Selepas magrib Candra keluar dari kamar menuju ruang tengah sambil membawa tas punggung. Dia memasukkan tas tenteng berisi surat-surat penting ke tas punggungnya itu. Dia menaruh tas tersebut di dekat tas Mak Ijun dan Hani. Sementara itu, di beranda rumahnya Mak Ijun sedang bercakap-cakap dengan tetangga.Candra mendekati Mak Ijun yang berdiri di dekat pagar. Sementara Bu Jisah dan Bu Usi berdiri di depan mereka.“Ada apa, Mak?” tanya Candra ikut dalam obrolan.“Katanya zombi-zombi itu udah nyampe di Rawa Panjang,” jawab Mak Ijun.“Kata siapa?”“Saya ngelihat sendiri, Can,” imbuh Bu Jisah. “Tadi ‘kan saya pulang dibonceng si Amir dari terminal, terus di perempatan Rawa Panjang itu banyak pengendara motor yang berhenti karena lampu merah diserang zombi-zombi.”Candra menelan ludah karena ngeri. “Kalo zombi-zombi udah nyampe di Rawa Panjang, itu artinya mereka udah nyerang banyak orang di sekitar mal dekat Tol Bekasi Barat,” katanya kemudian dengan air muka tegang.“Nah, itu dia
Kiman dan Suster Indri mengembuskan napas lega setelah berhasil mengeluarkan Pak Diko dari kamar jenazah. Meski Pak Diko berupaya masuk dengan menabrakkan diri ke pintu kayu, paling tidak dia tak bisa menyerang Kiman dan Suster Indri secara langsung. Keadaan itu yang membuat Kiman dan Suster Indri bisa terlepas dari ancaman Pak Diko meski harus tetap waspada. Keduanya lalu duduk di lantai bersandar pada tembok. Kiman memeriksa ponselnya yang ternyata sudah tidak aktif. “Hapeku baterenya udah abis,” tandasnya kemudian seraya menoleh ke Suster Indri di sebelah kiri. “Hape kamu gimana?” Suster Indri menggeleng. “Aku gak tahu hapeku di mana. Entah tertinggal di meja area suster atau malah jatuh saat aku lari pas dikejar zombi,” tuturnya kemudian. Dia mengembuskan napas panjang melalui mulut. Kiman kembali menyimpan ponselnya ke saku celana. “Mudah-mudahan bapak, ibu, dan adikku udah ngungsi ke rumah abangku.” Dia tampak khawatir. “Kayaknya k
Berita yang disiarkan di televisi dan radio semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, meski jumlah Patriot yang sudah dibentuk lagi jumlahnya lebih banyak daripada sebelumnya, mereka harus melakukan garis pertahanan lebih jauh dari tempat munculnya zombi pertama kali, yakni Rumah Sakit Cakrawala. Keadaan itu dikarenakan jumlah zombi sudah makin banyak setelah menguasai beberapa permukiman. Itulah kenapa orang-orang yang terjebak di dalam rumah sakit dan gedung-gedung atau ruko-ruko sekitarnya tidak lagi mendengar suara tembakan dari para Patriot. Perlawanan para Patriot makin menjauh dari rumah sakit, terlebih mereka juga kewalahan lantaran zombi yang ditembak di titik-titik mematikan tak juga mati. Walikota dan para petinggi kepolisian dan TNI setempat belum juga menemukan alasan kenapa para mayat hidup itu tidik bisa dibunuh atau dilumpuhkan bahkan di tembak di jantung dan kepala.Tepat jam sembilan malam ini warga Kota Bekasi makin gelisah dan cenderung ketakutan. Banyak yang terpaksa b
Candra memacu sepeda motornya dengan cepat. Dari gang rumahnya, dia langsung meluncur ke kiri menyusuri Jalan Raya Narogong. Jam sembilan malam itu jalanan sangat sepi. Tidak seperti biasanya, jalan yang menghubungkan Kota Bekasi dengan Cileungsi itu kosong, tak ada satu pun pengendara motor atau mobil yang Candra temui. Sampai kemudian mendekati pom bensin, Candra menurunkan kecepatan motornya. Dia mendapati beberapa mobil dan motor yang berada di tengah jalan. Posisi semua kendaraan itu tak beraturan dengan kaca pecah, sementara di aspal dan bodi mobil terdapat ceceran darah.Awalnya Candra masih berdebat dengan Mak Ijun dan Hani terkait ingin menolong Siti yang terjebak di toilet pom bensin. Sampai akhirnya niatnya itu direstujui oleh Mak Ijun dan Hani, meski dalam hati ibu dan adiknya itu berat untuk melepasnya pergi. Dia meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia juga menegaskan, kalau keadaannya tidak memungkinkan untuk menolong Siti, dia akan segera kembali ke rumah.
Gugun dan Suster Ana bergegas meninggalkan kantin. Keduanya menenteng kantong plastik berisi roti dan minuman. Dengan langkah hati-hati mereka kembali ke ruang rawat inap setelah berhasil mengelabui tiga zombi laki-laki.Muncul Kiman dan Suster Indri dari koridor lain. Keduanya mengamati seisi kantin yang berantakan. Meja dan kursi bergelimpangan, darah berceceran di lantai, warung-warung rusak.“Dari tadi kita gak lihat ada zombi. Apa jangan-jangan mereka udah gak ada di sini?” kata Suster Indri dengan suara pelan.“Entahlah,” sahut Kiman. “Tapi itu ada darah.” Dia menunjuk ceceran darah di lantai.“Mungkin darah itu udah ada sejak siang atau sore.” Suster Indri memperhatikan ceceran darah tersebut.“Kemungkinan masih belum lama. Itu darahnya masih basah.” Kiman kembali memperhatikan sekeliling.“Kalo gitu mendingan kita langsung ke warung. Kita ambil aja apa yang bisa kita makan dan minum.” Suster Indri masuk ke salah satu warung.Kiman mengikut
Gugun duduk di kursi yang sandarannya menempel pada tembok. Dia mengamati pintu kaca yang beberapa meter berada di depannya. Dia berusaha tetap waspada kendati lelah mendera. Dia harus memperhatikan keadaan di luar ruang rawat inap yang lengang, khawatir tiba-tiba muncul zombi yang hendak masuk ke ruangan itu.Sekitar setengah jam yang lalu dia mendengar rentetan suara tembakan. Dia sempat memperhatikan situasi di luar jendela yang sayangnya tak bisa secara luas dia lihat. Pasalnya, jendela ruangan itu menghadap ke arah stadion sepak bola, bukan ke jalan raya. Namun, dia yakin itu adalah tembakan dari para Patriot yang menembaki para zombi. Ada harapan besar baginya untuk bisa keluar dengan selamat dari rumah sakit, mengingat tim penyelamat itu memang telah dibentuk lagi untuk menyelamatkan warga yang terjebak di gedung rumah sakit dan sekitarnya.Waktu tembakan para Patriot itu terjadi, Pak Sapto, Pak Aji, Suster Ana, dan Wati terbangun. Keempatnya menghampiri Gugun dengan terkeju
Setelah membereskan piring dan sisa penganan, Bu Ikah menghampiri Gugun yang masih duduk di kursi teras belakang. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati Pak Hanan. Matanya masih terlihat sembap, dan kesedihan belum juga sirna dari keseluruhan wajahnya. Dia sadar harus berupaya tegar di depan anak-anaknya. Kendati kehilangan Pak Hanan masih sangat terasa, dia tak mau lagi meneteskan air mata. Dia harus kuat dan mengirim kekuatan itu pada ketiga anaknya.Gugun yang melamun menyadari kehadiran Bu Ikah. “Ibu-ibu udah pada pulang, Bu?” tanyanya kemudian.“Udah,” sahut Bu Ikah sambil mengangguk pelan.“Suci sama Bima di mana?”“Lagi di ruang tengah.”Ada senjang senyap di antara Gugun dan Bu Ikah. Keduanya memandang ke depan dengan pikiran tertuju pada masa lalu, di mana ada kenangan bersama Pak Hanan yang enggan mereka sama-sama kemukakan. Keduanya berpikir, kalau salah satu dari mereka bercerita kenangan bersama Pak Hanan, itu sama saja mengundang kesedihan. Akhirnya mereka memilih
Gugun membekap mulutnya saat menguap. Dia mulai diserang kantuk yang lumayan mengganggu. Di jam pertama jaga ini mau tak mau dia harus bersabar menunggu jam kedua, di mana nanti akan bergantian dengan Pak Sapto. Kini jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit.Dia yang duduk di lantai bersandar pada tembok kini bangkit berdiri. Dia meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal. Diusapnya wajah berulang kali supaya kantuknya menghilang. Namun, itu tak banyak membantu. Akhirnya dia ke toilet untuk mencuci muka. Basuhan air ternyata lebih membantu mengusir rasa ingin tidur.Dengan langkah pelan dia mendekati jendela. Dipandangnya luar rumah sakit yang sepi. Tak ada suara hewan malam seperti jangkrik, tak ada suara lalu-lalang mobil, tak ada suara geraman para zombi, tak ada pula suara tembakan para Patriot.Dia kemudian beralih ke pintu kaca. Diperhatikannya kelengangan di luar ruang rawat inap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar sana. Dia jadi bingung bagaimana harus mencari tah