"Aku harus membawa mereka bersamaku!" Janice berseru begitu lantang saat Edgard mengatakan tidak bisa membawa anak-anak menjenguk adik Nara yang kecelakaan di desa. "Janice, tapi kita akan menghabiskan waktu di rumah sakit dan tidak akan ada yang menjaga mereka nantinya." "Aku tetap tidak akan meninggalkan anak-anakku dan memberikan kesempatan pada Harlan atau siapa pun untuk menyakiti mereka, Edgard!""Janice, kalau begitu kau tidak usah ikut! Kau di sini saja bersama anak-anak! Biar Ibu yang pergi!" sela Nara tiba-tiba. "Tidak, Ibu! Aku harus ikut! Aku harus melihat Tante, bisa saja ini perbuatan orang jahat! Kecelakaan itu pasti direkayasa!" pekik Janice lantang dengan air mata yang masih terburai. Dan Edgard pun terdiam mendengarnya. Kecelakaan yang direkayasa. Kata direkayasa rasanya langsung berputar di otaknya. Enam tahun yang lalu, Edgard merasa kecelakaannya juga direkayasa. Edgard terus meyakinkan semua orang kalau ada orang jahat yang ingin mencelakainya, tapi Tante
"Ibunya mengalami patah tulang kaki tapi anaknya mengalami pendarahan otak."Janice begitu syok saat mendengar berita itu sampai tubuhnya terhuyung. Mereka akhirnya tiba di rumah sakit tempat adik Nara dirawat dan langsung dikejutkan oleh kondisi keluarga mereka yang ternyata parah. Nara sendiri juga begitu syok. Keponakannya menjelaskan kalau ibu dan kakaknya sedang mengendarai sepeda motor saat mereka ditabrak oleh sebuah mobil pick up yang melaju begitu kencang. Sopir pick up juga mengalami luka, namun tidak separah adik Nara dan anaknya. "Sopir pick upnya mengaku mengantuk karena belum tidur sejak semalam dan terus memuat barang." Janice begitu frustasi mendengarnya sampai ia terus menangis. Edgard pun mengajak Janice duduk di kursi dan terus memeluknya sambil ia sendiri berpikir keras. Namun, Janice membuyarkan pikirannya saat ia mulai berceloteh. "Aku tahu sepupuku selalu membawa sepeda motor dengan hati-hati, apalagi karena dia membonceng ibunya. Sopir pick up itu benar
"Anak-anak itu ada di rumah Bu Elizabeth."Harlan melapor hasil kerjanya pada Miriam malam itu termasuk melaporkan bahwa anak-anak Janice dititipkan di rumah Elizabeth. Miriam yang mendengarnya langsung mendengus kesal. "Pintar sekali ide menitipkan anak-anak sialan itu di rumah ibuku!"Harlan pun mengangguk. "Sebelum mereka pergi, mereka mengantar anak-anak itu dulu." "Huh, apa mereka pikir aku tidak bisa menjangkaunya? Itu rumah ibuku, tidak sulit bagiku untuk masuk ke sana! Dasar wanita sialan! Tidak akan kubiarkan kau mempengaruhi ibuku juga!" Miriam mengepalkan tangannya dan menggebraknya ke meja ruang kerjanya dengan wajah menahan emosinya. "Berani sekali dia buka mulut dan menyebut nama kita, Harlan!""Kita lihat saja apa dia bisa bertahan dengan tekanan yang kita buat! Dia harus tahu kalau sedikit saja dia buka mulut, maka satu persatu orang yang dikenalnya akan menerima akibatnya!" "Aku tidak akan membuatnya hidup tenang sampai dia pergi selamanya dari hidup Edgard dan
Beberapa hari berlalu sejak kecelakaan dan hari kembali tenang. Kondisi adik Nara dan anaknya pun berangsur membaik dan Janice yang mendengar beritanya pun begitu senang. Edgard dan Janice sendiri sudah pulang ke kota, sedangkan Nara tetap tinggal di desa bersama keluarganya. "Jaga anak-anak, Janice! Jangan khawatirkan Ibu! Semuanya baik-baik saja di sini!" kata Nara di telepon." "Syukurlah, Ibu! Besok aku juga akan ke sekolah bersama Edgard. Grandma akhirnya mendaftarkan anak-anak sekolah dan anak-anak juga begitu antusias." "Iya, mereka sudah bercerita pada Ibu. Jadi besok adalah hari pertama mereka bersekolah?" "Hmm!" Janice mengangguk. "Rasanya masih seperti mimpi, Ibu. Dulu aku berpikir begitu keras bagaimana menyekolahkan anak-anak dan sekarang mereka malah masuk ke sekolah yang bergengsi. Aku bersyukur sekali!" "Ibu juga bersyukur, Janice. Tapi tetap saja kalian harus segera melakukan pernikahan yang sah agar nama anak-anak jelas dan semua dokumennya juga jelas. Lagipula
"Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Harlan, Jefry?" Edgard mengajak Jefry ke ruang kerjanya malam itu untuk mendengarkan laporan Jefry. "Maaf, Bos, untuk saat ini belum ada. Aku meminta dua orang untuk mengikuti Harlan dan Bu Miriam, tapi beberapa hari ini mereka nyaris selalu bersama. Di mana ada Bu Miriam, di sana ada Harlan, sama sekali tidak ada yang mencurigakan dari pergerakan mereka." "Dan Bu Miriam pun kebanyakan berada di rumah. Kalau dia keluar pun, tempat yang dikunjunginya hanya Orion untuk mencari Pak Devan atau perusahaan lain yang masih dia urus. Ah, dia juga ke rumah Grandma satu kali tadi siang." Jefry melaporkan semua yang Harlan dan Miriam lakukan dan Edgard hanya mengangguk mengerti. "Lalu yang lain-lain? Aku memintamu menyelidiki apa yang Harlan lakukan dulu, apa kau sudah berhasil?" "Itulah yang belum berhasil, Bos. Tapi aku sedang dalam tahap pendekatan dengan manager finance di sana." Edgard memicingkan mata mendengarnya. "Manager finance? Wanit
"Dah, Mama ...." Janice terus tertawa, namun ada rasa sedih juga saat melepas Collin dan Calista masuk ke kelasnya untuk pertama kalinya. Guru di sekolah mengijinkan Janice dan Edgard masuk, tapi hanya mengantar sampai ke depan kelas saja karena pelajaran akan segera dimulai. Collin dan Calista memang masuk di pertengahan semester. Awalnya Janice berniat memasukkan anaknya sekalian waktu SD saja, tapi Grandma memaksa anak-anak itu harus sekolah di TK. Grandma pun menyiapkan semuanya dengan kilat dan di sinilah Collin dan Calista berada. Rasanya Janice begitu terharu sampai terus merekam anak-anaknya sampai masuk ke kelas untuk nanti diberikan pada Nara agar ibunya itu juga bisa melihat cucu-cucunya di hari pertama mereka bersekolah. Edgard sendiri ternyata juga sama antusiasnya mengantarkan anaknya bersekolah pada hari pertama. Jefry sendiri tidak ikut mengantar karena Jefry harus mengurus rapat yang ditinggalkan Edgard demi mengantar anak-anaknya sekolah, tapi Tito dan bebera
"Uhuk ... uhuk ...." Edgard langsung menepuk-nepuk dadanya sendiri. "Eh, kau kenapa, Edgard? Hati-hati kalau minum!" tegur Elizabeth. "Ah, aku tidak apa, Grandma. Aku hanya terkejut mendengar ucapan absurd Grandma." "Apanya yang absurd? Siapa tahu saja Janice memang hamil dan si kembar akan punya adik." "Eh, Collin mau punya adik?" pekik Collin kaget."Calista juga mau punya adik? Calista mau adik girl, Mama ...." "Collin mau adik boy, Mama ...." Mereka pun terkikik karena tadi di sekolah mereka belajar tentang boy dan girl. "Girl saja, Collin!" seru Calista gemas. "Boy saja!" balas Collin tidak terima. "Girl saja! Collin kan sudah punya banyak teman bermain, ada Uncle Jefry, ada Uncle Tito! Jadi girl saja!" seru Calista lagi. "Boy saja!" Dengan cepat, Collin dan Calista pun terlibat perdebatan seperti biasa sampai Janice memutar bola matanya kesal. "Collin, Calista, sudah cukup, jangan bertengkar di depan Grandma buyut!" "Calista duluan, Mama ...." "Collin duluan ...."
"Apa-apaan ini, Edgard?" Janice tidak berhenti mengomel saat Edgard akhirnya berhasil memaksanya masuk ke mobil dan Edgard pun langsung melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sebelumnya Edgard sempat mengajak serta Collin dan Calista juga lalu mengantarnya ke rumah Elizabeth dulu agar mereka tidak cemas meninggalkan si kembar di rumah. Edgard sendiri sudah membuat janji dengan dokter sehingga mereka tidak perlu mengantri nanti. "Kau hamil, Janice. Kau harus diperiksa!" "Aku tidak hamil!" "Kau mengalami gejala kehamilan, Janice." "Seperti kau tahu saja seperti apa gejala kehamilan itu."Edgard pun melirik kesal pada Janice. "Walaupun aku belum punya istri tapi aku tidak bodoh, Janice. Aku tahu gejala kehamilan persis seperti yang kau alami, lagipula kita pernah melakukannya kan? Jadi kau pasti sedang hamil anakku."Janice terdiam mendengarnya. Sungguh awalnya Janice tidak berpikir kalau ia hamil. Bahkan ia hampir melupakan kalau Edgard pernah menodainya secara paksa. Bukan lupa, ta