Gugun dan Suster Ana bergegas meninggalkan kantin. Keduanya menenteng kantong plastik berisi roti dan minuman. Dengan langkah hati-hati mereka kembali ke ruang rawat inap setelah berhasil mengelabui tiga zombi laki-laki.Muncul Kiman dan Suster Indri dari koridor lain. Keduanya mengamati seisi kantin yang berantakan. Meja dan kursi bergelimpangan, darah berceceran di lantai, warung-warung rusak.“Dari tadi kita gak lihat ada zombi. Apa jangan-jangan mereka udah gak ada di sini?” kata Suster Indri dengan suara pelan.“Entahlah,” sahut Kiman. “Tapi itu ada darah.” Dia menunjuk ceceran darah di lantai.“Mungkin darah itu udah ada sejak siang atau sore.” Suster Indri memperhatikan ceceran darah tersebut.“Kemungkinan masih belum lama. Itu darahnya masih basah.” Kiman kembali memperhatikan sekeliling.“Kalo gitu mendingan kita langsung ke warung. Kita ambil aja apa yang bisa kita makan dan minum.” Suster Indri masuk ke salah satu warung.Kiman mengikut
Gugun duduk di kursi yang sandarannya menempel pada tembok. Dia mengamati pintu kaca yang beberapa meter berada di depannya. Dia berusaha tetap waspada kendati lelah mendera. Dia harus memperhatikan keadaan di luar ruang rawat inap yang lengang, khawatir tiba-tiba muncul zombi yang hendak masuk ke ruangan itu.Sekitar setengah jam yang lalu dia mendengar rentetan suara tembakan. Dia sempat memperhatikan situasi di luar jendela yang sayangnya tak bisa secara luas dia lihat. Pasalnya, jendela ruangan itu menghadap ke arah stadion sepak bola, bukan ke jalan raya. Namun, dia yakin itu adalah tembakan dari para Patriot yang menembaki para zombi. Ada harapan besar baginya untuk bisa keluar dengan selamat dari rumah sakit, mengingat tim penyelamat itu memang telah dibentuk lagi untuk menyelamatkan warga yang terjebak di gedung rumah sakit dan sekitarnya.Waktu tembakan para Patriot itu terjadi, Pak Sapto, Pak Aji, Suster Ana, dan Wati terbangun. Keempatnya menghampiri Gugun dengan terkeju
Setelah membereskan piring dan sisa penganan, Bu Ikah menghampiri Gugun yang masih duduk di kursi teras belakang. Dia duduk di kursi yang biasa ditempati Pak Hanan. Matanya masih terlihat sembap, dan kesedihan belum juga sirna dari keseluruhan wajahnya. Dia sadar harus berupaya tegar di depan anak-anaknya. Kendati kehilangan Pak Hanan masih sangat terasa, dia tak mau lagi meneteskan air mata. Dia harus kuat dan mengirim kekuatan itu pada ketiga anaknya.Gugun yang melamun menyadari kehadiran Bu Ikah. “Ibu-ibu udah pada pulang, Bu?” tanyanya kemudian.“Udah,” sahut Bu Ikah sambil mengangguk pelan.“Suci sama Bima di mana?”“Lagi di ruang tengah.”Ada senjang senyap di antara Gugun dan Bu Ikah. Keduanya memandang ke depan dengan pikiran tertuju pada masa lalu, di mana ada kenangan bersama Pak Hanan yang enggan mereka sama-sama kemukakan. Keduanya berpikir, kalau salah satu dari mereka bercerita kenangan bersama Pak Hanan, itu sama saja mengundang kesedihan. Akhirnya mereka memilih
Gugun membekap mulutnya saat menguap. Dia mulai diserang kantuk yang lumayan mengganggu. Di jam pertama jaga ini mau tak mau dia harus bersabar menunggu jam kedua, di mana nanti akan bergantian dengan Pak Sapto. Kini jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit.Dia yang duduk di lantai bersandar pada tembok kini bangkit berdiri. Dia meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal. Diusapnya wajah berulang kali supaya kantuknya menghilang. Namun, itu tak banyak membantu. Akhirnya dia ke toilet untuk mencuci muka. Basuhan air ternyata lebih membantu mengusir rasa ingin tidur.Dengan langkah pelan dia mendekati jendela. Dipandangnya luar rumah sakit yang sepi. Tak ada suara hewan malam seperti jangkrik, tak ada suara lalu-lalang mobil, tak ada suara geraman para zombi, tak ada pula suara tembakan para Patriot.Dia kemudian beralih ke pintu kaca. Diperhatikannya kelengangan di luar ruang rawat inap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar sana. Dia jadi bingung bagaimana harus mencari tah
Kiman masuk ke kamar jenazah dengan panik. Dia lantas mengunci pintu kaca itu dengan tangan gemetar. Dia tidak menyangka baru saja melihat Suster Indri dihabisi oleh para zombi. Rasa lapar dan dahaganya mendadak digantikan kengerian. Dia melangkah terhuyung ke sudut ruangan. Dengan lunglai dia mendaratkan bokongnya ke lantai yang dingin. Dia duduk memeluk lutut dengan perasaan kalut.Dia berupaya melawan ketakutannya. Sebisa mungkin dia menghentikan gemetar tubuhnya. Menyaksikan bagaimana Suster Indri dihabisi zombi membuatnya syok berat. Tanpa suara tangis air matanya mulai meleleh. Dengan tangan gemetar dia menyeka air mata. Sementara degup jantungnya masih tak keruan.Tangan kanannya tiba-tiba mengepal keras. Dia memukul-mukul lantai sambil terus berurai air mata. Ada sesal yang menohok dadanya mengingat tidak bisa menyelamatkan Suster Indri, bahkan dia merasa Suster Indri telah berkorban untuknya agar selamat. Dia jadi terbayang-bayang semua percakapan dengan suster itu. Dia me
Hani dan Mak Ijun menunggu Candra dan Siti di ruang tengah. Keduanya semakin mempersiapkan diri untuk mengungsi. Mak Ijun tadi sempat mengamati rumah-rumah sekitar yang tampak sepi. Para tetangganya itu lebih memilih bertahan di kediaman masing-masing sesuai arahan Wali Kota yang disampaikan oleh Ketua RT. Hani juga sempat bertanya pada beberapa tetangga yang seumuran dengannya. Teman-teman Hani lebih memilih bersembunyi di rumah menuruti orang tua mereka.Jam setengah sepuluh malam ponsel Hani berdering. Dia beringsut dari duduknya menuju kamar. Dia ingat betul menaruh ponsel itu di atas bantal. Setibanya di ruangan pribadinya, dia langsung meraih telepon selulernya itu dengan waswas. Pasalnya, Candra menelepon. Dia khawatir terjadi hal buruk pada Candra dan Siti.“Halo, Bang,” sapa Hani setelah mengangkat panggilan telepon itu.“Han, cepat kunci pagar depan dan pintu,” sahut Candra dengan nada panik.“Kenapa, Bang?” Hani bingung.“Tutup rapat dan kunci juga semua jendela,” per
Ledakan dari arah kanan kembali terdengar lebih keras. Suara itu membuat Candra dan Siti terkejut lagi. Sementara dua zombi laki-laki dari depan pagar besi kediaman Siti berlari menuju sumber suara. Meski begitu, Candra dan Siti tidak bisa bernapas lega. Pasalnya, suara keras itu justru gambaran dari keadaan yang makin berbahaya. “Itu suara apa, Can? Apa bom yang dilempar para Patriot untuk membunuh para zombi?” Siti menatap Candra dengan sorot mata takut. “Mungkin itu ledakan gas,” terka Candra. “Suaranya seperti di rumah sebelah.” Candra mengangguk pelan. “Itu rumah Bu Lesti dan Pak Andri,” ujar Siti yang membayangkan wajah kedua tetangganya itu. Dia jadi mengkhawatirkan kedua orang tua itu. “Apa mereka baik-baik aja? Mereka mengungsi atau bertahan di rumah, ya?” katanya yang terdengar bertanya pada dirinya sendiri. “Aku berharap mereka sudah mengungsi. Kalo enggak, mereka pasti sedang diserang para zombi,” tandas Candra. Dia berkata seperti itu karena teringat dua zombi laki-
Malam makin mencekam. Suara ledakan di kejauhan, teriakan kesakitan dan minta tolong, serta berita di televisi yang mengabarkan penyebaran para zombi kian tak terkendali membuat segalanya mengerikan. Sementara Patriot kembali dibentuk dengan jumlah yang lebih banyak dan menyebar ke titik-titik penguasaan para zombi.Mak Ijun, Hani, dan para tetangganya yang bertahan di dalam rumah masing-masing saling berkabar. Mereka jadi berdiskusi bagaimana harus terus bersembunyi di dalam rumah dengan persediaan yang seadanya. Mereka juga membuka obrolan untuk opsi mengungsi, meski mereka tak tahu apakah bisa menemukan tempat yang aman.“Kamu gak masuk di WA grup RT, ya?” tanya Mak Ijun setelah Hani bercakap-cakap dengan Lena, salah satu tetangganya melalui panggilan telepon WhatsApp.“Yang gabung ke grup RT cuma Bang Candra, Bu,” jawab Hani, “jadi saya gak tahu apa yang didiskusiin sama orang-orang.”“Terus tadi kamu ngobrol sama siapa?”“Sama si Lena.”“Lena anaknya Pak Rudi?” tanya Mak Ij