Share

Pencak Silat

Penulis: Channa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-25 20:05:11

Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.

“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.

Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.

Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.

“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.

“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”

Ibu diam. Alibiku sukses.

Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.

“Besok kalau begini lagi, kamu berangkat sendiri!” bentaknya.

Melihat raut wajah Ayah yang kesal, buru-buru Ibu mendorong pagar. Aku juga menggerutu dalam hati. Kalau Ayah membelikanku sepeda motor, pastinya aku tidak akan merepotkan. Lagi pula, hanya hari ini saja aku datang terlambat.

Karena berangkat lebih siang, suasana sekolah sudah ramai. Banyak orang tua yang menepikan kendaraannya di depan gerbang sekolah. Ayah menurunkanku agak jauh untuk menghindari kemacetan.

“Jalan kaki sana. Ini juga gara-gara kamu!”

Setelah turun, Ayah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apa toko yang terlambat buka 20 menit akan kehilangan pelanggan selamanya? Benar-benar.

Saat melintasi lapangan sekolah, Rikky merangkulku dari belakang, dari ekspresi wajahnya aku tahu maksudnya. “Kau telah membuat masalah besar.”

Seperti yang sudah dibayangkan, kabar mengenai perkelahianku dengan Ferdi telah menyebar luas. Dan itu tak bisa dihindari. Aku sudah masuk dalam daftar orang yang bermasalah dengan Ferdi demi Liana, sama seperti Beno.

“Iya, aku tahu,” jawabku seringan mungkin meskipun dalam jantung ini terasa sekali debarnya.

“Kalau kau ingin melawannya hanya dengan dorongan pamungkasmu, kau akan kalah.”

Aku diam. Diam adalah cara untuk membuat diri tidak semakin panik. Dorongan kemarin hanyalah sebuah keberuntungan bagiku. Fisikku yang lemah ini, tidak akan mampu melawan Ferdi.

Apa yang harus kulakukan? Mendengar cerita dari teman-teman, Ferdi bukanlah anak yang mau menyelesaikan masalahnya di meja kepala sekolah. Pasti akan ada kelanjutannya. Pasti.

Terbesit olehku tentang tawaran yang diberikan Genta kemarin sore. Tapi, belajar pencak silat bukanlah hal yang mudah. Bukan seperti di film yang hanya membuka aliran tenaga dalam, maka kau akan mengalahkan semua orang.

Menurutku, pencak silat adalah bela diri yang lebih menakutkan di bandingkan dua rivalnya. Aku pernah melihat pertandingan Genta. Dimana ia membanting, menggunting, dan menyapu lawannya hingga terjatuh. Bahkan kala itu, ada atlet yang kakinya patah karena menerima sapuan dan guntingan terus menerus. Nyeri sekali membayangkannya.

Jika aku belajar, perlu waktu berapa lama bagiku agar bisa menguasai pencak silat dan mengalahkan Ferdi? Apakah aku harus menerima tawaran Genta untuk memberikan Ferdi pelajaran? Menyebalkan.

Tapi, kalau aku sampai meminta Genta untuk menghajarnya, maka kupastikan tak akan berani memamerkan wajahku ini pada Liana.

“Saranku, kau harus menghindar sementara ini,” Rikky menghancurkan lamunanku. “Jangan menunggu bus di halte itu lagi.”

“Tidak bisa,” aku menolak. Kalau aku menghindar darinya, siapa yang akan menjaga Liana? “Lagipula hanya dengan naik bus itu aku bisa sampai di rumah.”

“Hei, kau bisa pulang bersamaku atau Tony.”

“Tidak, aku tetap ingin naik bus.”

“Terserah kau saja!” Ia meninggalkanku dengan wajah marah yang kental.

Manusia lemah ini akan lebih lemah lagi kalau ia tak mampu menjaga orang yang disayanginya.

Bel masuk berbunyi ketika kaki baru saja melangkah ke ambang pintu kelas. Bu Deasy ternyata sudah berjalan tepat di belakangku. Selagi berjalan menuju bangku, diam-diam mataku melirik ke arah Liana. Lirikanku tak disambut karena ia sedang mengeluarkan buku pelajaran dari tasnya.

Ketika jam istirahat tiba, kukirimkan sebuah pesan pada Genta: “Kapan saja jadwal latihan silat?”

“Senin dan Rabu pukul tujuh malam. Tertarik?” ia membalas  beberapa menit kemudian.

“Kita lihat saja nanti. Di tempat kau biasa latihan kan?”

“Iya. Kutunggu.”

Dari tempat duduknya, kulihat Liana memperhatikan. Tatapan itu sangat bermakna kalau diperhatikan lagi di kedalaman matanya. Bolehkah aku menerka pikirannya? Mungkin saja ia sedang bertanya lewat tatapannya itu: “Masih sakit?” Dan kujawab lagi dengan tatapan yang tak kalah dalam : “Tidak. Sudah sembuh karena melihatmu.”

Ketenangan yang kuharapkan di hari pertama ini luntur. Ferdi datang ke kelasku sebelum jam istirahat berakhir di menit-menit sisa.

Aku beranjak dari kursi, bersedia untuk memberikan perlawanan kalau-kalau ia berani mencari masalah.

Ternyata dugaanku salah, ia hanya memandangku, lengkap dengan senyuman sinis bak meremehkan diri yang lemah ini dan berlalu.

“Dia tidak akan berani mencari masalah di sini. Kudengar, kemarin ia marahi habis-habisan oleh Pak Hendri. Karena dalam satu hari sudah bermasalah denganmu dan Beno. Orang tuanya juga kemarin sudah dipanggil. Kalau dia masih membuat onar lagi, Pak Hendri akan mengembalikan Ferdi ke kedua orang tuanya,” terang Liana.

Jarak antara aku dan dia memang tidak cukup jauh. Bahkan kalau kami mau, kami bisa berbicara dengan volume kecil saat jam pelajaran.

“Begitu ya?”

“Iya. Kamu tidak apa-apa kan?”

I’m fine..”

Kehadirannya menjadi tanda bahwa mau tidak mau, diizinkan atau tidak, aku harus belajar pencak silat.

***

Senin malam, aku datang ke unit latihan di mana Genta berlatih. Ia memperkenalkanku pada pelatihnya.

“Ini teman saya, Kak. Yang saya ceritakan kemarin,” ucap Genta memulai percakapan.

“Halo,” sapa pelatih itu.

Aku menyapa pelatih Genta yang mulai hari ini resmi menjadi pelatihku juga. Namanya Kak Roni. Kalau diperkirakan dari wajahnya, usianya kira-kira belum genap 30 tahun, mungkin nyaris atau dua-tiga tahun lebih muda.

Latihan perdanaku sama seperti bela diri pada umumnya. Pukulan lurus. Tanpa pelatih pun sebenarnya aku bisa. Hanya kepalkan kedua tangan, lalu luruskan ke depan, secara bergantian. Baik kanan maupun kiri.

“Sebelum mendalami silat, kamu harus paham mengenai dasar-dasarnya,” jelas Kak Roni lalu mencontohkan gerakan gerakan dasar.

“Seperti ini..,” ia menunjukan cara memukul dengan lurus dan benar. “Kalau pukul lurus, jangan putar tanganmu di bahu, tapi putar saat tanganmu di depan. Daya ledaknya akan lebih besar.”

Aku mulai mempraktekannya.

“Ulangi sampai seratus kali ya? Tangan kanan dan tangan kiri lakukan secara bergantian.”

Apa yang terlihat, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Belum genap melakukannya sebanyak tiga puluh kali, tanganku sudah terasa lemas.

Aku mengerahkan seluruh tenaga yang kupunya. Tak jarang, ketika Kak Roni melihat anak yang lain, aku melakukan dengan asal-asalan.

Ketika hampir selesai melakukannya. Kak Roni menyambangi. “Untuk pemula, kalau tidak berkeringat, berarti orang itu melakukannya tidak benar.”

 “Tapi, menurut saya yang kamu lakukan ini biasa. Namanya baru pertama kali belajar bela diri. Dulu, waktu saya juga pertama kali memukul sebanyak seratus kali, saya sering tidak serius melakukannya,” tambahnya lagi.

“Maaf, ” aku sungguh merasa tidak enak. Jangankan memukul sebanyak seratus kali, memukul tiga puluh kali dengan benar pun, aku rasa tak akan sanggup.

“Iya, untuk latihan selanjutnya, kamu harus lakukan dengan benar ya!”

Pagi kembali menyapa, seluruh tubuhku terasa tak enak. Tangan sakit, tepatnya lengan di bagian atas. Kucoba mengangkat kedua lenganku melewati bahu, nyerinya lumayan menyusahkan. Tak hanya lengan, dada bagian kanan dan kiriku juga merasakan imbasnya.

“Itu biasa. Otot manusia memang saling berinteraksi. Kalau rusukmu terasa sakit hari ini, berarti latihan kemarin kau melakukannya dengan serius. Besok datang lagi ya?” Genta mengirimkan pesan balasan padaku. Aku memang mengirimkan pesan, mengeluhkan sakit tubuhku padanya.

“Serius?” Aku tertawa dalam hati. Padahal semalam aku tidak melakukannya dengan sepenuh jiwa dan raga. Apalagi kalau aku melakukannya dengan benar, pasti apa yang kurasakan lebih lagi. Ini adalah imbas dari tubuh yang tak pernah bergerak. Hanya makan, tidur, dan duduk berjam-jam.

Aku datang ke sekolah dengan semangat yang luntur. Setiap kaki melangkah atau pun melakukan kegiatan yang membuat tubuh menerima gaya gravitasi, sisa-sisa pegal kemarin bertamu.

“Kamu kenapa hari ini? Mengapa lesu sekali?” Liana bertanya dari bangkunya.

Sebegitu terlihatkah letih dan lesu di wajahku karena latihan semalam?

“Ah, tidak,” aku mengelak. “Aku belum sarapan pagi ini. Kesiangan.”

“Benarkah? Aku jarang sarapan pagi. Tapi tidak pernah lemas sepertimu.”

“Iya, aku tidak pernah melewatkan sarapan pagi. Ibuku selalu menyiapkannya.”

“Wah, aku salut pada Ibumu.”

Kalau dia tahu alasan kenapa aku lemas pagi ini, pasti dia akan terharu. Belajar bela diri untuk melindunginya.

Bab terkait

  • Me and You   Jadian

    Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-27
  • Me and You   Kosong

    Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-28
  • Me and You   Bus Terakhir

    Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25
  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-28
  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-29
  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-01
  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-02
  • Me and You   IBU

    Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-04

Bab terbaru

  • Me and You   TERLAMBAT

    Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la

  • Me and You   KURUS

    Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.

  • Me and You   MULAI FOKUS

    “Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”“Benarkah?”“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk

  • Me and You   MOVE ON

    Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan setengah sadar. Semalaman, tidurku tidak nyenyak. Bahu dan kedua lenganku terasa sakit untuk digerakkan. Tubuh ini ternyata benar-benar lemah. Padahal hanya melakukan empat kali push up––maksudku tiga setengah kali, efek pegal yang kurasakan sangat menyiksa.Karena tubuh bagian atasku terasa sakit, maka hal itu berdampak pula pada kedua kakiku. Saat meniti anak tangga menuju kelas, kakiku terasa sangat lemas. Terlebih kondisi tubuh yang saat ini tidak fit karena kurang tidur menyebabkan semuanya semakin berat.“Kamu kenapa, Rian?” tiba-tiba suara itu berada dekatku. Aku menoleh ke belakang, melihat Liana yang bergegas menyamakan langkah di sampingku.“T-tidak, aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Tak ingin mengundang percakapan lagi, aku mempercepat langkah dan memunggunginya sebanyak tiga anak tangga.“Benar tidak apa-apa? Wajahmu terlihat sangat lelah,” lagi-lagi ia

  • Me and You   IBU

    Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo

  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

DMCA.com Protection Status