When you’re curious you find lots of interesting things to do.
-Walt Disney
--
“Cepetan ke KANTOR!”
Hening menghela kecil saat membaca pesan yang dikirim manajernya. Baru saja ia hendak membalas, muncul satu lagi pesan di bawahnya. Mau tidak mau, Hening membacanya sebentar, dan menunda membalas pesan tersebut.
“SEKARANG.”
“NGGAK PAKE LAMA!”
Hening sampai harus mengerjap beberapa kali . Bertanya-tanya, dan mengingat-ingat apa dirinya ada berbuat salah belakangan ini. Namun, ia yakin tidak berbuat sesuatu yang melenceng dari job desknya.
Padahal, Hening sudah memiliki janji dengan seseorang yang hendak memasang iklan. Karenanya, dengan terpaksa tugas tersebut ia limpahkan kepada rekan yang lain, dan segera melajukan motornya menuju kantor.
Sesampainya di parkiran kantor, Hening bergegas berlari kecil. Ketika baru memasuki lobby kantor, Hening merasa heran melihat Ilham yang mondar mandir mirip setrikaan.
“Pak Ilham,” panggil Hening setengah berbisik. Entah kenapa juga ia harus berbisik seperti itu, pikirnya.
“AH!” Ilham menepuk tangannya, lalu merangkul Hening dengan cepat dan erat. Hal itu dilakukan, agar Hening tidak pergi ke mana-mana. Kemudian, pria itu sedikit menunduk. “Jujur sama gue, lo ada buat masalah sama klien atau apa gitu?”
Ilham memang selalu sesantai itu jika berbicara pada bawahannya, tidak pernah memakai bahasa formal.
“Masalah?” tanya Hening bingung. “Saya kalau sama klien udah pasti ramah Pak! Karena kalau nggak ada mereka, saya nggak dapat duit.” kata Hening tidak kalah santai, meskipun memakai bahasa formal.
Pak Ilham melepas rangkulannya, bersedekap memandang Hening menyelidik. “Lo ada urusan apa sama Pak Dewa?”
“Pak Dewa?” Hening mengerjap. ”Emang orang itu, ada ngomong apa sama Bapak?”
“Jadi lo kenal?”
Hening mengangguk ragu.
“Ck! Sekarang lo ke atas, ke ruangan gue, baek-baek di sana,” titah Ilham sambil menunjuk ke lantai dua. “Pak Dewa sudah nunggu lo dari tadi.”
Hening menatap Ilham tidak percaya. Namun, tidak mungkin juga pria itu membohonginya. Dari wajah panik Ilham saja, bisa terlihat pria itu merasa sedikit tegang. “Orang itu di atas Pak?”
Ilham mengangguk. Kemudian, ia memutar tubuh Hening, lalu menepuk punggung gadis itu. “Hati-hati kalau ngomong, nasib divisi iklan ada di tangan lo.”
Namun, Hening berbalik cepat ketika Ilham baru saja mendorong tubuhnya. “Dia itu, siapa, sih, Pak, sebenarnya?”
“Astaga Ning, lo nggak tau dia siapa?” tanya Ilham lalu mengusap kasar wajahnya. “Lo kerja di sini, tapi nggak pernah baca tuh koran yang tiap hari seliweran di depan mata lo?”
Hening mengendikkan cuek.
Ilham menepuk keras jidatnya. “Dia itu salah satu anggota legislatif muda. Hartanya miliaran, pengaruhnya juga besar, meski nggak sebesar Bapak dia.”
“Pak Abraham maksudnya?” celetuk Hening.
“Nah, lo tau sama Pak Abraham tapi sama anaknya nggak tau.”
“Soalnya, Pak Abraham, kan, kadang main ke rumah.”
“APA!” Ilham menatap Hening tidak percaya. Siapa Hening sebenarnya, sampai-sampai pria sekelas Abraham bisa main ke rumah gadis itu.
Saat tersedar, ia sudah salah bicara, Hening segera terkekeh dan memasang tampang bodoh. . “Becanda kali Pak. Saya ke atas dulu ya. Permisiii.”
Hening berbalik, sembari melepas ikat rambutnya. Ia menyugar dengan tangan, lalu menyatukan surainya kembali dan mengikatnya asal. Hening menarik napas untuk mempersiapkan diri. Kemudian, dengan mantap menaiki tangga dan menuju ruangan Ilham.
Di dalam ruangan manajer, Dewa sudah memasang senyum yang paling manis dari balik dinding kaca transparan. Ia bisa melihat Hening berjalan santai ke arahnya, dan tidak sedikitpun ada keanggunan terlihat di sana. Namun, justru hal tersebut yang membuat Dewa semakin tertarik. Hening tidak seperti para wanita yang sering ditemuinya. .
Saat sudah membuka pintu, Hening berdehem. Berdiri di ambang pintu dengan bingung, karena banyak hal yang sebenarnya ingin ia luapkan. Namun, karena masih berada di kantor, tentu saja Hening harus menahannya. “Mau ngapain ke sini?”
“Mau ketemu sama calon istri.” Dewa berujar santai. Kemudian, ia menepuk tempat kosong pada sofa yang diduduki untuk saat ini. Meminta gadis itu, untuk duduk di sebelahnya.
Hening berdecih. Bersedekap, lalu menyandarkan tubuh pada bingkai pintu. “Emang siapa yang mau jadi istri situ?” ujar Hening dengan angkuh.
Dewa tertawa, lalu melihat arloji pada pergelangan tangannya. “Sama ini, total tiga kalinya gue nunggui cewek kayak, lo, sialan!” umpatnya dengan senyum miring. “Heran gue, kenapa bisa jadi penasaran sama cewek preman kayak lo!”
Karena Hening enggan menghampiri, maka Dewa berdiri untuk menghampiri gadis itu, Kedua tangannya sudah tenggelam di saku celana, lalu menghabiskan jarak dengan gadis itu. “Hari ini lo libur, nanti temani gue makan siang di—”
“Enak aja nyuruh-nyuruh orang libur, emang situ siapa? Gue di sini kerja, bukan lo yang gaji. Kalau gue dipecat, situ mau tanggung jawab!” Hening masih bersedekap, dengan tatapan menantang Dewa dan berani menyela perkataannya.
Dewa mengangkat satu tangannya. Ia hendak meraih wajah Hening, tetapi gadis itu dengan sigap mencengkram pergelangan tangannya. Dewa terdiam, tetapi satu sudut bibirnya terangkat, menatap Hening tajam.
Dewa menarik tangannya dari genggaman Hening. Melirik jam tangannya, kemudian berkata, “Setengah jam lagi, ada yang bakal jemput lo, jangan ke mana-mana. Kita ketemu lagi nanti siang.” titah Dewa. “Lo libur hari ini, dan gue sudah ngomong sama Ilham!”
~~~
Tepat setengah jam kemudian, Hening dijemput oleh orang suruhan Dewa. Pria itu adalah Joni, pengawal bertubuh tambun yang juga mengantarkannya kepada Dewa kala itu.
Sebenarnya, Hening sudah ingin pergi dari kantor, dan enggan memedulikan ocehan Dewa. Namun, Ilham bergegas menemuinya, memohon agar Hening dapat menuruti permintaan Dewa. Di tambah, manajer pemasaran juga kompak ikut merayunya. Mereka beralasan, semua demi kelancaran dan meningkatnya omset perusahaan.
“Kita mau ke mana sih?” tanya Hening dengan kesal.
“Ditunggu aja, Non, bentar lagi nyampe,” jawab Joni.
Hening mengernyit tidak paham, saat mobil berhenti di sebuah ruko mewah. Tampak tulisan Queen Butik, Salon&Spa terpajang di bagian atasnya. Sebenarnya, apa yang akan dilakukannya di dalam sana?
“Silakan masuk Non, udah ditunggu di dalam,” ucap Joni.
“Si Dewa itu ada di dalam?”
Joni reflek berbalik, menatap heran kepada Hening yang duduk di belakang. “Non, itu salon khusus cewek. Nggak mungkinlah Pak Dewa ada di dalam.”
“Terus, ngapain gue ke dalam?”
“Astaga, Non!” Joni mengusap kasar wajahnya . “Namanya aja salon dan spa, ya, Non Hening di dalam jadinya nyalon sama SEPA!” seru Joni menahan kesal. Andai saja orang lain, Joni pasti sudah berbicara kasar pada gadis itu.
“Gue yang nyalon?” Hening terkekeh. “Gileee, berapa duit kalau gue nyalon di situ? Ogah gue! Ni rambut aja gue potong sendiri, biar ngirit, ya mal—”
“Non HENING …” Ingin rasanya Joni mengumpat, bila tidak ingat gadis itu adalah calon istri dari bosnya. Joni pun menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Mencoba untuk bicara selembut mungkin, dengan senyum coba ia sematkan di wajah. “Non, semua tagihan otomatis dibayar sama Pak Dewa. Non Hening tinggal masuk, duduk, rebahan, diam, dan nurut ajalah sama pegawainya di dalam sono.” Joni menjelaskan sambil mengurut dada. Mencoba menahan emosinya.
“Eh? Serius? Baek baget bos lo, pasti ada maunya kan?” Tanpa ingin mendengar perkataan Joni lagi, Hening segera membuka pintu dan pergi ke tempat tersebut. Kapan lagi ia memanjakan tubuh, tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun.
Hening tentu tidak akan menyia-nyiakannya.
~~~
Sudah dua jam lamanya Hening berada di salon. Joni yang sedari tadi berada di mobil, sudah beberapa kali menguap dan mengumpat. Namun, baru saja ia memejamkan mata, Joni mendengar suara ketukan pada kaca jendela mobil yang hanya terbuka setengahnya.
“Tidur aja kerjaan,” cibir Hening. “Gue aduin Dewa, dipecat lo! Buruan buka pintunya!”
Joni mengerjap, lalu mengusap kedua matanya tidak percaya. Seorang gadis cantik, dengan rambut hitam ikal yang menggantung tepat di bawah bahu, kini sudah berada di hadapannya. Kalau saja Joni tidak mengingat suaranya, maka ia tidak akan percaya bila gadis itu adalah Hening.
“Non Hening!” serunya hanya untuk memastikan.
“Coba lihat kaki gue dulu, nyentuh tanah apa kagak? Kalau kaga, berarti gue kunti!” jawab Hening asal. “Lagian mana ada kunti siang-siang gini!”
Joni segera membuka central door locknya, dan mempersilakan Hening masuk.
“Habis ini ke mana lagi?” tanya Hening saat menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang bagian belakang.
“Makan siang, Non,” jawab Joni.
“Sama Dewa?”
“Iyalah Non, sama siapa lagi.”
“Ribet ya bos, lo itu, mau makan siang aja gue harus nyalon dulu. Mana sudah disiapin baju segala.” Hening menunduk, melihat pakaian yang dikenakannya. Dress putih dengan aksen floral berwarna pink, yang melingkar sepanjang garis pinggang itu, sangat cantik dikenakan Hening. Belum lagi, model kerah sabrina yang memperlihatkan leher jenjangnya, membuat penampilan Hening tampak berbeda dari biasanya.
“Tapi, sumpah! Non Hening tambah cantik! Gue aja sampe pangling!” Joni kemudian terkekeh, tetapi langsung disambut tatapan tajam oleh Hening lewat kaca spion. Untuk itu, ia memilih diam dan tidak lagi membuka mulutnya sepanjang jalan. Ternyata, tatapan tajam gadis itu sama mengerikannya dengan Dewa.
Sesampainya di restoran, Hening bergegas keluar menuju ruangan VIP yang sudah diinstruksikan Joni. Karena terlalu fokus dengan ponsel sepanjang jalan, Hening sampai menabrak punggung seorang pria. Seketika itu juga, ia jatuh terduduk karena oleng tidak terbiasa menggunakan high heel.
Pria itu segera berbalik dan berjongkok, mengambil ponsel Hening yang juga terlepas dari tangannya.
“Ck! Lain kali kalau jalan lihat-lihat, jangan sibuk aja sama hapenya!”
Hening yang masih sibuk menutup roknya yang tersingkap, segera mendongak karena mengenal suara pria yang mengomelinya. Tatapan mereka kemudian terkunci untuk beberapa saat, sampai Hening tersenyum manis dan menegur pria itu. “Om Genta jangan ngomel mulu, entar tambah tua!”
Hening lalu mengambil ponselnya dari tangan pria itu, dan bergegas bangkit seraya masih merapikan roknya. “Eh, tapi emang udah tua juga sih ya, sebenarnya,” lanjutnya lalu tertawa dengan menutup mulut.
Genta masih berjongkok dan terkesima dengan gadis di hadapannya kini. “Hening? Lo Hening, kan?”
“Iya, gue Hening! Bukan mbak kunti!” ujarnya sedikit kesal. “Kenapa, sih, dari tadi pada mastiin gue Hening apa bukan? Bete gue!” seru Hening bersungut. “Oia, gue ke dalam dulu Om!”
Baru saja Hening hendak berbalik, Genta segera menahan tangan gadis itu. “Mau ke mana lo?”
“Mau ketemu orang! Katanya calon suami gue!” Hening mendengus sangat kesal.
Deg!
Mendadak, ada sesuatu yang mencubit relung hati Genta. “Lah? Ada apa dengan gue?” kata Genta dalam hati.
Hening melepas pelan pegangan tangan Genta dengan cepat. “Dah, ya, Om, gue pergi dulu.”
One kiss could bind two souls in a second. -Unknown -- Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu. Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang. Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu. Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming me
Sometimes, you just need to be honest with your heart, and have faith in it. -Kanietha ~~~ “Jadi, lo … duda?” tanya Hening saat sedang memasang sabuk pengamannya. “Masalah?” Dewa bertanya balik, lalu menyalakan mesin mobilnya. “Punya anak?” “Nope.” “Kenapa cerei?” Dewa mengangkat bahunya. “Nggak cocok aja.” Satu sudut bibir Hening terangkat miris. “Dea yang mulus dari ujung ke ujung gitu aja, lo cerain. Apa kabar gue yang nggak ada apa-apanya?” Hening kembali teringat, dengan pertanyaan Dea tentang latar belakang keluarganya. Dalam sekejap, rasa percaya diri Hening runtuh dan Ia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sesaat itu juga, terlintas ocehan Esa yang sedang bersitegang di Green Resto dengan Dewa tempo hari. Esa mengatakan, sebaiknya Dewa mencari gadis yang selevel dengannya dan keluarganya. Jadi, inikah yang dimaksud perbedaan kasta dalam kehidupan? Sungguh miris. Kalau boleh memilih, Hening tidak pernah ingin terlahir menjadi anak preman, dan hidup di lin
There are times when a well-placed pawn is more powerful than a king -Unknown -- Reno, asisten sekaligus teman semasa kecil Dewa masuk ke dalam ruangan, lalu melempar tumpukan kertas bergambar di atas meja kerja pria itu. “Dewa!” “Hmm.” Dewa hanya meliriknya sekilas lalu tersenyum. Kembali membaca berkas yang sedari tadi ia pegang, tanpa mau memedulikan berkas dari pria yang juga memiliki hubungan keluarga dengannya itu “Cuma hmm, Wa!” Reno berdecak frustasi, lalu duduk bersebrangan dengan Dewa. “Lo nggak tau, berapa duit yang gue keluarin supaya foto-foto itu nggak muncul di media?” “Duit gue kan?” Dewa mengangkat wajah melihat Reno. “Nggak papalah, yang penting masih ada sisa buat gue jajan, sama gaji buat elo,” kelakar Dewa, yang tidak ingin menanggapi foto-fotonya bersama Hening, ketika mereka beradada mobil dengan serius. “Sudah aman berarti?” Reno tidak menjawab. Hanya mengendikkan kedua bahu dengan malas. “Good job, Ren!” Dewa lantas terkekeh dengan keterdiaman Reno. Ti
Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer. -Ed Cunningham -- Hening duduk dengan meluruskan kaki pada sebuah kursi tunggu, yang biasa dipakai pengunjung mall untuk beristirahat. Gadis itu sedang menunggu rekannya, yang sedang mengurus tagihan di salah satu toko di pusat perbelanjaan di sana. “Cabut Ning, udah selesai gue!” Hening menoleh dengan memelas. “Makan dulu Mei, gue laper.” “Food court atas?” tanya Mei lalu melihat ke sekeliling pusat perbelanjaan. “Pujasera di luar aja. Murce! Lagi ngirit gue, tagihan sama Pak Dion lusa baru cair,” Keluh Hening yang sudah berdiri dan memperbaiki letak ransel di punggungnya. “Kapan sih, lo nggak ngiritnya Ning? Punya pacar kaya itu di manfaatin, jangan dijadiin pajangan doang.” Mei bersungut pergi meninggalkan gadis itu. Hening berlari dengan cepat menghadang Mei. Merentangkan kedua tangan, dan memicing penuh tanya. Apa Mei tahu sesuatu? “Bentar-bentar, pacarnya siapa yang kaya?” “Emang siapa l
Love is a misunderstanding between two fools. — Oscar Wilde -- Hening mengetuk pintu kaca sebanyak dua kali secara perlahan. Kemudian, ia mendorong handle pintu, lalu masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya ada dua orang wanita yang keduanya masih muda, tetapi jelas usianya lebih tua daripada Hening. Seorang diantaranya sibuk menghitung dan menyusun bergepok kertas berwarna merah. Sementara seorang lagi, sibuk berkutat dengan perangkat komputernya. Belum sempat Hening melangkah masuk, wanita yang sedang menghitung tumpukan uang itu mengangkat wajah. “Langsung ke atas aja Ning, ketemu Pak Genta!” “Ngapain? Kan Mbak Ade yang nelpon?” tanya Hening. “Saya nelpon karena di suruh beliau, buru gih ke atas!” seru Ade yang kembali mengulang hitungannya. “Urusan saya, kan, biasanya sama Mbak Ade?” “Nurut aja kenapa sih, Ning, pak Genta itu lho baik, nggak gigit!” Sejak pertemuan kedua kalinya dengan Genta saat itu, Hening baru mengetahui bahwa showroom mobil yang kadang didatanginya itu
I won't give up on us, even if the skies get rough -Jason Mraz -- Ponsel yang diletakkan Hening di meja meeting bergetar. Dengan segera, ia menolak panggilan tersebut, dah ini sudah kesekian kalinya. Entah apa yang ada di pikiran orang itu, hingga tidak lelah menelepon Hening sampai berulang kali. “Siapa Ning? Di reject mulu. Sapa tau orang mau pasang iklan.” Mei mendekatkan tubuh, berbisik di telinga Hening. Tatapannya tetap pada Ilham, yang masih saja berceramah tentang evaluasi target iklan bulan lalu. “Om brengsek!” sahut Hening tidak kalah pelan. Tidak lama setelah itu, seseorang mengetuk pintu dan menyela briefing yang dilaksanakan oleh divisi iklan setiap paginya. “Maaf Pak Ilham, Mbak Hening ditunggu tamunya di bawah,” ucap seorang office boy yang baru saja membuka pintu. “Guaanteng Mbak!” lanjutnya menyeletuk sambil menatap Hening, dengan logat Jawanya yang sangat medok. Semua mata otomatis tertuju pada Hening. “Laris lo, Ning, belakangan ini.” Ilham ikut berceletuk .
You can run with a lie, but you can't hide from the truth. -Unknown -- Hening kembali berdecak keras, saat melihat ponselnya bergetar. Ada sebuah nomor, yang memang sudah ia tidak pedulikan dari kemarin. Namun, kali ini mau tidak mau ia harus mengangkatnya, daripada melihat pria itu muncul kembali di kantornya dan membuat masalah. Tanpa salam dan basa basi, ia langsung menyemprot orang tersebut. “Apaan, sih, Om! Jangan norak deh! Telpan telpon mulu! Situ enak, nggak kerja sama orang, nggak bakal ada yang ceramahin kalau buat salah! Lah gue? Salah dikit aja udah kenal omel, Apa lagi yang kayak tadi pagi! Syukur-syukur, kan, gue nggak dapat SP! Bersyukur juga gue nggak dipecat saat itu juga! Om kira, cari kerja itu gampang, apalagi cuma lulusan SMA kayak gue!” Napas Hening sudah naik turun, setelah menggerutu panjang lebar “Tapi enak kan, Ning?” Amarah Hening memuncak. Kalau saja Genta saat ini sedang berada di depannya, sudah di pastikan ia akan menghajar pria itu tanpa ampun.
B'coz ... All I want is ... you!--Genta sudah menunggu di lobi kantor Metro seperti kemarin, mondar mandir di sana menunggu Hening. Sejak semalam Hening tidak bisa dihubungi, bukan karena gadis itu tidak mengangkat ponselnya, namun ponselnya tidak aktif. Dirinya bertambah gusar saat mengetahui gadis itu hari ini tidak datang ke kantor, dan tidak memberikan alasan apapun.Lalu Genta teringat sesuatu. “Kalau Mei, ada, Mbak?” Tanyanya kembali kepada wanita yang bertugas di front office.“Ohh itu Pak, Mbak Mei nya baru turun.” Tunjuk salah satu petugas front office yang duduk di belakang meja.Genta bergegas menghampiri Mei, dan menarik tangannya agar jauh dari peredaran.“Hening ke mana?” Tanya Genta tergesa. “Dari semalam hapenya mati.”Mei mengerucutkan bibirnya memandang Genta. “Ada perlu apa sih Pak, nyari-nyari Hening? Kasihanilah dia Pak, gara-g
Hening dan Genta baru saja pulang dari restoran untuk merayakan ulang tahun keempat putra sulung mereka. Hal yang pertama dirindukan oleh Hening adalah ranjang empuknya. Ia hanya ingin merebahkan diri dan meluruskan pinggang untuk mengusir penat. Lalu ke mana Gani saat ini? bocah kecil nan tengil dengan sifat tidak jauh dari papanya itu lebih memilih pulang ke kediaman Andreas. Kenapa ke sana? Karena Gani merupakan fans garis keras Giana, pria kecil itu layaknya stalker yang selalu ada di manapun putri sulung Zio dan Lastra itu berada. “Capek?” Tanya Genta dengan suara pelan, masuk ke kamar menyusul istrinya dengan menggendong pria kecil berusia 2 tahun yang sedang terlelap di pundaknya. Hening mengangguk dengan mengerucutkan bibirnya. Ia menghidupkan AC lalu merebahkan diri kemudian menarik selimut menutupi perut yang sudah membuncit. Genta meletakkan Heiga, putra kedua mereka pada box bayi dengan perlahan , lalu menghampiri istrinya. “Dedeknya gak rewel kan?” ucapnya memberi kecu
When life gives you a hundred reason to cry, show life that you have a thousand reasons to smile-Unknown--Genta keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk yang terselip di pinggang, Ia melewati Hening yang masih meringkuk berbalut bedcover menutupi seluruh tubuhnya. Berhenti sekilas, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju walk ini closet untuk mengenakan pakaianya.Setelah semua beres, ia keluar duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Hening dengan lembut. “Ning, bangun dulu, sarapan.”Tidak kunjung mendapat respon, Genta menjepit hidung istrinya hingga gadis itu terengah, kehabisan nafas. Dan mau tak mau Hening terjaga saat itu juga, segera duduk dan melihat Genta sudah tergelak dengan puasnya.Namun, tawany segera berhenti karena tidak ada sedikit pun senyum yang tersemat di wajah istrinya itu.“Mama Ning, udah gak bisa di ajak becanda, entar cepat tua loh.”“Keluar gak!” Us
You make a new life by making new choices-Sean Stephenson--Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar Hening berjalan-jalan kecil terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan gadis itu masih dalam tahap bukaan 2.“Kalau begini, besok-besok Mas Genta aja yang ngelahirin!” Dengan menahah nyeri Hening masih sempat-sempatnya bergalak ria dengan suaminya.Mereka sedang berjalan bergandengan tangan menyusuri taman yang ada di area rumah sakit. Keduanya berhenti sejenak untuk mengambil nafas saat Hening mengalami kontraksi. Setelahnya kembali berjalan lagi.“Iya, entar anak kedua dan seterusnya aku yang ngelahirin.”Manik Hening semakin terbuka dengan lebar mendengarnya. Giginya sudah mengatup rapat dengan kesal yang memuncak.“MANA BISA!” Hardik Hening kemudian berhenti lagi untuk menarik nafas.Sebenarnya Genta ingin sekali tertawa melihat istrinya yang sudah mengoceh tidak jelas itu, n
Happiness visits those who are able to wait-unknown--“Caesar aja ya, Mas …” Rengek Hening tiada henti kepada suaminya saat Genta baru saja pulang kerja.“Coba tunggu seminggu lagi ya … baru kita konsultasi lagi ke dokter.” Genta juga tidak henti membujuk.Usia kandungan Hening sudah hampir memasuki usia 41 minggu. Dan, masih belum ada tanda-tanda menuju persalinan.Hening sudah meminta agar dapat melakukakn operasi caesar dengan alasan khawatir bayinya akan kenapa-kenapa. Sedangkan Genta, selalu saja minta istrinya untuk menunggu, siapa tahu, bisa lahir secara normal. Genta beralasan, kalau Hening melahirkan secara caesar, istrinya itu harus menunggu lama jika akan hamil lagi.Di usia Genta yang hampir menginjak ke angka 34 itu, ia ingin memiliki anak banyak secepat mungkin. Karenanya Genta kurang setuju jika istrinya meminta untuk operasi.“Emang siapa yang mau, tiap tahun lahiran
If you want the answer, ask the question― Lorii Myers--Sepulang kerja, Esa mendapati pintu rumahnya masih dalam keadaan terbuka. Ia berdecak dengan sebal, melangkahkan kakinya dengan berat untuk masuk ke dalam. Di dalam ia mendapati adiknya tengah asik memenuhi mulutnya dengan satu bucket ayam goreng dari restoran cepat saji.“Lo, makan semua sendirian?” Ucap Esa dengan manik yang terbuka lebar, lalu menggeleng. “Lama-lama jadi bola, tinggal ngegelinding aja kalau jalan.”“KAK ESA!” Bentak Hening dengan bibir mengerucut kesal. “Pantas aja gak ada yang mau sama elo, tu mulut kalau ngomong jelek banget!” sindirnya.Esa mengeluarkan satu tawa sinis. “Siapa coba yang gak mau sama gue, cakep gini! Gue nya aja yang gak mau sama mereka.”Esa sudah melangkah menuju ruang tengah namun ia memundurkan langkahnya saat menyadari rambut adiknya yang masih basah. Lalu ia berenti s
Love is the first and most devious deceiver, the most seductive delusion― J. Earp--Meskipun Genta melarang istrinya untuk pergi ke tempat Esa, namun Hening bersikeras dan nekat pergi sendiri dengan menggunakan taxi, saat suaminya itu berangkat kerja.Asisten rumah tangganya, Ibu Mira dibuat kelimpungan sendiri. Wanita berumur 40 tahun itu segera menelepon Genta secepatnya saat Hening baru saja menutup pintu taxi untuk pergi dari rumah.Genta yang baru saja sampai, mendaratkan bokongnya pada kursi di ruang kerjanya. Sontak terkejut dan kembali berlari keluar berniat pergi ke rumah Esa, secepat mungkin. Jarak showroom Genta ke kontrakan Esa lebih dekat dari pada rumahnya sendiri, jadi otomatis Gentalah yang lebih dulu tiba di sana.Esa yang sedang memanasi motornya pun tekejut mendapati Genta yang tau-tau masuk ke perkarangan rumahnya,“Pak Genta ngapain?”“Adek lo belum datang kan?”&ldq
Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards ― Søren Kierkegaard--Hening menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang masih terlelap itu. awalnya hanya perlahan namun karena tidak ada respon, gadis itu lebih kuat lagi mengguncangnya.“Mas Genta bangun!”“Aku masih ngantuk, Ning! Setengah jam!” Ucap Genta tanpe membuka matanya dan menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.Hening mendengkus dengan sebal. “Ya udah, aku bisa kok pergi sendiri, beli es krim di mekdih!”Mulut Hening tidak berhenti menggerutu kesal sembari keluar kamar Usia kehamilannya kini sudah memasuki bulan ke lima. Tidak ada kendala yang berarti, hanya moodnya saja yang harus benar-benar dijaga, agar tidak mengalami stress.Genta yang mendengar hal itu sontak langsung bangkit mengejar istrinya yang sudah membuka pintu luar.“Ning, bukannya semalam masih ada 2 di kulkas?&r
Each new day has a different shape to it. You just roll with it.-Unknown--Suasana resepsi pernikahan Genta dan Hening diadakan dengan tema modern minimalis. Didominasi dengan warna pastel yang begitu lembut, dengan berbagai bingkai berwarna gold yang terkesan kontras membuat latar pelaminan terlihat elegan. Ditambah barisan bunga yang tersusun secara linear menjadikan visual yang ada semakin terlihat sempurna.Banyak tamu kenegaraan yang di undang, anggota legislatif, juga para pengusaha. Para tamu didominasi dari relasi papa Genta, serta beberapa sahabat dekat keluarga mereka.Tak banyak yang diundang dari pihak Hening, hanya keluarga besar dan beberapa kerabat serta tetangga dekat.Rasa bahagia serta sedih bercampur aduk di dalam hati Hening. Tak ada kedua orang tua yang menyaksikan resepsi mewahnya mebuat ada Sebagian relung hatinya yang kosong. Kali ini, yang mewakilinya adalah Esa serta Uwa Adil. Tidak bisa berharap lebih ba
You opened my eyes, You opened the doorTo something I'd never known beforeAnd your love, Is the music of my heart By Nsync--Tiga bulan berlalu sejak kejadian penyekapan Hening. Gadis itu tertekan dan hanya termenung sendiri di kamar Genta dengan tatapan hampa di kediaman Abhiraja.Kehilangan Ayah dan bayinya dalam waktu bersamaan membuat Hening seperti kehilangan dirinya. Ada suster yang menjaga di kala siang, sesekali bergantian dengan Mama Ruby, jika Genta pergi ke showroom.Dan, setiap harinya, pagi juga malam, Genta dengan setia menyuapi istrinya itu. Terus mengajaknya berbicara tentang kegiatannya sehari-hari untuk menstimulus kinerja otaknya agar kembali kepada pikirannya.Seperti pagi ini, ia kembali menyuapi Hening sambil bercerita semua hal yang terjadi padanya, serta keluarganya."Jadi, Lastra semalam udah lahiran, bayinya cowok." Genta kembali menyuapkan sesendok bubur pada bibir istrinya.Man