Beranda / Young Adult / Me and You / Mengejar Waktu

Share

Mengejar Waktu

Penulis: Channa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-19 14:05:18

Hampir semua siswa tidak menyukai pelajaran matematika. Penjelasan yang diberikan di papan tulis tidak mampu aku pahami. Begitu pun Beno.

Selain ramah, ternyata Liana juga anak yang pintar. Beberapa anak berkerumun di mejanya dan menanyakan materi yang sangat sulit kami pahami.

 Beno bangkit dari kursinya dan menghampiri Liana.

“Aku tidak mengerti,” dalihnya membuatku ingin muntah. Ia pintar sekali mengambil kesempatan dalam kesempitan. Liana mengambil pensil dan menuliskan penjelasan yang mudah dimengerti pada buku Beno.

“Jadi, kamu harus hafal rumusnya terlebih dahulu. Kalau kamu tidak hafal, sulit untuk mengerjakan soal ini. Masih ingat kan rumus jajar genjang sewaktu di SMP dulu?”

 “Ehhhmmm..” Ia kebingungan. Wajar, mana ada siswa yang menyukai matematika. Apalagi anak laki-laki. “Susah juga ya? Kalau aku menulis jawabanmu, sepertinya akan lebih mudah.”

 “Ben, kau harus mencoba. Kalau tidak bisa, baru bertanya lagi,” kataku sedikit keras agar terdengar sampai di kursi Liana.

Beno menoleh ke arahku. Begitu juga Liana. Saat mataku dan matanya saling bertemu, dadaku terasa berdebar. Degub jantungku lebih keras dalam waktu sekejab. Waktu seperti terhenti saat aku melihat matanya yang indah itu.

Beno kembali ke mejanya. Kami melihat beberapa teman mengangkat kursi dan bergabung dengan yang lain. Bu Deasy yang melihat tak bereaksi apa-apa. Maka kuputuskan untuk menarik kursi milikku dan ikut duduk di meja Beno.

 “Nih,” Beno memberikan bukunya yang sudah ditulis oleh Liana. “Aku rasa lebih baik jika kita melihat bukunya saja. Pasti akan lebih mudah.”

 Aku diam sejenak. Memandang tulisan di bukunya, memahami setiap rumus pada baris per baris.

 “Aku paham apa yang ditulis,” ucapku.

Dengan berbekal penjelasan yang sudah Liana tulis di buku Beno, aku bisa sedikit meraba-raba untuk memecahkan soal yang diberikan. Jika sudah memahami rumusnya, cara penyelesaiannya pasti mudah. Setiap hal dalam hidup, kita hanya perlu memerlukan benang merah.

Pelajaran yang terakhir selesai. Buru-buru kubereskan meja agar bisa pulang bersamanya.  

Liana telah hilang dari pandanganku. Barang kali ia sudah melewati gerbang sekolah dan turun menuju halte. Ini kesalahanku karena lamban dalam mencatat pelajaran. Kalau saja aku tidak mengobrol dengan Beno di menit pelajaran terakhir, pasti aku bersamanya saat ini.

Kukerahkan segala kemampuan untuk menyusulnya. Siapa saja yang sedang menuruni anak tangga, kuterabas tanpa segan. Kesempatan ini tak boleh lewat. Pergi tak sengaja bersamanya, pulang pun harus tak sengaja bersamanya. Barangkali ketidaksengajaan itu akan berubah menjadi perasaan saling mengharapkan.

Nafasku semakin terengah. Rasanya tidak kuat lagi untuk berlari. Tanpa pemanasan, berlari dengan sekencang-kencangnya sangat menguras tenaga.

Dia terlihat!

Akhirnya aku bisa mendapatkannya sebelum ia berhasil menaiki bus. Dia sedang duduk menunggu di halte itu. Tas selempangnya dikedepankan, tepat di atas kedua paha. Sementara kedua tangannya bersimpu.

Aku pun mulai mengatur nafas. Tak ingin terlihat terengah-tengah. Berjalan selangkah demi selangkah mengkondisikan dada yang kembang kembis tak beraturan. 10 meter di sana, nafasku harus sudah seperti biasa.

“Sudah paham?” Ia menegurku lebih dulu ketika aku ikut duduk menggabungkan diri.

“Hah?” aku tergelak.

“Yang tadi.”

“Oh,” aku mengerti. Ia sedang membahas pelajaran matematika di kelas tadi, “sudah.”

Ia mengangguk kemudian tersenyum.

“Pulang sendiri?” Aku berinisiatif membuat pertanyaan karena tak ingin menghentikan obrolan ini. Sungguh.

“Iya..”

“Tidak dijemput?”

“Kalau pulang sekolah, aku harus naik bus karena kakakku bekerja.”

“Oh begitu, sama denganku.”

“Kau punya kakak juga?”

“Tidak, maksudnya sama denganmu karena harus naik bus sendiri.”

Di bus, duduk bersebelahan. Bising suara kendaraan tua ini seperti suara latar kebersamaan kami. Lenganku dan lengannya bersentuhan dibatasi kedua baju seragam. Sesekali aku berlagak melihat ke luar jendela, padahal itu hanya trikku agar bisa mencuri pandang.

Hari ini benar-benar menyenangkan. Rasanya tak ingin berganti menjadi esok. Pulang dan pergi sekolah bersama. Ah, betapa bahagia!

Aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Besok pagi aku ingin naik bus lagi. Ingin bertemu Liana lagi. Semoga.

Bab terkait

  • Me and You   Titik Awal

    Keributan terjadi di kantin pada saat jam istirahat. Anak-anak bercakap tak beraturan. Hanya satu kata yang kudengar berulang-ulang; Beno. Aku berlari menuju kantin. Di sana, beberapa guru sudah memisahkan Beno dan Ferdi, senior kami, anak kelas XI.Aku kehilangan momen yang berharga. Seharusnya tadi aku ada di sana saat mereka berkelahi. Pasti akan seru. Perkelahian seharusnya tak perlu dipisahkan.Dari beberapa teman yang melihat kejadian itu secara langsung. Pertikaian itu bermula ketika Ferdi berusaha menggoda Liana.Aku menghampiri Sela yang berdiri teguh di luar kantor guru. Wajahnya was-was. Beberapa kali ia menggigiti ibu jari sebelah kanannya.“Jadi,” aku mulai merangkai kata yang pas karena melihat wajahnya yang begitu cemas. “Apa yang terjadi?”“Kak Ferdi memukuli Beno tadi di kantin.”“Bukannya guru sudah memisahkan?”“Guru datang setelah lima menit Beno dipukuli.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Me and You   Dorongan Paling Absurd

    Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya.Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.“Riannn!!” Liana histeris..Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.Kutatap

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Me and You   Sakit

    Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”“Anak Ibu sudah kelas berapa?”“1 SMA.”“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?&rdqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-22
  • Me and You   Pencak Silat

    Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-25
  • Me and You   Jadian

    Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-27
  • Me and You   Kosong

    Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-28
  • Me and You   Bus Terakhir

    Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25
  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-28

Bab terbaru

  • Me and You   TERLAMBAT

    Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la

  • Me and You   KURUS

    Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.

  • Me and You   MULAI FOKUS

    “Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”“Benarkah?”“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk

  • Me and You   MOVE ON

    Aku berangkat ke sekolah dengan keadaan setengah sadar. Semalaman, tidurku tidak nyenyak. Bahu dan kedua lenganku terasa sakit untuk digerakkan. Tubuh ini ternyata benar-benar lemah. Padahal hanya melakukan empat kali push up––maksudku tiga setengah kali, efek pegal yang kurasakan sangat menyiksa.Karena tubuh bagian atasku terasa sakit, maka hal itu berdampak pula pada kedua kakiku. Saat meniti anak tangga menuju kelas, kakiku terasa sangat lemas. Terlebih kondisi tubuh yang saat ini tidak fit karena kurang tidur menyebabkan semuanya semakin berat.“Kamu kenapa, Rian?” tiba-tiba suara itu berada dekatku. Aku menoleh ke belakang, melihat Liana yang bergegas menyamakan langkah di sampingku.“T-tidak, aku baik-baik saja,” jawabku singkat. Tak ingin mengundang percakapan lagi, aku mempercepat langkah dan memunggunginya sebanyak tiga anak tangga.“Benar tidak apa-apa? Wajahmu terlihat sangat lelah,” lagi-lagi ia

  • Me and You   IBU

    Mendapat kesempatan dari Kak Roni untuk mewakili sekolah di ajang O2SN merupakan hadiah yang sangat istimewa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Roni yang sudah memberikan kepercayaan itu kepadaku.Aku tidak mau lagi menghabiskan banyak energi untuk meratapi kekalahan yang kualami sebelum berperang. Ya, aku belum sempat menyatakan perasaanku, dan jujur saja, memikirkannya membuat cukup sakit kepala.Minggu telah berganti. Hari ini aku akan mengatakan secara langsung bahwa aku siap menjadi atlit yang akan mewakili sekolah.Sebelum latihan malam ini dimulai, Kak Roni mempersilakan kami duduk di matras. Posisi duduk kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Dari wajahnya, aku tahu kalau banyak hal yang ingin disampaikan Kak Roni.“Malam ini, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” Kak Roni membuka suaranya. “Selama kalian latihan, saya memperhatikan apa pun yang kalian lakukan. Selain Rina, saya ingin kamu,” Kak Roni menatap wajahku. &ldquo

  • Me and You   Sebuah Jawaban

    Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna

  • Me and You   Alasan yang Kuat dan Hal Paling Menyakitkan

    Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang

  • Me and You   Makan Bersama di Akhir Pekan

    Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku

  • Me and You   Malam Yang Panjang

    Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***

DMCA.com Protection Status