Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya.
Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.
“Riannn!!” Liana histeris..
Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.
“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.
Kutatap wajah Ferdi dengan tajam. Kemungkinan sejurus penuh. Mau apalagi kau? Memukul lagi? Aku tidak takut. Sekali lagi kau memukulku, akan kuhabisi kau dengan kerikil yang tadi menjadi alasku berguling.
Beno, Rikky, dan anak-anak yang lain berlari dan mengerumuni kami. Begitu juga dengan teman-teman Ferdi. Aku tidak tahu pasti siapa saja yang melihat kejadian ini. Aku tidak peduli.
“Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya tidak senang dengan tatapan tajamku. “Mau kupukul lagi? Sampai menggelinding ke bawah?”
“Silahkan.”
Ia maju, ingin menyerangku lagi. Tangan kanannya sudah siap untuk diayunkan. Aku berusaha menghindari pukulan itu. Meleset, ya pukulannya meleset. Tubuhnya maju melewatiku beberapa langkah. Aku tahu, ia sudah menyiapkan tenaga sebegitu besarnya sehingga tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri.
Kuambil kesempatan langka ini. Saat ia kesulitan untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, kudorong ia sekuat tenaga dari belakang. Ia pun tersungkur. Kepalanya jatuh lebih dulu. Pasti sakit sekali, rasakan, tanpa perlu latihan khusus aku pun mampu membalasmu!
Ia bangun kembali dengan sekonyong-koyongnya. Pelipisnya berdarah karena dorongan yang kulakukan itu. Pantas laki-laki kasar seperti dia mendapatkannya.
“Sial kau!!” Ia berteriak dan berusaha membalasku lagi.
Kepalan tanganku sudah menanti dan ingin menyambut kedatangannya. Aku tidak menghindar kala ia ingin meraihku lagi. Mari, kita habiskan badan kita masing-masing. Besok, lusa, atau minggu depan, tidak akan ada lagi kesempatan ini.
“Ferdi!!!” Suara manusia dewasa yang kukenal meneriakinya dari seberang jalan, tepatnya di gerbang sekolahku.
Entah siapa yang mengadukan peristiwa ini pada guru-guru di sekolah. Kepala sekolah kami sendiri yang datang, Pak Hendri.
Beberapa warga dan pengendara ternyata menyaksikan perkelahian ini. Pantas saja kepala sekolah yang turun tangan. Pastinya, sekolah swasta yang agak terpandang di kotaku ini akan tercoreng namanya.
Kami diboyong ke sekolah. Liana tetap berada di belakangku. Sesekali, tatapan tajam Ferdi bertemu dengan mataku. Aku tidak takut. Kalau kata orang, sama-sama makan nasi. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Debar-debar tadi yang kurasakan saat berkelahi untuk pertama kalinya, sudah hilang.
“Rian...” Pak Hendri membuka suara. “Mengapa perkelahian ini bisa terjadi?”
“Dia lebih dulu menyerangku, Pak!” teriak Ferdi, si pengecut yang semakin kubenci saja. Bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta begini.
Ekor mataku menatap tajam wajah pengecut itu. “Saya bukan pembuat onar, Pak. Saya ingin pulang bersama Liana, tiba-tiba dia datang meneriaki kami dengan klakson kasarnya itu. Memaksa Liana untuk ikut pulang bersamanya, sampai memegang tangan Liana sangat kencang, ah tidak, mungkin lebih tepat mencengkeram!”
“Apa maksudmu!” teriaknya lagi tidak terima.
Terserah! Memang itu kenyataannya. Laki-laki macam itu, benar-benar pengecut. Hanya bisa membuat onar, tapi tak ada nyali untuk menyelesaikannya.
“Ferdi!!” Pak Hendri membentak. “Kamu tidak sopan ya! Saya bertanya pada Rian, bukan kamu!”
“Ttttaaaapiiiii, Pak.” Ia tetap bersikukuh membela diri.
“Diam kau!” Pak Hendri menunjuk Ferdi dengan mata bulat penuh.
“Jadi, Ferdi yang memulainya?” beliau kembali berbicara denganku.
“Iya, Pak. Saya memintanya untuk melepaskan tangan Liana, tapi dia malah memukul saya.”
Setelah mendapatkan informasi yang diinginkan, beliau mempersilakanku untuk pulang. Sementara Ferdi, masih berkutat di ruang Pak Hendri. Mungkin ia akan merasakan makian. Rasakan.
Liana yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpaku, meminta izin untuk mengobati luka di wajahku.
Ah, Liana. Tidak perlu meminta izin. Pasti akan kuizinkan dengan senang hati. Kami menuju UKS untuk mengambil P3K.
“Maaf ya, seharusnya tadi aku tidak menunggumu. Jadi kau tidak akan luka seperti ini,” suaranya terdengar parau. Lebih parau dari ucapannya pada Beno tadi pagi.
“Jadi..,” aku mulai memahami maksud perkataannya. “Itu yang setiap hari Ferdi lakukan kala ia memaksamu pulang bersamanya?”
Ia mengangguk.
Persetan! Seharusnya tadi aku mendorongnya lebih kuat lagi. Menyesal sekali aku hanya membuat pelipisnya berdarah.
“Mulai besok, kita pulang bersama ya!” pintaku padanya sambil melebarkan senyuman. “Jangan menunggu di halte sendiri lagi.”
“Boleh, tapi kau jangan lama-lama!”
Aku tersenyum.
Suasana ini, sudah sangat kuimpikan sejak melihatnya di hari pertama itu. Hatiku terbang, entah kemana. Ringan sekali tubuhku. Luka-luka di tubuh, tak terasa perih. Senyumnya adalah obat paling ampuh untuk perih yang melanda wajahku.
Seusai luka ini diobati, entah apa alasannya Pak Hendri menghampiri dan bersedia mengantar kami pulang. Mungkin karena memar di lengan dan wajahku . Beliau takut aku dicecari berbagai pertanyaan saat di bus nanti.
“Bagaimana dengan Ferdi, Pak?” Aku memberanikan diri bertanya meski agak ragu-ragu dan sungkan.
“Sudah, kamu tidak perlu khawatir,” kata Pak Hendri sambil membelokkan setir mobilnya. “Saya akan panggil orang tuanya dalam waktu dekat. Sudah terlalu sering dia berbuat onar. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang.”
Sepanjang perjalanan, beliau banyak bercerita mengapa Ferdi bisa bersikap seperti itu. “Otaknya sekarang sudah otomatis dimudahkan oleh kedua orang tuanya. Setiap masalah, selalu diselesaikan dengan damai (uang). Anak itu, entah akan jadi apa kelak. Memang uang orang tuanya tidak akan habis kalau dia terus berbuat seperti itu.”
“Sulit ya, Pak kalau mendidik anak dengan cara yang salah. Menyusahkan banyak orang,” kataku menanggapi.
“Ya begitulah, orang tuanya berpikir hanya untuk saat ini masalah bisa selesai sudah beres. Padahal, dampaknya akan mereka rasakan 10 tahun lagi. Anak itu hanya akan jadi beban.”
“Saya benci laki-laki seperti itu, Pak,” celetuk Liana.
Pak Hendri tertawa dengan suara tegasnya. “Ya, kamu pintar. Jangan mau dibodohi laki-laki seperti dia.”
Sebagai laki-laki, aku tidak ingin seperti Ferdi. Beruntunglah aku memiliki ayah dan ibu seperti orang tuaku saat ini. Meski aku dimanjakan, tetapi dalam hal tanggung jawab, tidak pernah sekalipun aku melarikan diri.
***
Setiba di rumah, Ibu terperangah melihat keadaan anak sulungnya. “Kamu berkelahi?”
“Iya, Bu. Kakak kelasku di sekolah berbuat onar.”
“Terus apa hubungannya denganmu?”
Ibu selalu percaya bahwa anaknya sejak SD adalah anak yang baik, yang biasa, yang tidak pernah melakukan keonaran sekecil apa pun. Kali ini beda, Bu. Aku harus melindungi gadis yang kusukai.
Aku menyeringai. “Bukan masalah besar, Bu. Hanya perselisihan.” Untuk menghindari berbagai pertanyaan, aku bergegas menuju kamar.
“Perselisihan apa, Rian?”
“Kenapa kakak kelas itu bisa berselisih denganmu?” Ibu tetap menjejaliku bermacam pertanyaan meski aku sudah berada di kamar. “Apa perlu Ibu datang ke sekolah?”
Tak ada satu pertanyaan pun yang kujawab. Biar saja menjadi tanya yang tak ada jawabannya.
Tas kulempar ke samping ranjang. Aku membuka lemari, mencari baju santai. Seragamku begitu kotor.
Kuhempaskan tubuh ini. Rasanya nyaman sekali berbaring di kasur. Meski tubuh penuh luka, tapi karena luka inilah yang membuat Liana menaruh perhatian padaku.
Ibu memasuki kamarku, terlihat sekali bahwa beliau baru saja berganti pakaian. “Ayo pergi ke klinik, luka dan lebam di wajahmu harus segera diobati.”
“Aku tidak mau,” tak akan kubiarkan jejak jejak tangan Liana menghilang. “Tadi sudah diobati di sekolah.”
“Tapi kalau nanti ada infeksi bagaimana?”
Meski Ibu memaksaku, aku tetap bersikukuh dengan pendirian ini. “Tidak, aku tidak mau. Sekarang sudah membaik.”
“Terserah kamu! Kalau nanti ada apa-apa, jangan buat Ibu dan Ayah repot!” Ibu menutup pintu kamarku sedikit keras.
Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana sentuhan itu tidak hilang. Kalau bisa sore ini aku tidak perlu mencuci muka. Agar jejak tangan Liana yang hangat itu bisa kurasakan sampai besok pagi.
Masih kubayangkan bagaimana jari-jarinya merawat luka ini dan wajahnya yang begitu dekat. Belum ada jerawat atau pun komedo yang bermuara di sana. Hidungnya tak terlalu mancung, sama seperti orang Indonesia pada umumnya. Matanya sedikit sipit, namun itu tidak mengangguku untuk melihat kedalaman bola matanya.
Kuletakkan kedua tanganku di bawah kepala. Bibirku tak tahan untuk tersenyum sendiri. Rasanya ingin me-reka ulang kejadian tadi. Termasuk perkelahian dengan Ferdi.
Aku mengulang adegan tadi siang. Ingatan di kepala masih cukup kuat untuk mengingat setiap kejadian yang menyenangkan.
Sewaktu SMP dulu, aku belum merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang perempuan. Hidupku flat. Sekolah, bimbel, mengerjakan pr, repeat.
“Ahhh!!” Aku panik. Ternyata tidak semua adegan perkelahian membuat diriku keren.
Malu sendiri ketika mengingat bagaimana diriku jatuh menggelinding di tangga. Begitu memalukan. Tidak ada adegan seperti itu di film. Laki-laki macam apa aku ini. Berkelahi pun tak mampu kulakukan dengan baik.
Dinding kamarku ini sepertinya mengetahui apa yang kurasakan. “Mampus kau! Laki-laki lemah.”
Berita tentang perkelahianku dengan Ferdi pasti akan menyebar di sekolah besok paginya. Betapa malunya aku kalau sampai mereka tahu aku terjatuh dan menggelinding di tangga dekat halte sekolah!
Ponsel berbunyi ketika pikiranku sedang carut marut untuk menghadapi besok pagi. Sebuah pesan tanpa nama kuterima. “Hai, Rian. Bagaimana lukamu? Sudah baikan?”
Tak perlu berpikir lama, otakku segera terhubung. Ini pasti pesan dari Liana!
Gundah gulana di hati hilang dalam sekejab! Kupegang erat ponsel ini dan mulai memainkan jari-jari ini untuk membalas pesannya.
“Sudah baikan.”
Ketika aku ingin mengirimkan pesan di atas. Tiba-tiba terbesit tentang sesuatu. Kalau aku mengirimkan pesan seperti ini, apa dia akan membalasnya lagi?
Segera aku menghapus pesan itu dan kupikirkan lagi kalimat yang tepat untuk dikirim sebagai balasan.
“Liana ya? Aku sudah baikan.” Pesan langsung terkirim.
Lima menit kemudian, ponselku berbunyi lagi. Dia membalas. “Iya, ini aku, Liana. Benar sudah membaik? Maaf ya soal tadi.”
“Iya, sudah membaik. Tidak apa-apa. Maaf juga ya karena tadi membelamu dengan seadanya. Aku tidak sebaik Beno dalam berkelahi.”
“Kau sangat hebat hari ini.”
Membaca pesannya, tubuhku seketika di luar kendali. Yippie! Liana memujiku! Kupikir ini hanya mimpi. Benarkah ini kenyataan?
Kuputuskan untuk tidak membalas pesannya lagi. Saling mengirimkan pesan meski hanya sebentar sudah sangat membuatku bahagia. Sudah cukup bahagiaku hari ini. Harus kusisakan untuk besok, besok, dan seterusnya.
Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”“Anak Ibu sudah kelas berapa?”“1 SMA.”“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?&rdqu
Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&
Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay
Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,
Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,
Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***
Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku
Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang
Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la
Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.
“Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”“Benarkah?”“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk
Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan setengah sadar. Semalaman, tidurku tidak nyenyak. Bahu dan kedua lenganku terasa sakit untuk digerakkan. Tubuh ini ternyata benar-benar lemah. Padahal hanya melakukan empat kali push up––maksudku tiga setengah kali, efek pegal yang kurasakan sangat menyiksa.Karena tubuh bagian atasku terasa sakit, maka hal itu berdampak pula pada kedua kakiku. Saat meniti anak tangga menuju kelas, kakiku terasa sangat lemas. Terlebih kondisi tubuh yang saat ini tidak fit karena kurang tidur menyebabkan semuanya semakin berat.“Kamu kenapa, Rian?” tiba-tiba suara itu berada dekatku. Aku menoleh ke belakang, melihat Liana yang bergegas menyamakan langkah di sampingku.“T-tidak, aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Tak ingin mengundang percakapan lagi, aku mempercepat langkah dan memunggunginya sebanyak tiga anak tangga.“Benar tidak apa-apa? Wajahmu terlihat sangat lelah,” lagi-lagi ia
Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo
Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna
Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang
Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku
Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***