Kesedihan di wajah Clara nyatanya terlihat oleh para pelayan."Kenapa Nona sedih? Nona sudah cantik. Sebaiknya Nona menyusul Tuan sekarang."Clara segera memperbaiki ekspresi wajahnya."Memangnya di mana Tuan sekarang?" tanya Clara."Di taman belakang."Selesai melakukan perawatan, Clara segera menyusul Sebastian. Seperti yang dikatakan para pelayan, Clara segera menuju ke taman belakang. Dia sedang melihat Andrew tengah mengawasi beberapa pelayan membersihkan area taman.Clara segera menghampiri pria itu lalu bertanya, "Di mana Tuan?"Andrew menoleh kemudian menjawab, "Beliau di sana."Clara mengikuti arah telunjuk Andrew dan melihat Sebastian berkutat dengan beberapa tumbuhan. Kening Clara berkerut. Lantas dia menghampiri Sebastian."Tuan sedang apa?" tanya Clara basa-basi.Sebastian sedang menanam bunga, saat tiba-tiba kedatangan Clara mengalihkan atensinya. Sebastian menghentikan aktivitasnya sejenak kemudian menatap Clara. Seketika itu dia terpaku."Wanita ini, dia memang sangat
Andai bisa memutar kembali waktu, Clara lebih memilih untuk tidak menerima perjanjian kontrak ini. Dari pada Clara harus hidup di balik-balik rasa bersalah dan dosa besar akibat pengkhianatan yang dia lakukan.Akan tetapi, apa mungkin dirinya sanggup melihat William tidak selamat?Clara menggeleng, ini sudah keputusan yang tepat. Kalau kembali diingat, begitu sulit usaha Clara mencari pinjaman uang sebesar 5 milar. Saat itu Clara sudah berusaha mencari pinjaman di tempat lain. Namun gagal. Clara juga sempat mendatangi keluarga dari pihak ayahnya, namun yang dia dapatkan hanya hinaan.Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menemui Sebastian. Bagai oase di tengah gurun pasir, Sebastian memberi secercah harapan bagi Clara. Namun, untuk menembus cahaya itu, Clara harus mengorbankan mahkotanya yang berharga.Clara merasa ujung matanya memanas. Ingatan itu hanya akan membuat Clara semakin terluka.Clara tidak sanggup melanjutkan pembicaraan ini karena hanya akan membuat Clara merasa bersalah
Tau begini, Clara menolak saja ajakan Sebastian mandi bersama. Padahal tadi malam dia merasa lega karena Sebastian tidak meminta jatah. Namun, pagi-pagi sekali Clara dikejutkan dengan keberadaan Sebastian di ranjangnya.Seingat Clara, dia sudah mengunci pintu kamarnya. Ah, Clara melupakan sesuatu. Mansion ini adalah milik Sebastian. Sudah pasti pria itu memiliki kunci semua ruangan ini. Dasar curang. Apa gunanya pria itu menyuruh dirinya tidur di kamar yang berbeda kalau Sebastian sendiri bisa masuk sesuka hati.Pagi ini, keduanya mandi dengan sangat lama. Karena bukan mandi biasa, melainkan permainan panas di pagi hari yang dingin.“Anda tidak bosan setiap hari bermain?” tanya Clara.“Aku harus segera mendapatkan pewaris, jadi kita harus sering melakukannya!” seru Sebastian.Clara mengiyakan saja. Dia sendiri juga ingin segera mengandung dan melahirkan. Dengan begitu dia bisa terlepas dari Sebastian.“Hari ini, saya ingin menjenguk suami saya di rumah sakit,” pinta Clara.Sebastian m
Clara refleks memejamkan mata kala benda kenyal menyentuh bibirnya. Indera perasanya yang semula diam kini mulai bergerak impulsif membalas serangan dengan saling membelit. Keduanya bertukar ludah, saling mengecup dan memagut.Sesaat Clara terhanyut dalam permainan bibir yang begitu panas dan ganas. Sentuhan itu begitu liar sampai-sampai membuat Clara terbuai.Jemari kokoh Sebastian mulai menelusup ke dalam rok Clara mengelus pelan paha putih mulus dengan sesekali meremas.Ketika tangan itu mulai mencapai area sensitfnya, Clara mulai tersadar. Dia dengan cepat melepas pagutan bibirnya bersama Sebastian dan segera mengikis jarak.“Tuan,” panggilnya.“Ada apa?” tanya Sebastian yang tampak kesal karena Clara memutus pagutan secara sepihak.“Ini adalah kantor.” Clara mengingatkan. Barangkali Sebastian Luna dan menganggap ini kamar mereka.“Aku tahu.” Sebastian malah tersenyum, dengan gerakan yang supercepat, Sebastian memegang pinggang Clara dan memindahkan wanita itu ke meja kerjanya.Cl
"Aku mencium aroma percampuran di sini!"Clara seketika menghentikan aktivitasnya ketika mendengar suara Sofia. Dia menoleh, menatap wanita cantik di dekatnya."Kamu membicarakan siapa?" tanya Clara."Siapa lagi?" sindir Sofia.Clara menggeleng, memutuskan untuk mengabaikan Sofia dan kembali fokus pada dirinya sendiri. Namun, tawa Sofia lagi-lagi mengalihkan perhatian Clara."Lihatlah dirimu! Sepertinya gosip itu benar!"Clara masih tidak menggubris, malah menggunakan bedak dengan gerakan yang cepat."Jadi Stella dipecat gara-gara kamu, Clara?" Kali ini Sofia langsung mencerca Clara dengan pertanyaannya.Clara membisu. Baginya, tidak penting meladeni orang seperti sofia. Clara tahu, sejak dulu Sofia dan Stella adalah sahabat dekat. Keduanya sangat kompak membicarakan dirinya di belakang. Selalu menyangkut-pautkan masalah dirinya dengan Sebastian.Sofia menyemprotkan parfum ke arah Clara seolah udara di sekitarnya sudah terkontaminasi oleh aroma yang tidak sedap."Baunya aneh sekali.
Kening Clara mengernyit."Uang? Untuk apa, Ma?" tanya Clara."Beli makanan, kamu datang ke sini tidak bawa apa-apa. Aku ini lapar, " keluh Julia.Clara menatap Julia heran. "Bukannya Mama biasanya memasak?"“Bosan! Aku mau makan enak! Ayo berikan!” Julia menengadahkan tangan sedikit memaksa.Clara merogoh tasnya dan mengambil dompet, kemudian meraih beberapa lembar uang untuk diberikan pada Julia.Julian tersenyum miring. “Banyak juga uang kamu,” sindirnya. Kemudian memanggil Suster Cintya dan menyuruh wanita itu membeli makanan. Tiga puluh menit kemudian, pintu ruang rawat inap terbuka. Suster Cintya masuk dengan membawa beberapa kantong belanjaan di tangan.Julia segera menghampiri wanita itu. "Mana sini!" Julia segera menyambar kantong belanja dari tangan Suster Cintya.Terlihat sekali napas wanita itu terengah-engah.Julia berjalan ke arah sofa kemudian mendaratkan pantatnya. Dia membuka kantong belanja yang rupanya isinya makanan cepat saji. Julia memesan ayam krispi utuh. Nam
Clara menuruti perintah Sebastian. Kebetulan sekali Clara belum makan malam. Clara mendaratkan pantatnya di kursi di dekat Sebastian.Pria itu tidak lagi banyak bicara. Sangat berbeda saat Clara belum datang."Makanlah, ini bagus untuk kesehatan rahimmu," ucap Sebastian.Melihat itu, Andrew merasa lega. Begitu juga dengan pelayan yang lain. Andrew segera menyuruh pelayan yang lain untuk menyingkir karena saat bersama dengan Clara, Sebastian tidak ingin diganggu.Clara menatap Sebastian dengan tatapan memicing. "Tuan, setelah ini...""Aku tahu, malam ini aku sedang tidak ingin. Kamu bisa beristirahat sepuasmu."Clara mengernyit mendengarnya. Apa pria itu cenayang? Seolah mengetahui isi pikiran Clara. Biasanya, pria itu memberinya makan yang banyak karena memiliki tujuan."Maafkan saya, Tuan," ucap Clara."Aku terlalu keras memaksamu," sahut Sebastian."Itu sudah perjanjian," kata Clara.Sebastian menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Clara."Clara," panggil Sebastian."Ya, Tuan."
Clara menatap dua mertuanya secara bergantian. "Hutang apa Ma, Pa?" tanya Clara.Ben dan Julia terlihat kelabakan. Terlihat enggan untuk menjawab. Namun akhirnya slah satu dari mereka mengerluarkan suara."Tentu saja hutang untuk membayar rumah sakit William, hutang apa lagi?" cerocos Julia. Kening Clara mengkerut. Clara mencoba untuk berpikir positif. Dulu Ben dan Julia memang membuantu biaya rumah sakit William. Akan tetapi, seingat Clara, Ben dan Julia mendapatkan uang itu dari hasil menjual barang-barangnya.Clara lantas menatap pria bernama Markus. "Bisakah Anda memberikan rinciannya?" pinta Clara.Markus tersenyum miring, kemudian melirik ke arah dua anak buahnya. "Berikan!"Secarik kertas diberikan kepada Clara. Wanita itu menerimanya dan seketika membulatkan mata ketika melihat nominal yang tertera."10 Miliar?" pekik Clara. Dia menatap Ben dan Julia dengan bola mata yang nyaris lepas.Mendadak, kepala Clara terasa berdenyut. Ini bahkan melebihi nominal dari yang dia pinjam pa
Hari-hari berlalu, dan Sebastian kembali tenggelam dalam kesibukannya. Sejak pagi, dia telah duduk di belakang meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan layar monitor yang menampilkan laporan keuangan serta proyek-proyek baru. Telepon di mejanya sesekali berdering, sementara suara ketikan cepat memenuhi ruangannya. Dia bekerja seperti biasa—seolah apa yang terjadi kemarin hanyalah angin lalu.Tidak ada yang berubah dalam sikapnya. Dia tetap profesional, fokus pada pekerjaannya, dan tidak membiarkan pikirannya terbebani oleh apa pun di luar tugasnya. Menurut informasi, kelurga Ziyon tidak terima dan memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Namun, semua hanya Sebastian anggap sebagai anjing menggonggong saja. Nyatanya, bukti-bukti surat yang telah ditandatangani Ziyon sangat kuat.Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Sebastian kembali memfokuskan pada pekerjaannya. Ziyon, perjanjian yang dibatalkan, dan reaksi keluarganya—semuanya berusaha dia kubur dalam-dalam.Hari i
Keesokan harinya, konferensi pers digelar. Suasana di ruang konferensi sebuah hotel mewah di pusat kota terasa tegang. Puluhan wartawan telah memenuhi ruangan, kamera-kamera siaran langsung siap merekam setiap momen yang akan terjadi.Mikrofon-mikrofon dari berbagai media terpasang rapi di atas meja panjang, menunggu pernyataan resmi yang akan segera diumumkan.Di tengah sorotan lampu kamera, seorang pria berjas elegan naik ke podium. Dia adalah perwakilan resmi yang akan menyampaikan keputusan penting terkait masa depan Abraham Group. Ziyon telah hadir didampingi oleh asistennya tampak menunduk lesu, seolah kehilangan gairah hidup. Dia duduk di kursi yang tersedia, di sebelah kanan podium. Suara bisik-bisik mulai terdengar di antara para wartawan, spekulasi terus berkembang sejak berita pertandingan balap mobil yang menegangkan pada hari sebelumnya.“Terima kasih telah hadir,” ujar pria itu dengan nada tegas. “Hari ini, kami secara resmi mengumumkan bahwa perjanjian yang menyatakan
Sebastian kehilangan kendali sehingga kendaraan miliknya bergerak tak tentu arah. Meski begitu, Sebastian mencoba bersikap tenang, dan mencoba mengendalikan laju kendaraan agar tetap berada di lintasan. Pandangannya di depan tertutup asap yang keluar dari kendaraannya. Sebastian tidak menyerah. Tetap melaju meski dengan sangat lambat. "Sial! Bagaimana bisa begini?" gerutu Sebastian. Ketika kemenangan sudah di depan mata, dia justru mengalami sesuatu yang harus membuatnya jauh tertinggal di belakang. Clara yang melihat itu segera berdiri dari duduknya. Tangannya yang memegang tas berubah meremas. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Satu tangannya yang kosong memegang perutnya. Meski dia belum memastikan siapa yang berada dalam kendaraan bermasalah itu, tetap saja Clara merasa khawatir. "Mudah-mudahan semua baik-baik saja," gumam Clara. Ramon, yang berdiri di dekat lintasan seketika panik. Apa yang dia lihat sangat mengganggu ketenangannya. Ramon sudah memastikan kendaraan d
Para rekan-rekan Ziyon terkejut dan saling pandang antara satu sama lain. Salah satu dari mereka menyenggol lengan rekan lainnya agar membuka suaranya. Seolah tidak memiliki keberanian untuk berbicara sendiri. "Memang apa yang kamu lakukan?" tanya Michael, rekan Ziyon yang lain. "Mobil yang ada di sana itu, tidak ada benar. Para mobil itu sudah disabotase," ucap Ziyon sinis. Dengan senyum tipis yang terukir di bibir tebalnya. "Ah begitu rupanya." Para rekannya mengangguk saja. Entah mengapa mereka merasa ini tidak seru karena sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. "Tapi ingat, kalian harus tutup mulut, masing-masing saham lima persen untuk kalian." Detik itu juga mereka tersenyum lebar. Orang gila mana yang menolak saham diberikan secara cuma-cuma. Sementara tugas mereka hanya tutup mulut saja. Itu perkara yang gampang. Sebastian sudah bersiap di dekat kendaraannya yang terparkir di garis finish. Dengan ditemani Ramon, pria itu berdiri dengan raut tanpa ekspresi. Kemudian, Ziyon
Ziyon menatap berkas yang diberikan oleh Sebastian. Ragu, dia meraih berkas itu. "Apa ini?" tanya Ziyon saat berkas sudah berpindah tangan. "Buka dan baca. Bukankah kamu butuh penguat, Andai kamu menang, harus ada surat-surat yang menguatkan. Karena kamu akan mendapatkan semua yang aku punya, begitu juga sebaliknya," cetus Sebastian. Ziyon menyunggingkan senyumnya. "Kamu benar." Ziyon membuka berkas tersebut, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar. Matanya yang normal penuh binaran bahagia. Bukan hanya perusahaan, bahkan Sebastian mengerahkan semua yang dia punya untuk bertaruh. Ziyon tertawa setelah menutup berkas itu. "Bastian, kamu tidak jauh beda dengan adikmu, sangat percaya diri. Apa kamu yakin akan menang? Apa kamu siap kehilangan semuanya jika kamu kalah?" Ziyon berbicara dengan nada mengejek. Sebastian tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Kemudian dia membalas ucapan Ziyon. "Baca baik-baik, Ziyon. Hal itu juga berlaku untuk dirimu, bila aku yang menang." Ziyon me
Sementara kabar tentang Abraham Group yang telah berpindah kepemilikan pada Zeus Group semakin santer terdengar. Beberapa media mengabarkan bahwa Abraham berada dalam jurang kehancuran setelah berganti kursi kepemimpinan. Nyatanya, Abraham Group terus mengalami masalah setelah ditinggalkan oleh Sebastian. Permasalahan finansial menjadi pemicu utama kehancuran perusahaan tersebut. Maxime telah siuman, namun setelah mendengar kabar yang menghiasi surat kabar maupun media elektronik itu kembali kritis. Sementara Leonard berusaha menekan kabar tersebut agar menghilang dari peredaran. Dia meminta bantuan Louis sang adik, tetapi adiknya itu justru sibuk dengan pekerjaan sendiri. "Louis, kamu harus menekan berita itu," kata Leonard. "Kakak, aku banyak pekerjaan. Aku juga harus mengamankan sahamku di Abraham Group," jawab Louis. Mendengar itu, rahang Leonard mengeras. Jemarinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapannya yang dingin berubah semakin gelap akibat
Sebastian turun ke lantai bawah, langkahnya sangat cepat menuruni anak tangga. Raut wajahnya dingin dan gelap. Tangannya yang mengepal sesekali bergerak gusar menyugar rambutnya. Semenjak Clara mengandung, Sebastian memang sangat sensitif jika menyangkut masalah keamanan. Saat Ramon melaporkan bahwa ada orang asing yang berkeliaran di luar mansionnya, Sebastian segera memberitahu para penjaga untuk bersiaga. Memeriksa CCTV bagian depan. Tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya seseorang. Sementara Ramon kini berada di dalam mobilnya, memperhatikan sosok berjubah hitam, dengan penutup kepala. Pria itu tampak menunggu, saat yang tepat untuk menangkap basah orang itu. Ramon memperhatikan, sosok itu bersembunyi kala penjaga memeriksa keluar pagar. Kemudian, kembali muncul saat penjaga kembali masuk. Entah apa tujuannya. Ingin mencuri, atau merampok? Ramon, membuka pintu mobilnya perlahan. Kemudian menutupnya tanpa menimbulkan suara. Dia lantas berjalan mengendap sembari terus mempe
Clara dapat merasakan panasnya jemari Sebastian yang menyentuh lembut dagunya. Mengangkatnya pelan, dan membuatnya mendongak ke atas. Bisa mencium aroma kuat parfum dan bercampur dengan aroma tubuh. Begitu kuat, memikat. Deru napas Sebastian terasa hangat menyentuh kulit wajah. Ketika bibir sensual milik suaminya itu mendekat, Clara memejamkan mata. Clara kembali merasakan lembutnya bibir suaminya yang menyatu dengan bibirnya. Kecupan singkat diberikan di awalnya. Selanjutnya, gerakan itu berubah menjadi sebuah pagutan yang penuh gelora. Ganasnya permainan Sebastian, membangkitkan sesuatu dalam diri Clara. Hasrat. Sebastian semakin berani, tangannya berselancar ke tengkuk, jemari kokohnya menelusup ke rambut istrinya. Sementara gerakan bibirnya semakin dalam dan menuntut. Clara membalas pagutan lebih dalam. Menggerakkan indera perasa menjelajah isi mulut Sebastian. Gigitan kecil dirasakan Clara, dan membuat wanita itu mengeluarkan suara. Dan selanjutnya, Clara melepasnya. "Kamu m
Sebastian kembali ke dalam kendaraan dengan perasaan kesal yang memenjarakan dirinya. Dia menutup pintu dengan sangat keras kemudian duduk dan menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Ramon yang melihat itu segera memutar kepalanya ke belakang. Dan melihat dengan jelas bagaimana raut wajah Sebastian. "Bagaimana, Tuan?" tanya Ramon penasaran. Melihat raut wajah Sebastian. Sepertinya semua tidak berjalan dengan lancar. "Ziyon itu, dia sangat kurang ajar!" umpatnya dengan embusan napas kasar. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya kini. Otot-otot di sekitar leher tampak mencuat seiring dengan decakan keluar dari bibirnya. "Apa dia menolak tawaran Anda?" Ramon bertanya dengan serius. "Dia ingin menjatuhkanku di lapangan sirkuit." Sebastian mendengkus kasar, dengan tatapan yang terlempar ke arah luar jendela. Seolah menunjukkan kemarahan pada orang yang ada di luar sana. "Apa?" Di sisi lain, Ziyon tampak memandangi kendaraan milik Sebastian yang mulai menjauhi area kafe. Salah satu sudu