Brothers are Superman, Spiderman and Batman of their sisters
-Unknown
~~~
Belum sempat Esa melangkahkan memasuki rumah masa kecilnya, Bagus Prasetyo, sang ayah sudah lebih dahulu menghampiri. Pria itu memeluk dan menepuk-nepuk punggung putra kesayangan yang sudah jarang sekali pulang ke rumah. Tertawa renyah sebentar, kemudian menarik diri.
“Anak kesayangan gue, akhirnya ingat pulang juga.” Bagus berdecak berkali-kali dengan gelengan.
Esa hanya tersenyum miris. Bergegas masuk, lalu duduk di salah satu kursi yang ada ruang tamu. “Aku mau ngomong sama Bapak,” ucapnya dingin.
Bagus yang masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya, segera duduk berhadapan dengan Esa, dengan sebuah coffee table sebagai penengahnya. “Nanya kabar Bapak lo dulu kek, basa basi.”
“Bapak udah pasti sehat, bisa kelihatan, kok.” Esa sedikit mencondongkan tubuh. “Bapak bener nyuruh Hening nikah?”
Senyum di wajah Bagus menghilang seketika, berganti dengan ekspresi serius. “Denger dari mana?” tanyanya, lalu berpikir kilat. “Ahh pantas Hening tadi gue tunggu nggak muncul-muncul, dia pasti sudah dengar juga, ck. ZIAAHH!!!” teriak Bagus kemudian setelah menyimpulkan sesuatu.
“Jadi bener?” desak Esa. “Pak, Hening itu baru 19 tahun, jangan paksa dia buat nikah, biarin dia nikmatin masa muda dia—”
“Iya, Bang!” Ziah menghampiri Bagus, berlari tergopoh dari belakang menyela kalimat Esa.
Bagus mengalihkan pandangannya ke Ziah. “Lo ya, yang ngabari Hening kalau dia mau gue kawinin? iya kan?”
Ziah pura-pura terkejut, lalu melirik Esa sekilas. “Kapan gue ngasih tahu Hening,” ujarnya berakting bodoh seraya menggaruk kepala. “Abang, kan, tahu, gue nggak ada ke mana-mana, cuma di rumah belakang, lagian anak gue baru datang dari pesantren Bang, coba tanya aja sama Riris, gue cuma di rumah aja, kaga ke mana-mana dah, Bang!”
Bagus berdecak kesal. “Ya sudah pergi sana, biar gue cari tahu sendiri nanti!”
“Eh, Esa! Tumben dateng, entar mampir rumah belakang ya, ada Riris, pasti—”
“Ziah!”
“I-iya Bang, pergi gue, pergi,” kata Ziah bersungut, dan bergegas kembali ke rumahnya yang ada belakang.
Esa kembali menatap dingin pada Bagus. “Hening mau di nikahkan sama siapa?”
“Anaknya Abraham,” ujar Bagus yang kini sudah menyematkan rokok di sela jari.
“Astaga, Pak! Anak Pak Abraham itu cuma Dewa, dan dia sudah punya istri, Bapak tega bener mau jadiin Hening istri ke dua.” Esa mengepalkan kedua tangan. Ia memang benci dengan Hening dan ibunya, tetapi tetap saja ia tidak sampai hati jika harus melihat adik satu-satunya itu akan menderita. Ikatan Esa dan Hening seperti love hate relationship. Namun, Esa tidak pernah menunjukkan rasa cintanya itu pada Hening
“Dewa udah cerai sama istrinya, mereka juga nggak punya anak, nggak ada ruginya kalau Hening nikah sama dia. Secara fisik, gue yakinlah Hening nggak akan nolak Dewa, belum ketemu aja mereka." Bagus terkekeh dengan penuh keyakinan. "Dan yang pasti, Hening nggak akan kekurangan apapun, Sa! Hidupnya terjamin!”
“Hidup Hening atahu hidup Bapak yang terjamin?” sambar Esa tersenyum sinis. “Pak Abraham mau ada proyek di Pelabuhan Barat, kan? Pasti dia minta tameng sama Bapak. Terus, sebagai balasannya, Bapak minta anaknya buat nikahin Hening,” Dengan cepat Esa dapat menyimpulkan hal tersebut. "Bapak manfaatin Hening, anak Bapak sendiri!"
“Lo itu nggak ngerti apa-apa, Sa!”
“Justru aku orang yang paling tahu semua yang ada di pikiran Bapak!” seru Esa masih bisa menahan emosinya. “Emang nggak cukup udah dibayar pake duit, sampe harus bawa-bawa Hening segala?” Esa berdiri kemudian. “Jangan bawa-bawa Hening dalam urusan kotor Bapak. Biarkan dia bebas, hidup sesuai keinginannya tanpa harus terjerat dengan dunia hitam kayak gini!”
“Jaga mulut lo, Sa! Emang siapa yang biayai lo dari kecil? Uang dari mana selama ini yang lo makan? Ha?” Bagus membentak dan hampir tidak bisa mengontrol emosinya. Tangannya sudah meremat sebatang rokok yang tidak jadi ia sulut sedari tadi.
“Aku tahu Pak. Tapi karena itu juga, aku memutuskan pergi dari sini, dan aku harap Bapak juga nggak ikut campur dengan hidup Hening. Kalau masih diteruskan, aku nggak akan segan bongkar siapa aja pejabat yang sudah berbuat kotor, dan make jasa Bapak untuk menyelesaikan semua masalah mereka.” Esa menarik napas untuk menahan emosi setelah berbicara panjang lebar.
Bagus terdiam dengan rahang mengetat. Satu-satunya anak laki-laki kebanggaannya, ternyata berani membelot dan mengancam Bagus seperti sekarang. Padahal, sedari kecil Bagus selalu menuruti permintaan Esa. Namun, apa balasannya?
“Jangan ganggu hidup Hening, maka aku akan tutup mulut selamanya.”
~~~
“Bang, Bang, itu, tuh, Non Hening baru keluar! Mau ke parkiran, cepetan Bang! Samperin!” seru seorang pria yang berada di belakang kemudi, dan memang sedari tadi sudah menunggu Hening di luar kantornya. Meskipun ini adalah hari libur, tetapi terkadang Hening juga harus ke kantor bila ada keperluan tentang materi iklan yang ia tangani.
Pria yang duduk di kursi penumpang akhirnya keluar dengan tergesa, untuk menghampiri gadis itu.
Langkah Hening terhenti saat melihat pria bertubuh tegap, layaknya bodyguard yang sudah berada di hadapan.
“Non Hening, kan?” tanya pria itu sopan dan tegas.
Hening tidak menjawab, ia malah bersedekap melihat dengan tatapan menantang ke arah pria itu. Sudah sering melihat banyak pria besar dan sangar sedari kecil di lingkungannya, maka Hening tidak merasa takut sama sekali.
“Bisa ikut saya, Bos saya mau ketemu dengan Non?” ucap sang pria masih sopan.
Entah kenapa perasaan Hening tidak nyaman. “Bos? Dari perusahaan apa, ya? Mau pasang iklan?” tanyanya, tetapi tidak bisa menyingkirkan rasa gusar yang menyelinap di hati.
Pria itu berpikir sebentar. “Iya Non, mau pasang iklan. Mari Non, ikut saya.”
Hening menipiskan bibirnya, ragu-ragu akan ajakan pria tersebut. Namun, akhirnya ia pun mengangguk dan mengikuti pria itu, berjalan bersisian.
Langkah Hening terhenti di depan mobil yang dituju. Ia sangat mengenal pria yang saat ini berada di belakang kemudi mobil. “Lo, di suruh bapak gue ya?”
“Nggak Non, bos saya yang mau ketemu.” Pria itu juga berhenti. Kemudian, dengan sigap meraih lengan Hening dan menariknya menuju mobil. Baru saja Hening hendak berteriak, mulutnya segera dibekap dan dipaksa masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang bagian belakang.
“Jalan, Ben!” perintah pria itu, yang sudah duduk di samping Hening dan melepas bekapan mulut gadis itu.
Hening tersenyum sinis melihat pria yang bernama Beni. Pria yang duduk di belakang kemudi tersebut, merupakan salah satu anak buah Bagus yang sudah sangat Hening hafal. “Di suruh bapak, kan, lo Ben!”
“Maaf, Non,” ucap Beni takut-takut sambil melihat Hening sekilas pada kaca spion bagian tengah.
“Mampus di tangan gue, lo habis ini!” ancam Hening yang seketika membuat Beni menelan ludah.
Beni kembali teringat dengan kejadian saat Hening menjadikannya sasaran amarah. Saat itu, Beni mencoba menghalangi gadis itu mengejar Bagus yang sedang pergi membawa perempuan lain. Alhasil, bibir Beni robek, dan ada beberapa lebam di dada serta punggungnya. Pukulan gadis itu, benar-benar seperti seorang preman dan Beni tidak habis pikir.
Masih di tempat parkir yang sama, ada Zaid yang baru saja keluar dari mobil. Kebetulan, ia hendak mampir ke Metro, untuk menemui manajer iklan, tetapi sontak mengurungkan niatnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Zaid melihat Hening yang dibawa paksa oleh seorang pria dan memasuki mobil yang langsung melaju kencang. Lantas, Zaid kembali masuk ke mobilnya dan bergegas menyusul Hening sembari menghubungi Esa.
Setelah membuntuti hampir setengah jam, mobil yang ditumpangi Hening masuk ke dalam sebuah komplek ruko mewah. Zaid yang kehilangan jejak, harus berputar sedikit mengitari ruko sampai akhirnya menemukan mobil yang dibuntutinya sudah terparkir di depan sebuah restoran. Ia pun kembali menghubungi Esa untuk memberitahukan posisinya saat ini.
“Woii, Id! Ngapain lo di sini.”
Zaid berbalik dan terkejut melihat Genta. “Genta?”
“Iya, ini gue Genta! Emang siapa lagi? Setan?” Tangan Genta tanpa sadar sudah menoyor kepala Zaid.
“Astaga! Lo! Ingat umur Gen!” bentak Zaid lalu menendang kaki Genta dan hanya dibalas tawa oleh pria itu.
Genta merangkul Zaid yang masih sibuk dengan ponselnya. Mengajaknya masuk ke dalam restoran. “Nunggu siapa lo?” tanyanya lalu melambaikan tangan kepada kedua sahabatnya yang memang sudah lebih dulu berada di sana.
Langkah Zaid terhenti. “Zio sama Hans? Kalian janjian?” tanyanya tidak terima karena tidak dihubungi untuk berkumpul bersama.
Genta berdecak pelan. Lalu membawa paksa Zaid untuk kembali melangkah, menghampiri dua sahabat mereka. “Bini mereka berdua yang janjian, lagi ke spa khusus bumil di depan sono,” telunjuk Genta menunjuk ke sembarang arah. “Gue nggak sengaja aja tadi nelpon Zio, katanya mau ke sini bareng Hans.”
“Hei, Id, di sini juga?” celetuk Hans sembari menarik kursi di sampingnya untuk Zaid.
Zaid tidak menggubrisnya. “Lo bedua, ada lihat cewek pake kemeja warna biru dongker nggak? Rambutnya diiket biasa, pake tas ransel merah, masuk sini?”
“Sama dua cowok, bukan?” tanya Zio memastikan.
Zaid mengangguk, dan sudah yakin gadis itu adalah Hening.
“Ke atas tadi, kalau bener itu, ya,” balas Zio sedikit mengerutkan alis menatap Zaid.
“Kenapa, Id?” tanya Genta penasaran. “Lo udah mau kawin juga, masih aja nyari cewek lain.”
“Berisik, lo, Gen!” sentak Zaid yang memasang wajah serius dan khawatir sekaligus. Sejurus kemudian, ia menangkap sosok Esa yang masuk melewati pintu dengan tergesa. “Sa!” panggil Zaid sambil melambai tangan.
“Heningnya di sini Pak?” tanya Esa yang baru saja menghampiri Zaid dengan terengah. Namun, matanya memandang ke sembarang arah untuk mencari sosok Hening.
Hening? Genta membatin, dan memandang tidak suka kepada Esa, mengingat apa yang dilakukan pria itu kepada Hening kemarin sore.
“Teman saya lihat dia ke atas sama cowok, kemungkinan cowok yang bawa dia tadi,” ucap Zaid khawatir.
Kening Genta makin terlipat dalam, tidak paham.
“Ada apaan, sih, Id?” Hans mulai curiga dengan sikap Zaid yang tidak seperti biasanya.
“Ya udah Pak, makasih, saya ke atas dulu.” Esa lalu berbalik, tetapi tangannya di tahan oleh Zaid.
“Saya ikut!” seru Zaid tanpa menghiraukan pertanyaan Hans.
“Jangan Pak!” sergah Esa dengan cepat, lalu melanjutkan kalimatnya. “Jangan sampai ada yang tahu kalau Pak Zaid ada hubungan dengan semua ini.”
“Nggak bisa gitu Sa—”
Esa menepuk bahu Zaid menyela. ”Cuma saya sama Hening yang bisa nyelesain masalahnya. Makasih ya Pak. Oia, jangan pecat saya ya,” lanjutnya terkekeh lalu berlari tergesa menaiki tangga.
It begins with curiosity ~ Kanietha “Mampus di tangan gue, lo habis ini!” Hening kembali mengancam Beni dengan suara pelan, tetapi begitu menghunus tajam. “Janganlah Non, gue cuma disuruh buat nganterin lo doang. Entar urusan kelar, gue balikin lagi lo ke kantor tadi,” ucap Beni memelas. Hening menoleh pada pria yang saat ini duduk di sampingnya. Pria itu bersedekap, dan menyilangkan kaki panjangnya. “Terus kalau Bapak sendiri, disuruh siapa?” tanya Hening melempar tatapan tajam. Sama sekali tidak takut, meskipun tubuh pria itu layaknya binaraga dengan lekukan otot yang tersebar di sekujur tubuh. Setahu Hening, bapaknya tidak pernah punya anak buah yang bertubuh seperti pria yang ada di sebelahnya saat ini. “Bapak? Gue?” Pria itu mengarahkan telunjuknya pada wajahnya sendiri. Beni sontak tertawa mengejek mendengarnya. “Udah gue bilang Jon, muka lo itu boros banget! Wajar aja Non Hening manggil lo Bapak!” ujarnya lalu kembali melanjutkan tawanya. Pria yang bernama Joni itu berde
Each of us just needed someone to talk to, and share everything that we had in mind. ~Kanietha Setelah terjadi sedikit keributan di Green Resto, Esa dengan terpaksa menjelaskan pokok permasalahannya pada Zaid secara singkat. Kemudian, ia segera berpamitan dan tidak lupa berterima kasih atas bantuan Zaid dan teman-temannya. Esa membawa motor sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga Hening mau tidak mau harus memeluk sang kakak dengan erat. Hening hanya bisa terdiam pasrah, daripada menyela hingga menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka berdua. Setelah tiba di kontrakannya, Esa segera menarik lengan Hening ke dalam rumah. Karena masih dirundung kesal, Esa menghempaskan tubuh Hening pada salah satu sofa di ruang tamunya dengan kasar. “Lo itu! CK!” Esa tidak dapat berkata-kata untuk mengungkapkan kekesalannya pada Hening. Ia menunjuk tajam sang adik, yang memasang wajah tanpa dosa sama sekali. “Lo mau buat gue mati muda Kak! Naik motor kayak orang kesetanan,
When you’re curious you find lots of interesting things to do. -Walt Disney -- “Cepetan ke KANTOR!” Hening menghela kecil saat membaca pesan yang dikirim manajernya. Baru saja ia hendak membalas, muncul satu lagi pesan di bawahnya. Mau tidak mau, Hening membacanya sebentar, dan menunda membalas pesan tersebut. “SEKARANG.” “NGGAK PAKE LAMA!” Hening sampai harus mengerjap beberapa kali . Bertanya-tanya, dan mengingat-ingat apa dirinya ada berbuat salah belakangan ini. Namun, ia yakin tidak berbuat sesuatu yang melenceng dari job desknya. Padahal, Hening sudah memiliki janji dengan seseorang yang hendak memasang iklan. Karenanya, dengan terpaksa tugas tersebut ia limpahkan kepada rekan yang lain, dan segera melajukan motornya menuju kantor. Sesampainya di parkiran kantor, Hening bergegas berlari kecil. Ketika baru memasuki lobby kantor, Hening merasa heran melihat Ilham yang mondar mandir mirip setrikaan. “Pak Ilham,” panggil Hening setengah berbisik. Entah kenapa juga ia harus
One kiss could bind two souls in a second. -Unknown -- Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu. Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang. Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu. Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming me
Sometimes, you just need to be honest with your heart, and have faith in it. -Kanietha ~~~ “Jadi, lo … duda?” tanya Hening saat sedang memasang sabuk pengamannya. “Masalah?” Dewa bertanya balik, lalu menyalakan mesin mobilnya. “Punya anak?” “Nope.” “Kenapa cerei?” Dewa mengangkat bahunya. “Nggak cocok aja.” Satu sudut bibir Hening terangkat miris. “Dea yang mulus dari ujung ke ujung gitu aja, lo cerain. Apa kabar gue yang nggak ada apa-apanya?” Hening kembali teringat, dengan pertanyaan Dea tentang latar belakang keluarganya. Dalam sekejap, rasa percaya diri Hening runtuh dan Ia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sesaat itu juga, terlintas ocehan Esa yang sedang bersitegang di Green Resto dengan Dewa tempo hari. Esa mengatakan, sebaiknya Dewa mencari gadis yang selevel dengannya dan keluarganya. Jadi, inikah yang dimaksud perbedaan kasta dalam kehidupan? Sungguh miris. Kalau boleh memilih, Hening tidak pernah ingin terlahir menjadi anak preman, dan hidup di lin
There are times when a well-placed pawn is more powerful than a king -Unknown -- Reno, asisten sekaligus teman semasa kecil Dewa masuk ke dalam ruangan, lalu melempar tumpukan kertas bergambar di atas meja kerja pria itu. “Dewa!” “Hmm.” Dewa hanya meliriknya sekilas lalu tersenyum. Kembali membaca berkas yang sedari tadi ia pegang, tanpa mau memedulikan berkas dari pria yang juga memiliki hubungan keluarga dengannya itu “Cuma hmm, Wa!” Reno berdecak frustasi, lalu duduk bersebrangan dengan Dewa. “Lo nggak tau, berapa duit yang gue keluarin supaya foto-foto itu nggak muncul di media?” “Duit gue kan?” Dewa mengangkat wajah melihat Reno. “Nggak papalah, yang penting masih ada sisa buat gue jajan, sama gaji buat elo,” kelakar Dewa, yang tidak ingin menanggapi foto-fotonya bersama Hening, ketika mereka beradada mobil dengan serius. “Sudah aman berarti?” Reno tidak menjawab. Hanya mengendikkan kedua bahu dengan malas. “Good job, Ren!” Dewa lantas terkekeh dengan keterdiaman Reno. Ti
Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer. -Ed Cunningham -- Hening duduk dengan meluruskan kaki pada sebuah kursi tunggu, yang biasa dipakai pengunjung mall untuk beristirahat. Gadis itu sedang menunggu rekannya, yang sedang mengurus tagihan di salah satu toko di pusat perbelanjaan di sana. “Cabut Ning, udah selesai gue!” Hening menoleh dengan memelas. “Makan dulu Mei, gue laper.” “Food court atas?” tanya Mei lalu melihat ke sekeliling pusat perbelanjaan. “Pujasera di luar aja. Murce! Lagi ngirit gue, tagihan sama Pak Dion lusa baru cair,” Keluh Hening yang sudah berdiri dan memperbaiki letak ransel di punggungnya. “Kapan sih, lo nggak ngiritnya Ning? Punya pacar kaya itu di manfaatin, jangan dijadiin pajangan doang.” Mei bersungut pergi meninggalkan gadis itu. Hening berlari dengan cepat menghadang Mei. Merentangkan kedua tangan, dan memicing penuh tanya. Apa Mei tahu sesuatu? “Bentar-bentar, pacarnya siapa yang kaya?” “Emang siapa l
Love is a misunderstanding between two fools. — Oscar Wilde -- Hening mengetuk pintu kaca sebanyak dua kali secara perlahan. Kemudian, ia mendorong handle pintu, lalu masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya ada dua orang wanita yang keduanya masih muda, tetapi jelas usianya lebih tua daripada Hening. Seorang diantaranya sibuk menghitung dan menyusun bergepok kertas berwarna merah. Sementara seorang lagi, sibuk berkutat dengan perangkat komputernya. Belum sempat Hening melangkah masuk, wanita yang sedang menghitung tumpukan uang itu mengangkat wajah. “Langsung ke atas aja Ning, ketemu Pak Genta!” “Ngapain? Kan Mbak Ade yang nelpon?” tanya Hening. “Saya nelpon karena di suruh beliau, buru gih ke atas!” seru Ade yang kembali mengulang hitungannya. “Urusan saya, kan, biasanya sama Mbak Ade?” “Nurut aja kenapa sih, Ning, pak Genta itu lho baik, nggak gigit!” Sejak pertemuan kedua kalinya dengan Genta saat itu, Hening baru mengetahui bahwa showroom mobil yang kadang didatanginya itu
Hening dan Genta baru saja pulang dari restoran untuk merayakan ulang tahun keempat putra sulung mereka. Hal yang pertama dirindukan oleh Hening adalah ranjang empuknya. Ia hanya ingin merebahkan diri dan meluruskan pinggang untuk mengusir penat. Lalu ke mana Gani saat ini? bocah kecil nan tengil dengan sifat tidak jauh dari papanya itu lebih memilih pulang ke kediaman Andreas. Kenapa ke sana? Karena Gani merupakan fans garis keras Giana, pria kecil itu layaknya stalker yang selalu ada di manapun putri sulung Zio dan Lastra itu berada. “Capek?” Tanya Genta dengan suara pelan, masuk ke kamar menyusul istrinya dengan menggendong pria kecil berusia 2 tahun yang sedang terlelap di pundaknya. Hening mengangguk dengan mengerucutkan bibirnya. Ia menghidupkan AC lalu merebahkan diri kemudian menarik selimut menutupi perut yang sudah membuncit. Genta meletakkan Heiga, putra kedua mereka pada box bayi dengan perlahan , lalu menghampiri istrinya. “Dedeknya gak rewel kan?” ucapnya memberi kecu
When life gives you a hundred reason to cry, show life that you have a thousand reasons to smile-Unknown--Genta keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk yang terselip di pinggang, Ia melewati Hening yang masih meringkuk berbalut bedcover menutupi seluruh tubuhnya. Berhenti sekilas, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju walk ini closet untuk mengenakan pakaianya.Setelah semua beres, ia keluar duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Hening dengan lembut. “Ning, bangun dulu, sarapan.”Tidak kunjung mendapat respon, Genta menjepit hidung istrinya hingga gadis itu terengah, kehabisan nafas. Dan mau tak mau Hening terjaga saat itu juga, segera duduk dan melihat Genta sudah tergelak dengan puasnya.Namun, tawany segera berhenti karena tidak ada sedikit pun senyum yang tersemat di wajah istrinya itu.“Mama Ning, udah gak bisa di ajak becanda, entar cepat tua loh.”“Keluar gak!” Us
You make a new life by making new choices-Sean Stephenson--Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar Hening berjalan-jalan kecil terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan gadis itu masih dalam tahap bukaan 2.“Kalau begini, besok-besok Mas Genta aja yang ngelahirin!” Dengan menahah nyeri Hening masih sempat-sempatnya bergalak ria dengan suaminya.Mereka sedang berjalan bergandengan tangan menyusuri taman yang ada di area rumah sakit. Keduanya berhenti sejenak untuk mengambil nafas saat Hening mengalami kontraksi. Setelahnya kembali berjalan lagi.“Iya, entar anak kedua dan seterusnya aku yang ngelahirin.”Manik Hening semakin terbuka dengan lebar mendengarnya. Giginya sudah mengatup rapat dengan kesal yang memuncak.“MANA BISA!” Hardik Hening kemudian berhenti lagi untuk menarik nafas.Sebenarnya Genta ingin sekali tertawa melihat istrinya yang sudah mengoceh tidak jelas itu, n
Happiness visits those who are able to wait-unknown--“Caesar aja ya, Mas …” Rengek Hening tiada henti kepada suaminya saat Genta baru saja pulang kerja.“Coba tunggu seminggu lagi ya … baru kita konsultasi lagi ke dokter.” Genta juga tidak henti membujuk.Usia kandungan Hening sudah hampir memasuki usia 41 minggu. Dan, masih belum ada tanda-tanda menuju persalinan.Hening sudah meminta agar dapat melakukakn operasi caesar dengan alasan khawatir bayinya akan kenapa-kenapa. Sedangkan Genta, selalu saja minta istrinya untuk menunggu, siapa tahu, bisa lahir secara normal. Genta beralasan, kalau Hening melahirkan secara caesar, istrinya itu harus menunggu lama jika akan hamil lagi.Di usia Genta yang hampir menginjak ke angka 34 itu, ia ingin memiliki anak banyak secepat mungkin. Karenanya Genta kurang setuju jika istrinya meminta untuk operasi.“Emang siapa yang mau, tiap tahun lahiran
If you want the answer, ask the question― Lorii Myers--Sepulang kerja, Esa mendapati pintu rumahnya masih dalam keadaan terbuka. Ia berdecak dengan sebal, melangkahkan kakinya dengan berat untuk masuk ke dalam. Di dalam ia mendapati adiknya tengah asik memenuhi mulutnya dengan satu bucket ayam goreng dari restoran cepat saji.“Lo, makan semua sendirian?” Ucap Esa dengan manik yang terbuka lebar, lalu menggeleng. “Lama-lama jadi bola, tinggal ngegelinding aja kalau jalan.”“KAK ESA!” Bentak Hening dengan bibir mengerucut kesal. “Pantas aja gak ada yang mau sama elo, tu mulut kalau ngomong jelek banget!” sindirnya.Esa mengeluarkan satu tawa sinis. “Siapa coba yang gak mau sama gue, cakep gini! Gue nya aja yang gak mau sama mereka.”Esa sudah melangkah menuju ruang tengah namun ia memundurkan langkahnya saat menyadari rambut adiknya yang masih basah. Lalu ia berenti s
Love is the first and most devious deceiver, the most seductive delusion― J. Earp--Meskipun Genta melarang istrinya untuk pergi ke tempat Esa, namun Hening bersikeras dan nekat pergi sendiri dengan menggunakan taxi, saat suaminya itu berangkat kerja.Asisten rumah tangganya, Ibu Mira dibuat kelimpungan sendiri. Wanita berumur 40 tahun itu segera menelepon Genta secepatnya saat Hening baru saja menutup pintu taxi untuk pergi dari rumah.Genta yang baru saja sampai, mendaratkan bokongnya pada kursi di ruang kerjanya. Sontak terkejut dan kembali berlari keluar berniat pergi ke rumah Esa, secepat mungkin. Jarak showroom Genta ke kontrakan Esa lebih dekat dari pada rumahnya sendiri, jadi otomatis Gentalah yang lebih dulu tiba di sana.Esa yang sedang memanasi motornya pun tekejut mendapati Genta yang tau-tau masuk ke perkarangan rumahnya,“Pak Genta ngapain?”“Adek lo belum datang kan?”&ldq
Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards ― Søren Kierkegaard--Hening menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang masih terlelap itu. awalnya hanya perlahan namun karena tidak ada respon, gadis itu lebih kuat lagi mengguncangnya.“Mas Genta bangun!”“Aku masih ngantuk, Ning! Setengah jam!” Ucap Genta tanpe membuka matanya dan menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.Hening mendengkus dengan sebal. “Ya udah, aku bisa kok pergi sendiri, beli es krim di mekdih!”Mulut Hening tidak berhenti menggerutu kesal sembari keluar kamar Usia kehamilannya kini sudah memasuki bulan ke lima. Tidak ada kendala yang berarti, hanya moodnya saja yang harus benar-benar dijaga, agar tidak mengalami stress.Genta yang mendengar hal itu sontak langsung bangkit mengejar istrinya yang sudah membuka pintu luar.“Ning, bukannya semalam masih ada 2 di kulkas?&r
Each new day has a different shape to it. You just roll with it.-Unknown--Suasana resepsi pernikahan Genta dan Hening diadakan dengan tema modern minimalis. Didominasi dengan warna pastel yang begitu lembut, dengan berbagai bingkai berwarna gold yang terkesan kontras membuat latar pelaminan terlihat elegan. Ditambah barisan bunga yang tersusun secara linear menjadikan visual yang ada semakin terlihat sempurna.Banyak tamu kenegaraan yang di undang, anggota legislatif, juga para pengusaha. Para tamu didominasi dari relasi papa Genta, serta beberapa sahabat dekat keluarga mereka.Tak banyak yang diundang dari pihak Hening, hanya keluarga besar dan beberapa kerabat serta tetangga dekat.Rasa bahagia serta sedih bercampur aduk di dalam hati Hening. Tak ada kedua orang tua yang menyaksikan resepsi mewahnya mebuat ada Sebagian relung hatinya yang kosong. Kali ini, yang mewakilinya adalah Esa serta Uwa Adil. Tidak bisa berharap lebih ba
You opened my eyes, You opened the doorTo something I'd never known beforeAnd your love, Is the music of my heart By Nsync--Tiga bulan berlalu sejak kejadian penyekapan Hening. Gadis itu tertekan dan hanya termenung sendiri di kamar Genta dengan tatapan hampa di kediaman Abhiraja.Kehilangan Ayah dan bayinya dalam waktu bersamaan membuat Hening seperti kehilangan dirinya. Ada suster yang menjaga di kala siang, sesekali bergantian dengan Mama Ruby, jika Genta pergi ke showroom.Dan, setiap harinya, pagi juga malam, Genta dengan setia menyuapi istrinya itu. Terus mengajaknya berbicara tentang kegiatannya sehari-hari untuk menstimulus kinerja otaknya agar kembali kepada pikirannya.Seperti pagi ini, ia kembali menyuapi Hening sambil bercerita semua hal yang terjadi padanya, serta keluarganya."Jadi, Lastra semalam udah lahiran, bayinya cowok." Genta kembali menyuapkan sesendok bubur pada bibir istrinya.Man