119Ketegangan terjadi antara Sebastian dan William, membuat suasana di ruangan tersebut menjadi semakin memanas. Mereka berdua saling melempar tatapan tajam, seolah-olah ingin menusuk satu sama lain dengan pandangan mereka. Masing-masing mencoba mempertahankan pergelangan tangan Clara.“Lepaskan tangan istriku!” seru William.Sebastian terlihat tenang dan santai, namun di balik ekspresi wajahnya yang damai, dia memiliki api kemarahan yang siap meledak. Dia memandang William dengan mata yang tajam, seolah-olah ingin menantang pria itu untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga.“Dia memang istrimu. Tapi dia mililkku!” ucap Sebastian tak mau kalah.Mendengar itu, William terlihat marah. Dia memandang Sebastian dengan mata yang merah padam, seolah-olah ingin mencekik pria itu. Dia terlihat seperti akan meledak setiap saat, dan Sebastian tahu bahwa dia harus terus memancing amarah William agar rencananya berhasil.“Kamu juga pasti tahu ‘kan kalau dia juga sedang mengandung anakku?”Tatapa
Hari itu, rupanya perjalanan Sebastian membawa kembali Clara pulang tidaklah mulus. William yang masih berstatus suami dari Clara tidak membiarkan dirinya begitu saja. Pria itu menyusul Sebastian dan Clara yang berjalan bergandengan menuju ke mobil. William, berlari dan menghadang dua orang itu."Berhenti! Tidak akan aku biarkan kamu membawa istriku begitu saja. Urusan kita belum selesai," pungkasnya tak gentar.Sebastian menghela napas jengah. Lelah dengan situasi ini. Sebastian ingin segera pulang dan bersama dengan Clara tanpa gangguan. Akan tetapi, pria ini seperti bayangan yang terus menghantuinya."Apa kamu tahu, kalau kamu mempersulit Clara? Dia harus menyelesaikan perjanjian ini, kalau jika tidak. Maka dia akan membayar pinalti yang lebih besar dari uang yang dia pinjam padaku," ujar Sebastian mencoba menahan diri."Apa?" William memandang Clara mencoba mencari sumber kebenaran. "Apa benar itu, Clara?" tanya William."Ya, benar."Jawaban yang diberikan Clara seolah memukul tela
Sebastian dan Clara akhirnya kembali ke mansion setelah menjalani hari penuh ketegangan. Begitu mereka melangkahkan kaki ke halaman depan, aroma bunga segar dari taman menyambut mereka dengan keharuman yang menenangkan.Pintu besar mansion terbuka lebar, dan di ambangnya berdiri Andrew, kepala pelayan yang setia, bersama para pelayan lainnya. Senyum merekah di wajah mereka, mencerminkan rasa bahagia yang tulus atas kembalinya kedua tuan muda itu."Selamat datang kembali, Tuan Bastian dan Nona Clara!" seru Andrew dengan penuh suka cita, membungkuk hormat.Para pelayan lainnya ikut berseru riang, beberapa bahkan meneteskan air mata haru. Kehangatan yang terpancar dari mereka membuat Clara merasa benar-benar berada di rumah. Setelah hari yang sulit Clara lalui sendirian, akhirnya dia kembali ke tempat yang penuh kenyamanan ini.Sebastian memberikan perintah kepada para pelayan agar menyiapkan air mandi hangat untuk Clara. Sebastian yakin Clara akan membutuhkan itu. Setelah memastikan Clar
Clara menengadah, menatap wajah Sebastian yang terlihat tenang, teduh, dan lembut. Tak seperti biasanya yang terlihat dingin dan arogan. Clara mencoba mencari keyakin dari tatapan Sebastian. Apakah benar yang pria itu katakan?"Apa itu sungguhan?" tanya Clara. "Bukankah kamu ingin mengembalikan aku pada suamiku setelah kontrak selesai?"Sebastian berdecak. Wanita ini ingatannya memang sangat kuat. Batinnya. "Aku hanya menggertak suamimu saja.""Jadi itu tidak sungguhan?" tanya Clara lagi."Asal kamu bersedia. Maka aku akan menghapus kontrak itu," kata Sebastian yang membuat Clara seketika terdiam. Dia merasa senang ketika mendengar ucapan Sebastian, namun di sisi lain dia juga kepikiran.Bagaimana nasib William. Kalau dirinya menerima tawaran Sebastian. Itu artinya dirinya harus meninggalkan pria itu. Dan itu akan menyakiti William. Padahal pria itu tidak salah."Kenapa kamu diam? Jangan bilang kamu meragukanku?" tanya Sebastian.Clara menarik sudut bibirnya singkat. Kepalanya kembali
Sebastian terdiam. Tatapannya terlihat dingin dan tajam, seolah tengah menekan sesuatu dalam dirinya. Sebuah emosi. Meski begitu Sebastian tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Dia dengan tenang lantas membalas ucapan "Aku akan ke sana sekarang."“Baik, Tuan.” Andrew segera kembali pada tugasnya.Sementara Sebastian kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dia tidak menghampiri Clara yang terlanjur terlentang di atas kasur. Melainkan berjalan ke arah lemari untuk meraih pakaian.Melihat raut wajah Sebastian yang tak sedap dipandang, Clara segera bertanya. "Ada apa?""Aku harus pergi. Ada urusan penting."Kecewa Clara mendengarnya. Begitu mudahnya Sebastian melupakan hasratnya. Namun, itu bukanlah sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Clara justru khawatir terjadi sesuatu yang buruk."Apa ada masalah?" tanya Clara lagi."Bukan masalah yang besar." Sebastian mengenakan pakaiannya dengan cepat. Sesekali melirik ke arah Clara. "Kamu istirahat saja, atau ingin bersantai? Kamu juga m
Sebastian membulatkan matanya dengan kuat, seperti tidak percaya pada apa yang dia lihat. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya, dengan alis yang terangkat dan mulut yang terbuka lebar. Dia terlihat seperti telah melihat sesuatu yang sangat mengejutkan dan tidak terduga, sesuatu yang membuatnya kehilangan kata-kata.Wajahnya yang biasanya tenang dan terkendali sekarang terlihat penuh dengan emosi, dengan percampuran antara kekagetan, keheranan, dan bahkan sedikit ketakutan. Sebastian seperti telah terpaku di tempat, tidak bisa bergerak atau berbicara, hanya bisa memandang pada apa yang ada di depannya dengan mata yang terbuka lebar."Ramon!" teriak Sebastian.Pria yang dipanggil hanya bisa mengangkat kepalanya dengan sangat pelan."Saya tidak apa-apa, Tuan." Suara Ramon terdengar serak.Sebastian mengepalkan kedua tangan. Melihat kondisi Ramon yang seperti itu membuat darah Sebastian mendidih. Entah apa yang telah dilalui oleh orang kepercayaannya itu. Mengingat Ramon memiliki kemam
Panggilan berdering. Namun tidak mendapat jawaban. Hal itu membuat Sebastian didera rasa khawatir yang berlebihan. Nomor Clara kembali ditekan. Nada dering terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban dari Clara. Keheningan itu menimbulkan rasa cemas dalam diri Sebastian, membuatnya berpikir apakah sesuatu telah terjadi pada Clara.Sebastian lantas menghubungi Andrew untuk mencari kepastian akan kondisi Clara.“Ya, Tuan.”“Di mana, Clara?” tanya Sebastian ketika mendengar suara dari seberang.“Sepertinya Nona sedang beristirahat, Tuan,” jawab Andrew."Oh, syukurlah!" Sebastian merasa lega. Wajahnya yang dipenuhi kekhawatiran seketika berubah sedikit terang. Setidaknya Clara saat ini berada dalam situasi aman. Meski sebenarnya Sebastian ingin mendengar suaranya. Mengingat tabiat Maxime, Sebastian tidak dapat meremehkan pria itu yang dapat melakukan apa saja. "Andrew, perketat penjagaan, larang siapa pun yang datang berkunjung ke rumah sekali pun itu kakekku!" titah Sebastian."Bai
Clara seketika menutup mulutnya karena kaget. Dia tidak percaya apa yang dia lihat. Berita macam apa ini ini? Cara menggeleng. Clara merasa seperti sedang berada di dalam sebuah mimpi buruk. Semua hal terasa seperti sedang berada di luar kendali, dan Clara merasa seperti sedang berada di tengah-tengah badai yang tidak terduga.Dengan mulut yang masih tertutup, Clara berusaha untuk memahami apa yang sedang terjadi. Dia mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya, namun semuanya terasa seperti sedang kabur dan tidak jelas."Bagaimana bisa?" Clara terus saja menggelengkan kepalanya. Berita ini sungguh mengejutkan dirinya. Jemarinya terus menggulir layar sembari bibirnya bergerak cepat membaca artikel yang tertera di sana. Lengkap dengan gambar dirinya dan juga Sebastian yang tengah bersama di beberapa tempat umum.Tertulis jelas bahwa Sebastian memiliki hubungan dengan asisten pribadinya yang tak dirinya yang telah bersuami. Artikel ini disebar dengan tujuan memojokkan diri
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Abraham tetap dipenuhi semangat baru. Matahari pagi menyinari halaman luas, membelai kebun kecil tempat Kaisar biasa bermain. Burung-burung berkicau riang seolah turut merayakan kebahagiaan keluarga itu.Sebastian duduk di teras bersama Maxime, sambil menyeruput kopi hangat. Kaisar berlari-lari kecil di halaman, diawasi oleh Clara dan Lucia yang duduk di ayunan."Kaisar benar-benar menjadi pusat dunia kita sekarang," ujar Maxime, matanya tidak pernah lepas dari cucu buyut kecilnya itu.Sebastian tersenyum bangga. "Dia anugerah terbesar kami, Kek. Kami ingin membesarkannya dengan nilai-nilai yang sudah Kakek ajarkan."Maxime mengangguk pelan. Ia tahu, Sebastian bukan hanya berkata-kata. Ia melihat sendiri bagaimana putranya itu kini menjadi sosok pemimpin keluarga yang kuat namun penuh kasih."Kau tahu, Sebastian," kata Maxime setelah beberapa saat hening. "Aku sempat khawatir, ketika dulu semua terasa begitu kacau... Aku takut keluarga ini akan
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj