Kening Clara mengernyit."Uang? Untuk apa, Ma?" tanya Clara."Beli makanan, kamu datang ke sini tidak bawa apa-apa. Aku ini lapar, " keluh Julia.Clara menatap Julia heran. "Bukannya Mama biasanya memasak?"“Bosan! Aku mau makan enak! Ayo berikan!” Julia menengadahkan tangan sedikit memaksa.Clara merogoh tasnya dan mengambil dompet, kemudian meraih beberapa lembar uang untuk diberikan pada Julia.Julian tersenyum miring. “Banyak juga uang kamu,” sindirnya. Kemudian memanggil Suster Cintya dan menyuruh wanita itu membeli makanan. Tiga puluh menit kemudian, pintu ruang rawat inap terbuka. Suster Cintya masuk dengan membawa beberapa kantong belanjaan di tangan.Julia segera menghampiri wanita itu. "Mana sini!" Julia segera menyambar kantong belanja dari tangan Suster Cintya.Terlihat sekali napas wanita itu terengah-engah.Julia berjalan ke arah sofa kemudian mendaratkan pantatnya. Dia membuka kantong belanja yang rupanya isinya makanan cepat saji. Julia memesan ayam krispi utuh. Nam
Clara menuruti perintah Sebastian. Kebetulan sekali Clara belum makan malam. Clara mendaratkan pantatnya di kursi di dekat Sebastian.Pria itu tidak lagi banyak bicara. Sangat berbeda saat Clara belum datang."Makanlah, ini bagus untuk kesehatan rahimmu," ucap Sebastian.Melihat itu, Andrew merasa lega. Begitu juga dengan pelayan yang lain. Andrew segera menyuruh pelayan yang lain untuk menyingkir karena saat bersama dengan Clara, Sebastian tidak ingin diganggu.Clara menatap Sebastian dengan tatapan memicing. "Tuan, setelah ini...""Aku tahu, malam ini aku sedang tidak ingin. Kamu bisa beristirahat sepuasmu."Clara mengernyit mendengarnya. Apa pria itu cenayang? Seolah mengetahui isi pikiran Clara. Biasanya, pria itu memberinya makan yang banyak karena memiliki tujuan."Maafkan saya, Tuan," ucap Clara."Aku terlalu keras memaksamu," sahut Sebastian."Itu sudah perjanjian," kata Clara.Sebastian menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Clara."Clara," panggil Sebastian."Ya, Tuan."
Clara menatap dua mertuanya secara bergantian. "Hutang apa Ma, Pa?" tanya Clara.Ben dan Julia terlihat kelabakan. Terlihat enggan untuk menjawab. Namun akhirnya slah satu dari mereka mengerluarkan suara."Tentu saja hutang untuk membayar rumah sakit William, hutang apa lagi?" cerocos Julia. Kening Clara mengkerut. Clara mencoba untuk berpikir positif. Dulu Ben dan Julia memang membuantu biaya rumah sakit William. Akan tetapi, seingat Clara, Ben dan Julia mendapatkan uang itu dari hasil menjual barang-barangnya.Clara lantas menatap pria bernama Markus. "Bisakah Anda memberikan rinciannya?" pinta Clara.Markus tersenyum miring, kemudian melirik ke arah dua anak buahnya. "Berikan!"Secarik kertas diberikan kepada Clara. Wanita itu menerimanya dan seketika membulatkan mata ketika melihat nominal yang tertera."10 Miliar?" pekik Clara. Dia menatap Ben dan Julia dengan bola mata yang nyaris lepas.Mendadak, kepala Clara terasa berdenyut. Ini bahkan melebihi nominal dari yang dia pinjam pa
Beberapa menit yang lalu.Sebastian menunggu di dalam mobil. Sebenarnya dia ingin protes saat Clara menyuruhnya menunggu di dalam mobil dengan alasan kecurigaan dua mertuanya.Namun, yang dikatakan Clara ada benarnya. Akhirnya dia mengiyakan ucapan wanita itu. Setelah Clara pergi, Sebastian baru menyadari sesuatu."Tunggu, kenapa aku jadi aku patuh pada wanita itu?" Sebastian tidak percaya dengan dirinya sendiri yang berubah begitu mudahnya. Dia tertawa sendiri."Siapa yang Tuan di sini?" gerutu Sebastian. Meski begitu dia memutuskan untuk menunggu.Lama-lama Sebastian semakin bosan. Dia keluar dari mobil. Perumahan ini sangat sepi. Penghuninya adalah mayoritas kalangan menengah ke bawah. Terlihat beberapa hewan piaraan seperti anjing tengah berkerumun di dekat toh sampah.Sebastian berjalan mondar-mandir di dekat mobilnya."Kenapa dia lama sekali?" gumam Sebastian. Kekhawatiran kini mulai merajai dirinya. Sebastian tidak mengerti dengan perasaan ini, kekhawatiran ini sungguh tak berd
Setelah kejadian itu, Clara lebih banyak diam. Dia jarang tersenyum. Dan hanya bicara jika Sebastian mengajaknya bicara atau rekan yang lain. Hal itu membuat Sebastian merasa aneh. Dia tahu Clara seperti itu karena kejadian beberapa waktu yang lalu.Ketika Sebastian meminta dilayani, wanita itu melakukannya dengan setengah hati. Hal itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya yang datar dan tatapannya yang kosong.Namun, Sebastian tidak marah. Dia justru memberi waktu pada Clara untuk menyendiri."Besok kita akan pergi, sebaiknya kamu bersiap mulai dari sekarang," kata Sebastian."Bersiap? Apakah saya harus membawa pakaian ganti?" tanya Clara."Tidak perlu, kita bisa membelinya. Siapkan keperluanmu saja, karena kita akan menginap," kata Sebastian."Baik, Tuan."Sebastian sudah pergi, ketika Clara menyadari sesuatu. "Kenapa aku tidak tanya mau pergi ke mana? Ah, dasar pelupa!" Clara menonyor kepalanya sendiri.Keesokan harinya, Clara bangun pagi-pagi sekali. Seperti yang dikatakan oleh Se
Clara kembali ke dalam ruangan ganti. Dia mengenakan Coat panjang yang diberikan Sebastian. Rasanya memang cukup hangat. Modelnya juga sangat keren. Serasi dengan setelan yang dipakainyaClara menatap pantulan dirinya di cermin."Aku seperti artis Hollywood saja," gumam Clara sembari terkekeh.Ketika Clara keluar, dia melihat Sebastian yang sudah berganti pakaian dengan setelan berwarna senada seperti miliknya."Tuan?" ucap Clara kaget. Lalu dia melihat dirinya sendiri. Warna setelan yang dikenakan Sebastian sama dengan setelan miliknya. "Kita sudah seperti pasangan,” celetuk Clara."Kita memang pasangan 'kan, ayo berangkat."Sebastian melakukan pembayaran. Beberapa tas belanja dimasukkan ke dalam mobil.Urusan pakaian ganti selesai, keduanya masuk ke dalam mobil dan kembali dalam perjalanan.Sebastian menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.Saat berangkat dari Mansion, keduanya memang belum sarapan.Sebastian berniat untuk mencari rumah makan. Kendaraan memasuki area perbuki
Clara ingin sekali memprotes nama panggilan itu, namun Sebastian lebih dulu menyela. "Roger, perkenalkan ini Clara.""Selamat datang, Nyonya Clara," sapa pria setengah baya dengan setelan jas dan dasi kupu-kupu. Dilihat dari penampilannya, mungkin saja Roger ini sekelas Andrew.Clara mengangguk sopan kemudian berkata. "Halo, Tuan Roger.""Apa semuanya sudah siap?" Kini giliran Sebastian yang bertanya."Sudah, Tuan. Mari silakan masuk," ucap Roger.Pintu utama terbuka. Sebastian dan Clara memasuki ruang tamu.Clara mengedarkan pandangannya. Villa ini sangat besar, dan juga megah.Dari banyaknya Villa yang berdiri di pegunungan ini, milik Sebastian lah yang paling megah.Sebastian mengajak Clara untuk naik ke lantai atas di mana kamar utama berada.Pintu kamar dibuka. Ketika Clara masuk, dia mendengar suara berisik dari luar jendela. Clara berjalan mendekati kusen jendela dan mengintip dari tirai yang tersibak sedikit. Seketika itu Clara membulatkan mata."Air terjun?" gumam Clara.Gumam
Clara terdiam beberapa saat. Bukannya Clara merasa besar kepala. Namun, sosok yang disebutkan Sebastian sangat mirip dengan dirinya saat masih kecil.Dulu mendiang neneknya suka sekali mengepang rambutnya, itu sebabnya sang nenek melarangnya untuk memotong rambut tersebut. Lalu sang kakek selalu berkata, bahwa rambut adalah salah satu mahkota terindah bagi perempuan. Itu sebabnya Clara begitu menjaga serta merawat kesehatan rambutnya."Rambutmu bagus, Clara."Ucapan Sebastian seketika menyentakkan Clara dari lamunannya. Wanita itu melirik ke samping dengan ekor mata yang mengarah ke belakang. Dia dapat melihat Sebastian sedang bermain-main dengan rambutnya, sesekali lelaki itu menciumnya."Apa teman masa kecil Tuan suka berkebun?" tanya Clara penasaran."Kenapa kamu bisa tahu?"Clara kembali terdiam. Dia merasa sangat aneh. Jantungnya kembali berdegup kencang. "Hanya menebak saja," ucap Clara akhirnya. "Apa Tuan tidak mencarinya?" tanya Clara lagi."20 tahun, aku sudah mencarinya ke ma
Bab 114Clara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Bianca. Ancaman itu masih terasa jelas di pikirannya, membuat dadanya terasa sesak. Di luar, angin malam berhembus pelan, menggetarkan tirai jendela yang terbuka sebagian. Namun, di dalam kamarnya, keheningan justru terasa semakin menyesakkan.Ia menoleh ke arah pintu saat mendengar langkah kaki mendekat. Sebastian muncul dengan wajah serius, membawa segelas air untuknya. "Minumlah," katanya sambil menyodorkan gelas itu.Clara menerima gelas itu dengan tangan gemetar. "Sebastian, aku takut. Bianca tidak akan berhenti. Dia tahu terlalu banyak tentang kita, tentang William, bahkan tentang anak kita."Sebastian menghela napas dalam-dalam, duduk di sebelah Clara. "Aku sudah mengirim orang-orangku untuk menelusuri siapa yang membantu Bianca. Dia tidak mungkin melakukan ini sendirian. Akan kupastikan dia tidak bisa menyentuhmu lagi."Clara menatap Sebastian dengan mata penuh kecem
Bab 112Clara merasakan beban yang semakin berat setelah ancaman Bianca. Setiap kata dalam pesan itu menekan jantungnya, membuatnya merasa terperangkap. Tetapi saat ia menatap Sebastian, ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang memberi harapan. Sebastian selalu menjadi pelindungnya, tetapi kali ini, ia bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Sebagian besar waktu mereka bersama telah diwarnai oleh kebahagiaan dan cinta, namun di balik itu, ada bayang-bayang yang semakin gelap yang mengancam semuanya.Clara menarik napas panjang dan memutuskan untuk memberi tahu Sebastian. "Sebastian, Bianca... dia tahu segalanya. Tentang aku, tentang William. Bahkan tentang foto-foto itu. Dia mengancamku, dan jika foto-foto itu sampai ke keluargamu, terutama ke ibu dan ayahmu, semuanya bisa berakhir buruk."Sebastian menatap Clara dengan serius, matanya menyempit seiring kecemasan yang muncul. "Kamu yakin? Apa yang ingin dia capai dengan ini?"Clara mengangguk dengan tegas, namun matanya terbelalak saat
Bab 111Clara sedang duduk di ruang tamu, memegang secangkir teh yang hampir tak terjamah, matanya kosong menatap keluar jendela. Pikiran dan perasaannya berputar-putar, tertambat pada situasi yang semakin rumit. Ia mencoba untuk fokus pada perbincangannya bersama Sebastian, namun bayang-bayang William yang baru saja sadar terus menghantui pikirannya.Saat ia hendak meneguk tehnya, tiba-tiba ponselnya berdering, suara itu cukup keras untuk mengagetkannya. Clara menatap layar ponselnya dengan ragu, merasa ada yang tak beres. Nama pengirim yang tertera adalah sebuah nomor tak dikenal, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.Dengan hati-hati, Clara membuka pesan yang masuk. Betapa terkejutnya ia saat melihat foto-foto yang dilampirkan di dalam pesan itu. Foto pertama menunjukkan dirinya sedang berdiri di dekat ranjang rumah sakit William, saat ia datang untuk menjenguknya di ruang ICU beberapa hari yang lalu. Foto itu diambil dengan sangat jelas, memperlihatkan posisi dan posis
Bab 110Clara menatap ponselnya untuk beberapa detik, matanya tertuju pada pesan Sebastian yang masih mengalihkan perhatiannya. "Aku ingin kita bertemu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, tentang masa depan kita dan anak kita." Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, semakin menambah berat beban yang sudah ia rasakan.Dengan cepat, ia menekan tombol untuk membalas pesan tersebut, meski hatinya penuh keraguan. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus segera mengambil keputusan. Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengetikkan pesan balasan:Clara: "Aku akan segera menemuimu. Aku sedang dalam perjalanan, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan. Untuk sementara, tolong jaga William. Aku akan menghubungimu lagi."Clara menatap pesan itu sebelum menekannya untuk mengirimkannya. Ketika pesan terkirim, ia merasa sedikit lega karena setidaknya ia telah mengatur segala sesuatunya dengan hati-hati. Meskipun demikian, ia tahu bahwa keputusannya untuk tidak segera menemui William a
*Bab 109*Clara duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit, matanya kosong menatap lantai, pikirannya berkecamuk. Keputusan-keputusan yang ia buat selama beberapa bulan terakhir seakan-akan menjeratnya dalam jaring yang tak bisa ia lepaskan. Perasaannya terombang-ambing antara rasa takut dan penyesalan. Ia baru saja menerima kabar yang mengejutkan dari rumah sakit, berita yang tak pernah ia duga sebelumnya: William, suaminya yang telah lama koma setelah kecelakaan, akhirnya sadar.Namun, hal itu bukan satu-satunya beban yang kini ia tanggung. Pikirannya melayang kembali pada malam-malam gelap yang telah mengubah hidupnya. Kontrak yang ia buat dengan bosnya, Sebastian, bukan hanya tentang pekerjaan—tetapi juga tentang kehamilan yang kini ada dalam dirinya. Clara mengandung anak Sebastian. Dan itu membuat hatinya semakin berat, seolah ia terjebak dalam dua dunia yang saling bertentangan.Sebastian, pria yang telah lama merebut hatinya meski ia tak pernah menginginkannya, kini kembali had
Bab 108Rencana Bianca semakin matang. Setiap langkah yang ia ambil kini semakin mendekatkan pada tujuan utamanya: menjebak Sebastian dan membuat Clara merasa terpojok. Bianca tahu betul bahwa permainan ini tidak hanya tentang membangun keraguan dalam hati Sebastian, tapi juga menghancurkan rasa percaya Clara. Begitu Clara mulai merasakan kesal dan terasing, Sebastian akan menjadi semakin rentan terhadap pengaruhnya.Pada pagi hari yang cerah, Bianca duduk di ruang kerjanya, matanya tertuju pada peta strategi yang sudah ia buat. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Adrian akan segera menghubungi Sebastian, memastikan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Tapi ada satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk mempercepat proses ini.Ia memanggil Reza ke kantornya. Pria itu masuk tanpa suara, mengenakan jas hitam yang sama seperti biasa. Setelah duduk di depan meja Bianca, Reza menunggu dengan sabar."Ada tugas baru," kata Bianca dengan suara datar, namun tajam. "Kita perlu menambah tekana
Bab 108Bianca duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam. Setelah menerima pesan dari Adrian, hatinya berdebar lebih cepat daripada biasanya. Kabar itu datang begitu tiba-tiba dan langsung mengguncang dunia yang telah ia rencanakan dengan sempurna. Ternyata, Clara tidak hanya memiliki masa lalu dengan Adrian, tetapi juga... sudah menikah.William, suami Clara, sekarang berada di rumah sakit, kata Adrian. Kabar itu membakar pikiran Bianca. Ia tidak pernah menyangka hal ini, tetapi saat ia berpikir lebih dalam, ide-ide licik mulai muncul begitu saja di benaknya.Bianca menggenggam ponselnya lebih erat, merenung. William... suami Clara, yang sekarang berada dalam keadaan terluka dan tak berdaya di rumah sakit. Bianca bisa membayangkan semua hal yang bisa ia lakukan dengan informasi ini. Suami yang terluka, hubungan yang rapuh, dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Dia tahu bahwa untuk benar-benar menghancurkan hubungan antara Clara dan Sebastian, ia h
Bab 107Hari-hari berlalu dengan cepat, namun rasa cemas yang menghantui Clara semakin sulit untuk ditutupi. Setiap kali ia berpapasan dengan Sebastian, ia merasa ada jurang tak terlihat yang mulai menggerogoti hubungan mereka. Meskipun Sebastian berusaha untuk terlihat perhatian dan penuh kasih sayang, ada ketegangan yang jelas di antara mereka. Clara bisa merasakannya—sesuatu yang tak terucapkan, tapi terasa begitu nyata.Di sisi lain, Bianca semakin merasa puas dengan hasil rencananya. Adrian melaporkan setiap langkah yang ia ambil, memastikan bahwa keberadaan mereka di dekat Clara tidak bisa diabaikan. Setiap kali Sebastian melihat Clara bersama Adrian, rasa curiga mulai tumbuh, meski ia berusaha menekan perasaan itu. Bianca tahu, itu hanya masalah waktu sebelum Sebastian mulai mempertanyakan segalanya.Suatu malam, saat Clara dan Sebastian duduk bersama di ruang makan, suasana semakin tegang. Makanan yang biasanya dinikmati dengan kehangatan kini terasa hambar. Sebastian menatap
Bab 106Keesokan harinya, suasana mansion keluarga Sebastian tampak tenang. Clara masih menjalani hari-harinya dengan kebahagiaan yang semakin terasa utuh bersama Sebastian. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, menikmati keindahan taman belakang, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar rumah. Namun, meski segala sesuatunya terlihat sempurna, ada sesuatu yang tak terlihat, yang perlahan mulai meresap ke dalam hubungan mereka.Pada saat yang sama, Adrian mulai melaksanakan rencananya dengan hati-hati. Ia mengamati Clara dari kejauhan, mengikuti setiap langkahnya, dan mencatat segala hal yang bisa dimanfaatkan untuk meragukan Clara di mata Sebastian. Setiap gerak-geriknya, setiap tempat yang sering dikunjungi Clara, telah dicatat dengan cermat dalam amplop yang Bianca berikan padanya.Pada suatu siang yang cerah, saat Clara sedang berjalan menuju kedai kopi favoritnya, Adrian muncul dengan tiba-tiba. Dengan pakaian kasual dan senyum penuh kepalsuan, ia menghampiri Clara yang se