Tiga orang gadis berusia pertengahan dua puluh tahun sedang berkumpul di sebuah club malam yang terkenal di kota New York. Alunan musik yang diputar DJ nampak menggema memenuhi ruangan.
Emily, Jessica dan Shopie berkumpul di sebuah ruangan khusus dan menikmati minuman mereka sambil bercengkrama melepas penat akibat pekerjaan.
"Kau harus berhenti berkerja, Em. Dan berkencanlah," komentar Jessica kepada Emily temannya. Menurutnya kehidupan Emily sungguh membosankan dan ia butuh berkencan.
Emily mengibaskan tangannya, ia lalu menegak minuman keras di tangannya. "Tidak. Aku menyukai kehidupanku sekarang. Aku tak butuh lelaki," komentar Emily setelah menandaskan minuman di tangannya.
"Apa kau ada masalah? Kau sudah minum lebih banyak daripada biasanya," komentar Shopie.
Emily kembali menuangkan minuman ke gelas. "Tidak. Aku baik-baik saja," katanya lalu menegak habis minuman di gelasnya.
Jessica menahan tangan Emily yang hendak menuangkan cairan yang memabukkan itu ke gelasnya kembali. Sedangkan tangan Jessica yang lainnya, mengambil botol dari cengkraman tangan Emily. Ia lalu menjauhkan botol tersebut dari jangkauan Emily.
"Kurasa kau tidak sedang baik-baik saja," komentar Jessica."Ayolah, Jess," rengek Emily yang sudah mulai mabuk.
"Kau harus bercerita, baru kami akan memutuskan, apakah kamu boleh memiliki minuman ini atau tidak," tegas Shopie.
Emily mengangkat tangannya menyerah. "Baiklah... baiklah.... Aku akan bercerita." Emily membuang napasnya kasar. "Mereka semua brengsek. Apakah salah jika aku memiliki karir yang bagus di usiaku yang semuda ini?"
Jessica dan Shopie menggelengkan kepalanya. "Tidak," kata mereka serentak.
"Mereka selalu saja membicarakanku dari belakang," kata Emily sambil membuang napasnya sekali lagi karena merasa kesal. "Mereka bilang, aku terlalu kaku dan aku akan menjadi prawan tua jika tidak segera berkencan."
Emily kembali mendengus, "apakah aku salah, karena tidak ingin berkencan?" tanya Emily lagi.
Kedua temannya menganggukkan kepalanya. "Ya," jawab mereka serentak.
"Ayolah. Kalian tau bukan aku tidak memiliki waktu untuk berkencan?" kata Emily sambil menekuk wajahnya.
"Kau harus berkencan untuk bersenang-senang, Em," komentar Jessica.
Emily memutar bola matanya. "Aku tidak butuh laki-laki untuk membuatku senang."
"Kurasa kau kesal bukan hanya karena itu," komentar Shopie tiba-tiba.
Emily mendengus lagi. "Yeah, aku mendengar mereka menggosipkanku. Mereka mengatakanku tidak bisa berciuman dan ada yang menduga bahwa sebenarnya aku memiliki penyakit menular. Serta gosip-gosip menyebalkan lainnya. Aku sudah tidak tahan lagi," jelas Emily panjang lebar.
"Well, kurasa kau memang butuh minum," kata Jessica sambil menyerahkan botol minuman keras ke arah Emily. Emily langsung menegak minuman tersebut dari botolnya, sampai tandas.
Ia benar-benar geram, mengingat para karyawan wanita yang memusuhinya dan gemar menggosipkannya di kantor. Juga para karyawan laki-laki yang suka seenaknya sendiri kepadanya.
Kepala Emily sudah terasa pening. Ia sudah benar-benar mabuk. Kantong kemihnya pun sudah terasa penuh. Ia butuh ke toilet.
Emily beranjak dari duduknya secara tiba-tiba.
"Kau mau kemana?" tanya Shopie.
"Aku butuh ke toilet," katanya sambil berjalan sedikit sempoyongan.
"Mau kuantar?" tanya Shopie lagi.
Emily melambaikan tangannya di depan wajah. "Tidak," katanya sambil berjalan menjauh dari teman-temannya. Ia segera pergi ke toilet untuk buang air kecil dengan langkah terhuyung.
....
"Apa kau berhasil menemukannya?" tanya Harold kepada laki-laki berjaket kulit di depannya. Namanya Matthew Andrews, temannya yang juga berprofesi sebagai seorang detektif swasta, dan ia sewa untuk mencari tau tentang identitas ayah kandungnya.
"Aku belum menemukannya," kata Matthew sambil mengelengkan kepala lesu. "Lagipula, kau baru saja menyerahkan kasus ini dua hari yang lalu. Tentu saja, aku belum bisa menemukannya," Matthew membela diri tanpa diminta.
Harold menegak minuman di tangannya. "Aku akan membayarmu lebih tinggi. Berapa pun yang kau minta."
Matthew menggelengkan kepalanya. "Ini bukan tentang uang, Harold." Matthew membuang napasnya. Ia lalu bersandar di kursi belakangnya. "Ini kasus yang cukup sulit. Aku harus menemukan laki-laki dari dua puluh delapan tahun yang lalu. Tanpa petunjuk apapun. Sebenarnya kasus ini hampir mustahil," komentar Matthew.
Harold melambaikan tangannya ke salah satu pelayan. Untuk meminta diambilkan minuman lagi. Karena minuman yang ia tegak sejak tadi, sudah tandas.
Pelayan tersebut dengan sigap membawakan dua botol minuman keras kepada Harold.
Harold sekarang berada di club malam yang cukup terkenal dan mahal. Reputasinya bisa terjaga di sini karena tidak hanya sembarang orang yang bisa terdaftar di club ini.
Harold merupakan model dan aktor terkenal. Ia tidak boleh merusak reputasinya sendiri dengan membuat skandal tak penting.
Saat sedang menuangkan minuman, Harold tak sengaja menumpahkan minumannya sendiri ke pakaiannya yang bernilai puluhan ribu dollar.
"Aku harus pergi ke toilet," katanya kepada Matthew sambil beranjak berdiri. Matthew hanya menganggukkan kepalanya sambil menegak minumamnya.Harold tiba di lorong yang menuju toilet yang nampak sangat sepi. Seorang gadis berambut pirang berjalan sempoyongan ke arahnya. Gadis itu menatap Harold dengan matanya yang berwarna abu-abu.
"Hei, kau!" tunjuk gadis tersebut ke arah Harold.
Harold mengerutkan keningnya dan menunjuk dadanya sendiri. "Aku?"
"Ya! Memangnya siapa lagi di sini selain kau!" gadis itu membentak.
"Nampaknya kau sangat mabuk, Nona," komentar Harold kepada gadis yang tak ia kenal ini.
Gadis tersebut berjalan semakin mendekat hingga mereka sekarang berdiri berhadapan. "Aku tidak mabuk, tau!" gadis itu membuang napasnya keras. "Kau!" katanya sambil menunjuk dada Harold. "Kau mengataiku, memiliki penyakit menular, karena kau tidak berhasil menggodaku, bukan?" jari telunjuknya menekan nekan dada Harold dengan perasaan jengkel.
"Dan juga...." gadis tersebut menyentuhkan telapak tangannya yang dingin ke pipi Harold. "Aku pintar mencium, tau," ia lalu berjinjit dan segera menyerang bibir Harold.
Harold yang terkejut awalnya, hanya membulatkan matanya, tanpa membalas ciuman gadis tersebut. Akan tetapi, semakin lama Harold semakin terbuai. Ia pun ikut larut dalam permainan gadis itu.
Harold menahan bibir gadis tersebut dengan tangannya yang sudah berada di tengkuk si gadis. Sedangkan tangannya yang lain sudah berada di pinggang gadis itu untuk merapatkan tubuh mereka berdua. Sementara sang gadis sudah melingkarkan tangannya ke leher Harold.
Mereka berciuman cukup lama hingga gadis di pelukkannya ini, memutus tautan bibir mereka. Harold kembali mendekatkan wajahnya ke arah gadis yang masih berada di pelukkannya, dan mencoba kembali menyatukan bibir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba gadis tersebut menundukkan kepalanya dan mencengkram bajunya. Kemudian....
Huek....
Gadis itu memuntahkan isi perutnya di baju Harold. Harold yang terkejut hanya dapat membulatkan matanya.
"Shit!" umpatnya, saat ia sadar bahwa gadis tersebut sudah pergi menjauhinya.
Ia ingin segera menyusul gadis kurang ajar itu. Akan tetapi, ia perlu membersihkan dirinya dahulu. Ia menghubungi Matthew untuk meminta Mattew membawakan baju ganti untuknya.
Saat ia sudah berhasil membersihkan tubuhnya, gadis misterius itu sudah tidak ada. Padahal, Harold sudah mencari ke seluruh penjuru club.
Harold segera mendatangi Matthew yang sudah kembali duduk di ruangan mereka sambil menyesap minumannya. "Matthew, ada satu tugas lagi untukmu. Aku ingin kau mencari satu orang lagi."
"Kau harus berhenti minum, Em," kata Shopie Kim, ketika melihat Emily yang baru muncul dari balik kamar tidurnya. Rambutnya mencuat kemana-mana.Emily merenggangkan tubuhnya dengan menyatukan kedua telapak tangannya, lalu menariknya ke atas kepalanya. "Apa aku melakukan kesalahan semalam?" tanya Emily kepada gadis berwajah asia yang sekarang sedang memakan sebuah apel. Sementara satu tangan Shopie mengenggam apel, tangannya yang lain memegang segelas air mineral."Kau tak ingat? Setelah kembali dari toilet, kau merancau tak jelas tentang memberi pelajaran kepada para brengsek. Setelahnya kau langsung jatuh tertidur. Aku dan Jess berusaha keras membopongmu kembali ke apartement," jelas Shopie panjang lebar. Ia lalu menggigit apelnya lagi dan mengunyahnya lamat-lamat sambil menatap Emily.Emily mengangkat bahunya. "Aku tidak ingat," katanya singkat."Ngomong-ngomong, Em. Siapa yang kau beri pelajaran ketika kau ke toilet?" tanya Shopie dengan wajah
Emily pergi bersama Shopie dengan mobilnya. Mengikuti mobil milik Anthony. Hingga mereka sampai ke sebuah kompleks apartement mewah.Sesampainya di lobby apartemen, Shopie ditahan untuk tidak ikut naik ke atas. Sedangkan Emily diminta untuk mengikuti Anthony ke atas. Ke tempat di mana Harold Spears tinggal.Setelah sampai di depan sebuah pintu, Anthony menekan sebuah bel yang terletak di samping pintu apartemen nomor 13 ini. Melihat nomor apartemennya saja, Emily sudah bergidik ngeri. Ia sekarang sedang berpikir apa yang akan dilakukan oleh Harold Spears kepadanya. Mengingat perlakuannya yang kurang ajar kepada selebriti tersebut."Masuk!" terdengar suara maskulin dari interkom.Anthony membuka pintu dengan kartu akses di tangannya. Ia lalu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Emily untuk ikut masuk.Emily mengikuti Anthony masuk ke dalam apartemen dengan nuansa abu-abu ini. Apartemen yang Emily duga merupakan milik Harold Spears, terlihat elega
"Kesepakatan?" tanya Emily dengan wajah bingung.Harold menganggukkan kepalanya. "Ya! Aku sudah membuat kontraknya dan kau hanya tinggal menandatanganinya.""Bagaimana jika aku tidak mau menandatanganinya?" tantang Emily."Kau pasti mau. Karena kau tidak punya pilihan," kata Harold percaya diri."Cih... kau percaya diri sekali," komentar Emily sebelum Harold pergi meninggalkannya. Emily menatap punggung Harold yang memasuki sebuah ruangan.Harold kembali dengan sebuah amplop besar berwarna coklat beserta sebuah pena di tangannya. "Kau bisa melihatnya terlebih dahulu," katanya sambil menyerahkan amplop tersebut kepada Emily. Kemudian dengan isyarat tangan, ia mempersilahkan Emily untuk duduk di sofa.Mereka duduk berhadap-hadapan. Dengan sebuah meja yang menjadi pembatasnya. Emily membuka amplop coklat dan mengeluarkan kertas putih di dalamnya. Lalu, membaca lamat-lamat isi yang
Emily menekan-nekan bel apartemen Harold yang tak kunjung dibuka. Emily mendengus jengkel. Ia baru saja beranjak pergi saat terdengar suara dari interkom."Siapa? Ada yang bisa kubantu? Ini masih sangat pagi. Bukankah tidak sopan menekan bel apartemen seseorang berulang kali di pagi hari seperti ini?" tanya sebuah suara yang masih terdengar serak seperti baru saja bangun tidur. Nadanya suaranya terlihat kesal karena waktu istirahatnya harus diganggu.Langkah Emily berderap kembali menuju depan apartemen Harold. "Emily Grace. Aku datang untuk membersihkan apartemenmu seperti kontrak kesepakatan yang sudah kutandatangani. Aku datang karena takut kalau saja kau akan menuntutku karena melanggar kontrak. Dan juga perlu kuingatkan bahwa kau sendiri yang menyuruhku untuk datang pada jam enam pagi. Tapi, jika pagi ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku, aku dengan senang hati akan pergi dari sini. Terima—" belum selesai Emily menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara pintu
Emily menekan-nekan bel apartemen Harold yang tak kunjung dibuka. Emily mendengus jengkel. Ia baru saja beranjak pergi saat terdengar suara dari interkom."Siapa? Ada yang bisa kubantu? Ini masih sangat pagi. Bukankah tidak sopan menekan bel apartemen seseorang berulang kali di pagi hari seperti ini?" tanya sebuah suara yang masih terdengar serak seperti baru saja bangun tidur. Nadanya suaranya terlihat kesal karena waktu istirahatnya harus diganggu.Langkah Emily berderap kembali menuju depan apartemen Harold. "Emily Grace. Aku datang untuk membersihkan apartemenmu seperti kontrak kesepakatan yang sudah kutandatangani. Aku datang karena takut kalau saja kau akan menuntutku karena melanggar kontrak. Dan juga perlu kuingatkan bahwa kau sendiri yang menyuruhku untuk datang pada jam enam pagi. Tapi, jika pagi ini kau merasa terganggu dengan kehadiranku, aku dengan senang hati akan pergi dari sini. Terima—" belum selesai Emily menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara pintu
"Kesepakatan?" tanya Emily dengan wajah bingung.Harold menganggukkan kepalanya. "Ya! Aku sudah membuat kontraknya dan kau hanya tinggal menandatanganinya.""Bagaimana jika aku tidak mau menandatanganinya?" tantang Emily."Kau pasti mau. Karena kau tidak punya pilihan," kata Harold percaya diri."Cih... kau percaya diri sekali," komentar Emily sebelum Harold pergi meninggalkannya. Emily menatap punggung Harold yang memasuki sebuah ruangan.Harold kembali dengan sebuah amplop besar berwarna coklat beserta sebuah pena di tangannya. "Kau bisa melihatnya terlebih dahulu," katanya sambil menyerahkan amplop tersebut kepada Emily. Kemudian dengan isyarat tangan, ia mempersilahkan Emily untuk duduk di sofa.Mereka duduk berhadap-hadapan. Dengan sebuah meja yang menjadi pembatasnya. Emily membuka amplop coklat dan mengeluarkan kertas putih di dalamnya. Lalu, membaca lamat-lamat isi yang
Emily pergi bersama Shopie dengan mobilnya. Mengikuti mobil milik Anthony. Hingga mereka sampai ke sebuah kompleks apartement mewah.Sesampainya di lobby apartemen, Shopie ditahan untuk tidak ikut naik ke atas. Sedangkan Emily diminta untuk mengikuti Anthony ke atas. Ke tempat di mana Harold Spears tinggal.Setelah sampai di depan sebuah pintu, Anthony menekan sebuah bel yang terletak di samping pintu apartemen nomor 13 ini. Melihat nomor apartemennya saja, Emily sudah bergidik ngeri. Ia sekarang sedang berpikir apa yang akan dilakukan oleh Harold Spears kepadanya. Mengingat perlakuannya yang kurang ajar kepada selebriti tersebut."Masuk!" terdengar suara maskulin dari interkom.Anthony membuka pintu dengan kartu akses di tangannya. Ia lalu membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Emily untuk ikut masuk.Emily mengikuti Anthony masuk ke dalam apartemen dengan nuansa abu-abu ini. Apartemen yang Emily duga merupakan milik Harold Spears, terlihat elega
"Kau harus berhenti minum, Em," kata Shopie Kim, ketika melihat Emily yang baru muncul dari balik kamar tidurnya. Rambutnya mencuat kemana-mana.Emily merenggangkan tubuhnya dengan menyatukan kedua telapak tangannya, lalu menariknya ke atas kepalanya. "Apa aku melakukan kesalahan semalam?" tanya Emily kepada gadis berwajah asia yang sekarang sedang memakan sebuah apel. Sementara satu tangan Shopie mengenggam apel, tangannya yang lain memegang segelas air mineral."Kau tak ingat? Setelah kembali dari toilet, kau merancau tak jelas tentang memberi pelajaran kepada para brengsek. Setelahnya kau langsung jatuh tertidur. Aku dan Jess berusaha keras membopongmu kembali ke apartement," jelas Shopie panjang lebar. Ia lalu menggigit apelnya lagi dan mengunyahnya lamat-lamat sambil menatap Emily.Emily mengangkat bahunya. "Aku tidak ingat," katanya singkat."Ngomong-ngomong, Em. Siapa yang kau beri pelajaran ketika kau ke toilet?" tanya Shopie dengan wajah
Tiga orang gadis berusia pertengahan dua puluh tahun sedang berkumpul di sebuah club malam yang terkenal di kota New York. Alunan musik yang diputar DJ nampak menggema memenuhi ruangan.Emily, Jessica dan Shopie berkumpul di sebuah ruangan khusus dan menikmati minuman mereka sambil bercengkrama melepas penat akibat pekerjaan."Kau harus berhenti berkerja, Em. Dan berkencanlah," komentar Jessica kepada Emily temannya. Menurutnya kehidupan Emily sungguh membosankan dan ia butuh berkencan.Emily mengibaskan tangannya, ia lalu menegak minuman keras di tangannya. "Tidak. Aku menyukai kehidupanku sekarang. Aku tak butuh lelaki," komentar Emily setelah menandaskan minuman di tangannya."Apa kau ada masalah? Kau sudah minum lebih banyak daripada biasanya," komentar Shopie.Emily kembali menuangkan minuman ke gelas. "Tidak. Aku baik-baik saja," katanya lalu menegak habis minuman di gelasnya.Jessica menahan tangan Emily yang hendak menuangkan cairan yang m