One kiss could bind two souls in a second.
-Unknown
--
Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu.
Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang.
Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu.
Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming menahan gengsinya.
“Hening.” Akhirnya, Dewa membuka mulut. “Bisa nggak, jari-jari lo itu nggak mainin bibir dari tadi?”
Hening hanya diam, tetap matanya mimicking tajam. Ia tidak mengerti dengan apa maksud dari kata ‘main’ yang sebut oleh Dewa. Jemarinya sedari tadi memang tidak bisa diam. Sibuk menghapus lipstik yang terasa berat melekat di bibir, dan tidak ada maksud apapun di balik itu.
Namun, tidak bagi Dewa. Apa yang dilakukan Hening tersebut, telah membangkitkan sebuah hasrat terdalamnya. Warna pink cerah alami dari bibir Hening, semakin menarik perhatian Dewa. Karena itu, ia segera berdiri menghampiri gadis itu dan duduk di sampingnya.
“Kalau mau ngomong, dari tempat tadi juga bisa,” ucap Hening dengan ketus. “Gue denger, kok, nggak perlu sampe duduk di sini.”
Dewa berseringai. “Gue, cuma mau ngerasain appetizer dulu kok.”
Tangan kanan Dewa terjulur cepat, berniat meraih wajah Hening. Namun, karena sudah hafal dengan gerakan reflek Hening, maka Dewa segera menangkap tangan gadis itu. Dengan gerakan cepat pula, Dewa meraih tengkuk gadis itu dan menyatukan bibir mereka.
Hening terbelalak seketika. Tubuhnya menegang, bergeming dengan debar jantung yang tidak karuan.
1 detik
2 detik
3 detik
Waktu berlalu, tetap Hening tidak mampu melakukan apapun. Otaknya seolah kosong, dengan bibir yang masih mengatup rapat dan napas yang tertahan.
Dewa menarik diri. Terkekeh puas ketika melihat ekspresi gadis itu. “Napas, Ning!”
“LO!” Hening menggeleng menyadarkan dirinya. Ia segera berdiri dengan wajah memerah. Kesal setengah mati dan menendang kaki kursi yang diduduki Dewa dengan keras.. Tangan kanannya sudah melayang, hendak memberikan tamparan untuk Dewa.
Namun, Dewa tidak kalah gesit. Ia berdiri, dan menahan tangan yang sudah melayang ke arahnya. Dewa menarik tangan tersebut, dan semakin menghabiskan jarak antara mereka. “Kalau dicium itu, balasnya dengan ciuman juga, bukan tamparan.”
“Gue nggak terima dicium sama lo!” Ketus Hening hampir berteriak. Lantas, ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan berkali-kali.
“Kalau gitu gue balikin lagi!” Dewa dengan sigap menarik pinggang ramping Hening. Namun, tidak semudah itu. Kaki Hening sudah melayang dan ujung high heelsnya langsung membentur tulang kering Dewa dengan keras.
“Ning!” Dewa merunduk, dan sibuk mengumpat karena nyeri yang teramat sangat.
“Gimana? Enak? Mau lagi? Gue beri lagi lo, kalau berani macam-macam sama gue!”
Hening kesal. Ia marah dan ingin segera pergi dari sana. Namun … ia lapar.
Matanya melirik chicken cordon bleu yang mungkin mulai mendingin. Kemudian, ia menghela pelan. Hening mengitari meja, lalu mendaratkan tubuhnya di tempat duduk Dewa. Dengan cueknya, Hening memasukkan potongan daging ayam yang berisikan keju dan smoked beef itu ke mulutnya. Tanpa menghiraukan Dewa, yang saat ini sedang menatapnya dengan kesal.
Akhirnya Dewa pun duduk. Karena tidak ada lagi yang hendak dilakukan, ia pun juga menyuapkan makanan dengan segera. Mereka terdiam, dan tidak ada percakapan lagi setelahnya.
“Gue mau balik!” Setelah menghabiskan makanannya, Hening segera berdiri dan ingin segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Gue antar.”
“Gak perlu!” tolak Hening ketus. “Gue ke sini diantar Joni, jadi balik dia juga yang antar!”
Langkah Hening terhenti, saat melihat seorang wanita cantik, tinggi, dengan kulit putih terawat berjalan masuk dengan angkuhnya. Wanita itu yang mengenakan pakaian seksi itu, menghampiri Dewa dan memberi tatapan tidak ramah kepada Hening.
Kemudian, Hening berdecih. Merasa jijik saat melihat wanita tersebut menunduk dan memberi kecupan lembut pada pipi Dewa.
Dewa berdiri tergesa, agar wanita itu tidak melakukan hal yang lain lagi di depan Hening. “Ngapain lo ke sini?”
Wanita itu duduk di kursi yang ditempati Dewa. Menyilangkan kaki dengan anggun dan mengekspos paha putih yang mulus dan jenjang. “Kebetulan gue ada di sini. Tadi kata siska, lo ada di sini juga. Jadinya gue mampir. Nggak papa, kan?”. Pandangannya kemudian beralih kepada Hening, meremehkan. “Cewek baru lo, Beb?”
Hening bersedekap, menatap tidak suka pada wanita tersebut.
“Gue udah mau pergi,” kata Dewa mengabaikan pertanyaan wanita itu. “Lo masih mau di sini?”
Wanita itu tersenyum miring. Berdiri, lalu melangkah menghampiri Hening dan mengulurkan tangannya. “Kenalin, gue Anira Deandra, mantan istri Dewa. Panggil aja gue Dea,” ujarnya memperkenalkan diri dengan jemawa. “Oh iya, meskipun mantan, kami sesekali masih tidur bareng loh.”
“Hening,” ucapnya menjabat uluran tangan Dea dengan cepat. Namun, wajahnya seketika berubah datar saat beralih menatap Dewa. Pria itu, ternyata termasuk dalam jajaran pria berengsek yang tidak bisa dipercaya.
Dewa yang malas menanggapi perkataan Dea itu, segera menggamit tangan Hening menautkan jemari mereka. “Sudah kenalannya, kan? Gue mau antar calon istri gue pulang dulu.”
“Calon istri?” Dea tertawa mengejek. Menelisik Hening dari ujung rambut sampai kaki. “Lulusan dari mana lo? Keluarga lo, maksud gue, bokap lo kerjanya apa? Pejabat apa pengusaha? Kayaknya gue nggak pernah lihat lo keliaran di kalangan kami deh!”
Rahang Hening mengeras, dan kedua tangannya mengepal erat, di mana salah satunya meremas tangan Dewa. Hening merasa diremehkan, direndahkan dengan semua perkataan Dea. Ia memang bukan siapa-siapa, bahkan tidak memiliki hal yang bisa di banggakan. Mirisnya lagi, ia hanyalah seorang anak dari ketua preman.
Dewa sadar betul apa yang dirasakan Hening saat ini. “Jaga omongan lo De, atau uang bulanan lo gue stop.” Walaupun sudah bercerai dengan Dea, pria itu tetap memberikan uang bulanan sebagai tunjangan hidup untuk mantan istrinya.
Dea berdecak kesal. Kalau sudah begini, itu artinya Dea harus mundur. Meskipun ia juga bisa menghasilkan uang dari pekerjaannya sebagai model, tetapi, mana mungkin Dea mau menyia-nyiakan pemberian Dewa.
“Lo bener calon istri Dewa?” Dea melemparkan pertanyaan lagi. “Kok gue nggak percaya sih?” Tatapannya beralih ke Dewa, bersedekap. Membuat bagian dadanya semakin menonjol keluar. “Gue tau selera lo, nggak gini Wa.”
Hening reflek menunduk dan memandang dadanya sendiri. Spontan, pikirannya membandingkan miliknya dengan milik Dea.
Astagaaa … besarnya dua kali punya gue! Hening membatin dan tidak habis pikir.
Berat nggak sih bawa yang sebesar itu ke mana-mana? lanjutnya masih membatin heran, dan sedikit takjub. Namun, Hening segera menggeleng dan mengenyahkan pikiran absurdnya yang semakin menjadi-jadi di kepalanya.
Dewa menatap bingung ke arah gadis itu. Tangan Hening sudah melonggar dan wajahnya pun tidak lagi mengeras seperti tadi. Tiba-tiba saja, terbersit satu pikiran nakal di kepala Dewa untuk menjawab pertanyaan Dea.
Untuk itu, secara tiba-tiba Dewa menarik tubuh Hening lalu kembali menyatukan bibir mereka di depan mantan istrinya. Dengan durasi yang lebih lama, Dewa lebih bisa mengeksplor semua yang diinginkannya.
Sekali lagi, Hening menahan napas dengan tubuh membeku. Tangannya hanya mampu meremas erat, pinggiran kemeja yang dikenakan Dewa. Membiarkan hal tersebut terjadi, agar Dea sadar diri dan tidak bersikap pongah.
Melihat hal tersebut di depan mata, Dea jelas langsung memilih pergi. Tanpa kata, dan tanpa menoleh lagi pada sejoli yang tidak memedulikannya sama sekali.
“Ck, napas Ning, napas! Lo kayak—" Dewa menggeleng pelan setelah menarik diri. Ia menyentuh lembut bibir Hening yang terlihat sedikit tebal, dan masih basah itu.
“Napas!” Hening mengerjap. Memiringkan kepalanya dan berusaha mengenyahkan sensasi yang baru saja dirasakannya.
Dewa ikut mengerjap melihat wajah polos Hening. Kemudian, terlintas sesuatu di benaknya. “Sebentar,” katanya dengan membenarkan posisi kepala Hening yang masih miring. “Lo belum pernah …”
Hening melipat bibir dan menggeleng cepat karena mengerti maksud Dewa. Ia hanya diam, dan tidak melempar satu patah kata pun.
Dewa tiba-tiba tertawa renyah. Semua rasa kesalnya hilang seketika, saat mengetahui bahwa dialah orang pertama yang menyentuh bibir Hening. Lantas, ia kembali menautkan jemari mereka dan membawa Hening keluar dari ruangan tersebut. “Lo balik sama gue.”
Mereka berjalan bersisian seraya bergandengan tangan dalam diam. Kali ini, Hening hanya diam menurut dengan Dewa. Ada suatu perasaan yang tidak dimengerti Hening saat ini, dan ia masih berusaha mencernanya.
Sialan! Otak gue buntu! Emang dasarnya udah buntu juga, ditambah tadi! Astagaaa … gue pengen lagi! Ooh bego lo Hening! BEGO! Hening tak berhenti mengumpat dalam hati karena ulah Dewa barusan.
Sometimes, you just need to be honest with your heart, and have faith in it. -Kanietha ~~~ “Jadi, lo … duda?” tanya Hening saat sedang memasang sabuk pengamannya. “Masalah?” Dewa bertanya balik, lalu menyalakan mesin mobilnya. “Punya anak?” “Nope.” “Kenapa cerei?” Dewa mengangkat bahunya. “Nggak cocok aja.” Satu sudut bibir Hening terangkat miris. “Dea yang mulus dari ujung ke ujung gitu aja, lo cerain. Apa kabar gue yang nggak ada apa-apanya?” Hening kembali teringat, dengan pertanyaan Dea tentang latar belakang keluarganya. Dalam sekejap, rasa percaya diri Hening runtuh dan Ia tidak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Sesaat itu juga, terlintas ocehan Esa yang sedang bersitegang di Green Resto dengan Dewa tempo hari. Esa mengatakan, sebaiknya Dewa mencari gadis yang selevel dengannya dan keluarganya. Jadi, inikah yang dimaksud perbedaan kasta dalam kehidupan? Sungguh miris. Kalau boleh memilih, Hening tidak pernah ingin terlahir menjadi anak preman, dan hidup di lin
There are times when a well-placed pawn is more powerful than a king -Unknown -- Reno, asisten sekaligus teman semasa kecil Dewa masuk ke dalam ruangan, lalu melempar tumpukan kertas bergambar di atas meja kerja pria itu. “Dewa!” “Hmm.” Dewa hanya meliriknya sekilas lalu tersenyum. Kembali membaca berkas yang sedari tadi ia pegang, tanpa mau memedulikan berkas dari pria yang juga memiliki hubungan keluarga dengannya itu “Cuma hmm, Wa!” Reno berdecak frustasi, lalu duduk bersebrangan dengan Dewa. “Lo nggak tau, berapa duit yang gue keluarin supaya foto-foto itu nggak muncul di media?” “Duit gue kan?” Dewa mengangkat wajah melihat Reno. “Nggak papalah, yang penting masih ada sisa buat gue jajan, sama gaji buat elo,” kelakar Dewa, yang tidak ingin menanggapi foto-fotonya bersama Hening, ketika mereka beradada mobil dengan serius. “Sudah aman berarti?” Reno tidak menjawab. Hanya mengendikkan kedua bahu dengan malas. “Good job, Ren!” Dewa lantas terkekeh dengan keterdiaman Reno. Ti
Friends are those rare people who ask how we are and then wait to hear the answer. -Ed Cunningham -- Hening duduk dengan meluruskan kaki pada sebuah kursi tunggu, yang biasa dipakai pengunjung mall untuk beristirahat. Gadis itu sedang menunggu rekannya, yang sedang mengurus tagihan di salah satu toko di pusat perbelanjaan di sana. “Cabut Ning, udah selesai gue!” Hening menoleh dengan memelas. “Makan dulu Mei, gue laper.” “Food court atas?” tanya Mei lalu melihat ke sekeliling pusat perbelanjaan. “Pujasera di luar aja. Murce! Lagi ngirit gue, tagihan sama Pak Dion lusa baru cair,” Keluh Hening yang sudah berdiri dan memperbaiki letak ransel di punggungnya. “Kapan sih, lo nggak ngiritnya Ning? Punya pacar kaya itu di manfaatin, jangan dijadiin pajangan doang.” Mei bersungut pergi meninggalkan gadis itu. Hening berlari dengan cepat menghadang Mei. Merentangkan kedua tangan, dan memicing penuh tanya. Apa Mei tahu sesuatu? “Bentar-bentar, pacarnya siapa yang kaya?” “Emang siapa l
Love is a misunderstanding between two fools. — Oscar Wilde -- Hening mengetuk pintu kaca sebanyak dua kali secara perlahan. Kemudian, ia mendorong handle pintu, lalu masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya ada dua orang wanita yang keduanya masih muda, tetapi jelas usianya lebih tua daripada Hening. Seorang diantaranya sibuk menghitung dan menyusun bergepok kertas berwarna merah. Sementara seorang lagi, sibuk berkutat dengan perangkat komputernya. Belum sempat Hening melangkah masuk, wanita yang sedang menghitung tumpukan uang itu mengangkat wajah. “Langsung ke atas aja Ning, ketemu Pak Genta!” “Ngapain? Kan Mbak Ade yang nelpon?” tanya Hening. “Saya nelpon karena di suruh beliau, buru gih ke atas!” seru Ade yang kembali mengulang hitungannya. “Urusan saya, kan, biasanya sama Mbak Ade?” “Nurut aja kenapa sih, Ning, pak Genta itu lho baik, nggak gigit!” Sejak pertemuan kedua kalinya dengan Genta saat itu, Hening baru mengetahui bahwa showroom mobil yang kadang didatanginya itu
I won't give up on us, even if the skies get rough -Jason Mraz -- Ponsel yang diletakkan Hening di meja meeting bergetar. Dengan segera, ia menolak panggilan tersebut, dah ini sudah kesekian kalinya. Entah apa yang ada di pikiran orang itu, hingga tidak lelah menelepon Hening sampai berulang kali. “Siapa Ning? Di reject mulu. Sapa tau orang mau pasang iklan.” Mei mendekatkan tubuh, berbisik di telinga Hening. Tatapannya tetap pada Ilham, yang masih saja berceramah tentang evaluasi target iklan bulan lalu. “Om brengsek!” sahut Hening tidak kalah pelan. Tidak lama setelah itu, seseorang mengetuk pintu dan menyela briefing yang dilaksanakan oleh divisi iklan setiap paginya. “Maaf Pak Ilham, Mbak Hening ditunggu tamunya di bawah,” ucap seorang office boy yang baru saja membuka pintu. “Guaanteng Mbak!” lanjutnya menyeletuk sambil menatap Hening, dengan logat Jawanya yang sangat medok. Semua mata otomatis tertuju pada Hening. “Laris lo, Ning, belakangan ini.” Ilham ikut berceletuk .
You can run with a lie, but you can't hide from the truth. -Unknown -- Hening kembali berdecak keras, saat melihat ponselnya bergetar. Ada sebuah nomor, yang memang sudah ia tidak pedulikan dari kemarin. Namun, kali ini mau tidak mau ia harus mengangkatnya, daripada melihat pria itu muncul kembali di kantornya dan membuat masalah. Tanpa salam dan basa basi, ia langsung menyemprot orang tersebut. “Apaan, sih, Om! Jangan norak deh! Telpan telpon mulu! Situ enak, nggak kerja sama orang, nggak bakal ada yang ceramahin kalau buat salah! Lah gue? Salah dikit aja udah kenal omel, Apa lagi yang kayak tadi pagi! Syukur-syukur, kan, gue nggak dapat SP! Bersyukur juga gue nggak dipecat saat itu juga! Om kira, cari kerja itu gampang, apalagi cuma lulusan SMA kayak gue!” Napas Hening sudah naik turun, setelah menggerutu panjang lebar “Tapi enak kan, Ning?” Amarah Hening memuncak. Kalau saja Genta saat ini sedang berada di depannya, sudah di pastikan ia akan menghajar pria itu tanpa ampun.
B'coz ... All I want is ... you!--Genta sudah menunggu di lobi kantor Metro seperti kemarin, mondar mandir di sana menunggu Hening. Sejak semalam Hening tidak bisa dihubungi, bukan karena gadis itu tidak mengangkat ponselnya, namun ponselnya tidak aktif. Dirinya bertambah gusar saat mengetahui gadis itu hari ini tidak datang ke kantor, dan tidak memberikan alasan apapun.Lalu Genta teringat sesuatu. “Kalau Mei, ada, Mbak?” Tanyanya kembali kepada wanita yang bertugas di front office.“Ohh itu Pak, Mbak Mei nya baru turun.” Tunjuk salah satu petugas front office yang duduk di belakang meja.Genta bergegas menghampiri Mei, dan menarik tangannya agar jauh dari peredaran.“Hening ke mana?” Tanya Genta tergesa. “Dari semalam hapenya mati.”Mei mengerucutkan bibirnya memandang Genta. “Ada perlu apa sih Pak, nyari-nyari Hening? Kasihanilah dia Pak, gara-g
Oh, kiss me beneath the milky twilight. Lead me out on the moonlit floor...Lift your open hand. Strike up the band, and make the fireflies danceSilvermoon's sparklingSo kiss me ...... - By Sixpence None the Richer ---“Ish, apaan coba! gue cuma dihargai dua box pizza! Tau gitu kan lanjut tidur aja tadi.” Hening masuk ke mobil Genta dengan tidak berhenti menggerutu. “Ini juga, Om Genta! apaan sih, sudah tau orang lagi kurang sehat, masih aja di ajak ketemuan. Kalau emang mau pasang iklan yang kemarin bisa langsung aja ke Mei. Gue lagi gak mood kerja hari ini.”Genta segera melepaskan jaket denimnya dan membalutkannya ke tubuh Hening. “Jangan di lepas, gue gak kuat lihat lo pake baju gituan, di depan gue, bawaannya pengen …” Hening segera memberi tatapan dingin kepada Genta sehingga pria itu hanya bisa menelan saliva tidak meneruskan kalimatnya. Namun detik selanjutnya
Hening dan Genta baru saja pulang dari restoran untuk merayakan ulang tahun keempat putra sulung mereka. Hal yang pertama dirindukan oleh Hening adalah ranjang empuknya. Ia hanya ingin merebahkan diri dan meluruskan pinggang untuk mengusir penat. Lalu ke mana Gani saat ini? bocah kecil nan tengil dengan sifat tidak jauh dari papanya itu lebih memilih pulang ke kediaman Andreas. Kenapa ke sana? Karena Gani merupakan fans garis keras Giana, pria kecil itu layaknya stalker yang selalu ada di manapun putri sulung Zio dan Lastra itu berada. “Capek?” Tanya Genta dengan suara pelan, masuk ke kamar menyusul istrinya dengan menggendong pria kecil berusia 2 tahun yang sedang terlelap di pundaknya. Hening mengangguk dengan mengerucutkan bibirnya. Ia menghidupkan AC lalu merebahkan diri kemudian menarik selimut menutupi perut yang sudah membuncit. Genta meletakkan Heiga, putra kedua mereka pada box bayi dengan perlahan , lalu menghampiri istrinya. “Dedeknya gak rewel kan?” ucapnya memberi kecu
When life gives you a hundred reason to cry, show life that you have a thousand reasons to smile-Unknown--Genta keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk yang terselip di pinggang, Ia melewati Hening yang masih meringkuk berbalut bedcover menutupi seluruh tubuhnya. Berhenti sekilas, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju walk ini closet untuk mengenakan pakaianya.Setelah semua beres, ia keluar duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Hening dengan lembut. “Ning, bangun dulu, sarapan.”Tidak kunjung mendapat respon, Genta menjepit hidung istrinya hingga gadis itu terengah, kehabisan nafas. Dan mau tak mau Hening terjaga saat itu juga, segera duduk dan melihat Genta sudah tergelak dengan puasnya.Namun, tawany segera berhenti karena tidak ada sedikit pun senyum yang tersemat di wajah istrinya itu.“Mama Ning, udah gak bisa di ajak becanda, entar cepat tua loh.”“Keluar gak!” Us
You make a new life by making new choices-Sean Stephenson--Sesampainya di rumah sakit, dokter menyarankan agar Hening berjalan-jalan kecil terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan gadis itu masih dalam tahap bukaan 2.“Kalau begini, besok-besok Mas Genta aja yang ngelahirin!” Dengan menahah nyeri Hening masih sempat-sempatnya bergalak ria dengan suaminya.Mereka sedang berjalan bergandengan tangan menyusuri taman yang ada di area rumah sakit. Keduanya berhenti sejenak untuk mengambil nafas saat Hening mengalami kontraksi. Setelahnya kembali berjalan lagi.“Iya, entar anak kedua dan seterusnya aku yang ngelahirin.”Manik Hening semakin terbuka dengan lebar mendengarnya. Giginya sudah mengatup rapat dengan kesal yang memuncak.“MANA BISA!” Hardik Hening kemudian berhenti lagi untuk menarik nafas.Sebenarnya Genta ingin sekali tertawa melihat istrinya yang sudah mengoceh tidak jelas itu, n
Happiness visits those who are able to wait-unknown--“Caesar aja ya, Mas …” Rengek Hening tiada henti kepada suaminya saat Genta baru saja pulang kerja.“Coba tunggu seminggu lagi ya … baru kita konsultasi lagi ke dokter.” Genta juga tidak henti membujuk.Usia kandungan Hening sudah hampir memasuki usia 41 minggu. Dan, masih belum ada tanda-tanda menuju persalinan.Hening sudah meminta agar dapat melakukakn operasi caesar dengan alasan khawatir bayinya akan kenapa-kenapa. Sedangkan Genta, selalu saja minta istrinya untuk menunggu, siapa tahu, bisa lahir secara normal. Genta beralasan, kalau Hening melahirkan secara caesar, istrinya itu harus menunggu lama jika akan hamil lagi.Di usia Genta yang hampir menginjak ke angka 34 itu, ia ingin memiliki anak banyak secepat mungkin. Karenanya Genta kurang setuju jika istrinya meminta untuk operasi.“Emang siapa yang mau, tiap tahun lahiran
If you want the answer, ask the question― Lorii Myers--Sepulang kerja, Esa mendapati pintu rumahnya masih dalam keadaan terbuka. Ia berdecak dengan sebal, melangkahkan kakinya dengan berat untuk masuk ke dalam. Di dalam ia mendapati adiknya tengah asik memenuhi mulutnya dengan satu bucket ayam goreng dari restoran cepat saji.“Lo, makan semua sendirian?” Ucap Esa dengan manik yang terbuka lebar, lalu menggeleng. “Lama-lama jadi bola, tinggal ngegelinding aja kalau jalan.”“KAK ESA!” Bentak Hening dengan bibir mengerucut kesal. “Pantas aja gak ada yang mau sama elo, tu mulut kalau ngomong jelek banget!” sindirnya.Esa mengeluarkan satu tawa sinis. “Siapa coba yang gak mau sama gue, cakep gini! Gue nya aja yang gak mau sama mereka.”Esa sudah melangkah menuju ruang tengah namun ia memundurkan langkahnya saat menyadari rambut adiknya yang masih basah. Lalu ia berenti s
Love is the first and most devious deceiver, the most seductive delusion― J. Earp--Meskipun Genta melarang istrinya untuk pergi ke tempat Esa, namun Hening bersikeras dan nekat pergi sendiri dengan menggunakan taxi, saat suaminya itu berangkat kerja.Asisten rumah tangganya, Ibu Mira dibuat kelimpungan sendiri. Wanita berumur 40 tahun itu segera menelepon Genta secepatnya saat Hening baru saja menutup pintu taxi untuk pergi dari rumah.Genta yang baru saja sampai, mendaratkan bokongnya pada kursi di ruang kerjanya. Sontak terkejut dan kembali berlari keluar berniat pergi ke rumah Esa, secepat mungkin. Jarak showroom Genta ke kontrakan Esa lebih dekat dari pada rumahnya sendiri, jadi otomatis Gentalah yang lebih dulu tiba di sana.Esa yang sedang memanasi motornya pun tekejut mendapati Genta yang tau-tau masuk ke perkarangan rumahnya,“Pak Genta ngapain?”“Adek lo belum datang kan?”&ldq
Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards ― Søren Kierkegaard--Hening menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang masih terlelap itu. awalnya hanya perlahan namun karena tidak ada respon, gadis itu lebih kuat lagi mengguncangnya.“Mas Genta bangun!”“Aku masih ngantuk, Ning! Setengah jam!” Ucap Genta tanpe membuka matanya dan menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya.Hening mendengkus dengan sebal. “Ya udah, aku bisa kok pergi sendiri, beli es krim di mekdih!”Mulut Hening tidak berhenti menggerutu kesal sembari keluar kamar Usia kehamilannya kini sudah memasuki bulan ke lima. Tidak ada kendala yang berarti, hanya moodnya saja yang harus benar-benar dijaga, agar tidak mengalami stress.Genta yang mendengar hal itu sontak langsung bangkit mengejar istrinya yang sudah membuka pintu luar.“Ning, bukannya semalam masih ada 2 di kulkas?&r
Each new day has a different shape to it. You just roll with it.-Unknown--Suasana resepsi pernikahan Genta dan Hening diadakan dengan tema modern minimalis. Didominasi dengan warna pastel yang begitu lembut, dengan berbagai bingkai berwarna gold yang terkesan kontras membuat latar pelaminan terlihat elegan. Ditambah barisan bunga yang tersusun secara linear menjadikan visual yang ada semakin terlihat sempurna.Banyak tamu kenegaraan yang di undang, anggota legislatif, juga para pengusaha. Para tamu didominasi dari relasi papa Genta, serta beberapa sahabat dekat keluarga mereka.Tak banyak yang diundang dari pihak Hening, hanya keluarga besar dan beberapa kerabat serta tetangga dekat.Rasa bahagia serta sedih bercampur aduk di dalam hati Hening. Tak ada kedua orang tua yang menyaksikan resepsi mewahnya mebuat ada Sebagian relung hatinya yang kosong. Kali ini, yang mewakilinya adalah Esa serta Uwa Adil. Tidak bisa berharap lebih ba
You opened my eyes, You opened the doorTo something I'd never known beforeAnd your love, Is the music of my heart By Nsync--Tiga bulan berlalu sejak kejadian penyekapan Hening. Gadis itu tertekan dan hanya termenung sendiri di kamar Genta dengan tatapan hampa di kediaman Abhiraja.Kehilangan Ayah dan bayinya dalam waktu bersamaan membuat Hening seperti kehilangan dirinya. Ada suster yang menjaga di kala siang, sesekali bergantian dengan Mama Ruby, jika Genta pergi ke showroom.Dan, setiap harinya, pagi juga malam, Genta dengan setia menyuapi istrinya itu. Terus mengajaknya berbicara tentang kegiatannya sehari-hari untuk menstimulus kinerja otaknya agar kembali kepada pikirannya.Seperti pagi ini, ia kembali menyuapi Hening sambil bercerita semua hal yang terjadi padanya, serta keluarganya."Jadi, Lastra semalam udah lahiran, bayinya cowok." Genta kembali menyuapkan sesendok bubur pada bibir istrinya.Man