Share

Titik Awal

Author: Channa
last update Last Updated: 2021-05-19 14:08:54

Keributan terjadi di kantin pada saat jam istirahat. Anak-anak bercakap tak beraturan. Hanya satu kata yang kudengar berulang-ulang; Beno.  Aku berlari menuju kantin. Di sana, beberapa guru sudah memisahkan Beno dan Ferdi, senior kami, anak kelas XI.

Aku kehilangan momen yang berharga. Seharusnya tadi aku ada di sana saat mereka berkelahi. Pasti akan seru. Perkelahian seharusnya tak perlu dipisahkan.

Dari beberapa teman yang melihat kejadian itu secara langsung. Pertikaian itu bermula ketika Ferdi berusaha menggoda Liana.

Aku menghampiri Sela yang berdiri teguh di luar kantor guru. Wajahnya was-was. Beberapa kali ia menggigiti ibu jari sebelah kanannya.

“Jadi,” aku mulai merangkai kata yang pas karena melihat wajahnya yang begitu cemas. “Apa yang terjadi?”

“Kak Ferdi memukuli Beno tadi di kantin.”

“Bukannya guru sudah memisahkan?”

“Guru datang setelah lima menit Beno dipukuli. Tidak ada yang berani memisahkan. Semuanya malah sibuk berkumpul dan menyoraki mereka agar perkelahiannya makin seru.”

Aku melihat ke dalam ruangan. Terkejut aku ketika melihat Liana sedang duduk bersama mereka di dalam.

“Liana di dalam?” Tanganku menunjuk ke dalam. Aku melihatnya tertunduk beberapa saat. Mata ini menjelaskan kalau raut wajah itu tampak sangat menyesal. Mata ini juga melihat bagaimana tangannya terkulai di kedua pahanya.

“Iya, itu masalahnya. Ferdi itu sedang mendekati Liana akhir-akhir ini,” ungkap Sela.,

“Lantas?”

“Jadi ceritanya begini,” ia mulai menjelaskan. “Waktu Liana sedang mengantri di kantin, Kak Ferdi datang. Kamu tahu kan perilaku laki-laki saat sedang mendekati perempuan?” ia minta persetujuan.

“Iya, aku paham,” jawabku seolah-olah mengerti meskipun aku sebenarnya tidak paham.

“Kak Ferdi meminta Liana untuk duduk manis saja di kursi. Karena Kak Ferdi yang ingin membelikan makanannya. Tapi, Liana bersikeras tidak mau dan tetap mengantri.,” mulai ragu-ragu untuk menjelaskan.

“Lalu?”

“Liana marah dan meminta Kak Ferdi untuk tidak memaksanya. Beno mendengar ucapan itu karena memang Beno ikut berdesakan di dalam antrian. Beno berkata : “Kalau dia tidak mau, mengapa terus dipaksa? Begitu kira-kira.”

“Kak Ferdi tidak terima, merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Beno. Kejadian itu dilihat oleh teman-temannya. Mereka meledek Kak Ferdi untuk memanas-manasi kejadian ini.”

“Lalu, Kak Ferdi melampiaskannya ke Beno, begitu?” Aku menerka-nerka kejadian selanjutnya.

“Iya, begitulah...”

Tebakanku tepat. Aku pernah menonton adegan yang ceritanya mirip seperti kejadian mereka. Seorang pria lugu sekali pun akan jadi serigala jika ingin melindungi perempuan yang disukainya.

“Sebenarnya, banyak sekali yang mendekati Liana sehari setelah kita sekolah. Tapi, ia sudah menyukai seseorang. Orang itu berada di kelas kita.” Sela melanjutkan.

Siapakah laki-laki beruntung itu? Mendengarnya dadaku tiba-tiba menjadi sesak. Antusiasme yang tadinya membuncah, hilang tanpa bekas. Apa mungkin seorang yang dimaksud itu Beno?

Kakiku melangkah meninggalkan Sela begitu saja. Aku terus melangkah, melewati kantor kepala sekolah, menaiki beberapa anak tangga, lalu terhenti sejenak.

Seperti tertembus peluru tajam,. Perasaan dalam diri berkecamuk, seperti saling berperang dan menusuk-nusuk tubuhku.  

Aku teringat momen di mana Beno meminta penjelasan kepada Liana mengenai soal matematika yang berhubungan dengan rumus jajar genjang tempo hari. Mungkinkah Liana suka dengan laki-laki yang humoris seperti Beno ? 

***

Beno menghampiriku, wajahnya penuh dengan lebam. Dari jauh, sebetulnya aku sudah tahu. Hanya saja aku berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini, kepalaku terasa penuh. Apakah mereka akan pacaran?

“Lumayan sakit, Ben?” ejekku sambil menghibur diri yang sedang sakit sejadi-jadinya.

“Ya lumayan.,” ia meringis sesekali. “Kau lihat tidak perkelahian tadi?”

“Hmm.. Tidak, aku sedang kelas waktu kau berkelahi dengannya.”

“Ada-ada saja. Liana enggan menerima bantuannya, ia tetap memaksa. Kalau tidak mau harusnya jangan dipaksa.”

“Iya, aku sudah tahu.”

“Tahu dari siapa?”

“Sela.”

Tak lama berselang, aku melihat Liana berjalan dan terhenti di ambang pintu kelas. Sepasang matanya menatap ke arah kami. Ah, tidak. Ke arah Beno yang lebih tepat.

“Ben, bagaimana lukamu??” Wajahnya menunjukkan perasaan kuatir yang mendalam. Tak sedikit pun aku mendapatkan perhatiannya. Melirik pun tidak.

Liana memegang luka lebam Beno dengan jemarinya yang lentik itu. Pikiranku kacau, seandainya saja aku yang terluka. Pasti jemari lentik itu akan menyentuh wajahku. Haruskah aku memukuli Ferdi sepulang sekolah nanti?

“Aku baik-baik saja, Li. Ini hanya luka kecil.” Beno terkekeh dan tiba-tiba terlihat segar. Belum lagi lima menit ia mengeluh dan meringis kesakitan tadi.

Mereka berdua terlihat sangat cocok. Beno yang mampu mencairkan suasana dengan mudah, Liana yang penuh perhatian. Saat ini, aku merasa seperti butiran debu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain pura-pura memperhatikan percakapan mereka seperti teman yang baik.

“Benarkah? Maaf ya, aku yang membuatmu seperti ini.” Suaranya mewakili penyesalan yang teramat dalam.

 “Tidak, ini bukan karena salahmu.” Beno benar-benar pintar ber-ekting. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar.”

Aku mengalihkan pandangan keluar. Semakin lama, jika berdiam diri dan memaksa untuk bertahan, akan sulit tetap bersikap biasa saja.

“Ben, aku pergi membeli minum dulu ya di bawah,” mulutku lebih cepat bertindak. Ini adalah cara terbaik yang bisa kulakukan untuk menyingkirkan perasaan cemburu yang makin menjadi.

Kakiku melesat lebih cepat. Anak tangga semakin dekat. Udara segar seolah menyapa saat aku meninggalkan mereka. Harusnya dari awal aku melakukan ini.

“Belikan kami juga!” Teriaknya lantang agar aku yang sudah jauh bisa mendengar.

Setiba di kantin, saat hendak mengambil minuman di lemari es, aku tak sengaja mendengar percakapan Ferdi dengan teman-temannya. Ternyata, setelah perkelahian tadi, mereka masih berjibaku di sini. Benar-benar tidak tahu malu. Sudah dipanggil guru dan kepala sekolah, membuat onar, membuat keresahan, membuatku cemburu buta, mereka tetap bersikap santai.

“Kau yakin ingin melanjutkan masalah ini, Fer?” tanya salah seorang temannya, aku tidak kenal.

“Aku yakin. Harga diriku di depan mereka akan hancur jika aku tidak melanjutkan masalah ini!”

“Mereka siapa maksudmu?”

“Adik kelas kita.”

“Ya kalau kau benar-benar ingin melanjutkan masalah ini. Kami siap membantu.”

Aku menghitung jumlah Ferdi dan teman-temannya, tidak sampai sepuluh orang. Hanya enam orang, tapi kalau mereka semua menghajar Beno bersamaan, sama saja. Beno akan habis tak tersisa. Melawan satu saja kewalahan, apalagi enam.

Kupercepat langkah menuju kelas. Beno harus tahu rencana Ferdi. Kalau tidak, ia akan terluka. Aku tidak tahu di mana mereka akan menyerang Beno. Yang pasti, Beno harus tahu. Ia harus menghindar untuk sementara waktu.

“Ben!!” Aku menghampiri Beno dan Liana dengan nafas yang terengah-engah.

“Ada apa?” tanyanya heran denganku yang terburu-buru.

“Kudengar tadi waktu di kantin, Ferdi dan teman-temannya ingin menyerangmu.”

“Ohhh..”  

Entah jawaban santai itu memang berasal dari hatinya atau hanya ingin terkesan cool di hadapan Liana.

“Ohhh??” mataku mendelik padanya. “Kau tahu kan bahwa jumlah mereka sangat banyak kalau hanya untuk menghabisimu. Mereka berenam! Tahu kau!”

“Rian...,” ia mulai bicara. “Tenang saja, aku bisa menghindar. Untuk sementara aku akan pulang bersama teman-teman yang lain. Aku yakin, pasti mereka tidak akan berani menyerangku saat aku tidak sendiri. Sudah, tidak perlu cemas seperti itu.”

“Tapi, Ben.. Kalau sampai mereka menyerangmu bagaimana?” Liana lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang membuatku dongkol.

“Tidak, orang seperti Ferdi hanya akan berani melawan saat musuhnya benar-benar lemah,” terang Beno.

Aku tidak banyak tahu tentang Ferdi. Justru, karena Beno berkelahi dengannya, aku jadi tahu siapa itu Ferdi. Kakak kelas yang ingin terlihat jago tapi dengan sistem pengeroyokan.

Beno sudah sepatutnya lebih tahu mengenai Ferdi. Ia tidak pernah sarapan, selalu makan di kantin saat istirahat pertama. Karena itu, melihat Ferdi adalah kegiatannya sehari-hari.

Sepertinya, bukan hanya aku saja yang mendengar percakapan pengecut itu di kantin. Teman sekelasku, Rikky juga mendengarnya. Ia memberi informasi yang sama.

“Sepulang sekolah nanti, kau jangan pulang sendiri,” pungkasnya.

“Tapi, aku berbeda arah dengan Rian.”

“Gampang, aku bisa memboncengmu.”

Aku sedikit lega dengan kebaikan Rikky pada Beno. Setidaknya aku bisa memastikan bahwa Beno akan baik-baik saja sepulang sekolah nanti.

Bu Deasy selesai menjelaskan materi hari ini. Aku membereskan barang-barang. Tidak seperti biasanya, Liana menungguku di depan kelas.

“Kau belum pulang?” tanyaku seraya mengenakan tas selempang.

“Menunggumu.”

Bahagia rasanya mendengar ucapan “Menunggumu” langsung dari bibirnya. Apakah ia pernah mengucapkan hal yang sama pada orang lain? Beno misalnya.

Aku berjalan di sampingnya. Sesekali menunduk dan tersenyum sendiri. Tak lupa juga untuk menyelaraskan langkah kakiku agar seiras dengan miliknya.

Baru kuperhatikan, ternyata ia selalu mengenakan kaus kaki yang panjang. Berbeda dengan anak lain, lebih suka mengenakan kaus kaki di bawah mata kaki atau sejajar dengan mata kaki.

Kuminta pada waktu agar ia melambat. Cuaca yang tidak terlalu terik semakin mendukung suasana ini. Apakah kamu juga menikmatinya, Liana?

“Aku tidak cerita pada siapa pun. Hanya kamu yang tahu,” ucapnya seakan-akan mengisyaratkan bahwa ia memiliki rahasia yang tak ingin diketahui yang lain.

“Hah? Maksudmu?”

“Sebenarnya, satu minggu ini, Ferdi selalu menggangguku waktu aku menunggu bus di halte. Ia selalu memaksaku untuk menaiki motornya. Aku tidak mau.”

“Lalu?” Aku penasaran dengan kelanjutan kisahnya.

“Dengan kejadian Beno pagi ini, rasanya aku tidak mau pergi menunggu di halte sendirian,” suaranya terdengar lesu. Wajahnya memerah seperti menahan diri untuk meneteskan air mata.

Jadi selama seminggu ini, selama aku berlelet-lelet membereskan barang-barangku untuk menyusulnya di halte, Ferdi menganggunya?

Keinginan untuk lebih cepat dan tangkas seketika muncul. Sejak kecil aku memang lamban. Sebagai anak laki-laki, aku memang jauh dari harapan. Melakukan hal apa saja, aku selalu lamban. Salah satunya mencatat pelajaran.

“Maaf ya, aku lamban kalau soal mencatat pelajaran. Mulai besok, kau tunggu saja aku. Aku akan lebih cepat.”

“Hahahaha...,” ia tertawa. “Bukan salahmu, kemungkinan besar adalah salahku. Karena seberapa keras pun ia berusaha, aku tidak akan menyukainya.”

Perkataan Sela tadi pagi terngiang lagi di kepala. Aku tertunduk lesu. Ia pandai sekali membuat moodku seperti sedang berada di roller coaster.

Aku tahu, Liana. Kau memang tidak menyukainya. Beno adalah laki-laki yang kau sukai. Tidak hanya Ferdi, seberapa keras pun juga aku berusaha, kau tidak akan pernah menyukaiku.

Suara klakson yang sengaja dibunyikan berkali-kali tiba-tiba terdengar. Diikuti oleh teriakan anak laki-laki yang sepertinya kukenal hari ini.

“Jangan menengok. Itu Ferdi,” ucapnya. Kulihat Liana menunjukan wajah  yang sangat tidak nyaman.

“Hai, Liana...” Ferdi menepikan kendaraannya. Suara klakson yang menyakitkan telinga itu pun tak terdengar lagi. “Ayo pulang bersamaku. Akan kuantar sampai di depan rumah.”

“TIDAK!”

Liana menolaknya dengan nada yang sangat tinggi. Inilah namanya puncak dari ketidaknyamanan. Akhirnya, luapan itu benar-benar meluap sampai tak tersisa.

“Aku tidak mau pulang denganmu!!” bentaknya lagi.

Ferdi turun dari motornya. Memegang tangan Liana. Aku tahu genggaman tangan Ferdi itu sangat kuat. Terlihat dari urat nadinya yang mengencang dan menonjol kehijauan.

“Aku tidak mau!!” Tangan mungilnya berusaha melepaskan genggaman tangan yang kuat itu.

“Kak, tolong lepaskan tangan teman saya,” pintaku padanya tiba-tiba dengan berani. Jika Beno ada di sini, pasti ia akan melakukan hal yang sama. meskipun aku tahu bahwa lelaki yang disukai perempuan yang bersamaku saat ini adalah sahabatku sendiri, sebagai lelaki aku tidak suka jika ada perempuan yang dikasari.

Aku mungkin bukan Beno yang berani melakukan adu jotos demi melindungi perempuan yang aku sukai. Aku bukan Ferdi yang bermuka tembok untuk mendapatkan Liana. Aku adalah aku, dan cara inilah yang kupilih untuk dilakukan demi melindungi orang yang kusayangi.

“Kamu kenal saya?!” Suaranya sedikit membentak.

“Tidak, saya tidak kenal.”

Mukanya memerah, emosinya sebentar lagi meluap. Akan kutunggu, bagaimana caranya rasa itu keluar? Pukulankah? Atau teriakan seperti yang Liana lakukan barusan?

Bukkk!!

Related chapters

  • Me and You   Dorongan Paling Absurd

    Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya.Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.“Riannn!!” Liana histeris..Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.Kutatap

    Last Updated : 2021-05-19
  • Me and You   Sakit

    Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”“Anak Ibu sudah kelas berapa?”“1 SMA.”“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?&rdqu

    Last Updated : 2021-05-22
  • Me and You   Pencak Silat

    Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&

    Last Updated : 2021-05-25
  • Me and You   Jadian

    Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay

    Last Updated : 2021-05-27
  • Me and You   Kosong

    Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,

    Last Updated : 2021-05-28
  • Me and You   Bus Terakhir

    Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,

    Last Updated : 2021-06-25
  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

    Last Updated : 2021-06-28
  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

    Last Updated : 2021-06-29

Latest chapter

  • Me and You   TERLAMBAT

    Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la

  • Me and You   KURUS

    Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.

  • Me and You   MULAI FOKUS

    “Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”“Benarkah?”“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk

  • Me and You   MOVE ON

    Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan setengah sadar. Semalaman, tidurku tidak nyenyak. Bahu dan kedua lenganku terasa sakit untuk digerakkan. Tubuh ini ternyata benar-benar lemah. Padahal hanya melakukan empat kali push up––maksudku tiga setengah kali, efek pegal yang kurasakan sangat menyiksa.Karena tubuh bagian atasku terasa sakit, maka hal itu berdampak pula pada kedua kakiku. Saat meniti anak tangga menuju kelas, kakiku terasa sangat lemas. Terlebih kondisi tubuh yang saat ini tidak fit karena kurang tidur menyebabkan semuanya semakin berat.“Kamu kenapa, Rian?” tiba-tiba suara itu berada dekatku. Aku menoleh ke belakang, melihat Liana yang bergegas menyamakan langkah di sampingku.“T-tidak, aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Tak ingin mengundang percakapan lagi, aku mempercepat langkah dan memunggunginya sebanyak tiga anak tangga.“Benar tidak apa-apa? Wajahmu terlihat sangat lelah,” lagi-lagi ia

  • Me and You   IBU

    Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo

  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

DMCA.com Protection Status