Share

Sakit

Author: Channa
last update Last Updated: 2021-05-22 13:21:08

Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.

“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.

Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.

“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.

Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”

“Anak Ibu sudah kelas berapa?”

“1 SMA.”

“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?” Suara dokter seolah mengejek. Mungkin perasaanku saja. Kalau pun benar, memang pantas dokter itu terheran-heran.

“Mengapa, Dok? Ada masalah?” Suara Ibu sedikit meninggi dan suasana di ruangan ini tiba-tiba menegang.

“Ehhhhhh…” Dokter itu paham dengan gelagat Ibu. “Tidak, Bu. Saya heran saja karena anak seusianya sekarang rata-rata bisa mengendarai motor.”

Harusnya Ibu tidk perlu marah begitu. Akulah yang paling malu saat ini. Satu orang lagi tahu tentang ketidakmampuanku mengendarai sepeda motor. Bagaimana nanti kalau Liana sampai tahu hal ini?

“Setiap orang berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Kalau saya dan suami saya tidak mengizinkan anak saya membawa kendaraan. Usianya belum tujuh belas. Saya tidak ingin anak saya celaka.”

“Iya, Bu.,” jawab dokter itu menunjukkan perasaan tidak enak karena sikapnya yang sudah berani meledekku di depan Ibu. “Ini saya berikan obat antibiotik ya? Luka itu menyebabkan infeksi sehingga anak Ibu hari ini terserang demam.”

“Terimakasih, Dok,” jawab Ibu ketus.

Dalam perjalanan pulang, aku mencoba untuk mencairkan suasana. “Wajar Bu kalau dokter yang tadi itu terheran-heran.”

“Maksud kamu?”

“Ya aku saja masih heran dengan keputusan Ibu dan Ayah. Rata-rata, teman-temanku sudah membawa kendaraan sendiri. Kalau di bus, hanya aku sendiri yang laki-laki dari sekolah. Selebihnya perempuan,” aku agak melebih-melebihkan. Siapa tahu dengan ceritaku yang sedikit bohong ini hati Ibu bisa luluh.

“Jadi kamu mendukung dokter itu?”

Sepertinya usahaku gagal dalam mencairkan suasana. Mobil ini terasa sangat panas, bahkan kursiku pun menghangat tiba-tiba.

“Tidak, Bu. Hanya mencoba memahami pikiran dokter itu.”

“Sudah kamu tidak perlu banyak bicara. Setiba di rumah langsung diminum obatnya!”

Apakah semua Ibu berpikiran seperti itu? Kurasa tidak demikian, mungkin Ibuku adalah salah satu yang punya pandangan berbeda dalam melindungi anaknya. Di luar sana, pasti ada yang sepertiku.

Suasana hati kian buruk ketika Ibu tidak mengizinkanku untuk pergi sekolah besok pagi. Alasannya, agar luka di wajahku ini tidak terkena debu. Alasan yang sangat aneh.

“Lusa kamu boleh masuk sekolah.”

“Ibu, aku tidak apa-apa. Hanya demam biasa. Mengapa aku harus diperlakukan seperti ini?” Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan beliau.

“Sudah,” ekspresinya benar-benar datar. Seperti tak melakukan sesuatu apapun yang menganggu kesenangan anaknya. “Kalau kamu sudah sehat, lusa kamu bisa sekolah.

“Tapi, Bu..” aku belum selesai menjelaskan. Beliau langsung memotong ucapanku. “Titik. Tak ada penawaran.”

Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalaninya. Aku akan absen bertemu Liana dua hari.

Menghabiskan waktu di rumah seharian sangat tidak menyenangkan. Kuputuskan untuk menghubungi Genta, sahabatku sejak SMP. Meski sekarang kami berbeda sekolah, namun hubungan persahabatan ini tetap berjalan.

Genta mengunjungi rumahku sehabis pulang sekolah. Kuceritakan padanya apa yang telah terjadi.

“Jadi, kakak kelas di sekolahmu itu yang membuatmu jadi begini?”

“Ya kurang lebih begitu. Tapi, tenang saja. Dia juga terluka, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga sampai ia terjungkal.”

“Apa perlu kuberi pelajaran kakak kelasmu itu?”

Genta adalah atlet pencak silat. Waktu SMP, dia berhasil memenangkan O2SN tingkat provinsi. Sampai sekarang, dia masih menggeluti pencak silat. Keahliannya tak perlu diragukan lagi. Kalau untuk memberi satu dua pukulan, Ferdi sudah pingsan.

“Tidak perlu. Lagi pula ini masalahku, aku tidak ingin kau terlibat.”

Sungguh, aku sebenarnya masih memiliki kekesalan terhadap Ferdi. Namun, kalau aku membiarkan Genta yang membalaskan, sama saja aku sepertinya. Pengecut.

“Apa tidak terpikirkan olehmu bahwa dia akan bertindak lebih lagi daripada kemarin?”

Apa yang dikatakannya benar. Hari ini aku selamat darinya. Hari ini aku tidak perlu menghadapinya. Tapi, besok? Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?

“Aku tahu sejak SMP kau tidak bisa bela diri. Jangankan bela diri, bermain futsal pun kau tidak bisa. Kau anak rumahan, Rian,” tambahnya lagi.

Ucapan Genta kali ini membuatku tidak berkutik. Aku tak tahu harus memberikan jawaban alibi apa lagi. Aku diam, hanya mendeham sekali. Percakapan ini pun selesai. Ia tak melanjutkan.

Ibu datang membawakan sepiring lapis surabaya yang telah diiris-iris.

“Genta, habiskan ya kuenya..” ucap Ibu yang langsung membalikkan badan dan melanjutkan kegiatan dapurnya lagi.

“Baik, Tante. Terimakasih.”

Hanya suara tegukan air yang terdengar di antara kami. Kue yang sering lengket di tenggorokan ini, sesekali macet. Membuat siapa saja yang menyantapnya akan tersedak jika sial. Aku salah satunya.

“Uhuk.. Uhuk...” langsung kuteguk air dingin dari dispenser agar kemacetan ini berakhir.

“Kau harus belajar bela diri, Yan,” Genta mencairkan suasana.

“Maksudmu?”

Ia tahu pasti kepribadian Ibuku. Tidak mungkin kalau beliau akan mengizinkan aku belajar bela diri.

“Kau tahu kan? ...”

“Iya, aku tahu. Pasti Tante tidak akan setuju kan?” ia melirik ke arah dapur.

“Kalau kau tahu, mengapa masih memberi saran tak masuk akal?”

“Maksudku...,” ia mulai mengecilkan volume bicaranya. “Kau belajar secara diam-diam.”

“Tidak, aku tidak mau.”

Aku menolak, resikonya terlalu besar. Kalau sampai Ibu dan Ayahku tahu, bukan hanya aku yang akan mendapatkan masalah. Genta pun akan terkena imbasnya.

“Kalau sampai nanti ketahuan, kau juga akan kena, Gen.”

“Apa kau punya ide lain?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Kalau kau tidak punya ide lain. Jangan coba menolak ideku ini. Pikirkan baik-baik. Sudah sore, aku pulang dulu ya? Salam untuk Ibumu.”

Suara motor Genta semakin tak terdengar. Aku masih terjebak dalam lamunan. Haruskah aku menjalankan ide gilanya itu?

Ah, otakku mandek. Tak bisa berpikir jernih sedikit pun. Kata-katanya barusan membuatku sadar. Selama dua tahun ke depan, Ferdi akan terus menjadi bayang-bayang.

Kuperiksa ponselku. Selama Genta bertamu tadi, aku tidak menggunakannya. Barangkali ada pesan yang masuk. Mungkin dari teman-teman yang menanyakan mengapa hari ini aku tidak masuk sekolah, atau mungkin Liana?

Benar saja. Dua pesan masuk dan salah satunya adalah pesan dari Liana. Kubuka pesan itu dengan perasaan senang. Sirna sudah kemandekanku.

“Mengapa kamu tidak masuk? Katamu,  kemarin sudah baikan?”

“Aku demam. Ternyata luka di wajahku menyebabkan infeksi,” kukirimkan pesan balasan.

“Kamu harusnya menuruti perkataan Ibumu. Kalau kamu memeriksakannya ke dokter hari itu, pasti tidak terkena demam.”

“Hehehe.. Demam bukan berarti sakit kan? Artinya tubuhku sedang melawan virus yang berasal dari luka itu.”

“Besok kamu masuk sekolah?”

“Lusa, sepi ya di bus sendirian? Hahaha,” aku meledeknya.

“Tidak juga,” balasnya dengan emoticon tertawa.

Kau pasti merindukanku Liana. Aku tahu itu. Kalau kau tidak rindu, pasti kau tidak akan mengirimkan pesan padaku sore ini.

Related chapters

  • Me and You   Pencak Silat

    Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&

    Last Updated : 2021-05-25
  • Me and You   Jadian

    Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay

    Last Updated : 2021-05-27
  • Me and You   Kosong

    Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,

    Last Updated : 2021-05-28
  • Me and You   Bus Terakhir

    Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,

    Last Updated : 2021-06-25
  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

    Last Updated : 2021-06-28
  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

    Last Updated : 2021-06-29
  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

    Last Updated : 2021-07-01
  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

    Last Updated : 2021-07-02

Latest chapter

  • Me and You   TERLAMBAT

    Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la

  • Me and You   KURUS

    Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.

  • Me and You   MULAI FOKUS

    “Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”“Benarkah?”“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk

  • Me and You   MOVE ON

    Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan setengah sadar. Semalaman, tidurku tidak nyenyak. Bahu dan kedua lenganku terasa sakit untuk digerakkan. Tubuh ini ternyata benar-benar lemah. Padahal hanya melakukan empat kali push up––maksudku tiga setengah kali, efek pegal yang kurasakan sangat menyiksa.Karena tubuh bagian atasku terasa sakit, maka hal itu berdampak pula pada kedua kakiku. Saat meniti anak tangga menuju kelas, kakiku terasa sangat lemas. Terlebih kondisi tubuh yang saat ini tidak fit karena kurang tidur menyebabkan semuanya semakin berat.“Kamu kenapa, Rian?” tiba-tiba suara itu berada dekatku. Aku menoleh ke belakang, melihat Liana yang bergegas menyamakan langkah di sampingku.“T-tidak, aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Tak ingin mengundang percakapan lagi, aku mempercepat langkah dan memunggunginya sebanyak tiga anak tangga.“Benar tidak apa-apa? Wajahmu terlihat sangat lelah,” lagi-lagi ia

  • Me and You   IBU

    Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo

  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

DMCA.com Protection Status