Ring ring….
Terdengar pelan musik dari nada dering ponsel milik Pak Joko. Dia meletakkan sendok yang dia pegang dan mulai merogoh kantung miliknya. Tatapan matanya terlihat sangat fokus, dia mengangkat ponsel itu dengan wajah yang bercampurkan seluruh emosi. Di luar hujan mulai turun, Pak Joko mengangkat ponselnya dan izin untuk menjauh dari meja makan.
Lea memfokuskan kedua matanya, dia memandang kearah Pak Joko. Hatinya menduga bahwa itu pasti panggilan dari Rebin.
“ Ya, sangat baik Tuan. Nyonya Lea bahkan membawa teman-temannya kemari dan ikut tinggal dirumah bersama kami.”
“ Oke Tuan, Sama-sama. Seharusnya saya yang berterima kasih.” Balas Pak Joko.
Panggilan terputus, Pak Joko kembali ke meja makan. Tidak beberapa lama kemudian ponsel Lea yang diletak di atas meja makan berdering. Mata Lea tertuju kembali kelayar ponselnya.
“ Sudah kuduga, ini dari Paman Rebin” besitnya dalam hati.
Lea mengangkat panggilan telepon dari Rebin dengan hati yang lapang.
“ Baik Paman, Paman sendiri bagaimana keadaannya?”
“ Syukurlah. Oh Paman mau kenalan dengan temanku. Bentar ya, aku berikan ponselku kemereka.” Jawab Lea.
Bu Joko terlihat berbicara kepada anaknya yang paling kecil. Entah alasan apa, dia beranjak menjauhi meja makan bersama anaknya dan menuju kekamar.
“ Loh Bu? Mau kemana?” tanya Lea yang masih merapatkan ponsel ditelinganya.
Bu Joko memberikan penjelasan, bahwa anaknya sedang sakit perut dan harus kekamar mandi. Lea hanya mengangguk dengan senyum. Pak Joko hanya bisa tertunduk, begitu pula Nana, sedangkan adik Nana yang bernama Royan, hanya asyik makan sembari bermain ponsel.
“ Hallo Paman. Selamat malam ini aku Amanda, teman Lea. Paman jangan khawatir, kami pasti akan menjaga Lea. Dahhhh” sahut Amanda. Dia memberikan ponse itu1 kembali kepada Lea. Amanda tidak mau berlama-lama berbicara, kalimatnya singkat nan jelas dengan nada yang tidak membuat orang khawatir.
Lea mengambil kembali ponsel miliknya, dan melanjutkan perbincangannya dengan Rebin, dia berbohong tentang keadaan dirinya dikampus tadi pagi. Dia berkata bahwa hari ini sangat menyenangkan dan menghibur hari-harinya, dia juga menjelaskan bahwa anak Pak Joko yang bernama Nana adalah gadis yang baik dan ramah. Malam itu menjadi sangat panjang, Lea berbicara kepada Rebin seperti seorang anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Ada hampir satu jam dia berbicara bersama Rebin sembari menyantap hidangannya, hingga Rebin izin untuk menutup teleponnya.
Bu Joko kembali setelah Lea menutup teleponnya, setelah itu mereka membereskan meja makan dan mulai menghabiskan malam dikamar masing-masing.
Lea terlihat duduk dan termenung diatas bangku dihadapan meja belajar miliknya, dia melihat kembali beberapa lembar koran tua yang tertempel di dinding sebelah meja balajarnya. Jari-jemari Lea mulai mengidentifikasi buku yang ingin dibacanya malam ini.
Blarrr
Petir menyambar kuat, malam semakin larut dan hujan yang menyertai semakin ganas. Jari telunjuk Lea terhenti disebuah buku tebal dengan memiliki sampul hardcover yang bertuliskan “ Ensiklopedia Kerajaan-kerajaan Nusantara”, buku itu merupakan buku yang hanya terdapat diperpustakaan nasional, namun karena Rebin memiliki pengaruh yang besar, dia diperbolehkan untuk menyalin buku itu sesuka hatinya.
Meski sedikit bingung, tapi Lea tetap mengambil buku itu dan mencoba membacanya. Tangannya terlihat merogoh laci dan mengambil kacamata baca miliknya.
“ Ensiklopedia Kerajaan-kerajaan Nusantara. Jilid tiga.”
“ Hemm, tidak buruk.” Ucap Lea.
Dikamar Lea sangat senyap, teman-teman Lea seperti tahu bahwa saat Lea membaca, mereka tidak boleh berisik dan mengganggunya. Lembar demi lembar dia baca secara lirih dan seksama, kurang lebih setelah satu jam membaca, dia mulai menutup buku tersebut dan mengambil buku lainnya. Kali ini, dia mengambil kita Al-bidayah wa An-Nihayah : Karya Ibnu Katsir. Jika menerjemahkan artinya maka buku itu berjudul Permulaan dan Akhir atau Permulaan hingga Akhir. Itu buku menjelaskan tentang awal mula penciptaan langit dan bumi dan segala perangkat yang didalamnya hingga kisah para nabi yang bahkan menjelaskan nabi-nabi yang diluar dua lima nabi. Setelah membaca buku itu Lea terlihat sedikit merasa tenang.
Lea menyimpulkan dari kedua buku yang memiliki tajuk sejarah itu, bahwa orang-orang terdahulu hingga sekarang itu terlihat sama dan tidak pernah berubah. Hal itu terjiplak dikepalanya dengan sangat erat saat mengetahui beberapa kisah kaum-kaum yang memberontak para utusan Tuhan sepanjang tahun-tahun yang dialami pada zamannya, juga begitulah yang dia simpulkan dari buku Ensiklopedia kerajaan-kerajaan Nusantara.
Manusia selalu memonopoli kehidupan hanya untuk memuaskan hasrat pribadinya, semua diiringi oleh ketamakan dan rasa bangga yang berlebihan. Dan sifat itu adalah sifat yang dari dulu sudah ada. Satu hal yang berubah hanyalah penempatan nama. Jika dulu mereka tidak mengenal Internet sebagai gudang ilmu namun sebagai gantinya mereka memiliki teknologi yang memadai dizaman itu sebagai pengganti internet, seperti buku dan hal lainnya. Meski keduanya adalah hal yang cenderung berbeda, namun itu memiliki akar yang sama. Begitu pula tempat pelacuran yang namanya selalu berubah seiring zaman berganti.
“ Ya, bukannya motif pembunuhan kedua orang tuaku hanya sifat umum pada manusia?” ujarnya sendiri.
Pemikiran Lea cukup jauh, dia mencari refensi tentang insiden masa lalu yang dia alami dengan mencari sifat dasar manusia itu terdahulu. Dia mencocokkan kecenderungan itu hanya untuk mendapatkan motif asli pembunuhannya.
“ Iri hati” hanya itu yang keluar dari mulut Lea.
Meski aspek sebenarnya sangat luas, namun Lea mengenyampingkan sebagian isi bukunya dan hanya berfikir sampai disana.
Waktu membaca Lea berakhir, malam itu banyak sekali ilmu yang Lea cerna. Dan sekarang dia mulai menghampiri teman-temannya yang diatas kasur pribadi miliknya, dia berbaring sembari menatap langit-langit kamar miliknya.
“ Mungkin kau perlu membaca Al-Muqadimmah” ujar Grace kepada kepada Lea.
Lea hanya sedikit senyum tanpa mengalihkan tatapannya dari langit-langit rumah,
“ Menurutmu, buku itu bagaimana?” tanya Lea pada Grace.
“ Hemm, buku itu mengandung segala unsur kemanusiaan. Cocok jika kau ingin melihat sudut pandang tentang manusia lebih jauh. Karena penulisnya sendiri merupakan orang yang sangat cakap dalam berkomunikasi dan mengerti peradaban manusia secara umum. Bagaimana tidak? Dia bahkan seorang penjelajah seperti Vasco da Gamma atau siapapun yang kau kenal.” Jawab Grace, dia mengalihkan pandangannya dan menarik selimut.
Ya, itu rekomendasi buku yang sangat baik menurut Lea. Lea mulai memejamkan matanya dan berharap dia mendapatkan mimpi yang sangat indah, lebih indah dari sekedar tidur ditumpukkan sutra sembari mendengar percikan air yang mengalir.
Hati Nana bergemuruh malam itu, dia masih tidak bisa berfikir jernih tentang apa yang telah terjadi hari ini. Satu hal yang pasti, dia berniat untuk memperbaiki dirinya dan mulai hidup jauh dari iri hati. Dia merasa sangat rugi jika potensi yang dimilikinya harus hilang karena kedunguannya terhadap akhlak dan perilaku.
Hari ini menyadarkannya bahwa manusia memiliki beraneka ragam rupa dan bakat alaminya sendiri yang bahkan orang lain tidak miliki. Dan itu yang membuat kalau sesuatu itu tidak boleh direnggut begitu saja.
“ Huft, kamar ini cukup besar bagiku. Tuan Rebin benar-benar penyelamat” ucapnya lirih hingga dia terbenam oleh bisikan manja dari alam mimpi.
Suasana sangat memaksa siapapun untuk tidur malam ini, bahkan suasana dinginnya menegaskan bahwa akan indah jika kau tidur dengan pasanganmu saat itu.
Cuaca memang sedang tidak normal belakangan ini, pada akhirnya badan prakiraan cuaca hanya mampu memprediksinya saja, tidak lebih. Padahal sebelumnya, jelas-jelas tertera bahwa malam ini akan cerah.
Kring….. Kring…
Pukul 04.00 pagi. Hujan masih belum berhenti, suara alarm tidak terdengar kuat ditelinga Lea. Namun, karena kebiasaannya bangun pukul 04.00, dia seperti mendapatkan sentakan keras saat itu. Tubuh dan otaknya seakan-akan telah merespon bahwa dia harus benar-benar bangun sekarang.
Lea menatap teman-temannya yang tidur, hanya satu yang terjaga kala itu yaitu Callista. Dia kini telah mengambil posisi duduk dibangku dihadapan meja belajar, sebelumnya bangku itu adalah bangku yang dia duduki. Melihat Callista yang terbangun mendahuluinya, Lea kemudian tidur kembali.
Callista sedang melatih tulisan tangannya, dia menulis aksara Jawa dan beberapa aksara asing. Callista memang menyukai sastra dan bahasa. Dia bahkan menguasai setidaknya empat bahasa yang lumayan sulit seperti Rusia, Arab, China, dan Vietnam. Juga menguasai bahasa internasional yaitu inggris.
Terdengar lirih suaranya menghafal kosakata dan terkadang dia mencatatnya, kali ini dia benar-benar ingin mempelajari bahasa ibunya, yaitu bahasa Jawa.
Ayah Callista adalah campuran Belanda-Indonesia, hal itu yang membuat Callista terlihat sekilas seperti orang Eropa. Dia berniat akan mempelajari bahasa belanda setelah dia bisa berbicara Jawa dengan Pak Joko. Sebelumnya, Callista mengamati Pak Joko dengan Joanita sedang berbincang menggunakan bahasa Jawa, hal itu membuat Callista bersemangat untuk memperdalam bahasa Jawa.
Satu hal yang menjadi motivasi Callista, yaitu ‘ Bahasa merupakan peradaban dunia, jika tidak ingin tertinggal maka kuasailah setidaknya satu bahasa asing ataupun bahasa ibumu.’
Asyik menulis, Callista tanpa sengaja melihat tempelan dari koran-koran tua di dinding sebelah meja belajar. Dia kembali teringat tentang penderitaan yang di alami oleh Lea. Callista berdiri dan mencoba mendekatkan kepalanya kearah koran-koran itu. Dia perlahan membaca dan mencermatinya, kecurigaan menyelimuti hati Callista, dia semakin penasaran dan mengambil ponsel miliknya. Kini, dia berselancar bebas di internet hanya untuk sepotong informasi tentang sahabat dekatnya itu.
Menurut pengamatan Callista semua sudah sangat jelas, seluruh bukti dan media tertuju pada seorang gadis kecil yang tidak lain adalah Lea itu sendiri. Dia melihat bahwa isi berita itu sedikitpun tidak ada yang aneh, dan investigasi polisi yang dia baca sangat wajar dan bisa dibilang sangat logis.
Namun, Callista tidak ingin Lea mengetahui fakta bahwa Lea yang memang membunuh kedua orang tuanya. Daripada memberitahu, Callista malah menyembunyikan informasi itu dan membiarkan Lea menguak jati diri miliknya sendiri.
Tapi, dari boneka yang di antar Nana kekamar Lea menunjukkan bahwa ada seorang gadis kecil lain yang terlibat di tempat kejadian perkara saat itu. Callista berjalan dan mengambil boneka yang tergeletak disebelah pintu kamar.
“ LLEVAÑA”
Begitulah pola yang tercabik diatas tubuh boneka sedang itu, Callista merasa aneh. Biasanya pengamatannya tidak pernah salah. Dia yakin bahwa investigasi dan penyelidikan polisi sangat tepat dari media yang dia baca. Namun, sesuatu yang janggal terjadi begitu saja, kini Callista mulai mencari tahu siapa Jevanya sebenarnya. LLEVAÑA sendiri merupakan nama yang cara membacanya menggunakan dialek Espanyol. Double L dalam bahasa Spanyol dibaca ‘J’ dan Ñ dibaca ‘ Ny’, jadi LLEVAÑA dibaca menjadi Jevanya. Nama itu dihafal mati oleh Callista, tidak peduli dengan hujan yang menimpanya. Dia mengambil beberapa sepotong Jacket kulit milik Lea dan mengenakannya. Dia berjalan perlahan dan mulai keluar dari rumah Lea dengan Jacket yang telah diselimuti Jas. Callista memiliki fisik yang hampir mirip dengan Valencia dan Lea, dia memiliki tubuh yang atletis dan stamina yang kuat. Entah apa yang dipikirkan Callista, namun dipukul 04.00 lewat sedikit itu, dia meninggalkan rumah.
Pagi menyapa, mentari dengan bahagianya menampakkan sedikit sinarnya. Lea beranjak dari tempat tidurnya dan membuka sedikit gordyn jendela dikamarnya. Dia mencoba menghirup aroma embun dan merasakan sedikit hangatnya mentari pagi itu, hati Lea begitu tenang dan tentram. Sekitar kurang lebih lima belas menit menatapi pagi yang indah itu. Dia mulai membilas tubuhnya dikamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kampus. Begitu juga teman-teman Lea yang bergilir untuk mandi. Lea merasakan bahwa hari ini seperti ada sesuatu yang kurang lengkap, dia mencoba mengingat-ngingatnya hingga dia sadar bahwa Callista tidak ada dikamar. Dia mencoba keluar kamar dan keliling mencarinya. “ Pak Joko, lihat Callista tidak?” tanyanya pada Pak Joko yang sedang memanasi mobil dihalaman rumah. Pak Joko menggelengkan kepalanya. Lea kembali masuk kedalam rumah, disana dia bertemu dengan Nana, “ Ah, Nana ya. Nana kamu ada lihat Callista!” t
Kelas dimulai, Nana tidak mempertanyakan alasan Lea yang tiba-tiba bisa masuk ke ruangan mereka yang telah menempuh enam semester, namun setelah pelajaran dimulai akhirnya Nana paham kenapa Lea bisa masuk dikelas mereka. Ya, sebab Lea adalah genius yang mampu menyaingi orang-orang dikelas mereka.Lea telah terbebas dari gangguan Nana. Namun sekarang Nana lah yang mengkhawatirkan Lea karena sikap teman-temannya termasuk Hannya.“ Nana, nanti keruangan dosen ya!” tegas dosen yang baru saja keluar.Dosen-dosen mengenal Nana sebagai mahasiswi yang ambisius dan memiliki aura yang kuat, berbeda dengan mahasiswi lemah yang memnadang Nana sebagai singa yang berada dipuncak rantai makanan.Namun setelah kejadian semalam, Nana menjadi sadar bahwa sesuatu yang memang telah ditakdirkan diatas akan tetap berada diatas dan tidak bisa digulingkan kecuali takdir yang
Siapapun orangnya, pasti akan kesal. Terlebih lagi Nana yang memiliki sifat cenderung buruk dalam emosi. Siang yang sejuk tiba-tiba menjadi bara api yang membakar hatinya.“ Jangan dengarkan dia!” tegas Lea.Meski Nana terhenti karena ucapan itu, Namun Lea masih melanjutkan langkahnya. Ini adalah keputusan berat bagi Nana, tapi hal yang mengejutkan terjadi, kini Nana luluh dengan ucapan Lea dan berjalan menghampiri Lea yang masih dengan sikap tegasnya.Mereka kembali berjalan bersamaan, “ Apa kau tidak menerima ucapan gadis tadi, Nana!” tanya Lea dengan desakan.“ Heh!” terlihat Nana masih geram dengan apa yang terjadi, dia hanya memberikan isyarat kekesalan kepada Lea.“ Kenapa kau tidak suka? Bukankah yang dia ucapkan itu benar.”“ Terimalah” jelas Lea kembali.“ Keparat kau Lea! Aku telah mencoba menahan emosiku padamu!” jerit
‘ Tahun 2004, Juni 26, Rumah keluarga Chambellia mengalami kebakaran. Akibatnya, Tuan Chambellia dan istrinya beserta dua orang anaknya harus kehilangan nyawa.’ ‘ Lima Juli, penyelidikan membuahkan hasil yang mengejutkan. Diduga kebakaran memiliki motif yang disengaja. Polisi juga menemukan bukti bahwa Tuan Chambellia telah dibunuh disebelum kebakaran itu terjadi.’ ‘ Sembilan Juli, Polisi menemukan sidik jari seorang anak kecil yang tersisa disana.’ ‘ Lea Chambellia, diduga menjadi tersangka akibat pembunuhan tersebut. Dia adalah Putri dari Tuan Chambellia. Dia adalah gadis berusia Lima tahun.’ ‘ 15 Juli, polisi menetapkan bahwa Lea benar-benar pelaku pembunuhan terhadap kedua orang tuanya dan pembakar rumah mereka.’ ‘ Satu agustus, Perekonomian kota Wingsterlang menurun drastis akibat kematian Tuan Chambellia. Di hari yang sama Rebin Chambellia, mengambil ahli saham Tuan Chambellia.’
Valencia, Rose, Veronica, Grace, Amanda dan Calista tampak berbaring diatas kasur berukuran king size milik Lea. Memang hari itu adalah hari yang melelahkan bagi mereka, terutama bagi Lea. Tapi, kesetiaan teman-teman Lea membuat lelah itu terbagi menjadj potongan-potongan kenangan yang tak akan terlupakan. Tak berselang setelah Lea ikut rebahan bersama teman-temannya, pintu kamar terketuk. Knock knock Suara itu terdengar tiga kali, lalu Lea berjalan kearah pintu dan membukanya. Mata gadis itu sedikit terbelalak melihat luasnya kamar milik Lea. Dia lupa dengan apa yang ingin dia sampaikan. “ Nana!” tegur Lea yang melamun. Nana kembali dalam kesadarannya, Lea berfikir bahwa Nana melamun karena dia tidak menyangka kalau Lea mrmbawa teman sebanyak itu. Padahal Nana hanya terkejut melihat kamar yang luas seperti ukuran rumah kontrak mereka sebelum tinggal di rumah Lea. “ Oh maaf. Apa anda ingin segera pergi?” balas N
Mentari seperti bola putih besar yang perlahan menguning. Diperjalanan menuju rumah, Nana merasa iba dengan apa yang dirasakan Lea. Ini adalah pertama kalinya bagi Nana mendapat perasaan iba seperti ini. Biasanya dia sama sekali tidak peduli dengan orang-orang sisekitarnya kecuali keluarganya. Biasanya dia hanya memiliki sifat keras yang tak ada satupun boleh menyainginnya. Namun, kali ini berbeda. Dia merasakan perbedaan kelas yang terlalu jauh yang bahkan dia tidak mampu untuk iri terhadap hal tersebut. Hatinya gusar, Lea masih terus menerus menangis dan memeluk boneka kotor itu. Brakkk Tiba-tiba boneka beruang itu melayang kearah bangku depan mobil dengan sangat cepat. Segudang perasaan yang tak dirasakan Nana, kini semakin nyata. Setiap panca indranya perlahan-lahan menarik dirinya untuk terus peduli dengan sikap Lea. Dia bahkan merasa bersalah atas apa
Siapapun orangnya, pasti akan kesal. Terlebih lagi Nana yang memiliki sifat cenderung buruk dalam emosi. Siang yang sejuk tiba-tiba menjadi bara api yang membakar hatinya.“ Jangan dengarkan dia!” tegas Lea.Meski Nana terhenti karena ucapan itu, Namun Lea masih melanjutkan langkahnya. Ini adalah keputusan berat bagi Nana, tapi hal yang mengejutkan terjadi, kini Nana luluh dengan ucapan Lea dan berjalan menghampiri Lea yang masih dengan sikap tegasnya.Mereka kembali berjalan bersamaan, “ Apa kau tidak menerima ucapan gadis tadi, Nana!” tanya Lea dengan desakan.“ Heh!” terlihat Nana masih geram dengan apa yang terjadi, dia hanya memberikan isyarat kekesalan kepada Lea.“ Kenapa kau tidak suka? Bukankah yang dia ucapkan itu benar.”“ Terimalah” jelas Lea kembali.“ Keparat kau Lea! Aku telah mencoba menahan emosiku padamu!” jerit
Kelas dimulai, Nana tidak mempertanyakan alasan Lea yang tiba-tiba bisa masuk ke ruangan mereka yang telah menempuh enam semester, namun setelah pelajaran dimulai akhirnya Nana paham kenapa Lea bisa masuk dikelas mereka. Ya, sebab Lea adalah genius yang mampu menyaingi orang-orang dikelas mereka.Lea telah terbebas dari gangguan Nana. Namun sekarang Nana lah yang mengkhawatirkan Lea karena sikap teman-temannya termasuk Hannya.“ Nana, nanti keruangan dosen ya!” tegas dosen yang baru saja keluar.Dosen-dosen mengenal Nana sebagai mahasiswi yang ambisius dan memiliki aura yang kuat, berbeda dengan mahasiswi lemah yang memnadang Nana sebagai singa yang berada dipuncak rantai makanan.Namun setelah kejadian semalam, Nana menjadi sadar bahwa sesuatu yang memang telah ditakdirkan diatas akan tetap berada diatas dan tidak bisa digulingkan kecuali takdir yang
Pagi menyapa, mentari dengan bahagianya menampakkan sedikit sinarnya. Lea beranjak dari tempat tidurnya dan membuka sedikit gordyn jendela dikamarnya. Dia mencoba menghirup aroma embun dan merasakan sedikit hangatnya mentari pagi itu, hati Lea begitu tenang dan tentram. Sekitar kurang lebih lima belas menit menatapi pagi yang indah itu. Dia mulai membilas tubuhnya dikamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kampus. Begitu juga teman-teman Lea yang bergilir untuk mandi. Lea merasakan bahwa hari ini seperti ada sesuatu yang kurang lengkap, dia mencoba mengingat-ngingatnya hingga dia sadar bahwa Callista tidak ada dikamar. Dia mencoba keluar kamar dan keliling mencarinya. “ Pak Joko, lihat Callista tidak?” tanyanya pada Pak Joko yang sedang memanasi mobil dihalaman rumah. Pak Joko menggelengkan kepalanya. Lea kembali masuk kedalam rumah, disana dia bertemu dengan Nana, “ Ah, Nana ya. Nana kamu ada lihat Callista!” t
Ring ring….Terdengar pelan musik dari nada dering ponsel milik Pak Joko. Dia meletakkan sendok yang dia pegang dan mulai merogoh kantung miliknya. Tatapan matanya terlihat sangat fokus, dia mengangkat ponsel itu dengan wajah yang bercampurkan seluruh emosi. Di luar hujan mulai turun, Pak Joko mengangkat ponselnya dan izin untuk menjauh dari meja makan.Lea memfokuskan kedua matanya, dia memandang kearah Pak Joko. Hatinya menduga bahwa itu pasti panggilan dari Rebin.“ Ya, sangat baik Tuan. Nyonya Lea bahkan membawa teman-temannya kemari dan ikut tinggal dirumah bersama kami.”“ Oke Tuan, Sama-sama. Seharusnya saya yang berterima kasih.” Balas Pak Joko.Panggilan terputus, Pak Joko kembali ke meja makan. Tidak beberapa lama kemudian ponsel Lea yang diletak di atas meja makan berdering. Mata Lea tertuju kembali kelayar
Mentari seperti bola putih besar yang perlahan menguning. Diperjalanan menuju rumah, Nana merasa iba dengan apa yang dirasakan Lea. Ini adalah pertama kalinya bagi Nana mendapat perasaan iba seperti ini. Biasanya dia sama sekali tidak peduli dengan orang-orang sisekitarnya kecuali keluarganya. Biasanya dia hanya memiliki sifat keras yang tak ada satupun boleh menyainginnya. Namun, kali ini berbeda. Dia merasakan perbedaan kelas yang terlalu jauh yang bahkan dia tidak mampu untuk iri terhadap hal tersebut. Hatinya gusar, Lea masih terus menerus menangis dan memeluk boneka kotor itu. Brakkk Tiba-tiba boneka beruang itu melayang kearah bangku depan mobil dengan sangat cepat. Segudang perasaan yang tak dirasakan Nana, kini semakin nyata. Setiap panca indranya perlahan-lahan menarik dirinya untuk terus peduli dengan sikap Lea. Dia bahkan merasa bersalah atas apa
Valencia, Rose, Veronica, Grace, Amanda dan Calista tampak berbaring diatas kasur berukuran king size milik Lea. Memang hari itu adalah hari yang melelahkan bagi mereka, terutama bagi Lea. Tapi, kesetiaan teman-teman Lea membuat lelah itu terbagi menjadj potongan-potongan kenangan yang tak akan terlupakan. Tak berselang setelah Lea ikut rebahan bersama teman-temannya, pintu kamar terketuk. Knock knock Suara itu terdengar tiga kali, lalu Lea berjalan kearah pintu dan membukanya. Mata gadis itu sedikit terbelalak melihat luasnya kamar milik Lea. Dia lupa dengan apa yang ingin dia sampaikan. “ Nana!” tegur Lea yang melamun. Nana kembali dalam kesadarannya, Lea berfikir bahwa Nana melamun karena dia tidak menyangka kalau Lea mrmbawa teman sebanyak itu. Padahal Nana hanya terkejut melihat kamar yang luas seperti ukuran rumah kontrak mereka sebelum tinggal di rumah Lea. “ Oh maaf. Apa anda ingin segera pergi?” balas N
‘ Tahun 2004, Juni 26, Rumah keluarga Chambellia mengalami kebakaran. Akibatnya, Tuan Chambellia dan istrinya beserta dua orang anaknya harus kehilangan nyawa.’ ‘ Lima Juli, penyelidikan membuahkan hasil yang mengejutkan. Diduga kebakaran memiliki motif yang disengaja. Polisi juga menemukan bukti bahwa Tuan Chambellia telah dibunuh disebelum kebakaran itu terjadi.’ ‘ Sembilan Juli, Polisi menemukan sidik jari seorang anak kecil yang tersisa disana.’ ‘ Lea Chambellia, diduga menjadi tersangka akibat pembunuhan tersebut. Dia adalah Putri dari Tuan Chambellia. Dia adalah gadis berusia Lima tahun.’ ‘ 15 Juli, polisi menetapkan bahwa Lea benar-benar pelaku pembunuhan terhadap kedua orang tuanya dan pembakar rumah mereka.’ ‘ Satu agustus, Perekonomian kota Wingsterlang menurun drastis akibat kematian Tuan Chambellia. Di hari yang sama Rebin Chambellia, mengambil ahli saham Tuan Chambellia.’