Siang yang terik, Teguh melangkah masuk ke salah satu kafe yang sering dia datangi bersama Kalila, kekasihnya. Kafe ini menyediakan tempat yang nyaman buat ngobrol, karena suasana nya tidak terlalu ramai. Selain itu, hidangan dari kafe ini semuanya enak. Cocok dengan selera Teguh.
Teguh memesan pasta kesukaannya, Spaghetti Aglio Olio dan juga Iced Coffee. Sambil menunggu Kenan datang, dia mengecek ponselnya. Lalu tersenyum dan menekan tombol dial. Menelepon Kalila, kekasihnya.
“Lila sayang…”
Kalila yang mengangkat telepon itu langsung tersenyum malu, “Iya, Mas?”
“Dimana? Udah makan siang?”
“Lila lagi hotel, Mas. Cek venue buat wedding bulan depan. Mas Guh dimana?”
“Ini lagi nungguin Kenan, mau makan siang bareng.” Teguh lalu melanjutkan, “Sayang, kita mau nikah sebentar lagi, kamu masih sibuk ngurusin acara orang.”
Kalila tertawa, “Ini kan job nya masuk duluan sebelum Mas ngelamar Lila.”
“Lagian ini cuma ngecek venue kok, Mas. Sama memastikan apa aja yang perlu dipersiapkan selanjutnya untuk dekorasi dan lainnya. Kalo udah fix, nanti kru lain yang lanjutin. Mas tenang aja. Lagipula, untuk acara kita semua udah beres res…”
“Iya… Percaya… Kalo udah Lila sayang yang handle, semua pasti beres. Ya udah sayang, habis ini langsung pulang ya, istirahat.”
“Iya, Mas… Daahhh…”
Tepat setelah sambungan telepon terputus, Kenan datang dan langsung duduk di depan Teguh.
“Ada apa bro? Calon pengantin, ada yang perlu gue bantu?” ujar Kenan.
“Pesan dulu gih, biar enak ngobrolnya.”
“Kenapa bro? Lo perlu bantuan apa? Bilang aja. Mau diajarin cara memulai malam pertama?” Kenan nyerocos tidak jelas. Teguh langsung menjitak kepala sahabatnya itu.
“Kalo itu sih gue gak perlu tutorial dari lo, kampret.”
“Trus apa dong?”
Teguh lalu menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar.
“Lo ingat Kia? Azkia?”
Mata Kenan mendelik, kaget. “Mantan lo?”
Teguh mengangguk, “Kia udah balik ke Banjarbaru, Nan. Gue nggak sengaja ketemu dia di RS Jasmine. Dia kerja di sana.”
“Trus?”
“Sejak gue ketemu dia lagi, entah kenapa perasaan yang dulu udah gue kubur dalam-dalam, sekarang tiba-tiba kayak muncul lagi. Begitu gue liat dia, napas gue kayak sesak gitu. Dan lo tau, pas gue panggil, dia masih menghindar. Dia nggak noleh, malah lari buru-baru masuk ke mobilnya. Padahal gue tau dia denger pas gue panggil, karena dia sempat berhenti sebentar pas gue teriak manggil dia.”
Kenan cuek melanjutkan makan siangnya, dengan lahap mengunyah ayam sambal matah yang aromanya sangat menggoda selera.
“Nan, sejak gue ketemu Kia lagi, entah kenapa mimpi-mipi yang dulu pernah gue bangun untuk hidup sama dia, sekarang terbayang lagi di kepala gue. Lo tau, kepala gue sampe senut-senut nggak ngerti kenapa.”
“Lo tau kan, Azkia itu cinta pertama gue. Dia yang nemenin gue saat gue lagi terpuruk karena bokap gue selingkuh, dia juga yang nyemangatin gue untuk fokus belajar saat gue hampir putus asa ngeliat nyokap gue nangis terus-terusan karena kelakuan bejat bokap gue dulu. Kia juga yang sering ke rumah mengalihkan perhatian nyokap gue supaya nggak sedih terus.”
“Dia terlalu berarti buat gue, Nan.”
Kenan meneguk es teh nya dengan lahap, lalu berkata, “Semua orang yang mau nikah, punya cobaannya masing-masing. Ada yang nggak direstui orang tuanya, ada yang terkendala sama biaya, ada yang tiba-tiba jadi primadona dan ditaksir orang banyak, ada juga yang tiba-tiba mantannya datang.”
Teguh mengerutkan keningnya.
“Guh, bagaimanapun baik dan berartinya Kia di mata lo, dia itu adalah masa lalu. Sekarang lo harus menatap ke depan, merajut masa depan lo ama Kalila.”
“Tapi Nan, gua sekarang bener-bener bimbang apakah mau lanjutin pernikahan gue apa nggak. Pikiran gue masih dibayang-bayangi Kia.”
“Kalo lo terus menatap ke belakang, menatap masa lalu, suatu saat lo bisa tersandung dan jatuh karena nggak ngeliat ada batu di depan lo.” Kenan lalu melanjutkan, “Menurut gue, perasaan lo itu muncul karena kalian nggak mengakhiri hubungan kalian dengan benar. Gue tau Azkia mutusin lo sepihak, dan sampe sekarang mungkin lo nggak terima itu.”
Teguh mengangguk.
“Jadi saran gue, lo harus berdamai sama perasaan lo sendiri. Lo harus terima bahwa diantara lo dan Azkia udah nggak ada apa-apa lagi. Mungkin lo bisa ketemu dia dan saling meminta maaf meskipun lo nggak salah. Supaya perasaan lo lega dan lo bisa dengan tenang melangkah menuju masa depan lo sama Kalila tanpa dibayang-bayangi masa lalu lo sama Azkia. Ingat, Kalila itu cinta banget sama lo. Jangan lo kecewain dia kalo lo nggak mau nyesel nantinya.”
“Thanks ya bro, gue bener-bener nggak bisa berpikir jernih sekarang. Makanya gue minta saran dari lo.”
Kenan hanya tersenyum melihat wajah kusut sahabatnya itu.
---
Teguh kembali ke kantornya jam setengah dua siang, setelah makan siang dan curhat dengan sahabatnya, Kenan. Dia lalu kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Melupakan sejenak masalah yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
Sampai akhirnya konsentrasinya terpecah karena seseorang mengetuk pintu ruangannya.
Tok… Tok… Tok…
“Permisi, Pak. Ini laporan pengiriman minggu lalu, yang kemaren bapak minta.”
“Oh, iya. Terima kasih, Nia.”
Ketika Nia beranjak keluar dari ruangannya, Teguh memanggilnya lagi, “Nia…”
“Ya, Pak?”
“Kamu punya nomor telepon RS Jasmine bagian instalasi farmasi nya?” Tanya Teguh.
“Ada, Pak. Saya punya nomor telepon kantornya, sama nomor ponsel ibu Azkia.” Ucap Nia yang membuat Teguh sedikit terbelalak.
Jadi selama ini karyawannya itu punya nomor telepon Kia?
“Kirimkan ke saya, ya. Dua-duanya.”
“Baik, Pak.”
Tak lama, ponsel Teguh bergetar tanpa pesan masuk. Nia mengirim kontak RS Jasmine dan Nomor ponsel Kia. Teguh melihatnya, nomor itu masih sama dengan nomor Kia yang dulu. Tapi kenapa selama ini Teguh tak pernah berhasil menghubungi Kia baik itu telepon atau whatsapp. Sepertinya Kia memblokir nomor Teguh di ponselnya. Karena ketika teguh menghubungi nomor yang diberikan Nia tadi, tetap tidak bisa.
Teguh lalu menghubungi nomor kantor Kia,
“Instalasi Farmasi RS Jasmine, ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang lelaki di ujung telepon dengan ramah.
Teguh berdehem, “Ya, bisa bicara dengan ibu Azkia?”
“Baik, dengan siapa saya bicara?”
Teguh menyebutkan nama ekspedisinya, “Ekspedisi Borneo Ekspress.”
“Baik, mohon tunggu sebentar, Pak.”
Lima detik. Sepuluh detik, Teguh sudah tak sabar.
“Ya, halo?” sapa suara lembut di ujung sana.
Teguh memejamkan matanya, kini terbayang wajah Kia di hadapannya.
“Halo, ada yang bisa saya bantu?” si pemilik suara mengulangi lagi setelah beberapa saat tak ada sahutan.
“Kia…”
Deg!!!
“Kia, bisa kita ketemu nanti sore?” ucap Teguh pelan, namun dapat didengar jelas oleh Kia.
“Bapak bisa datang ke kantor apabila ada masalah dengan pengiriman barang milik kami.” Sahut Kia tegas.
“Kia, ini bukan masalah kerjaan. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
“Maaf, saya sedang sibuk.” Ucap Kia berbisik, sambil menutup telepon nya.
Tidak berapa lama, telepon kembali berdering. Kia menetralkan suaranya lalu mengangkat telepon dengan ramah.
“Instalasi Farmasi RS Jasmine, ada yang bisa kami bantu?”
“Kia, kalo kamu tutup teleponnya aku akan terus menelepon ke kantor kamu sampai kamu mau ketemu sama aku. Aku nggak punya pilihan, aku nggak bisa hubungin kamu secara pribadi karena kamu memblokir nomorku.” Ancam Teguh.
Kia mengedipkan matanya yang tiba-tiba panas.
“Cuma sebentar Kia, aku janji setelah ini nggak akan ganggu kamu lagi.” Pinta Teguh.
Kia menghela nafasnya berat, “Oke, tapi jangan pernah menghubungi aku lewat telepon ini lagi.”
“Tempat biasa, sore ini, setengah empat ya, habis kamu pulang kerja.”
Tanpa menjawab, Kia langsung menutup teleponnya.
---
Kia menunduk tak sanggup menatap lelaki di depannya. Keadaan ini sama seperti 7 tahun yang lalu, saat Kia ingin mengakhiri hubungan mereka. Kafe tempat mereka bertemu saat ini pun sama. Bahkan Teguh memesan minuman yang sama. Iced Coffee Latte dan Es Cokelat favorit Kia.
-Kalila POV-Beberapa hari ini aku disibukkan dengan pekerjaanku, sehingga waktu untuk bertemu dengan calon suamiku sangat berkurang. Sepertinya Mas Teguh pun sama, disibukkan
Kalila menghindar ketika Teguh mengarahkan tangannya untuk mengusap kepala Kalila. Pandangannya masih tertuju ke depan. Enggan untuk menatap calon suaminya. Hatinya sesak karena masih teringat kejadian itu.
Kia melirik sebuah benda yang tergeletak dengan manis di samping komputer di meja kerjanya. Pagi itu suasana masih sepi. Belum banyak yang datang. Kia melangkah lalu mengambil benda itu. Sebuah undangan dengan cover berwarna biru muda, dengan tinta silver bertuliskan Teguh & Kalila. Kia melirik cover undangan itu. Azkia Rachel Poernomo, S.Farm., Apt. Ya, namanya. Berarti undangan ini memang ditujukan untuknya.
“Kamu?” Kia sedikit berteriak karena tidak percaya dengan pandangannya.Di kursi sebelahnya sudah ada lelaki tampan dengan setelan jas rose gold, yang men
Kia mengedipkan kedua matanya, merasa silau karena sinar matahari yang sudah memasuki jendela kamarnya. Kepalanya sedikit pusing, mungkin karena terlalu banyak menangis tadi malam. Kedua matanya pun masih sembap, dan bagian kantung matanya terlihat membesar. Harusnya tadi malam dia mengompres kedua matanya sebelum jatuh tertidur.
Setengah jam pesawat mengudara, tiba-tiba badan pesawat berguncang hebat. Kia yang tertidur pun langsung panik membuka matanya. Tidak pernah selama hidupnya dia mengalami hal ini. Terdengar pengumuman bahwa mereka mengalami turbulensi akibat cuaca buruk. Sedetik setelah itu, dapat dirasakan oleh seluruh penumpang bahwa pesawat ini seperti terhempas dari ketinggian yang ada. Seperti terjun bebas. Beberapa penumpang menjerit panik. Sementara Kia tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya terpejam. Tangannya mengcengkeram erat sebuah lengan besar disampingnya, Kia tak peduli itu lengan siapa.
Kia memencet bel berkali-kali di depan pagar sebuah rumah dalam kawasan perumahan asri ini. Sepertinya pemilik rumah sedang sibuk hingga tidak bisa membukakan pintu untuknya? Kia sangat kesal, karena meskipun jam baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi, tetapi matahari sudah bersinar cukup terik. Membuat nya berkeringat cukup banyak. Kia meraih ponselnya lagi, mencoba menghubungi sang pemilik rumah agar membukakan pintu untuknya.
Kia maupun Elang sudah sering menikmati indahnya cuaca dan sejuknya udara pagi yang khas. Namun suasana kali ini terasa berbeda. Saat Kia melangkahkan kakinya dengan perlahan karena menahan rasa nyeri di pangkal pahanya, semilir angin menerpa wajah cantiknya, menerbangkan rambut indahnya yang tergerai. Meskipun mentari sedikit enggan menampakkan sinarnya karena mendung, bagi Kia tetap ini adalah pagi terindah yang pernah dia rasakan. Elang menghampiri Kia lalu memeluknya dari belakang. Menghirup aroma segar dari rambut panjang Kia, membuatnya memejamkan mata.
Telinga Kia samar mendengar adzan subuh berkumandang dari salah satu masjid besar yang berlokasi di dekat hotel yang mereka tempati. Matanya mengerjap perlahan, dan sedetik kemudian tubuhnya menegang saat merasakan hembusan nafas hangat di tengkuknya. Tangan kokoh melingkari pinggangnya, membuat Kia dengan susah payah membalikkan tubuhnya. Sdetik kemudian, Kia tersenyum memandangi wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah suaminya saat tidur terlihat begitu damai. Kia ingat, sorot tajam dari kedua bola mata Elang yang terkadang mengintimidasi, seketika lenyap dalam pikiran Kia. Kini saat
Satu bulan setelah lamaran Elang diterima Kia, mereka melangsungkan pernikahan. Ijab kabul diucapkan dengan perlahan namun tegas dan tenang. Suara Elang terdengar mengalun merdu di telinga Kia saat lelaki itu mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu. Mata Kia terpejam, setitik air mata jatuh di sudut matanya. Kia tidak tahu air mata ini karena sedih atau bahagia.
Udara malam menyeruak masuk ke ruang tengah dimana saat ini Elang sedang duduk menyendiri. Dia membiarkan pintu samping yang membatasi antara balkon dan ruang tengah terbuka. Membiarkan angin malam masuk menemaninya sambil mengamati beberapa orang yang sedang berenang di kolam renang.
Elang kini melangkah dengan gagahnya dengan tangan kanan menggendong Kiandra, dan tangan kiri menyeret sebuah koper. Langkahnya tergesa-gesa menuju pintu keberangkatan di bandara. Di sampingnya, Kia mengikuti dengan setengah berlari menjajari langkah kaki Elang yg panjang. Kia tidak membawa koper seperti Elang, dia hanya membawa sebuah handbag kecil dan slingbag tergantung di bahu kirinya. Kia masih mengenakan setelan rapi seperti tadi pagi saat akan berangkat ke kantor. Kemeja biru muda, dipadu dengan rok selutut berwarna abu tua. Kaki indahnya beralaskan highheels setinggi 8 cm. Yang me
"Jadi gimana, hubungan lo sama Elang?" suara lembut milik Rani membuat Kia tersipu meskipun tidak ada yang bisa melihatnya. Karena dia saat ini hanya sendirian, di ruangan nya. Dengan posisi membelakangi meja, menatap jendela.
Pagi ini Kia diantar Elang menuju tempat kerjanya yang baru.Ya, Kia akhirnya memilih resign dari RS Jasmine dan mengelola bisnis peninggalan orang tuanya. Posisi Kia saat i
Menikah adalah nasib, jatuh cinta adalah takdir. Kita bisa berencana akan menikah dengan siapa. Namun kita tidak bisa tau kepada siapa kita akan jatuh cinta. Seperti Elang yang pada kenyataannya telah menyimpan cinta pada Kia bahkan jauh sebelum mereka saling mengenal seperti sekarang. Meskipun untuk sampai pada titik saat ini, jalannya cukup panjang namun tidak ada yang disesali lelaki itu. Terlebih kehadiran putrinya, Kiandra, adalah berkah terbesar yang selalu disyukurinya.
Langkah kaki Kia terasa ringan menapaki lorong rumah sakit, dihirupnya udara pagi dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Hujan tadi malam menyisakan hawa dingin yang menyejukkan, pagi ini. Meskipun mendung sudah hilang, berganti dengan langit biru yang bersih namun kesejukan terasa nikmat bagi Kia pagi ini.