It begins with curiosity
~ Kanietha
“Mampus di tangan gue, lo habis ini!” Hening kembali mengancam Beni dengan suara pelan, tetapi begitu menghunus tajam.
“Janganlah Non, gue cuma disuruh buat nganterin lo doang. Entar urusan kelar, gue balikin lagi lo ke kantor tadi,” ucap Beni memelas.
Hening menoleh pada pria yang saat ini duduk di sampingnya. Pria itu bersedekap, dan menyilangkan kaki panjangnya.
“Terus kalau Bapak sendiri, disuruh siapa?” tanya Hening melempar tatapan tajam. Sama sekali tidak takut, meskipun tubuh pria itu layaknya binaraga dengan lekukan otot yang tersebar di sekujur tubuh. Setahu Hening, bapaknya tidak pernah punya anak buah yang bertubuh seperti pria yang ada di sebelahnya saat ini.
“Bapak? Gue?” Pria itu mengarahkan telunjuknya pada wajahnya sendiri.
Beni sontak tertawa mengejek mendengarnya. “Udah gue bilang Jon, muka lo itu boros banget! Wajar aja Non Hening manggil lo Bapak!” ujarnya lalu kembali melanjutkan tawanya.
Pria yang bernama Joni itu berdehem. “Jangan panggil Bapak, Non, gue masih seumuran sama Beni.”
Hening menatap tidak percaya. Karena, perawakan Joni dengan kumis tipis dan rambut belah tengah model jadul itu, membuatnya mirip seperti bapak beranak lebih dari dua. “Ya udah terserahlah! Jadi lo disuruh siapa?”
“Nanti sampai di sana juga Non tau sendiri,” ucap Joni.
“Tapi gue mau taunya sekarang!” sambar Hening, lalu beralih ke Beni. “Ben! Mau ke mana kita?”
“Ke Green Resto, Non.”
“Ada Bapak gue di sana?”
“Gak ngerti Non, tadi gue cuma dititipi pesan sama bang Riko buat nemenin Joni, jemput elo.”
Hening kembali menoleh ke Joni. “Masih belum mau jawab?”
“Bentar lagi sampe Non, tunggu aja,” ucap Joni yang masih kesal karena sempat dipanggil bapak oleh Hening.
Sesampainya di Green Resto, Hening segera dibawa ke lantai dua. Suasana di atas sangat sepi. Hening hanya melihat tiga orang, dua diantaranya bertubuh layaknya Joni. Dan ada satu pria lagi, cukup tampan menurutnya. Sekilas, pria itu mengingatkan Hening pada sosok aktor Mandarin yang sering berperan sebagai kakak Boboho yang diperankan oleh Jimmy Lin. Film yang sering ditonton oleh Hening dan emaknya pada kala itu. Seingat Hening, ia menonton film itu pada saat gadis itu masih SD.
Pasti Om Jimmy Lin sekarang udah berumur, masih cakep aja nggak ya tu orang, batin Hening.
“Silakan duduk,” ucap pria yang mirip Jimmy Lin, dengan menunjuk kursi yang berseberangan dengannya memakai dagunya.
Beni segera maju dan menarik kursi untuk Hening. “Silakan, Non,” ucapnya
Hening duduk bersandar, lalu bersedekap, memandang menyelidik penuh tanya. Selain mirip aktor Mandarin, pria di depannya kini mirip seorang yang tidak asing dengannya. Tapi siapa? Otaknya berpikir keras.
Pria itu mengkode agar semua orang di sekitarnya meninggalkan mereka berdua.
“Siapa ya?” tanya Hening tanpa basa basi
“Jadi, kamu yang namanya Hening?” Pria itu berdecak pelan, lalu menghela napas. “Lumayan, cuma kurang polesan aja, manis kok sebenarnya. Nggak sia-sia juga, sih, sampe dua kali, saya nungguin kamu.”
Hening mengernyit tidak mengerti. “Saya gak suka basa-basi,” ucapnya sesopan mungkin karena melihat gaya pria itu, yang sangat parlente. Pasti bukan dari kalangan sembarangan pikirnya.
“Dewa August Lee, kamu bisa panggil saya Dewa,” ucapnya santai, lalu menjentikkan jarinya memanggil seorang pelayan.
Lee? Marga Lee?
Hening membatin cepat. Merunut kejadian yang kemarin baru saja di alaminya. Otaknya bekerja kilat mengingat satu nama Abraham Lee. Apa pria di depannya kini adalah orang yang akan dinikahkan dengannya.
Hening berdehem, merubah posisi duduknya karena tidak nyaman. “Terus keperluannya apa, sampai harus bawa-bawa saya ke sini?” tanya Hening ingin mencari kepastian.
Pelayan datang menyela pembicaraan mereka dan mencatat pesanan ke duanya.
“Kamu sudah tahu kan, kalau kamu mau dinikahkan sama bapak kamu?”
Hening mengangguk dengan tenang. “Apa kamu orang yang mau dinikahkan dengan saya?”
Dewa hanya memberinya senyuman miring, tatapannya hampir seperti merendahkan dan meremehkan gadis itu.
Hening berdiri. Sedikit mencondongkan tubuh memegang sisi meja dengan kedua tangan. “Maaf, tapi, sepertinya saya tidak tertarik untuk melakukan pernikahan ini. Silakan kamu cari perempuan lain yang bisa ditukar tambah dengan semua kesepakatan kotor yang ada di dalamnya. Tapi yang jelas, perempuan itu bukan saya. Permisi!” ucap Hening dingin serta tajam.
Dewa segera berdiri dan memerintahkan pengawalnya untuk menghalangi Hening pergi dari sana.
Pelayan yang hendak mengantarkan minuman pun akhirnya mundur teratur. Tidak ingin ikut campur, karena takut melihat para pengawal yang bertubuh tegap itu.
Hening pun berbalik, memutar bola matanya malas. Menatap dingin kepada Dewa yang tengah berjalan menghampirinya. “Saya belum selesai bicara sama kamu, jadi jangan coba-coba pergi sebelum saya suruh pergi,” ucap Dewa tidak kalah dingin.
Tangan Dewa sudah terangkat hampir meraih dagu Hening, tetapi, dengan cepat gadis itu mencengkramnya sehingga membuat Dewa terkekeh. “Untuk ukuran gadis seperti kamu, cengkraman kamu ini kuat banget, sepertinya kamu suka main kasar.”
“Dewa!” teriak Esa yang setengah berlari menghampiri Hening. Namun baru setengah perjalanan tubuh Esa langsung dihalangi oleh dua orang bodyguard Dewa. “Jauhin tangan lo dari Hening.”
“Kak Esa?” Hening mengerjap. Memastikan pria yang berteriak tadi adalah benar-benar kakaknya.
“Hai, Sa! Atau … hai, Kakak Ipar?” sapa Dewa mengejek.
Hening segera menghempas tangan Dewa dan menendang keras tulang keringnya, sehingga membuat pria itu tertunduk dan mengaduh. Ia bergegas lari menghampiri Esa, seraya memanggil Beni agar berada di pihaknya.
“Tahu dari mana gue ada di sini?” tanya Hening pada Esa, tetapi tidak mendapat jawaban sama sekali.
“Jauhin Hening, Wa,” titah Esa lantang dan sudah berkacak pinggang. “Lo bisa cari cewek yang selevel sama lo, dan keluarga lo!”
Kali ini Hening yang berkacang pinggang, menatap tidak percaya dengan apa yang di katakan Esa. “Tujuan lo ke sini apa sih Kak, sebenarnya? Jangan plin plan jadi orang!”
“Dasar nggak tau terima kasih lo!" sentak Esa.
“Bukannya lo sendiri yang bilang nggak mau urus—”
“Berisik!” potong Esa menarik tangan Hening untuk segera pergi dari sana. Namun, tidak semudah itu, karena Dewa dengan sigap menarik tangan Hening yang satu lagi.
“Hei Sa! Gue masih ada urusan sama calon istri gue!” Mata Dewa mengkode bodyguardnya agar menahan Esa. Seketika tubuh Esa kini sudah di kelilingi oleh tiga orang bertubuh tambun nan tegap.
“Ckckck, begini kalau berhadapan sama pengecut, mainnya keroyokan!” cibir Hening menatap Dewa tajam, tepat di bola mata yang kecoklatan, tanpa rasa takut sama sekali.
“Jadi ini, yang katanya bisa kamu selesain sendiri Sa?” ujar Zaid sembari berjalan menghampiri Esa. Zaid melinting lengan bajunya hingga memperlihatkan sebuah tato kecil di pergelangan tangan. Hening menajamkan matanya, sepertinya ia tidak asing dengan tato tersebut.
Namun, tidak hanya Zaid tentunya, tiga berandal yang lain juga berada bersamanya. Genta, Zio, dan Hans. Mereka tidak mungkin membiarkan Zaid pergi sendirian saja, ketika melihat raut wajah sahabatnya yang sangat khawatir dengan Esa.
Mata Hening membulat sempurna. Tidak percaya dengan apa yang dilihat saat ini. Bolehkah kali ini ia sedikit berbangga diri dan menandai hari ini sebagai sebuah pencapaian tertinggi untuknya. Total ada enam pria tampan yang kini siap memperebutkannya.
Apa? Memperebutkan?
Baiklah itu terlalu berlebihan. Meskipun salah satunya ia masukkan ke dalam peran antagonis. Paling tidak, hari ini akan jadi hari bersejarah dan tidak akan dilupakan bagi Hening, untuk seumur hidupnya.
Hening menyipitkan mata sejenak, saat melihat Genta berada di antara pria tampan tersebut. Ia tidak kaget melihat Zaid karena Esa punya hubungan dengan pria itu. Namun, Genta? Apa Genta juga mengenal Esa hingga mau ikut campur dengan urusan mereka. Bahkan, Hening sempat mengira ketiga pria tampan yang dibawa Zaid adalah pengawalnya.
“Sekarang siapa yang pengecut? Kalian ada tujuh orang, termasuk Beni,“ ucap Dewa lalu tertawa kering memberi sindiran kepada Hening.
“Takut hah?” Hening kembali mencibir, lalu tersenyum miring. ”Saya gak perlu mereka semua, kalau cuma berhadapan sama satu orang laki-laki seperti kamu.”
“HENING!” bentak Esa.
Para berandal yang mendengarnya terkesiap takjub dengan nyali gadis muda itu. Tidak terkecuali Genta, yang hanya bisa tersenyum miring dan menggeleng.
Dewa kembali tertawa, tetapi kali ini tawanya ringan. “Gue suka sama cewek kayak lo!” Seru Dewa memandang Hening dan tidak lagi memakai bahasa formal kepadanya. “Nyali lo, boleh juga. Penasaran gue.”
“Tapi, gue gak suka sama lo!” Hening berucap dengan menyentak kedua tangannya agar terlepas dari pegangan Esa dan Dewa. Lalu, ia mundur selangkah memasang kuda-kuda dengan mengepalkan kedua tangan di depan dada menantang Dewa. “Maju Lo!”
Kalau hanya menghadapi seorang pria seperti Dewa, Hening tidaklah gentar. Dirinya memang tidak pernah mengikuti pelatihan bela diri secara formal di sebuah dojo, perguruan silat, atau tempat sejenisnya. Namun, berada di lingkungan preman, dengan seorang ayah yang notabene merupakan seorang ketua preman, membuat Hening tidak asing dengan semua hal mengenai martial art. Setiap minggunya Hening selalu menjadi salah satu sparing partner bagi ayahnya, dan hal itu dilakukannya sedari kecil.
“Astagaaa … HENING!” Esa yang sudah tidak tahan dengan tingkah sembrono adiknya itu, segera mengangkat tubuh Hening lalu menelungkupkan ke bahu kanannya.
“Kak ESA! TURUNIN GUE!” teriak Hening. Tangannya kini sibuk memukul punggung Esa.
Esa menunjuk Dewa. “Cukup sampai di sini Wa, jangan libatin adek gue, atau gue gak akan segan sama lo!”
Dewa hanya terkekeh, tidak takut dengan semua yang dikatakan Esa. “Kita lihat aja nanti Sa, tadinya sih gue nggak terlalu antusias, tapi setelah lihat Hening barusan, gue jadi semakin tertarik sama adek lo!" Dewa melangkah pergi meninggalkan Esa, diikuti ketiga pengawalnya seraya tertawa lepas saat mengingat tingkah Hening.
Esa berbalik, menurunkan Hening dari gendongannya, Sedikit meringis nyeri pada punggungnya yang terkena pukulan bertubi oleh adiknya itu. Namun, ia tidak melepaskan tangan gadis itu agar tetap bersamanya. “Pak Zaid, terima kasih, tapi harusnya Bapak nggak perlu repot-repot seperti ini, Bapak—”
“Kalau kamu yang ada di posisi saya, apa kamu bisa diam aja ngelihat karyawan kamu lagi dalam kesulitan? apalagi seperti tadi?” jawab Zaid tegas.
“Kak Esa emang begitu Pak, keras kepala, apa-apa mau di selesei sendiri, semua-semu—"
“HENING!” Bentak Esa dan Zaid bersamaan.
Hening terdiam, melipat bibirnya tidak lagi berani berbicara.
Each of us just needed someone to talk to, and share everything that we had in mind. ~Kanietha Setelah terjadi sedikit keributan di Green Resto, Esa dengan terpaksa menjelaskan pokok permasalahannya pada Zaid secara singkat. Kemudian, ia segera berpamitan dan tidak lupa berterima kasih atas bantuan Zaid dan teman-temannya. Esa membawa motor sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga Hening mau tidak mau harus memeluk sang kakak dengan erat. Hening hanya bisa terdiam pasrah, daripada menyela hingga menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka berdua. Setelah tiba di kontrakannya, Esa segera menarik lengan Hening ke dalam rumah. Karena masih dirundung kesal, Esa menghempaskan tubuh Hening pada salah satu sofa di ruang tamunya dengan kasar. “Lo itu! CK!” Esa tidak dapat berkata-kata untuk mengungkapkan kekesalannya pada Hening. Ia menunjuk tajam sang adik, yang memasang wajah tanpa dosa sama sekali. “Lo mau buat gue mati muda Kak! Naik motor kayak orang kesetanan,
When you’re curious you find lots of interesting things to do. -Walt Disney -- “Cepetan ke KANTOR!” Hening menghela kecil saat membaca pesan yang dikirim manajernya. Baru saja ia hendak membalas, muncul satu lagi pesan di bawahnya. Mau tidak mau, Hening membacanya sebentar, dan menunda membalas pesan tersebut. “SEKARANG.” “NGGAK PAKE LAMA!” Hening sampai harus mengerjap beberapa kali . Bertanya-tanya, dan mengingat-ingat apa dirinya ada berbuat salah belakangan ini. Namun, ia yakin tidak berbuat sesuatu yang melenceng dari job desknya. Padahal, Hening sudah memiliki janji dengan seseorang yang hendak memasang iklan. Karenanya, dengan terpaksa tugas tersebut ia limpahkan kepada rekan yang lain, dan segera melajukan motornya menuju kantor. Sesampainya di parkiran kantor, Hening bergegas berlari kecil. Ketika baru memasuki lobby kantor, Hening merasa heran melihat Ilham yang mondar mandir mirip setrikaan. “Pak Ilham,” panggil Hening setengah berbisik. Entah kenapa juga ia harus
One kiss could bind two souls in a second. -Unknown -- Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu. Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang. Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu. Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming me
Sometimes, you just need to be honest with your heart, and have faith in it. -Kanietha ~~~ “Jadi, lo … duda?” tanya Hening saat sedang memasang sabuk pengamannya. “Masalah?” Dewa bertanya balik, lalu menyalakan mesin mobilnya. “Punya anak?” “Nope.” “Kenapa cerei?” Dewa mengangkat bahunya. “Nggak cocok aja.” Satu sudut bibir Hening terangkat miris. “Dea yang mulus dari ujung ke ujung gitu aja, lo cerain. Apa kabar gue yang nggak ada apa-apanya?” Hening kembali teringat, dengan pertanyaan Dea tentang latar belakang keluarganya. Dalam sekejap, rasa percaya diri Hening runtuh dan Ia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sesaat itu juga, terlintas ocehan Esa yang sedang bersitegang di Green Resto dengan Dewa tempo hari. Esa mengatakan, sebaiknya Dewa mencari gadis yang selevel dengannya dan keluarganya. Jadi, inikah yang dimaksud perbedaan kasta dalam kehidupan? Sungguh miris. Kalau boleh memilih, Hening tidak pernah ingin terlahir menjadi anak preman, dan hidup di lin
There are times when a well-placed pawn is more powerful than a king -Unknown -- Reno, asisten sekaligus teman semasa kecil Dewa masuk ke dalam ruangan, lalu melempar tumpukan kertas bergambar di atas meja kerja pria itu. “Dewa!” “Hmm.” Dewa hanya meliriknya sekilas lalu tersenyum. Kembali membaca berkas yang sedari tadi ia pegang, tanpa mau memedulikan berkas dari pria yang juga memiliki hubungan keluarga dengannya itu “Cuma hmm, Wa!” Reno berdecak frustasi, lalu duduk bersebrangan dengan Dewa. “Lo nggak tau, berapa duit yang gue keluarin supaya foto-foto itu nggak muncul di media?” “Duit gue kan?” Dewa mengangkat wajah melihat Reno. “Nggak papalah, yang penting masih ada sisa buat gue jajan, sama gaji buat elo,” kelakar Dewa, yang tidak ingin menanggapi foto-fotonya bersama Hening, ketika mereka beradada mobil dengan serius. “Sudah aman berarti?” Reno tidak menjawab. Hanya mengendikkan kedua bahu dengan malas. “Good job, Ren!” Dewa lantas terkekeh dengan keterdiaman Reno. Ti
Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer. -Ed Cunningham -- Hening duduk dengan meluruskan kaki pada sebuah kursi tunggu, yang biasa dipakai pengunjung mall untuk beristirahat. Gadis itu sedang menunggu rekannya, yang sedang mengurus tagihan di salah satu toko di pusat perbelanjaan di sana. “Cabut Ning, udah selesai gue!” Hening menoleh dengan memelas. “Makan dulu Mei, gue laper.” “Food court atas?” tanya Mei lalu melihat ke sekeliling pusat perbelanjaan. “Pujasera di luar aja. Murce! Lagi ngirit gue, tagihan sama Pak Dion lusa baru cair,” Keluh Hening yang sudah berdiri dan memperbaiki letak ransel di punggungnya. “Kapan sih, lo nggak ngiritnya Ning? Punya pacar kaya itu di manfaatin, jangan dijadiin pajangan doang.” Mei bersungut pergi meninggalkan gadis itu. Hening berlari dengan cepat menghadang Mei. Merentangkan kedua tangan, dan memicing penuh tanya. Apa Mei tahu sesuatu? “Bentar-bentar, pacarnya siapa yang kaya?” “Emang siapa l
Love is a misunderstanding between two fools. — Oscar Wilde -- Hening mengetuk pintu kaca sebanyak dua kali secara perlahan. Kemudian, ia mendorong handle pintu, lalu masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya ada dua orang wanita yang keduanya masih muda, tetapi jelas usianya lebih tua daripada Hening. Seorang diantaranya sibuk menghitung dan menyusun bergepok kertas berwarna merah. Sementara seorang lagi, sibuk berkutat dengan perangkat komputernya. Belum sempat Hening melangkah masuk, wanita yang sedang menghitung tumpukan uang itu mengangkat wajah. “Langsung ke atas aja Ning, ketemu Pak Genta!” “Ngapain? Kan Mbak Ade yang nelpon?” tanya Hening. “Saya nelpon karena di suruh beliau, buru gih ke atas!” seru Ade yang kembali mengulang hitungannya. “Urusan saya, kan, biasanya sama Mbak Ade?” “Nurut aja kenapa sih, Ning, pak Genta itu lho baik, nggak gigit!” Sejak pertemuan kedua kalinya dengan Genta saat itu, Hening baru mengetahui bahwa showroom mobil yang kadang didatanginya itu
I won't give up on us, even if the skies get rough -Jason Mraz -- Ponsel yang diletakkan Hening di meja meeting bergetar. Dengan segera, ia menolak panggilan tersebut, dah ini sudah kesekian kalinya. Entah apa yang ada di pikiran orang itu, hingga tidak lelah menelepon Hening sampai berulang kali. “Siapa Ning? Di reject mulu. Sapa tau orang mau pasang iklan.” Mei mendekatkan tubuh, berbisik di telinga Hening. Tatapannya tetap pada Ilham, yang masih saja berceramah tentang evaluasi target iklan bulan lalu. “Om brengsek!” sahut Hening tidak kalah pelan. Tidak lama setelah itu, seseorang mengetuk pintu dan menyela briefing yang dilaksanakan oleh divisi iklan setiap paginya. “Maaf Pak Ilham, Mbak Hening ditunggu tamunya di bawah,” ucap seorang office boy yang baru saja membuka pintu. “Guaanteng Mbak!” lanjutnya menyeletuk sambil menatap Hening, dengan logat Jawanya yang sangat medok. Semua mata otomatis tertuju pada Hening. “Laris lo, Ning, belakangan ini.” Ilham ikut berceletuk .
Hening dan Genta baru saja pulang dari restoran untuk merayakan ulang tahun keempat putra sulung mereka. Hal yang pertama dirindukan oleh Hening adalah ranjang empuknya. Ia hanya ingin merebahkan diri dan meluruskan pinggang untuk mengusir penat. Lalu ke mana Gani saat ini? bocah kecil nan tengil dengan sifat tidak jauh dari papanya itu lebih memilih pulang ke kediaman Andreas. Kenapa ke sana? Karena Gani merupakan fans garis keras Giana, pria kecil itu layaknya stalker yang selalu ada di manapun putri sulung Zio dan Lastra itu berada. “Capek?” Tanya Genta dengan suara pelan, masuk ke kamar menyusul istrinya dengan menggendong pria kecil berusia 2 tahun yang sedang terlelap di pundaknya. Hening mengangguk dengan mengerucutkan bibirnya. Ia menghidupkan AC lalu merebahkan diri kemudian menarik selimut menutupi perut yang sudah membuncit. Genta meletakkan Heiga, putra kedua mereka pada box bayi dengan perlahan , lalu menghampiri istrinya. “Dedeknya gak rewel kan?” ucapnya memberi kecu
When life gives you a hundred reason to cry, show life that you have a thousand reasons to smile-Unknown--Genta keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk yang terselip di pinggang, Ia melewati Hening yang masih meringkuk berbalut bedcover menutupi seluruh tubuhnya. Berhenti sekilas, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju walk ini closet untuk mengenakan pakaianya.Setelah semua beres, ia keluar duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Hening dengan lembut. “Ning, bangun dulu, sarapan.”Tidak kunjung mendapat respon, Genta menjepit hidung istrinya hingga gadis itu terengah, kehabisan nafas. Dan mau tak mau Hening terjaga saat itu juga, segera duduk dan melihat Genta sudah tergelak dengan puasnya.Namun, tawany segera berhenti karena tidak ada sedikit pun senyum yang tersemat di wajah istrinya itu.“Mama Ning, udah gak bisa di ajak becanda, entar cepat tua loh.”“Keluar gak!” Us
You make a new life by making new choices-Sean Stephenson--Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar Hening berjalan-jalan kecil terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan gadis itu masih dalam tahap bukaan 2.“Kalau begini, besok-besok Mas Genta aja yang ngelahirin!” Dengan menahah nyeri Hening masih sempat-sempatnya bergalak ria dengan suaminya.Mereka sedang berjalan bergandengan tangan menyusuri taman yang ada di area rumah sakit. Keduanya berhenti sejenak untuk mengambil nafas saat Hening mengalami kontraksi. Setelahnya kembali berjalan lagi.“Iya, entar anak kedua dan seterusnya aku yang ngelahirin.”Manik Hening semakin terbuka dengan lebar mendengarnya. Giginya sudah mengatup rapat dengan kesal yang memuncak.“MANA BISA!” Hardik Hening kemudian berhenti lagi untuk menarik nafas.Sebenarnya Genta ingin sekali tertawa melihat istrinya yang sudah mengoceh tidak jelas itu, n
Happiness visits those who are able to wait-unknown--“Caesar aja ya, Mas …” Rengek Hening tiada henti kepada suaminya saat Genta baru saja pulang kerja.“Coba tunggu seminggu lagi ya … baru kita konsultasi lagi ke dokter.” Genta juga tidak henti membujuk.Usia kandungan Hening sudah hampir memasuki usia 41 minggu. Dan, masih belum ada tanda-tanda menuju persalinan.Hening sudah meminta agar dapat melakukakn operasi caesar dengan alasan khawatir bayinya akan kenapa-kenapa. Sedangkan Genta, selalu saja minta istrinya untuk menunggu, siapa tahu, bisa lahir secara normal. Genta beralasan, kalau Hening melahirkan secara caesar, istrinya itu harus menunggu lama jika akan hamil lagi.Di usia Genta yang hampir menginjak ke angka 34 itu, ia ingin memiliki anak banyak secepat mungkin. Karenanya Genta kurang setuju jika istrinya meminta untuk operasi.“Emang siapa yang mau, tiap tahun lahiran
If you want the answer, ask the question― Lorii Myers--Sepulang kerja, Esa mendapati pintu rumahnya masih dalam keadaan terbuka. Ia berdecak dengan sebal, melangkahkan kakinya dengan berat untuk masuk ke dalam. Di dalam ia mendapati adiknya tengah asik memenuhi mulutnya dengan satu bucket ayam goreng dari restoran cepat saji.“Lo, makan semua sendirian?” Ucap Esa dengan manik yang terbuka lebar, lalu menggeleng. “Lama-lama jadi bola, tinggal ngegelinding aja kalau jalan.”“KAK ESA!” Bentak Hening dengan bibir mengerucut kesal. “Pantas aja gak ada yang mau sama elo, tu mulut kalau ngomong jelek banget!” sindirnya.Esa mengeluarkan satu tawa sinis. “Siapa coba yang gak mau sama gue, cakep gini! Gue nya aja yang gak mau sama mereka.”Esa sudah melangkah menuju ruang tengah namun ia memundurkan langkahnya saat menyadari rambut adiknya yang masih basah. Lalu ia berenti s
Love is the first and most devious deceiver, the most seductive delusion― J. Earp--Meskipun Genta melarang istrinya untuk pergi ke tempat Esa, namun Hening bersikeras dan nekat pergi sendiri dengan menggunakan taxi, saat suaminya itu berangkat kerja.Asisten rumah tangganya, Ibu Mira dibuat kelimpungan sendiri. Wanita berumur 40 tahun itu segera menelepon Genta secepatnya saat Hening baru saja menutup pintu taxi untuk pergi dari rumah.Genta yang baru saja sampai, mendaratkan bokongnya pada kursi di ruang kerjanya. Sontak terkejut dan kembali berlari keluar berniat pergi ke rumah Esa, secepat mungkin. Jarak showroom Genta ke kontrakan Esa lebih dekat dari pada rumahnya sendiri, jadi otomatis Gentalah yang lebih dulu tiba di sana.Esa yang sedang memanasi motornya pun tekejut mendapati Genta yang tau-tau masuk ke perkarangan rumahnya,“Pak Genta ngapain?”“Adek lo belum datang kan?”&ldq
Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards ― Søren Kierkegaard--Hening menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang masih terlelap itu. awalnya hanya perlahan namun karena tidak ada respon, gadis itu lebih kuat lagi mengguncangnya.“Mas Genta bangun!”“Aku masih ngantuk, Ning! Setengah jam!” Ucap Genta tanpe membuka matanya dan menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.Hening mendengkus dengan sebal. “Ya udah, aku bisa kok pergi sendiri, beli es krim di mekdih!”Mulut Hening tidak berhenti menggerutu kesal sembari keluar kamar Usia kehamilannya kini sudah memasuki bulan ke lima. Tidak ada kendala yang berarti, hanya moodnya saja yang harus benar-benar dijaga, agar tidak mengalami stress.Genta yang mendengar hal itu sontak langsung bangkit mengejar istrinya yang sudah membuka pintu luar.“Ning, bukannya semalam masih ada 2 di kulkas?&r
Each new day has a different shape to it. You just roll with it.-Unknown--Suasana resepsi pernikahan Genta dan Hening diadakan dengan tema modern minimalis. Didominasi dengan warna pastel yang begitu lembut, dengan berbagai bingkai berwarna gold yang terkesan kontras membuat latar pelaminan terlihat elegan. Ditambah barisan bunga yang tersusun secara linear menjadikan visual yang ada semakin terlihat sempurna.Banyak tamu kenegaraan yang di undang, anggota legislatif, juga para pengusaha. Para tamu didominasi dari relasi papa Genta, serta beberapa sahabat dekat keluarga mereka.Tak banyak yang diundang dari pihak Hening, hanya keluarga besar dan beberapa kerabat serta tetangga dekat.Rasa bahagia serta sedih bercampur aduk di dalam hati Hening. Tak ada kedua orang tua yang menyaksikan resepsi mewahnya mebuat ada Sebagian relung hatinya yang kosong. Kali ini, yang mewakilinya adalah Esa serta Uwa Adil. Tidak bisa berharap lebih ba
You opened my eyes, You opened the doorTo something I'd never known beforeAnd your love, Is the music of my heart By Nsync--Tiga bulan berlalu sejak kejadian penyekapan Hening. Gadis itu tertekan dan hanya termenung sendiri di kamar Genta dengan tatapan hampa di kediaman Abhiraja.Kehilangan Ayah dan bayinya dalam waktu bersamaan membuat Hening seperti kehilangan dirinya. Ada suster yang menjaga di kala siang, sesekali bergantian dengan Mama Ruby, jika Genta pergi ke showroom.Dan, setiap harinya, pagi juga malam, Genta dengan setia menyuapi istrinya itu. Terus mengajaknya berbicara tentang kegiatannya sehari-hari untuk menstimulus kinerja otaknya agar kembali kepada pikirannya.Seperti pagi ini, ia kembali menyuapi Hening sambil bercerita semua hal yang terjadi padanya, serta keluarganya."Jadi, Lastra semalam udah lahiran, bayinya cowok." Genta kembali menyuapkan sesendok bubur pada bibir istrinya.Man