-
Enam tahun yang lalu.--Gadis delapan belas tahun yang menggunakan seragam ungu itu mendecak keras, mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas kasar.Niatnya melampiaskan emosi malah berujung menambah emosi.Gadis bersurai coklat itu membuka pintu mobil lalu mengambil ponselnya. Dengan cepat, Jasmine mendial nomor Lili- salah satu sahabatnya. Hanya nada sambung yang terdengar, entah ke mana gadis jangkung itu pergi hingga panggilan Jasmine pun tidak dijawabnya.Jasmine mendial nomor Lili lagi, satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi memperlihatkan jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir masuk, tapi Lili tidak juga menjawab. Jasmine mengedarkan pandangan, jalanan beroperasi lancar tapi tidak ada satupun yang dikenalnya untuk meminta bantuan. Taksi pun tak terlihat di daerah ini. Setelah ketiga kalinya nada dering itu berhenti, Jasmine meletakan ponselnya di saku. Menyerah.Masa bodoh, akhirnya dia bolos juga.Gadis itu mengambil tasnya, mencopot kunci, lalu mulai melangkah di bahu jalan. Mengambil arah berlawanan dari arah menuju sekolah.Jasmine mengambil ponselnya di saku, mengetikan pesan berisi perintah kepada Jay untuk menghubungi orang dan mengambil mobilnya, lalu ponsel itu disetting dalam mode hening. Jasmine terlalu malas untuk berbicara. Tak ingin membuat harinya lebih buruk lagi.Langkah yang Jasmine ambil belum genap sepuluh namun ia harus menghentikan langkah saat sebuah mobil berhenti disampingnya, Jasmine mengamati mobil itu sejenak, hingga kemudian kaca gelap mobil sedan itu turun Jasmine masih belum tahu siapa pengemudi ini.Jasmine tidak mengenalnya, maksudnya, cowok berseragam sekolah yang duduk memegang setir itu. Lelaki bertampang acuh dengan rambut hitam legam dan kulitnya berwarna tan."Jasmine, mau ke mana kamu?" Pria dikursi penumpang sebelah menundukkan kepala agar dapat terlihat, menampilkan stuktur wajah yang amat dikenal. Jasmine tersenyum sedetik kemudian."Saya hendak ke sekolah, sir,” jawab Jasmine pada guru Bahasa inggris di sekolahnya.Jasmine berbohong? Iya, tidak mungkin juga dia menjawab 'saya mau pulang, sir. Ban mobil meletus' kejujuran semacam itu tidak terlalu diperlukan."Kalau begitu kamu salah arah. Sekolah ada di sana," balas Namu seraya menujuk depan. Yah, bahkan anak SD pun tau Jasmine berjalan ke arah yang salah."Ban mobil saya meletus. Jadi saya mau mencari taksi di sana," alibi Jasmine."Ikut kami saja, di sana juga tidak ada taksi," jawab Namu ramah, guru muda itu juga menampilkan senyum manis lengkap lesung pipi yang ia punya. "Kamu tau kan sekolah tidak toleransi pada murid yang terlambat?""Tidak usah, sir. Saya berangkat sendiri saja," tolak Jasmine cepat, bolos adalah satu-satunya agenda hingga sore nanti.Tapi kemudian, laki-laki berseragam itu berdehem ketara seraya melihat jam di pergelangan tangannya."Sebentar lagi bel bunyi, Jasmine, masuklah."--Sebagai gadis yang jarang bicara dan juga enggan bersosialisasi. Jasmine mengerti betapa menumpang duduk di kursi mobil milik orang sangat tidak nyaman baginya. Bukan karena Namu yang mengajaknya bicara terus-menerus sedangkan Jasmine merupakan gadis yang irit bicara, namun karena pandangan lelaki yang duduk di kursi supir itu beberapa kali ketahuan curi-curi pandang padanya.Sejak saat kereta beroda empat ini mulai memasuki gerbang sekolah, Jasmine sudah memegang gagang pintu. Dan saat rem diinjak, saat bahkan sang supir belum mematikan mesin kendaraan Jasmine sudah turun dari sana. Yang dipikirkannya saat ini hanya melepas diri dari kecanggungan.Belum pernah selama delapan belas tahun hidupnya Jasmine merasa canggung sedemikian parah, Jasmine bahkan hampir tak bisa bicara dan hanya menjawab pertanyaan dengan anggukan atau gelengan saja."Terima kasih, sir." Jasmine hendak berlalu membawa dirinya pergi menenangkan diri, tapi instruksi dari pria tinggi yang menggunakan kemerja itu menghentikannya."Jasmine, kamu kelas 11-3 kan?"Jasmine memejam mata sekilas, merutuki diri. Sebelum kemudian berbalik. "Benar, sir." Jasmine mengerjap dua kali lalu tersenyum."Bisa tolong bawa dia juga?" pinta Namu. Menunjuk si supir berseragam itu dengan dagunya.Jasmine mendesah dalam hati, mata gadis itu melirik ke arah laki-laki berambut hitam yang tengah bersandar di bagian depan mobil. Entah kenapa terlihat sangat menyebalkan, maksudnya laki-laki itu. Entahlah, melihat laki-laki itu melipat tangan di dada dengan acuh seperti itu membuat Jasmine sebal."Maaf, sir. Tapi saya akan mampir ke tempat lain dan mungkin akan masuk kelas terlambat," tolak Jasmine halus, alasannya kali ini bukan sekedar alibi. Jasmine benar hendak ke ruang tari sebelum mengikuti pelajaran pertama.Jasmins melihatnya dengan jelas, laki-laki itu berdecih lalu berdiri tegak seraya menyimpan satu tangannya di saku celana."Gua bisa sendiri." Suara beratnya untuk pertama kali terdengar. Kaki panjang itu hendak melangkah namun tertahan saat Namu menarik kerah seragamnya dari belakang."Jangan macem-macem!"Namu melepas tangan dari kerah laki-laki itu saat dirasa kalau ia benar-benar berhasil mengusirnya pergi."Apanya yang macam-macam? Cuma masuk kelas, kan," decakan dari mulut lelaki berkulit tan itu terdengar keras. "Lagian gue gak bawa mobil, kabur juga gak akan bisa.""Saya," koreksi Namu. "Jangan gua-gua, nggak sopan!""Kamu pikir saya bodoh. Masih ada Jimmy di sini, komplotanmu itu gak bisa dipercaya. Jangan bikin ibu naik darah lagi, Juan! Sekolah yang benar!"Jasmine hanya berdiri di sana dengan wajah super datar, tidak ingin ikut campur sama sekali."Tolong ya, Jasmine. Sebentar saja, pastikan dia benar-benar masuk kelas."Jasmine yang sejak tadi diam masih diam juga, ia masih ingin menolak, tapi juga khawatir Namu akan menganggapnya buruk kalau ia menolak. Dan tentu saja ia tak ingin itu terjadi.Tepat sebelum Jasmine membuka mulut ingin menyangkal, bel sekolah berbunyi. Membuat gadis itu menelan kembali kata-katanya. Mau bagaimana lagi."Baik, sir." Kalian tau seberapa enggan Jasmine mengucapkannya.Pria tinggi itu tersenyum manis memperlihatkan pahatan indah dipipi."Terima kasih," katanya sebelum menoleh ke samping, menatap laki-laki yang sebelumnya dipanggil Juan itu lagi. "Ikuti Jasmine,""Saya bisa membaca dan mengerti tulisan 'kelas 11-3'," gerutu lelaki berkulit tan itu.Bel masuk berbunyi."Tidak dengar bel sudah berbunyi? Sudah sana cepat."Jasmine sudah berlari jika dari tadi laki-laki berambut hitam itu tidak menyahut. Membuang-buang waktu dan membuatnya hampir mati karna terlalu lama salah tingkah.Namu menjauh setelah sebelumnya menganggukan kepala pada Jasmine dan mengucapkan sepenggal kalimat terima kasih sekali lagi.Mengabaikan hati yang sejak lima belas menit yang lalu tak nyaman, Jasmine berbalik sekilas. Lalu tanpa mengatakan apapun gadis itu berjalan tanpa repot-repot menoleh ke belakang.--Menjadi pusat perhatian sudah biasa, disorot laser kekaguman setiap langkahnya juga hal biasa.Yang tidak biasa dari pandangan orang terhadap primadona sekolah mereka adalah suara langkah kaki di belakangnya, yang menjadi hal baru dari opini berpasang-pasang mata yang melihat. Sudah pasti rumor dan gosip akan menyebar luas, jelas saja. Ini kali pertama seorang Jasmine berjalan dengan laki-laki di dekatnya."Lo suka ya?" Arjuan mengambil langkah sejajar dengan Jasmine.Membuat si gadis menjauh sepontan. Dengan enggan menjawab, "apa?""Suka sama Abang gue?" tanyanya lagi, saat itu langkah kaki Jasmine berhenti di belokan koridor. Sedikit tidak percaya."Abang?" ulangnya tak percaya."Orang tadi?" lanjutnya lagi, Namu? Ini adiknya? Kening Jasmine mengerut dalam.Maksudnya adik kandung? Tapi mereka terlihat sangat berbeda. Fisik dan juga auranya.Dan apa yang ditanyakan lelaki ini tadi? Jasmine suka pada Namu?"Gak," jawab Jasmine singkat, gadis cantik itu kemudian mengambil langkah lebih cepat dari sebelumnya. Dan tentu tidak akan sulit bagi kaki panjang laki-laki berambut hitam itu menyusul."Bohong malah jadi makin ketara," celetuk Arjuan dengan satu senyum jahil.Jasmine memejamkan matanya sejenak. Dasar sok tahu!"Gue nggak bohong," sahut Jasmine, menambah lagi satu tingkat kecepatan langkahnya."So, kenapa gugup?" Dan seperti sebelumnya, Arjuan menyamai langkah kecil gadis itu yang nyatanya merupakan hal mudah. Sekarang Jasmine berhenti. Lagi.Jasmine menoleh, menaikan satu alis, wajahnya datar sekali."Bukan urusan lo," tandas Jasmine. Yang mana diartikan sebagai pengakuan oleh Arjuan.Kelas sudah terlihat, hanya tinggal melewati tiga ruangan dan mereka akan sampai. Tapi Jasmine sudah enggan, lupakan apa yang diamanatkan Namu kepadanya, bahwa ia harus memastikan laki-laki ini masuk kedalam kelas."Itu kelasnya." Jasmine menunjuk pintu kelasnya, lalu beralih menoleh ke arah Juan. "Liat, kan?"Setelah Arjuan mengangguk, Jasmine berbalik arah hendak menuju ruang tari, tetapi tarikan dari tali ranselnya membuat langkah Jasmine tertahan."Itu juga kelas Lo, kan? Kenapa nggak masuk?"Jasmine menebas tangan Arjuan dari tali tasnya. "Stop tanya-tanya karena kita aja nggak kenal!"Dan nyatanya semua cuma basa basi semata. Arjuan hanya mengangkat bahu acuh, "Oh jadi lo mau mengingkari perintah guru tersayang?" Laki-laki itu kembali memasukan tangannya ke saku celana.Jasmine malas berdebat, mood yang hancur sejak pagi tadi dibuat lebur oleh laki-laki ini. Gadis itu hanya melengos dan kembali berjalan kearah tujuan."Gua Arjuan by the way, dan gue udah tau nama Lo. Just Mine!"——"Lo tahu?!"Kejutan datang bertubi-tubi.Bahkan saat hari libur di mana teman-teman Jasmine ingin mampir untuk sekedar bertemu, Jasmine harus menikmati rasanya terkejut lagi.Rosa, dia datang dengan anak kecil yang beberapa bulan lalu Jasmine lihat. Dan Jasmine tidak punya kuasa untuk tidak terkejut.Sebenarnya Jasmine yang selalu menghindar kalau teman-temannya mulai membahas pembicaraan mengenai Arjuan, jadi Jasmine tidak bisa menyalahkan Rosa.Jasmine mengangguk menjawab pekikan Rosa, tentu saja, ingatannya kembali melayang pada Arjuan tiga bulan lalu waktu pria itu mengenalkan Kei sebagai anaknya. Dadanya tiba-tiba sesak. Si brengsek itu berani-beraninya membuat Jasmine jatuh cinta, dan malah bersikap tanpa dosa menghasilkan buntalan lucu seperti Kei bersama wanita lain.Dan jawaban untuk pertanyaan 'kenapa Kei bisa bersama Rosa?' adalah Jimmy. Rosa menjalin hubungan dengan sahabat karib Arjuan."Kapan? Kenapa lo gak bilang kalo kalian udah ketemu?" tanya Rosa, tak bisa menutupi ra
Kesibukan memang selalu bisa jadi bahan pelampiasan terbaik. Ketika detik-detik dirasa mencekik, kesibukan mampu membuatmu melupakan semua, bernapas tanpa sadar atau sekedar objek untuk membunuh masa, bagi sebagian orang jarum jam rasanya tak lagi punya guna. Karena yang ada, tanpa mengetahui kapan menit berganti tau-tau hari sudah hampir habis.Jasmine sedikit lega.Sibuk memang melelahkan, namun ia bersyukur karena lelahnya justru mampu menjelma jadi selimut hati. Melindungi agar tetap hangat, menjaga agar hatinya senantiasa tidur setiap lelah datang selepas pekerjaan selesai.Ia jadi tidak mempunyai waktu untuk berpikir yang tidak perlu. Karena tiap ia punya waktu luang untuk melamun, entah dari mana asalnya satu nama selalu hadir di pikiran. Dan itu mengganggu.Pagi ini pukul sepuluh lebih tiga puluh menit Jasmine sampai di kantor agensinya. Berdasarkan jadwal yang dikirim Yeni- manajer pribadi Jasmine, lewat email, hari ini Jasmine harus menghadiri beberapa rapat bersama staf, set
Tubuhnya basah oleh keringat, gulungan tinggi rambut hitam gadis itu sudah kendur mengakibatkan beberapa anak rambut jatuh membingkai wajah, yang malah menjadi pemandangan cantik untuk dilihat. Hampir seperempat jam yang lalu Jasmine bergerak di atas treadmill, setelah pemanasan dan melakukan serangkaian senam lantai Jasmine melanjutkan sesi olahraganya dengan berlari. Tempat ini adalah gym tempat artis agensinya berolahraga. Dari tempatnya berlari sekarang Jasmine dapat melihat langit serta awan, gedung-gedung menjulang dan juga daratan kota Seoul yang padat. Wajib. Minimal sekali dalam seminggu pasti Jasmine kemari, karena kesehatan fisik untuk jam kerja serta jadwalnya merupakan satu paket komplit. Jadi meskipun Jasmine sedang melakukan tour ke beberapa negara, ia tetap membawa trainer pribadi untuk berolahraga setelah konser usai. Jasmine ingat, waktu itu di Singapore semasa rangkaian konser pertamanya digelar, kakinya terkilir karena kurang hati-hati, ia juga pemanasan tak cuku
"Ketakutan yang aku punya masih sama, bahkan setelah tahun berlalu rasanya malah bertambah parah. Selain kamu. Tidak ada penawar. Tidak akan. Sama sekali. Tidak ada."- Jasmine --- "Tekanan darahmu rendah," wanita dewasa berwajah cantik yang memakai jas putih khas petugas kesehatan itu melepas alat tensi darah yang semula melingkar erat di lengan atas Jasmine. Menyerukan angka sekitaran sembilan puluh, yang mana itu berarti tekanan darahnya cukup rendah untuk seorang yang perlu banyak gerak. Dokter cantik itu menghela napas dalam, heran pun khawatir, Jasmine terlihat biasa saja berbanding terbalik dengan orang 'kurang darah' pada umumnya yang mana mengeluh pusing lemas dan mata berkunang-kunang, ia mengerti Jasmine bukanlah pribadi yang suka rela kelemahannya diketahui orang, tapi harusnya ia tak usah berpura-pura apalagi di depan dokter, sakit bukanlah kelemahan. "Tidurlah yang cukup dan kurangi pikiran tidak penting, Nona Jasmine." Jasmine memajukan bibir. Memasukan tangan ke d
Sepertinya. Bunga mekar terlampau cepat, hingga sebelum matahari lenyap ia sudah harus layu, jauh dari harap. Dan mungkin, Seindah senja yang waktu itu ia lihat di langit Eropa, seterang warna jingga berpadu dengan lazuardi yang hendak ditelan kelabu berganti dengan hitam menyapa malam datang. Hadirnya sama indah, akan ia ingat selamanya. Lelaki yang setara indahnya dengan senja itu akan selalu ada di ruang pikirnya. Cinta yang cuma sekejap itu juga masih tumbuh di sudut hatinya. Ia memang terlalu besar kepala. Kemarin, Jasmine dengan yakin mengatakan kalau ia pasti akan mendapatkan Juan kembali saat mengobrol dengan Suya, iya, dia mengatakan dengan sangat percaya diri, seakan-akan tahu dewi mana pun akan membantunya jika itu masalah tentang cinta, tetapi sekarang ke mana dewi itu pergi? Ke mana perginya ambisi artis cantik yang selalu dipuji itu? Mengapa bertanya? Bukankah jawabannya sudah jelas? Yang bisa melenyapkan segala ambisi serta rasa percaya diri Jasmine tak lain ta
"Lo gila, ya?" Jasmine pikir setelah jemari putih tangannya menutup pintu apartemen berhasil mengusir seorang pria pergi, ia akan memasuki kamar dan duduk membaca naskah skit drama spesial ditemani segelas rose tea tanpa gula dengan damai. Mungkin yang tersisa cuma sedikit pikiran mengganggu yang akan hanyut bersama satu atau dua teguk wine nanti malam. Namun sepertinya ia terlalu berharap banyak. Jasmine lupa ia memelihara pria menyebalkan lain di unit apartemen miliknya. Jasmine bergeming. Memuat tubuh menatap pria berkaos abu tua di belakangnya, tepat pada dinding berkeramik coklat Jay bersandar dengan tangan terlipat di dada. "Lo sadar nggak sih tadi ngapain?" Jay menunjuk arah pintu, matanya melebar dengan kening mengernyit tanda tak suka. Tidak mengerti sama sekali. "Terus kenapa dia bisa sampai kemari? Lo kasih alamat rumah ke itu orang?" Jay melanjutkan tanpa menunggu Jasmine menjawab. Pertanyaan yang ia sampaikan tidak butuh sebuah jawab. "Sejak kapan kalian rutin kete
April hampir habis. Angka pada kalender tanpa terasa sudah bergerak jauh. Kembang yang waktu itu masih kuncup kini telah mekar. Bumi tempatnya berpijak telah berangsur menghangat. Jasmine menyukainya. Bahkan semuanya. Suara ranting yang patah, desau angin menyapa sejuk, atau sekedar udara segar yang ia hirup serta embun yang ia jumpai pukul enam. Debu halus menyapa, tak selalu mengganggu, gadis pecinta sepertinya bahkan menyukai ketika partikel halus yang sejatinya dihindari, hujan yang disumpahi banyak orang karena turun tanpa aba-aba atau mentari terik yang membuat orang-orang mengernyit marah. Di antara sisa detik pada lampu lalu lintas yang akan berganti hijau serta deras gemeletuk air menyerbu dinding-dinding mobilnya Jasmine tersenyum, sesekali melihat kanan kiri pada orang yang berlarian dengan tas di atas kepala atau lebih fokus pada wiper mobil yang menyala. "Oh my Gosh! Unbelieveable! Ini kenapa langit moody banget sih! Kenapa tiba-tiba hujan padahal kata ramalan cuaca b
"Oke, istirahat lima belas menit."Selaju dengan berakhirnya teriakan dari produser, tiga orang dari luar set mendekati wanita bergaun putih dengan model off shoulder tanpa motif, mengarahkan payung melindungi artis dari sengatan panas mentari, yang satu lagi menyerahkan satu botol minuman kemasan beserta pipet.Jasmine sedang mempersiapkan comeback, masih rahasia, dan sekarang ia tengah shooting video music untuk titled single pada album terbarunya. Hari ini hari terakhir, dan besok akan ada sesi latihan koreografi, lusa juga sama, latihan akan terus berlanjut hingga agensi mengumumkan tanggal comebacknya.Baru saja Jasmine duduk di bawah naungan payung besar, segerombol rumput liar berbunga putih menarik perhatiannya. Dulu, ia pernah tidak tertarik pada bunga, tidak suka. Namun sekarang, justru pribadi manis itu tengah membidik bunga kecil berwarna putih itu dengan kamera ponselnya. Kemudian berpose, meminta tolong make up artist pribadinya untuk mengambilkan gambar."Kamu bisa
Tidak sibuk? Kalau saja dua jam yang lalu Jasmine menjawab pertanyaan singkat itu dengan kata 'aku sibuk' ia tidak akan bersanding canggung bersama bunga-bunga yang gugur, melewati jalanan pinggiran kota sambil membawa kemelut di dada yang belum reda. Namun sayang, teman-temannya bersantai ia pergi. Mendukung kala pria berjas hitam meminta ijin tadi untuk membawanya sebentar. "Mau bicara apa?" Jasmine maju, kakinya berhenti melangkah. Bernaung di bawah pohon yang rindang. Dan tak lepas dari mata bagaimana gerakan halus Juan ketika pria itu berputar, menghadapnya. Netranya berbicara banyak kata, namun bibir besi lelaki itu tidak terbuka. Jasmine cukup paham ia tak akan mendapat jawaban setidaknya hingga lima menit ke depan, maka dari itu ia melanjutkan. "Atau kamu cuma mau membuat aku senang? Dengan mengajakku jalan bersama?" Masih. "Sebagai obat setelah apa yang kamu katakan kemarin." Jasmine mengulas lengkungan tipis. Yakin bahwa senyum tipisnya tak terlihat wanita cantik itu m
18."Je?""Hm?"Lili menghela napas sabar. Melirik Suya di sebelahnya yang juga menatap penuh pengertian. "Sudah tiga kali."Sedari tadi, sejak pertama kali duduk di bangku kafe berbau kopi ini tiga kali sudah Lili memergoki sahabatnya kehilangan fokus. Tenggelam dalam pikiran. Menatap kosong pada satu arah."Milkshake-mu sudah mencair," Suya menunjuk satu gelas besar minuman berwarna merah muda. "Nah, temanku yang cantik, Gue sudah pernah bilang kalau bercerita merupakan step awal pengurangan stress bukan?"Jasmine tersenyum, kemudian menggeleng singkat, mengucek matanya lembut seperti sedang mengembalikan kesadaran. Memandang ke beberapa sudut kafe yang beberapa bulan lalu dikunjunginya."Apa ada hubungannya dengan si mantan pacar itu lagi?" Suya menebak curiga. Mengingat terakhir kali Jasmine berkonsultasi padanya membawa nama Juan.Suya ingin bertanya lebih. Namun urung ketika jemari tangannya digenggam oleh Lili, gadis jangkung berambut hitam sebahu itu menggeleng meminta ia untu
17.Di ruang kamar berukuran sedang itu berputar musik klasik. Mengiringi sosok wanita cantik berbalut dress floral selutut dengan satu berita harian di tangannya. Meski wajah gadis kecil bersurai hitam legam itu disamarkan, ia bisa tahu dengan jelas."Putrimu?" Suara lelaki menggema di seluruh ruang.Si wanita berambut merah bergeming. Memandang koran yang menampilkan artikel tentang skandal percintaan artis muda, Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara, tak perlu menjawab karena diamnya sudah cukup mengatakan segalanya.Langkah kaki mendekat, berhenti dua langkah dari pribadi bersurai merah disisi kanan. Menyerahkan satu lembar kertas foto. Menampakkan dua insan yang berciuman."Mereka jadi lebih dekat. Ayah dari anakmu, dan Jasmine." Lelaki bertubuh tinggi itu melaporkan. "Kamu mau apa sekarang, Irish?"Hal yang sebenarnya sudah dibayangkan sejak lama. Yang ia takutkan.Wanita yang dipanggil Irish itu mengangguk. "Melakukan yang harusnya kulakukan sejak awal."———"Masih sam
"Debar jantungmu jadi satu-satunya alasan mengapa aku mau bertahan." -Jasmine Sahanaya. — Tidurnya terusik. Mimpi siang hari yang baru saja dirajutnya beberapa menit menit tiba-tiba buyar entah ke mana, bersamaan dengan sapuan lembut pada puncak kepala, membawa separuh sadar, namun enggan menyikap kelopak mata. Jasmine mengerang. Kali ini karena sebuah bulatan keras menyusup ke ceruk lehernya. "Aunty Je, lelah sekali ya?" Waktu itu Jasmine tersenyum. Tak ada niatan membuka mata sedikit pun. Ia benar-benar lelah dan membutuhkan tidur berkualitas, namun anak orang yang amat lucu ini mengusik dengan cara yang amat menggemaskan sepanjang dunia. Jasmine memeluk Kei erat, membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangat, agar ikut tertidur. Tidak memikirkan bagaimana cara anak empat tahun ini bisa sampai ke ruang tunggu sebuah stasiun televisi. Yang tentunya bukan tempat yang bisa dikunjungi orang sesuka hati. Jasmine mendusel kepala, menghirup aroma khas bayi milik Kei hingga gadis
—— "Presdir Namu yang menawarkannya padaku." Jasmine menjeda kalimat, sembari menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga. "Dia bilang aku boleh mengubah poin-poin jika keberatan dan menambah beberapa jika memang dibutuhkan." Gadis berbalut mantel bulu berwarna abu-abu muda, berambut coklat tergerai yang wajahnya berhias make up tipis natural itu memindahkan tatapan mata dari cangkir kopi yang mengepul pada pribadi rupawan di kursi depan. Yang ternyata sama. Pria dewasa itu menatapnya juga. Dengan mata yang masih tajam seperti terakhir kali. Jasmine tidak tahu. Apa yang membuat pancaran mata Juan terasa begitu mengintimidasi ketika mereka bertatap muka, juga tentang bagaimana atmosfer dalam ruang rasanya berganti amat drastis jika mereka bersama. Arjuan mengangkat tangan, melirik arloji yang ternyata sudah hampir jam makan siang. Kafe mulai terisi orang-orang baru, yang tentunya tidak akan nyaman berbincang dengan artis besar di tempat ramai. Jadi ia memutuskan untuk seg
-Selimut hitam pekat itu tersikap setelah matahari merajai bumi.Kicau burung gereja di ranting pohon tak lagi terdengar. Alarm yang disetel pukul lima tak lagi ada bunyinya, Jasmine lupa melempar benda itu ke arah mana. Bahkan setelah segar menyiram diri dengan air dingin, rasanya Jasmine enggan keluar kamar untuk sarapan.Dengan gulungan handuk putih di kepala serta kaos hitam dan celana selutut Jasmine menyandarkan diri ke kepala ranjang. Meraih ponsel di nakas, mengabaikan ratusan notifikasi yang datang dan memilih mengetik sebuah pesan pada Yuni- managernya. Setelah itu ia melepas handuk di kepala, membiarkan rambut setengah basah agar kering sendiri lalu keluar kamar, pergi ke dapur guna membakar dua potong roti untuk sarapan, walau sudah terlalu lambat untuk itu. "Lo ini sakit atau memang gila, sih?"Jasmine terlonjak. Roti bakar berlapis nutella yang baru ia makan segigit itu terhempas ke atas meja dapur. Memandang dengan mata terbelalak sosok berkaos hitam yang tengah
——"Belum mau pulang?"Detik itu juga lamunannya pecah. Pikirkan mengganggu yang sedari tadi menghantui hingga membuatnya fokus pada bayangan gelas ditangan seketika menguar.Pada ruas detik arloji yang hendak mendekati angka tiga saat langit amat gelap ini Juan masih setia bersimpuh dalam kebimbangan. Menelan sendiri bulat-bulat kegundahan setelah apa yang terjadi padanya empat jam lalu.Bukan sesuatu yang bagus, namun bukan juga sebuah petaka, mungkin bisa disebut tabu.Setelah beberapa bulan belakangan ia sebisa mungkin tidak bertatap muka, menghindar, sampai-sampai Juan bersedia menunda bertemu Kei saat putrinya sakit hanya karena Namu bilang bahwa Jasmine ada bersama mereka. Namun tanpa sangka netra coklat yang selama ini dijauhinya malah justru melekat dalam bayang mata. Juan tentu tak akan bisa lupa. Ia ingat, tiap sekon yang ia lewati bersama gadis berambut hitam sepunggung itu. Semuanya.Terlalu ingat.Hingga menyesakkan.Juan sampai merasa tak sehat. Tidak waras.Leb
Hadirmu layaknya salju putih yang hangat, badai yang menenangkan, tsunami berperasaan, sianida berperisa morfin, pun bencana dengan sejuta warna. Jangan tanya apa maksudnya. Entah. Aku saja tak tahu apa. – Jasmine Sahanya.--Untuk pertama kali dalam dua puluh lima tahun hidupnya Jasmine menginjakkan kaki di tempat remang-remang. Lampu berputar berdenyar samar, beberapa orang menari menggerakkan badan sejalan dengan hentak musik terdengar memekak sampai rasanya mau mati karena sakit telinga. Jasmine sampai heran kenapa banyak sekali orang menggemari tempat ini.Club.Setelah rumah sakit, mungkin bagian bumi ini jadi tempat terakhir yang ingin Jasmine singgahi. Jasmine sangat tidak suka keramaian di sini, meski tanpa asap rokok atau bau alkohol menyengat, tetap saja Jasmine tidak menyukainya.Nay benar-benar memikirkannya dengan sangat baik. Setelah kemarin Jasmine absen di pesta ulang tahunnya, wanita pentolan girl grup senior itu memaksa Jasmine habis-habisan untuk hadir di pesta
"Oke, istirahat lima belas menit."Selaju dengan berakhirnya teriakan dari produser, tiga orang dari luar set mendekati wanita bergaun putih dengan model off shoulder tanpa motif, mengarahkan payung melindungi artis dari sengatan panas mentari, yang satu lagi menyerahkan satu botol minuman kemasan beserta pipet.Jasmine sedang mempersiapkan comeback, masih rahasia, dan sekarang ia tengah shooting video music untuk titled single pada album terbarunya. Hari ini hari terakhir, dan besok akan ada sesi latihan koreografi, lusa juga sama, latihan akan terus berlanjut hingga agensi mengumumkan tanggal comebacknya.Baru saja Jasmine duduk di bawah naungan payung besar, segerombol rumput liar berbunga putih menarik perhatiannya. Dulu, ia pernah tidak tertarik pada bunga, tidak suka. Namun sekarang, justru pribadi manis itu tengah membidik bunga kecil berwarna putih itu dengan kamera ponselnya. Kemudian berpose, meminta tolong make up artist pribadinya untuk mengambilkan gambar."Kamu bisa