Baca baik-baik, Ziyon. Hal itu juga berlaku untuk dirimu, bila aku yang menang." Ziyon me
Sementara kabar tentang Abraham Group yang telah berpindah kepemilikan pada Zeus Group semakin santer terdengar. Beberapa media mengabarkan bahwa Abraham berada dalam jurang kehancuran setelah berganti kursi kepemimpinan. Nyatanya, Abraham Group terus mengalami masalah setelah ditinggalkan oleh Sebastian. Permasalahan finansial menjadi pemicu utama kehancuran perusahaan tersebut. Maxime telah siuman, namun setelah mendengar kabar yang menghiasi surat kabar maupun media elektronik itu kembali kritis. Sementara Leonard berusaha menekan kabar tersebut agar menghilang dari peredaran. Dia meminta bantuan Louis sang adik, tetapi adiknya itu justru sibuk dengan pekerjaan sendiri. "Louis, kamu harus menekan berita itu," kata Leonard. "Kakak, aku banyak pekerjaan. Aku juga harus mengamankan sahamku di Abraham Group," jawab Louis. Mendengar itu, rahang Leonard mengeras. Jemarinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapannya yang dingin berubah semakin gelap akibat
Sebastian turun ke lantai bawah, langkahnya sangat cepat menuruni anak tangga. Raut wajahnya dingin dan gelap. Tangannya yang mengepal sesekali bergerak gusar menyugar rambutnya. Semenjak Clara mengandung, Sebastian memang sangat sensitif jika menyangkut masalah keamanan. Saat Ramon melaporkan bahwa ada orang asing yang berkeliaran di luar mansionnya, Sebastian segera memberitahu para penjaga untuk bersiaga. Memeriksa CCTV bagian depan. Tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya seseorang. Sementara Ramon kini berada di dalam mobilnya, memperhatikan sosok berjubah hitam, dengan penutup kepala. Pria itu tampak menunggu, saat yang tepat untuk menangkap basah orang itu. Ramon memperhatikan, sosok itu bersembunyi kala penjaga memeriksa keluar pagar. Kemudian, kembali muncul saat penjaga kembali masuk. Entah apa tujuannya. Ingin mencuri, atau merampok? Ramon, membuka pintu mobilnya perlahan. Kemudian menutupnya tanpa menimbulkan suara. Dia lantas berjalan mengendap sembari terus mempe
Clara dapat merasakan panasnya jemari Sebastian yang menyentuh lembut dagunya. Mengangkatnya pelan, dan membuatnya mendongak ke atas. Bisa mencium aroma kuat parfum dan bercampur dengan aroma tubuh. Begitu kuat, memikat. Deru napas Sebastian terasa hangat menyentuh kulit wajah. Ketika bibir sensual milik suaminya itu mendekat, Clara memejamkan mata. Clara kembali merasakan lembutnya bibir suaminya yang menyatu dengan bibirnya. Kecupan singkat diberikan di awalnya. Selanjutnya, gerakan itu berubah menjadi sebuah pagutan yang penuh gelora. Ganasnya permainan Sebastian, membangkitkan sesuatu dalam diri Clara. Hasrat. Sebastian semakin berani, tangannya berselancar ke tengkuk, jemari kokohnya menelusup ke rambut istrinya. Sementara gerakan bibirnya semakin dalam dan menuntut. Clara membalas pagutan lebih dalam. Menggerakkan indera perasa menjelajah isi mulut Sebastian. Gigitan kecil dirasakan Clara, dan membuat wanita itu mengeluarkan suara. Dan selanjutnya, Clara melepasnya. "Kamu m